Gema Athaillah


Marah. Tentu gue marah. Bisa-bisanya Zia punya pikiran sesempit itu dan juga seegois itu? Bagaimana bisa dia menipu sahabatnya sendiri yang sangat menyayanginya? Hanya karena keegoisannya semata?
Mungkin sikap gue udah keterlaluan, tapi mau bagaimana lagi? Gue paling nggak suka kebohongan. Bagaimana pun juga Sakura adalah teman gue. Gue juga nggak rela dong kalau teman gue ditipu begitu aja.
Argh masa bodo deh! Pusing mikirin begituan. Mending gue tidur aja.
***
Sialnya dua minggu lagi adalah hari ulang tahun Zia. Itu berarti gue nggak bisa nemenin Zia di hari ulang tahunnya. Bisa tambah kacau hubungan kita.
Dan gue juga bersikeras agar Zia jujur dulu, baru deh gue maafin dia. Masalahnya, kalau sampai sekarang Zia juga diemin gue, gue bisa apa?
“Atha?”
Gue terkejut dan langsung menoleh ke samping. Di samping gue ada Amboi. Wajah lugunya membuat gue tergelak. Sudah lama gue nggak ketemu dia dan sepertinya dia nggak berubah banyak.
“Eh, Amboi?”
Dia tersenyum. “Eng... soal yang lalu...”
Ah... Amboi selalu membahas soal yang lalu. Gue tahu Amboi pasti nggak punya pikiran sepicik itu. Amboi sebenarnya baik kok. Hanya saja sepupunya yang terobsesi sama Sakura itulah yang membuatnya jadi terjerumus pada hal yang tak benar.
“Jangan dibahas lagi deh. Lagian itu kan udah lalu. Udah bertahun-tahun lalu malah. Elo juga udah minta maaf sama yang lain, kan!?”
Amboi menunduk. Lalu menatapku dengan senyum manisnya. Masih sama seperti dulu. Senyum yang bisa meluluhkan hati seseorang.
“Kamu mau ke mana?” tanyanya.
“Oh gue?” Gue mencari-cari alasan. “Cuma mau menghirup udara segar aja.” Padahal gue pingin melihat keadaan Zia yang tak ada kabarnya. “Kalo lo?”
Amboi hanya tersenyum. “Aku mau ke toko buku. Kalau gitu aku dulu ya... daaaah Atha...” Dia melambaikan tangannya pada gue sambil berlalu.
Baru saja gue berniat untuk membalikkan badan, sosok cewek yang gue cari muncul seketika di depan gue dengan tatapan marahnya. Oh-oh... apa tadi dia liat gue sama Amboi ngobrol? Tapi kan gue cuma ngobrol aja.
Seulas senyum sinis tercetak di wajahnya. Kedua tangannya terlipat di depan dada. “Jadi... begini ya? Lo marah sama gue dengan alasan gue nggak jujur sama Sakura. Lo memanfaatkan kondisi dengan bagus ya.”
Gue mengernyit. Kebingungan. Zia sudah menggunakan panggilan ‘gue-elo’ dan itu pasti dia sedang marah. Kenapa dia marah? Seharusnya kan gue yang marah sama dia?
“Kalo lo udah nggak tahan sama gue, tinggal bilang aja. Cara lo yang kayak gini tuh pengecut banget, tau nggak!?”
“Kamu kenapa sih?” Gue semakin bingung. “Kok marah?”
Dia mendengus. “Jangan berlagak kayak malaikat. Gue juga udah nggak tahan kok sama sifat lo itu. Mending kita udahan aja di sini.”
“Kamu minta putus?” Gue membelalakan mata gue tak percaya.
“Dari awal lo emang nggak bisa mutusin yang mana yang akan lo pilih. Saat lo dapat ancaman dari masa lalu, lo malah berniat ninggalin gue. Kalo bukan karena Sakura, lo nggak bakalan jadi pacar gue.”
“Zia... kok kamu ngomongnya gitu sih? Zia?” Gue mendekat, tapi Zia malah menjauh. “Zia...” Dia semakin memundurkan langkahnya dan tau-tau saja sebuah truk besar melintas dan menghantam tubuh Zia yang berdiri di sana.
“ZIAAAA....”
Gue terbangun dari mimpi buruk gue. Sialan banget itu mimpi.
***
“Lo kacau banget. Ada apa sih?” Badai menyeruput jus jeruk di depannya sampai tiga perempat gelas.
Gue hanya bisa menatap kosong sejak dapat mimpi itu. Apa itu pertanda buruk? sebelumnya gue nggak pernah mimpi seburuk itu. Apalagi yang berkaitan dengan Zia.
“Keliatannya lo lagi ada masalah dengan Zia. Kenapa? Berantem? Bukannya kalian selalu berantem dan satu jam kemudian langsung baikan?”
