Jingga Untuk Matahari 03 (FanFiction)

0 Comments


Lohaaa... saya membawa JUM lagi nih. Wkwkwk... happy reading guys.
 

“Kak Ari???” serunya tertahan, kontan seulas senyum terhias di wajahnya yang kini sudah berubah warna. Wajah yangkini mulai cerah.
Ari tersenyum, senyum prihatin. Keadaan Tari belum begitu pulih, tapi suara ceria itu telah membuat hati Ari sedikit tenang dalam kegelisahan yang ada.
“Pagi, Matahari,” sapanya. Di genggamannya ada sebuket bunga yang baru ia beli tadi pagi saat ia pulang untuk mandi, di sebelah kiri ada sekeranjang buah-buahan.
Ari letakkan sekeranjang buah itu di meja dan memberikan sebuket bunga pada Tari,Tari menerimanya sambil tersenyum ceria, “Makasih, Kak,”
“Gimana? Udah baikan?” tanya Ari.
Tari mengangguk, “Oh ya, kakak kasih tau Mama saya nggak tentang ini?” tanya Tari.
“Gue cuma kasih tau kalo lo dalam keadaan pingsan dan tadi malem dia jagain lo kok,” ucap Ari.
Tari mengangguk-angguk mengerti, “Terus Mama saya kemana, Kak?”
“Gue suruh pulang, kasian nungguin lo semaleman. Kalo gue sih nggak apa-apa, karena gue cowok,” ucapnya, lalu matanya menyipit, menatap Tari lekat-lekat, “Lo jujur sama gue,” ucapnya.
Tari menautkan kedua alisnya, nggak ngerti maksud Ari, “Maksud kakak apa?” tanya Tari, kalem.
“Ata ngapain lo?” tanyanya.
Cewek itu menunduk, sedikit kaget, akibat pertanyaan yang Ari lontarkan belum siap untuk ia jawab. Waktu ini benar-benar belum tepat. Fisiknya masih lemah untuk mengatakan semuanya pada Ari.
Mata Ari masih memandang Tari, tapi Tari tetap bungkam. Diam seribu bahasa.
“Lo nggak mau cerita?”
Tari menatap Ari, “Enggak kok,” Tari menggeleng, “Bukan gitu, Kak. Saya Cuma belum siap aja,”
Dari caranya berbicara, dari nadanya, Ari mengetahui jelas bahwa Tari memang belum siap untuk menceritakan tentang Ata pada dirinya. Meskipun dalam lubuk hatinya ia sangat ingin sekali mengetahui, tapi ia takkan memaksanya. Kali ini dia nggak mau Tari kenapa-kenapa lagi. Yang terpenting adalah Tari harus selalu ada dalam penjagaannya.
Ari cuma nggak mau Tari kenapa-kenapa, apalagi itu ulah dari saudara kembarnya sendiri. Dia nggak akan memaksa Tari, tapi dia akan mengungkapkannya sendiri.
Tanpa Tari sadari, bahkan satu hal ini tak dapat ia cerna dengan cepat dan baik, Ari menggenggam tangannya pelan. Penuh dengan perasaan yang ada, marah, sedih, takut bahkan cinta.
Ari menatap gadis itu dengan pandangan lembut yang malah membuat Tari jadi kelepek-kelepek. Membuat Tari merasakan degup jantungnya semakin lama semakin tak teratur. Membuat dirinya jatuh dalam pesona yang Ari berikan.
“Lo mau janji sama gue?” tanyanya.
Tari diam, masih kaget dengan genggaman Ari yang biasanya Ari lakukan saat menjadi Ata dulu. Matanya masih menatap lurus-lurus tangan Ari yang menggenggam tangannya. “Apa?”
“Jangan ngeliat kearah lain lagi, liatlah kearah gue,” ucapnya lembut penuh dengan permohonan, “Gue janji akan ngelindungin lo,”
“Tapi, Kak…”
“Apa? Lo mau bilang kalo lo milih Angga?” potong Ari cepat.
Tari menggeleng, “Jangan salah paham dulu, Kak. Tari nggak bermaksud untuk milih Angga, tapi Tari cuma nggak mau Kak Ari malah menyesal nantinya,”
“Menyesal gimana?” alis Ari menyatu.
Lagi-lagi, Tari terdiam. Ingin sekali ia jelaskan, tapi ia takut akan suatu hal yang akan terjadi. Ata bisa marah padanya dan mungkin Ata akan membuatnya semakin tersiksa.