Yes. Gue dan Zia emang nggak tahan marahan. Jadi kalau sekarang kami marahan sampai sehari penuh itu adalah hal luar biasa.
Sepertinya Zia juga enggan untuk mengaku pada Sakura soal Fabi. Makanya dia juga nggak mau menghubungi gue, karena dia tahu gue nggak akan maafin dia sebelum dia ngasih tau semuanya sama Sakura.
Kenapa jadi begini sih?
“Dai, lo kasih tau Sakura soal Fabi?” Tiba-tiba mulut gue sudah mengeluarkan pertanyaan aneh itu.
“Bukannya dia udah tau?” Badai mengernyit. Lalu kedua bola matanya melebar kaget. “Zia nggak ngasih tau dia?”
Ah sial. Gue hanya menggeleng untuk menjawab pertanyaannya.
“Gila! Lo kira Sakura akan diem aja kalau nanti dia tau Fabi udah bebas dengan jaminan!?” sentak Badai kesal. Badai selalu terlihat emosi jika mengungkit soal Fabi dan Sakura.
“Lo yang kasih tau dia deh. Gue nggak berani.” Gue hanya bisa mendesah panjang. “Gue nggak ikut campur urusan ini. Gue tau watak Sakura. Dia nggak bakalan sudi balik ke Indonesia kalau tau Fabi bebas begitu aja.”
“Gue?” Badai menunjuk dirinya sendiri. “Lo mau ngumpanin gue?”
“Mau gimana lagi? Zia nggak mau ngomong. Dia nggak mau Sakura balik begitu aja ke Jepang dan membatalkan liburan dalam sebulannya di sini.”
“Giliran ada masalah kayak gini, yang lo umpanin selalu gue,” cibir Badai. “Gue sih nggak masalah, tapi kalo berhubungan dengan...”
“Sakura?” terka gue tepat sasaran. Raut wajahnya berubah total. Selama ini gue udah curiga dengan gelagatnya yang aneh. Apa lagi semenjak ditinggal Sakura. “Kenapa? Lo nggak mau berhubungan dengan Sakura karena takut nyakitin dia?”
Sepertinya gue udah berhasil memojokkan dia. Buktinya Badai hanya bisa terdiam dengan mulut terkatup rapat.
“Dari awal lo udah nyakitin dia. Kenapa sekarang lo malah pura-pura peduli sama dia?”
Sial. Kelepasan deh gue.
Hening sejenak. Lalu Badai tersenyum miring. “Ya. Dari awal gue udah nyakitin dia. Jadi buat apa juga gue peduli sama dia!?”
Setelah berkata seperti itu, Badai berdiri dan pergi begitu saja meninggalkan gue sendiri.
Ah. Bego juga sih gue. Kenapa malah mancing-mancing kemarahan Badai? Mancing-mancing kesalahannya yang dulu, lagi! Kalau udah begini, siapa dong yang mau ngasih tau Sakura soal Fabi? Trus bagaimana hubungan gue dengan Zia kalau begini terus?
***
Gue mengeluh kesal untuk kesekian kalinya. Zia kayaknya ikutan marah. Buktinya, gue telfon dan sms, nggak ada satupun yang diangkat juga dibales. Gue kirim WhatsApp, cuma dibaca doang! Sakitnya tuh ya... di sini nih...
Dengan sabar dan juga gaya keren, gue berniat untuk mengunjungi rumahnya. Dia pasti di rumah.
Sampai di depan gerbang rumahnya, gue menghentikan laju mobil gue. Gue memilih posisi di kanan rumahnya, jadi orang lain bisa ngira gue tamu tetangganya, bukanya tamunya.
Gue turun dari mobil gue. Lalu berjalan dengan santai ke arah rumahnya. Tapi sesaat gue menyadari sesuatu yang aneh. Mata gue menangkap sebuah mobil berwarna hitam... tunggu dulu! Ini bukannya mobil.... Awan? Ngapain Awan ke rumah Zia segala?
“Iya, Ma, aku berangkat dulu ya.”
“Hati-hati. Awan, pulangnya jangan malam-malam ya.”
Saat mendengar itu, tubuh gue refleks langsung menyingkir kembali ke arah mobil gue. Bersembunyi di antara tiang dan belakang mobil gue. Dan di saat itu juga gue melihat Zia keluar bersama dengan Awan.
Gue nggak pernah melihat Zia senyum secerah ini untuk cowok lain. Di depan mata gue, lagi!
Eits... eits... itu si kampret kenapa pake gandeng-gandeng tangan Zia? Minta dihajar ya?
Hati gue langsung membara karena marah. Mata gue membelalak maksimal dan gue yakin, tangan gue siap banget buat mukul orang. Tapi... dibalik semua itu, hanya satu pertanyaan gue.

Jadi Zia lebih milih jalan bareng Awan dari pada ngangkat telfon gue?
Ardiyanti Zia


Sudah bertahun-tahun lamanya aku melewatkan masa SMA tanpa Sakura. Dia memang selalu mengirimi kabar melalui e-mail. Tapi siapa sih yang nggak kangen sama cewek ganteng itu? Apalagi dia satu-satunya tempat yang bersedia untuk menjadi tempat sampahku.
Hubunganku dengan si Manusia Badak juga berjalan baik. Berkat Sakura yang menyadarkannya bahwa masa lalu tetaplah masa lalu. Dan seharusnya Atha sadar bahwa akulah yang menjadi masa depannya.
Kedengarannya agak aneh ya? Aku terlalu agresif. Tapi begitulah aku sekarang. Aku cemburu jika ada cewek yang berani mendekati bahkan menggoda Atha. Awas saja... akan kugebok cewek-cewek ganjen itu.
Aku tidak masuk universitas yang sama dengan Atha. Padahal aku berharap dia bersedia satu universitas denganku.
Atha memilih untuk masuk akademi kepolisian sementara aku harus masuk universitas ekonomi terkemuka karena ayahku ngotot aku harus masuk sana. Katanya sih aku nggak pantas jadi polisi wanita, padahal aku pingin banget jadi polisi wanita.
Kata orang-orang, hubungan kami ini LDR, Long Distance Relationship. Tapi kami nggak semenderita orang-orang yang LDR lainnya kok. Kami tetap bertemu diam-diam saat aku libur. Ngomong-ngomong universitasku itu mewajibkan aku untuk berada di asrama selama satu tahun. Makanya aku agak menderita selama dua semester waktu itu. Tapi sekarang aku sudah berada di semester ke enam dan aku cukup berhasil menjalankan LDR.
"Sakura udah take off?"
Aku tersentak dari lamunanku. Aku menoleh dan menggeleng. "Belum sih. Tapi setengah jam lagi dia take off kok."
Atha mendesah panjang sambil melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah dua jam kami berada di sini. Aku yang ngotot supaya datang lebih awal agar bisa menyambut Sakura. Aku nggak begitu yakin kalau nanti aku dan Sakura masih bisa seakrab dulu.
Meskipun selalu mengirim kabarnya lewat e-mail, dia tidak pernah mengungkit-ungkit tentang Badai lagi. Aku tidak tahu kenapa, mungkin dia sudah melupakan Badai. Dia juga jarang mengungkit tentang Davi, cowok yang pergi bersamanya ke Jepang. Hal yang tak pernah dilakukan Sakura sebelumnya.
"Masih lama ya?" desah Atha tak sabaran.
Aku menyikut lengannya pelan. "Jangan gitu dong! Sakura pulang demi kita nih. Sebenernya dia kan nggak mau pulang." Oh tidak! Aku langsung menutup mulutku rapat-rapat. Aku keceplosan.
"Dia nggak mau pulang?" tanya Atha bingung.
"Eng.." Aku tergeragap. "Ya gitu deh..."
"Kenapa?" Kedua alisnya bertaut.
Sial banget. Aku nggak tahu harus menjelaskan seperti apa. Yang jelas Sakura selalu menolak saat kuminta untuk kembali ke Indonesia. Padahal dulu dia bilang akan pulang satu tahun sekali ke Indonesia, tapi karena orang tuanya menyusul ke sana, ia tak punya alasan kuat untuk kembali ke Indonesia.
"Mungkin... Dia belum bisa ngelupain kejadian lalu."
"Fabi!?" desis Atha. "Cowok itu bebas begitu aja. Aku kalo jadi Sakura juga nggak bakalan sudi balik ke Indonesia. Dia udah ngebunuh dua orang dan masih aja bisa berkeliaran bebas."
Aku mendesah panjang.
Entah kenapa Fabi bisa berkeliaran di mana-mana sekarang. Kadang-kadang aku parno sendiri setelah mendengar Fabi sudah bebas berkeliaran ke mana-mana. Sakura tidak tahu sama sekali tentang Fabi karena Fabi baru saja dibebaskan minggu kemarin. Aku tidak memberitahunya karena aku benar-benar ingin bertemu dengan Sakura. Aku nggak rela Sakura membatalkan kepulangannya hanya karena si Fabi kurang asem itu.
“Soal Fabi... kamu... jangan kasih tau Sakura ya?”
Kedua bola mata Atha melebar. “Kamu nggak ngasih tau Sakura kalo Fabi bebas?”
Aku menggeleng pasrah. Mau bagaimana lagi? Aku kan kangen berat dengan Sakura. Aku juga nggak mau acara kangen-kangenanku diganggu hanya karena si Fabi nyebelin itu.
“Kamu egois banget, tau nggak!?”