Cukup waktu itu saja, Tari merasakan di tengah kegelapan, sendirian dan tak dapat bernafas. Tari tak ingin Ata berbuat lebih.
“Kenapa lo selalu diem? Hmm!? Lo nggak usah takut,” ucapnya dengan nada yang berubah kesal.
Hilang deh semua kelembutan Ari yang disuguhkannya untuk Tari. Ari hanya nggak mau dia nggak tahu apa-apa dan tahu belakangan. Apalagi kalau Tari sampai memilih Angga, itu pasti benar-benar membuatnya seperti orang yang nggak Tari percaya.
Ari melepas genggamannya, lalu berdiri. Sejenak ia tatap Tari yang kini wajahnya tegang akibat pernyataan Ari. Lalu dalam langkah cepat, ia tinggalkan Tari di ruangan itu sendiri.
Kini yang ia butuhkan adalah sebuah ketenangan, tapi ketenangan itu berasal dari Mamanya, jadi ia memutuskan untuk mengunjungi Mamanya di rumah Tante Lidya.
***
Ari masuk ke rumah Tante Lidya, namun ia melihat Ata sedang beranjak pergi dari rumah itu. Pakaiannya rapi, tapi tetap kasual. Rambutnya masih basah, sepertinya dia habis mandi. Jaket yang ia pakai berwarna abu-abu, khas cowok banget.
Tapi ketika Ari melihat setiap detail itu, matanya melebar. Kenyataan memang kenyataan. Dugaan itu memang benar. Di salah satu benang yang menggantung di jaket Ata, ada satu matahari yang sedang tersenyum. Matahari yang sama dengan matahari yang ia lihat di gelang Tari. Sama seperti kata Fio, salah satu liontin itu pasti terjatuh. Dan dugaan yang tak ingin menjadi kenyataan itu, memang benar ada.
Ata bersikap datar bahkan bisa di sebut biasa aja tanpa merasa ada yang aneh atau ada sesuatu yang ia sembunyikan dari saudara kembarnya ini.
Dengan langkah panjang, Ari hentikan langkah Ata sebelum Ata pergi.
Kontan alis Ata bertaut, “Ada apa?” tanyanya dengan nada bingung.
“Mau kemana?” tanya Ari balik, tanpa sapaan, jabatan tangan, pelukan, atau apalah sebagai tanda bahwa mereka adalah saudar kembar yang akur.
“Pergi,” jawabnya datar dan cuek abiisss.
“Lo marah sama gue?”
Ata menatap Ari, “Buat apa?” tanyanya balik.
“Lo nggak usah belagak nggak ngerti deh,” Ari jadi kesal dengan sikap Ata.
Ata memalingkan muka, sepertinya dia juga kesal terhadap pertanyaan Ari yang terlihat seperti ‘pengen tau aja’ itu, “Gue nggak ngerti maksud lo. Kita baru aja ketemu, Ri. Gue cuma mau kita mencoba seakrab dulu lagi. Jadi, mana mungkin gue marah sama lo,”
Ari menatap tajam saudara kembarnya itu, mencoba melihat sebuah kepalsuan yang dibuat oleh Ata. Dia memang tahu Ata takkan mungkin tinggal diam saat ayah kandungnya sendiri membuatnya kecewa. Karena Ari dan Ata adalah dua orang dengan satu sifat. Dua orang dengan satu hati. Jadi, apa yang Ata rasakan pasti Ari rasakan.
Namun, apa yang di lakukan Ata adalah membalas semua ketidak adilan itu pada seseorang yang Ari sayangi dan seseorang yang menyandang nama yang sama dengan Ata, bukan Ari bahkan ayahnya sendiri.
“Kenapa liontin itu ada di jaket lo?” tanya Ari dengan satu alisnya yang terangkat keatas.
Ata diam, tapi Ari biarkan keterdiaman itu. Ari beri kesempatan saudara kembarnya itu untuk mengarang sebuah alasan, agar terbukti bahwa seseorang yang pernah berbagi rahim dengannya ini sudah berubah total. Berbeda dengan dulu, Ata yang suka jahil dan penuh keceriaan itu kini malah penuh dengan kata dendam.
“Ari!? Kamu disini?” suara tersebut malah membuat keduanya menoleh, membuat Ata bersyukur dalam hati karena tak perlu mengakui sebuah kejujuran.