Sejenak aku merasa jantungku tertohok. Aku tahu aku salah, tapi kenapa Atha malah mengataiku egois? Rasanya sakit banget mendengar dia menyebutkan salah satu kekuranganku. Dari dulu Atha selalu berprilaku baik padaku, nggak pernah marah-marah apalagi sampai mengataiku egois. Makanya aku syok banget saat mendengarnya berkata seperti itu.
“Kok kamu marah sih?”
“Jelas dong!” Suaranya meninggi. “Aku tau kamu kangen sama Sakura. Tapi kalau kamu nipu Sakura dengan cara ini supaya bisa ketemu Sakura, kamu salah!”
Aku rasa sekarang kami berdua menjadi pusat perhatian orang-orang. Ini bandara dan kami berdua bertengkar hanya karena masalah kecil. Tapi aku tetap tidak terima!
“Iya, aku tau aku salah! Aku mau ketemu Ara, tapi nggak ada cara lain! Aku emang egois. PUAS!?” Nafasku terengah-engah akibat emosi yang baru saja kukeluarkan.
Aku tidak peduli dengan puluhan tatapan orang yang memerhatikanku dan Atha bertengkar. Aku sakit hati jika Atha malah menyalahkanku. Atha tidak pernah begitu.
Dan... lima belas menit berlalu dengan keheningan antara aku dan Atha. Kami sama-sama diam dan menolak untuk berbicara. Untungnya Sakura datang saat aku mulai merasa gerah dan ingin berbicara.
“Maaf nunggu lama.” Sakura tersenyum dan aku langsung menghambur ke dalam pelukannya. Aku kangen dia banget.
“Nggak apa-apa.” Aku tersenyum. “Yuk langsung cabut!” Aku menggandeng tangan Sakura dan tak sengaja bertemu tatap dengan Atha. Cowok itu menatapku dengan tatapan datarnya. Sepertinya dia juga masih merasa marah.
***
Selama perjalanan aku dan Atha diam. Dan sepertinya Sakura mengetahui bahwa ada yang aneh antara aku dan Atha karena sedari tadi dia menanyakan hubungan kami tapi kami berdua selalu mengalihkan topik pembicaraan.
Jangan salahkan aku soal ini, ini semua salah si Manusia Badak itu. Salahnya memarahiku dan mengataiku egois. Aku kan tidak suka. Apa-apaan dia.
"Eng... Kalian kenapa sih?"
Sakura membuka pembicaraan lagi. Sepertinya dia gerah melihat atmosfir yabg tercipta antara aku dan Atha.
"Kalian lagi berantem?"
"Enggak kok!" jawab kami bersamaan. Aku dan dia langsung sama-sama melirik. Tatapan kami sama-sama tajam. Seakan kami adalah musuh bebuyutan yang sialnya duduk satu mobil.
Sakura kembali terdiam. Sepertinya dia enggan untuk menanyakan lebih lanjut. Padahal dulu Sakura sering ikut campur urusanku. Bukannya aku nggak suka, aku malah suka banget sama Sakura yang suka ikut campur urusanku. Itu berarti dia peduli padaku. Tapi kali ini Sakura benar-benar berbeda.
***
Setelah mengantar Sakura ke rumah lamanya, aku dan Atha pamit ijin pulang. Sebenarnya sih aku tidak mau pulang bareng sama Atha. Aku kan lagi bete-betean sama dia. Mana mungkin aku tahan duduk sebelahan sama Manusia Badak itu?
Mana gayanya sok keren gitu, lagi. Nggak biasanya Atha jadi pendiam. Biasanya dia cerewet dan juga nggak tahu malu. Apa mungkin pendidikannya di Akademi Polisi membuat kepribadiannya berubah ya?
“Seminggu lagi aku balik.” Atha berkata dengan nada datar.
Aku meliriknya. Wajahnya sama sekali nggak berekspresi dan aku tahu dia juga marah sama sepertiku. Tapi aku lebih marah lagi. Apa-apaan sih dia ngatain aku egois?
Ngomong-ngomong kami sedang liburan akhir tahun. Jadi Atha bisa pulang dan juga bisa bertemu aku.
“Masih marah?” tanyanya kali ini dengan nada lembut.
Aku langsung memasang wajah bete terbaikku. Biarin aja. Biar dia tau rasa karena sudah mengataiku egois. Memangnya aku nggak punya hati?
“Iya deh, aku minta maaf. Tapi kamu tau kan kalau kamu salah. Aku marah supaya kamu tuh nggak bertindak bodoh. Apalagi sampai nipu Sakura.”
“Aku kan udah bilang, aku itu kangen Sakura dan dari dulu, setiap kali aku minta Sakura balik ke Indonesia, Sakura nggak pernah mau. Kalau sampai Sakura tau Fabi bebas begitu aja, dia pasti nggak mau pulang.”
Atha tersenyum. “Iya, aku ngerti. Tapi lebih baik kamu jujur sama Sakura dari pada nanti Sakura marah sama kamu.”
Baiklah. Semua memang salahku. Seharusnya aku jujur dan berujung pada Sakura yang tidak sudi kembali ke Indonesia gara-gara Fabi yang nyebelin itu. Seandainya Fabi bisa lenyap dari dunia ini, mungkin aku lebih senang. Bahkan akan sangat sangat bahagia.
“Besok, kamu bilang sama Sakura yang sebenarnya.”
“Tapi...”
Atha menoleh. “Nggak ada tapi-tapian, atau aku marah sama kamu.”
Uh dasar Manusia Badak. Nyebelin banget sih.
***
“Lepasin!” Aku menjerit tak keruan saat seseorang berjubah hitam mengikatku dengan tali. Sementara ekor mataku mendapati Sakura yang berlumuran darah di kursinya. Matanya tertutup rapat dan bajunya compang-camping.
Rasanya aku ingin menangis sekencang-kencangnya dan menonjoki semua orang yang ada di sana.
Meskipun mereka semua memakai topeng, aku tahu itu mereka. Aku tahu mereka adalah Prisil, Fabi, Rado, Amboi, dan Cessa. Aku tahu itu pasti mereka. Gelang milik Prisil dan Amboi yang kukenali dipakai di pergelangan tangan kedua orang di antara mereka.
Tidak salah lagi. Itu memang mereka.
“Lo apain Sakura!? lo apain!?”
“Salah lo. Kenapa dulu lo bikin Atha nggak kembali pada gue?” Aku mendengar suara Amboi tertawa licik. “Lo kira saat kami masuk penjara, kami nggak bisa keluar?”
“Sialan!” desisku kesal. “Gue nggak pernah bikin Atha nggak kembali sama lo! Dia emang udah nggak suka sama lo!”
“Lagi pula Sakura pantas mendapatkannya.” Kali ini terdengar suara Prisil yang tajam. “Dia memang pantas mati. Dia merebut segalanya yang ada di kehidupan gue. Dia pantas mati!!!”
“ENGGAK! LO YANG PANTAS MATI!!!” Aku berteriak kalap.
Tiba-tiba saja terdengar suara gesekan antara kursi dan lantai. Aku menoleh. Sakura sudah membuka matanya. Dia menatapku tepat di manik mata. Raut wajahnya tak seperti biasanya.
“Zia, tega-teganya lo bohongin gue. Tega-teganya lo bikin gue masuk ke perangkap yang sama. Lo benci gue, hmmm?”
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Aku menangis sekencang-kencangnya. Aku tidak pernah berniat membohonginya. Aku tidak pernah berniat untuk membuat Sakura diculik lagi. Tidak...
“Enggak. Gue nggak begitu. Gue nggak berniat buat lo masuk ke perangkap yang sama.”
“Lo jahat, Zi. Lo jahat. Lo jahat sama gue.” Sakura tersenyum sinis. “Lebih baik gue mati aja dari pada gue harus berteman dengan lo lagi.”
Entah dari mana, Sakura memegang erat pisau tajam di tangan kanannya. Dia mengangkat tinggi-tinggi pisau itu. Aku membelalakkan mataku dan menangis sejadi-jadinya.
“Jangan....” isakku. “Jangan, Ara. Ara jangan, plis... maafin gue...”
“Selamat tinggal, Zia...” Sakura mengarahkan pisaunya ke jantung dan aku mendapati bajunya yang putih lusuh mulai memunculkan noda merah.
Kedua mata Sakura terpejam. Darahnya mengalir terus dan aku merasa bahwa aku akan mati saat itu juga. Karena yang dapat kulakukan hanyalah menatap tubuh Sakura yang melemah di kursi dengan kedua mata membelalak lebar. Aku terkejut bukan main.
“SAKURAAAAAAAA....” Aku berteriak sejadi-jadinya dan menangis sampai dadaku sesak.
Tidak. Ini tidak boleh terjadi. Sakura tidak boleh mati. Sakura tidak boleh mati. SAKURA TIDAK BOLEH MATI.
“Zia?”
Aku membuka kedua mataku yang terpejam rapat. Peluh mengalir di keningku dan aku merasakan hawa dingin di sekitar tubuhku.
Tadi itu mimpi. Iya, kan?
Mataku mengerjap-ngerjap melihat Sakura menatapku bingung. Tanpa sadar, aku langsung merengkuhnya ke dalam pelukanku. Aku takut kehilangannya. Aku takut. Benar-benar takut.
“Hei, elo kenapa?” Sakura melepas rengkuhanku. Dia masih menatapku bingung. “Lo sakit ya? Wajah lo pucet banget.”
“Ra, jangan tinggalin gue ya. Plis, jangan mati.”
Sakura melongo. “Mati?” Ia langsung tertawa terbahak-bahak. “Gue mati? Kenapa gue mati?”
“Gue serius. Lo nggak boleh mati.”
Sakura langsung berhenti tertawa. Tatapannya sendu dan kedua bola mata coklatnya menatapku dengan aneh.
“Kenapa?” tanyanya.
Aku hanya menggelengkan kepalaku. “Pokoknya, apapun yang terjadi, lo nggak boleh mati. Lo nggak boleh mati. Titik!”
Dan akhirnya, aku tetap tak berani menceritakan perihal Fabi sudah bebas dari penjara.