Ari menoleh seraya tersenyum, “Iya, Ari kangen sama Mama,” Ari menghampiri Mamanya, lalu memeluknya.
“Ma, Ata pergi dulu ya,” pamit Ata.
“Tapi Ari baru aja dateng, kok kamu udah mau pergi aja sih, Ta,”
“Tadi udah ngobrol kok, Ma. Dan Ari juga ngerti kalo aku juga sibuk,” ucap Ata dengan seulas senyum palsu.
Alasan yang sangat tepat! Dan Ari langsung menatap kearah Ata tajam. Cowok itu membalasnya dengan senyuman mencemooh. Lalu setelah Mamanya mengangguk, ia langsung beranjak dari tempat itu.
***
“TARIII,” seru Fio sambil menghampiri Tari yang berada di depan gerbang.
Tari tersenyum melihat teman sebangkunya itu. Hari ini dia masuk sekolah seperti biasa, setelah vakum beberapa hari dari sekolah, akhirnya dia bisa masuk juga. Dia kangen sama semua yang ada di SMA Airlangga ini. Apalagi sama para penghuninya, terutama sang pentolan sekolah.
Setelah kejadian Ari meminta Tari berjanji itu, Ari nggak jenguk Tari lagi. Tari memang masih nggak enak sama Ari untuk menceritakan bagaimana sih saudara kembarnya itu sekarang.
“Tar, lo udah sembuh?” tiba-tiba terdengar suara cowok dari belakangnya.
Tari menoleh ke belakang, ia dapati Ridho berada tepat di belakangnya dengan teman setianya, Oji.
“Iya, kok kakak tau gue sakit?” tanya Tari.
“Ari yang kasih tau,” jawab Ridho.
“Tar, lo tau nggak bos gue itu kemana?” tanya Oji, “Tiap hari jagain lo ya? Masa bolos terus,”
“Masa sih…”
“Ridho, Oji, ikut gue,” tiba-tiba suara itu muncul dari arah belakang mereka. Memotong kalimat yang belum selesai keluar dari mulut Tari.
Terlihat Ari sedang berdiri dengan kedua tangan yang melipat di dada, wajahnya tanpa ekspresi. Memerintahkan Ridho dan Oji agar tak mendekati Tari.
Dengan kening berkerut, Oji dan Ridho menuruti perintah Ari. Ia hampiri sang pentolan sekolah itu.
Sedangkan Tari menatap Ari dengan pandangan bersalah, nggak tahu harus apa-apa. Sepertinya Ari benar-benar menjauhinya, bahkan di saat seperti ini.
Fio menatap Tari dengan pandangan nelangsa, kasihan juga teman sebangkunya ini. Pasti Tari sudah mulai merasakan benih-benih cinta di dalam hatinya, tapi Ari malah pergi dan menganggapnya sebagai bayangan masa lalu yang tak kasat mata.
“Fi, apa gue salah ya?” tanya Tari sambil berjalan menyusuri koridor sekolah.
“Lo nggak salah sepenuhnya kok, tapi cepat atau lambat lo emang harus cerita sama Kak Ari tentang Kak Ata,” jawab Fio dengan senyum prihatin.
“Tapi, Fi, kalo gue kasih tau Ata udah ngancem gue, hubungan persaudaraan mereka ancur gimana!? Gue nggak mau,”
“Biar waktu yang jawab, Tar,” uca Fio pasrah.
***
Di kantin yang kini udah sepi, Tari dan Fio duduk berdua sambil menikmati minumannya. Hari ini Tari nggak nafsu makan, gimana enggak!? Hari ini Ari nyuekin dia abis-abisan. Bikin dia jadi nggak nafsu ngapa-ngapain, pokoknya nggak ada semangat buat jalanin aktifitas deh.
Sedangkan Fio benar-benar bersemangat untuk menghabiskan makanan favoritenya ini, soto! Tanpa pandang temennya lagi sedih atau enggak, yang penting dia makan dan kenyang.
“Akhirnya,” seru seseorang.
Tari menoleh, Fio juga. Seketika mereka tercengang, baru aja Tari dapet musibah, sekarang kayaknya dapet lagi deh. Liat aja tuh, Vero dan antek-anteknya nyamperin Tari dengan muka sangar khas mereka.
“Udah sembuh?” tanya Vero.
Tari diam, Fio juga. Nggak berani jawab. Tari meremas-remas kesepuluh jarinya dengan kuat, baru aja dia dapat cobaan dari Ata, hari ini Vero mau kasih dia penderitaaan juga.