***
Untuk sejenak, aku berusaha melupakan mimpi buruk itu. Hari ini aku harus kelihatan ceria karena hari ini kami akhirnya berkumpul lagi. Setelah sekian tahun lamanya.
Biasanya kami sih suka ngumpul, tapi pasti nggak lengkap. Tidak ada Sakura karena dia di Jepang, tidak ada Atha karena harus mengikuti sekolah di akademi kepolisian dan Badai selalu saja menolak untuk ngumpul. Dia selalu memiliki alasan. Tapi dua tiga kali, dia pernah datang di acara ngumpul bareng sih.
“Akhirnya, sekian tahun lamanya kita bisa kumpul lagi.” Ruth tersenyum lebar.
Meskipun kami sangat berisik, suasana tegang antara Badai dan Sakura sangat terasa. Badai sedari tadi memerhatikan Sakura sementara Sakura malah melengos ke arah lain. Aku jadi aneh sendiri.
"Jangan urusin urusan orang deh." Atha berbisik di telingaku. "Biarin aja mereka begitu."
Aku mendengus. Aku ikut campur kan karena aku peduli. Aku juga peduli terhadap perasaan Sakura.
"Kamu udah bilang soal Fabi sama Sakura?"
Aku tergeragap. Aduh! Kenapa sih Atha ingat saja soal itu?
"Kok diem? Kenapa?" tanyanya pelan agar tak seorangpun mendengar percakapan kami. "Kamu belum bilang ya?" Kedua matanya melotot dan nadanya mengeras.
Otomatis yang lain langsung menoleh ke arah kami. Uh! Sial banget deh.
"Ada apaan sih? Kok kalian bisik-bisik gitu!?" tanya Ruth penasaran.
"Udahlah. Orang pacaran sih beda. Ngomongnya bisik-bisik gitu kan sebenernya modusnya si Atha aja biar deket-deket Zia." Awan seperti biasa bersikap angkuh dan sok.
Atha melotot. "Modus! Modus! Elo tuh modus sama Zia."
"Gue? Kenapa? Nggak suka gue modusin Zia?"
Atha makin naik darah. "Kampret! Tuan Putri tuh milik gue. Selamanya milik gue."
Duh! Aku jadi terharu begini diperebutkan oleh dua cowok.
Sebenarnya gara-gara perkumpulan dulu kami memainkan Truth or Dare dan sialnya rahasia tentang perasaanku pada Awan terkuak begitu saja.
Semenjak itulah Awan jadi care sama aku. Hahahaha karma. Tapi tetap dong hatiku hanya untuk Atha bukan untuk Awan lagi.
"Awan kenapa?" tanya Sakura padaku.
Aku hanya nyengir saja untuk menjawabnya
***
Aku menegakkan tubuhku saat Atha mendekat dan memasangkan seatbeltku. Sesaat aku menahan nafas karena tindakannya itu. Jujur, aku masih deg-degan setiap Atha berada sedekat ini denganku.
Atha menegakkan badannya. Matanya menatap lurus ke depan dan tangannya mulai memasukkan gigi mobil. Tak seperti biasanya.
Dia tidak bicara apa-apa dan tidak berbuat apa-apa selain mengendarai mobil. Aku menatapnya terus dari samping dan dia pasti sadar sudah kuperhatikan sejak tadi. Tapi kenapa dia masih diam saja?
"Kamu kenapa?" tanyaku hati-hati.
"Kamu tau aku kenapa." Dia menjawabnya dengan ketus.
Oh tidak! Dia marah padaku. Apa salahku? Perasaan tadi dia masih baik-baik saja tuh. Masih ceria malah. Tapi kenapa tiba-tiba dia marah padaku? Memangnya apa salahku?
"Kamu marah? Kenapa?" tanyaku masih dengan nada bingung.
"Kamu tau alasannya."
Uh rasanya aku pingin gantung dia di pohon toge deh. Sikapnya tuh nyebelin banget, jawabannya juga nyebelin banget tapi sayangnya dia ngangenin banget.
"Aku nggak ngerti kenapa kamu marah sama aku."
"Aku nggak minta kamu ngerti, cuma kamu tau aja."
Tuh kan nyebelin banget. Kalau aku nggak sayang dia dan kalau aja mukanya Atha itu jelek banget kayak pantat panci, aku pasti langsung marah dan ngamuk-ngamuk. Abis dia songong banget sih.
Setelah itu kami sama-sama terdiam. Dia nggak mau kasih tau alasannya marah padaku dan aku juga malas bertanya lagi. Karena dia pasti nggak akan menjawabnya.
Dasar cowok! Bisanya bikin orang sebel aja.
Sampai di depan gerbang rumahku, Atha menghentikan mobilnya. Dia membiarkanku keluar sendiri dan dia tetap di dalam mobil. Tidak seperti biasanya.
Biasanya dia mengantarku sampai depan rumah. Menyapa mama dan ayahku jika mereka ada di rumah. Atau mengulur-ngulur waktu agar bisa lebih lama denganku.
Aku membanting pintu mobilnya dengan kesal dan setelah mengetahui pintu mobilnya tertutup, dia langsung pergi begitu saja.

Dasar Manusia Badak!!!

Lohaaaaa, saya kembali dengan sebuah cover absurd bikinan saya. Animenya dari google, nggak tau itu anime apa ._.v Tapi pas liat gambar ini kayaknya pas banget buat Moments #2: EGO, yang ceritanya agak-agak melow dan lebih ke percintaannya dari pada Moments pertama yang lebih action.
Masih nyoba nulis dengan sudut pandang pertama sebagai pemeran utama. Belom jago sih. Tapi coba dulu lah, siapa tau bagus (?)
Oke deh, selamat membaca nanti ya...
Cinta?
Siapa yang nggak tahu arti cinta? Semua orang juga tahu dong ya. Tapi tahu nggak sih tanda-tanda lo jatuh cinta?
Banyak orang yang nanya sama gue, "kalau kayak gini-gini... apa sih namanya?" tuh kan, gejala cinta aja masa nggak tahu sih? Nih, gue kasih tau gejala-gejala atau tanda-tanda orang yang lagi jatuh cinta.


1. Kepikiran Terus

Setiap kali mau makan, mau minum, mau belajar, mau nonton, mau tidur bahkan mau melamun aja, yang dipikirin pasti dia. Tiba-tiba nongol aja di pikiran. Padahal nggak niat buat mikirin dia. Itu namanya lo mulai suka sama dia. Mulai ada rasa-rasa gitu deh.
Tapi jangan lo anggap ini sebagai jatuh cinta, soalnya ini masih tanda-tanda awal. Lo harus memastikannya lagi.


2. Selalu Pingin Liat Dia

Rasanya bakalan bete banget kalau nggak liat sehari aja. Dia pergi sebentar aja, kita langsung nyariin keberadaannya. Pokoknya selalu pingin liat dia deh. Mata kita nggak bisa lepas dari dia. Bisa jadi, kalau nggak liat dia, tiba-tiba hari lo berubah jadi ngebetein banget.
Ini nih gejala-gejala orang jatuh cinta yang kadang nggak disadari juga. Udah gitu, kalau kepergok sama temen lagi ngeliatin dia, biasanya langsung nyangkal. "Enggak kok. Gue nggak liatin siapa-siapa. Suer deh." Padahal dari tadi lo ngeliatin dia.