“Lo budeg!?” sentak Vero galak.
“Gue rasa di nggak budeg, tapi bisu,” salah satu anggota The Scissors menyahut dengan senyum sinis di wajahnya.
“U… udah, Kak,” jawab Tari tergagap.
“Berarti, lo udah sehat dong!”
Tari mengangguk pelan dan dengan rasa nggak yakin akan jawabannya.
“Berdiri,” perintahnya dengan mata yang melotot kearah Tari. Tapi Tari malah melongo dan tak melaksanakan perintah itu, “Gue bilang, berdiri!” bentaknya, “Lo tuh ya, baru kelas sepuluh, tapi kebanyakan gaya,”
Tari berdiri, lalu menunduk. Sumpah deh, mata Vero kali ini serem banget. Kalau melotot sih, bisa di bilang mau copot dari tempatnya. Kalau menyipit sih, bisa di bilang hilang matanya. Jadi, Tari sama sekali nggak berani menatap Vero balik.
“Lo itu bener-bener pengkhianat ya!” bentaknya tepat di muka Tari.
“Maksud kakak?” tanya Tari dengan polos.
“Ckckck,” Vero menggeleng-geleng, “Gila yah! Lo nggak sadar juga!” ucapnya kesal, “Elo itu, bilang apa sama musuh bebuyutan Ari, Hah!?”
Tari diam, mencoba menebak siapa yang dimaksud Vero. Dan dalam pikirannya ia langsung tertuju pada Angga. Apa yang di lakukan Angga hingga Vero marah-marah sama Tari?
“Angga bilang sama gue buat nggak macem-macem sama yang namanya Anggita, apalagi Jingga Matahari, dan lo tau apa kata dia? Dia bisa bikin Ari, kapanpun terluka. Jadi, gue nggak boleh macem-macem sama dia,”
Seketika Tari tercengang, Angga sudah mengancam Scissors demi kembali disisi Tari. Angga mengancam Vero, yang jelas-jelas suka sama Ari, akan ngapa-ngapain Ari kalau Vero berani bikin Tari maupun Gita menderita. Ini namanya peperangan ketiga yang dimulai oleh Angga.
Padahal baru-baru kemarin, dia memulai pertarungan antara dirinya dan Ari dan peperangan kedua antara dirinya dan Ata. Bagaimana caranya dia bisa menjalani peperangan dalam tiga waktu yang berbeda? Bersama orang yang berbeda-beda.
Kalau sudah seperti ini namanya sih cari mati! Secara gitu, Tari berdiri sendiri. Cuma Angga yang kini ada di pihaknya dan Tari nggak tahu sampai kapan Angga akan selalu begitu.
Vero menarik kerah baju Tari kuat-kuat, lalu mendekatkan wajah Tari dengan wajahnya, “Sampe pahlawan lo itu berani nyenggol Ari sedikit aja, lo berhadapan sama gue!” desisnya.
Lalu Vero dan jongos-jongosnya itu pergi. Fio yang dari tadi hanya dapat tercengang dengan mulut yang terbuka lebar dan soto yang kini mungkin sudah dingin, bernafas lega. Apalagi Tari yang di ancam, dia sih udah bersyukur banget tu orang enggak ngapa-ngapain dia sama seperti dulu.
***
“Bos, kenapa sih seminggu ini lo nyuekin si Tari? Biasanya lo seneng banget godain dia,” tanya Oji sambil menyantap gorengannya.
“Kan gue masih sayang sama lo, Ji,” ucap Ari sambil berkedip genit kearah Oji.
“Gue tau. Bos. Lo itu nggak bisa jauh dari bayang-bayang gue, tapi gue lagi nanya serius nih,” gerutu Oji.
“Kasian tu anak, seminggu ini mukanya murung banget!” celetuk Ridho sambil mengambil gorengan milik Oji. Oji melotot, “Bagi, pelit banget sih lo,” ucap Ridho sebelum Oji ngomel-ngomel sama Ridho gara-gara gorengannya di ambil tanpa ijin dan lapor pada orang yang punya.
“Bener banget lo, Dho. Apalagi gue denger-denger, dia di ancem sama Vero,”
“Kapan?” mata Ari melebar.
“Pas lo nyuruh gue dan Ridho pergi dan nggak deket-deketin Tari,” ucapnya, “Gila, man! Dia mukanya kasian banget,”
Ari berdiri dari kursinya, lalu mengambil jaketnya yang terletak di atas meja.
“Mau kemana lo? Bukannya lo udah nggak peduli sama dia?” tanya Ridho.
“Mau ketemu Tari ya?” tanya Oji, “Gue ikut dong,” pintanya.
Ridho menoleh, “Lo mau gangguin orang pacaran apa?” tanyanya dengan alis yang terangkat satu.
“Ya enggaklah,” kilah Oji, “Nanti si Fio nggak ada temennya, kan kasian dia kalo di tinggal sendiri sama Tari dan Ari,” Oji beralasan.
“Terus lo nggak kasian gitu sama gue? Gue kan sendirian juga, Ji. Jahat amat lo sama gue,” Ridho memasang wajah memelas terbaiknya.
“Sori, Dho. Sesuai kata Bos. Poligami, oke! Tapi kalo homo-homoan, mending gue sama satu orang aja deh. Cukup Matahari Senja, man. Too much love will kill you,” ucap Oji mengikuti kata-kata Ari.
Ari ketawa geli melihat Oji mengikuti gayanya, “Udah ah, gue cabut!” Ari langsung ngeloyor pergi.
“Tuh kan, Dho. Elo sih, nggak jadi ketemu kan, gue sama Fio!” gerutu Oji kesal. Bibirnya kontan maju ke depan dengan wajah cemberut total.
Ridho nyengir kuda, “Makanya jangan sok ngikutin Ari! Sama gue mah sama gue aja, Ji. Nggak usah lirik-lirik Fio segala,”
Oji melirik Ridho dengan kesal. Gagal deh rencananya buat pedekate sama Fio. Padahal Oji udah niat banget, eh malah di tinggalin Ari.
***
Ari menghentikan motornya tak jauh dari halte, tempat dimana Tari menunggu bis. Disana terlihat dua orang siswi SMA Airlangga yang sedang menaiki bis. Sepertinya Ari terlambat, tapi Ari nggak tetap diam. Dia mengikuti bis itu.
Setibanya cewek itu turun, Ari masih mengikutinya di belakang, sedangkan cewek itu terus saja berjalan kearah rumahnya. Motor Ari, Ari parkir di tempat yang agak jauh. Sehingga Ari mengikuti cewek ini dengan berjalan.
Tampak sekali di wajah cewek itu tak ada senyum yang mengembang barang sedikitpun. Sesuai dengan perkataan Ridho, cewek ini memang sedang murung dan itu terjadi sejak seminggu lalu. Sejak Ari memutuskan pergi dari kehidupan Tari.
Seketika cewek itu menoleh kearah belakang, dan matanya bertemu dengan mata Ari. “Kak Ari!” serunya, bahkan tanpa cewek itu sadari, seulas senyum manis penuh keceriaan terpancar di wajahnya ketika menyebut nama Ari.
“Lo manggil gue?” Ari menunjuk dirinya sendiri.
Seketika itu pula wajah itu langsung berubah murung lagi, cemberut total persis seperti wajah Oji tadi.
Ari menahan tawa gelinya dengan senyuman, “Ih, ngambek!” ledeknya.
“Siapa yang ngambek!?” elak Tari, tak ingin mengakui.
“Bilang aja lo kangen sama gue? Iya kan!?” ledek Ari dengan senyuman menggoda dan lirikan mata genit.
Wajah Tari kontan merona merah, “Enggak,” kilahnya, “Ngapain gue kangen sama lo!? PeDe banget sih,”
Ari langsung memasang wajah cemberutnya, “Oh nggak kangen nih, ya udah deh, gue pulang aja.” Ari langsung bersiap-siap angkat kaki.
“Eh… jangan!” larang Tari, “Gitu aja ngambek, udah gede juga,” gerutu Tari, tapi dengan nada lembut.
Ari langsung tertawa geli, “Betul kan!? Lo kangen sama gue???” godanya lagi.
Tari menghembuskan nafasnya, lalu mengelus-elus dadanya pelan, “Iya deh, aku ngaku. Aku kangen sama kakak,” ucap Tari mengakui.
“Akhirnya ngaku juga,” tawa Ari meledak, tangannya bergerak mengusap-usap puncak kepala Tari. Mengacak-acak rambut Tari yang tergurai panjang. Membuat warna merah di wajah Tari muncul lagi.
Pancaran kebahagiaan itu mulai terlihat lagi di wajah Tari dan Tari berharap akan selalu seperti itu. Selamanya dan hanya karena orang yang ada di sampingnya ini.
Tangan Ari meraih tangan Tari, menggenggamnya seraya menuntunnya untuk berjalan. Tari menoleh kearah genggaman itu, inilah yang selama ini ia harapkan. Genggaman penuh kelembutan, bukan genggaman penuh dendam.
Apa yang Ari lakukan adalah mencoba untuk kembali menjadi dirinya yang sebenarnya, bukan seperti Ari sang pentolan SMA Airlangga yang penuh dengan rasa amarah.
Kini ia akan melindungi Tari, meskipun di sisi lain, dirinya tak tahu menahu hal yang Tari sembunyikan darinya. Lebih baik ia menunggu daripada cewek yang menyandang nama yang sama dengannya ini terluka sendirian.
***
Ketika semuanya sudah rapi dan Tari akan membuka pintu, di lihatnya keluar jendela. Tampak dua motor dan dua orang disana, sedang beradu pandang. Kayaknya perang dunia akan terjadi pagi ini di depan rumah Tari.
Angga sedang menarik kerah baju Ari dengan matanya yang menatap Ari tepat di manik mata. Sedangkan Ari hanya diam, namun ia katupkan gerahamnya kuat-kuat, menahan amarah yang mungkin akan meledak jika tak ada yang melerai mereka berdua.
Dengan cepat, Tari bergegas menuju arah mereka. Mencoba menghentikan tindakan Angga yang sebentar lagi akan menonjok wajah Ari.
Nggak tahu kenapa, Tari khawatir banget Ari bakal di apa-apain sama pentolan SMA Brawijaya itu. Ari terlalu berbeda hari ini, nggak membalas tatapan sinis Angga itu, dia cuma membalasnya dengan tatapan seolah-olah Angga itu bukan musuhnya. Tatapan santai tapi membuat Angga menjadi takut akan kalah hari ini.
“Stop,” seru Tari.
Keduanya menoleh. Angga langsung melepaskan cengkramannya. Sementara Ari langsung tersenyum pada Tari.
“Berangkat sekolah bareng gue yuk!” ajak Ari dengan seulas senyum kalemnya.
“Nggak.” Angga menggeleng. “Lo harus sama gue, Tar,” paksanya.
Tari jadi bingung. Ini nih, waktu yang nggak tepat. Dua orang pentolan sekolah ini perebutan ngajak Tari berangkat bareng. Secara Angga dan Ari kan musuh bebuyutan dari dulu, nggak mungkinlah ada yang mau ngalah. Sedangkan kalau Tari milih Angga, matilah dia di sekolah sama Ari.
“Lo boleh pilih,” ucap Ari, “Mau sama dia atau gue?” tanyanya dengan datar. Tak ada senyum yang mengembang seperti tadi.
Tari terdiam, pilihan ini seperti membunuhnya. Masih ada sedikit rasa yang tersisa dari dirinya untuk Angga, karena kedekatan Tari dulu dengannya. Apalagi dulu Angga adalah orang yang melindungi Tari dari Ari. Sedangkan untuk Ari. Perasaan itu mulai tumbuh seperti bunga di musim semi, namun Ari terlalu pemaksa dalam hal ini. Walaupun pagi ini dirinya sangat amat berbeda.
“Gue… sama Kak Ari aja deh. Kan kita satu tujuan,” ucap Tari akhirnya.
Mulut Angga mengatup keras, gigi gerahamnya menekan semua kemarahaan akibat perkataan Tari. Ini sama saja menunjukan dirinya sudah kalah di hadapan Ari. Padahal apa yang Angga inginkan bukan ini, yang dia inginkan hanya, Ari menderita!
“Jangan salah paham dulu, Ga. Gue kasian aja kalo lo harus muter balik buat kearah sekolah lo.”
Ari tersenyum, seperti mencemooh Angga. Alisnya terangkat satu, menandakan bahwa dialah pemenangnya bukan Angga. “Yuk, Tar.” Ari meraih tangan Tari.
Angga menatap kepergian Ari dan Tari dengan geraham yang mengatup keras. Pandangan tajam akibat kekalahan pagi ini membuatnya harus membuat rencana baru untuk membuat Ari menderita. Ini bukan masalah Tari, tapi ini tetap masalah masa lalu yang tak pernah Ari sadari.


You may also like

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Ao Haru Ride

Ao Haru Ride

Daftar Blog Saya

Advertisement

Facebook

Instagram