3. Senyum-Senyum Sendiri


Gawatnya, jatuh cinta itu bisa bikin senyum-senyum sendiri kayak orang gila. Ini sering terjadi. Bahkan nonton film atau drama yang menampilkan pemeran utama lagi jatuh cinta aja kita suka senyum-senyum sendiri. Ya, kan!?
Misalnya, lo lagi melakukan pendekatan. SMS misalnya, atau kirim LINE, terus dia bales, rasanya seneng banget. Lo senyum-senyum sendiri deh kayak orgil. Trus lo bakalan mikir berat buat nyari topik supaya nggak cepet selesai obrolan sama dia. Padahal kalau SMS sama temen biasa, lo sih nggak perlu pake mikir, langsung asal ceplas-ceplos aja.
Ini nih gejala jatuh cinta yang bikin kehidupan lo jadi terasa menyenangkan. Apa pun akan terasa menyenangkan, asal lo deket sama si dia.


4. Cemburu


Lo bakalan cemburu banget kalau ngeliat dia deket sama orang lain. Lo bakalan bete berat saat dia dideketin orang lain. Malah kadang lo bakalan musuhin orang yang berusaha mengambil si dia dari lo. Padahal lo juga bukan siapa-siapanya si dia.
Ini gejala cinta yang negatif. Soalnya lo mulai merasa milikin dia, padahal lo bukan siapa-siapanya. Cemburu sih boleh, asal jangan berlebihan bahkan sampai ngerugiin orang lain aja yaaa...


5. Deg-deg'an dan Gugup


Deg-deg'an deh rasanya kalau deket sama si dia. Rasanya jantung berdetak lebih cepat dan nafas lo bakalan abis seketika kalau deket dia. Udah gitu, lo bakalan gugup atau grogi kalau lagi di deket dia. 
Bisa-bisa lo nggak ngomong dan cuma berusaha menetralisir perasaan lo saat ada dia. Ini nih yang gawat, dia bisa jadi ngerasa aneh sama lo dan lo jadi nggak punya kesempatan buat lebih dekat dengan dia. Sayang banget, kan!?


6. Apa pun Buat Dia


Lo bakalan rela melakukan apa pun buat dia. Misalnya, tanpa dia minta, lo kasih contekan PR buat dia. Sebagai bentuk perhatian kecil yang tak kasat mata. Itu sih biasanya.
Atau... lo bakalan rela ngabisin pulsa cuma buat menghubungi dia. Pokoknya hal-hal kecil sederhana yang ternyata nunjukin bahwa lo peduli banget sama dia dan nggak mau dia tersisihkan atau dapat nilai jelek.

7. Kelihatan Cantik di Matanya


Lama-kelamaan lo bakalan mikir kalau elo tuh jelek banget. Nggak bisa dibandingin sama Angelina Jolie atau Park Shin Hye (iyalah, bandingin jangan tinggi-tinggi juga sih ya -__-") Lo bakalan ngerubah penampilan sedemikian rupa supaya lo lebih keliatan cantik bahkan wangi di matanya. 
Lo yang nggak biasa luluran atau maskeran, tiba-tiba pingin luluran atau maskeran. Lo yang tadinya ogah bedakan, jadi pingin bedakan, meskipun cuma tipis. Meskipun penampilan udah oke, lo jadi sering ngeliatin kaca supaya yakin penampilan lo nggak jelek saat ketemu dia.
Kadang, lo bakalan bingung mau pakai baju apa. Semua baju elo anggap jelek karena nggak baru dan menurut lo nggak pas buat ketemu sama dia. Padahal baju-baju itu adalah baju kesukaan lo.
Yaaaah.... kadang jatuh cinta bikin ribet juga. Tapi yang terpenting adalah lo selalu ada buat dia.

8. Lagu Cinta


Selama lo jatuh cinta, lo pasti bakalan pingin dengerin lagu-lagu cinta. Lagu orang jatuh cinta, tepatnya. Lagu-lagu yang gambarin perasaan lo sama dia. Lagu yang gambarin kalau dia nggak peka, lagu yang gambarin kalau lo jatuh cinta gara-gara kesel, lagu jatuh cinta pada pandangan pertama, dan lain-lain.
Biasanya lo bakalan dapet sebuah lagu yang kalau didengerin, pasti keinget sama dia. Setiap kali muter dan dengerin lagu itu, lo selalu ngebayangin si dia.
Lo juga bakalan lebih sering nyanyiin lagu-lagu cinta. Pas lagi belajar, lagi nonton tv, lagi bengong bahkan lagi kumpul sama temen. Lo bakalan nyanyiin lagu itu. Namanya juga jatuh cinta, ya rada gila dikit nggak apa-apa kali ya.

9. Omongan Orang

Apa sih yang disebut cinta? Kalau lo udah jatuh cinta sama dia, semua omongan orang yang jelek tentang dia bakalan masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Kenapa begitu? Soalnya lo nggak peduli sama omongan orang lain yang belum tentu benar. Yang dia beginilah, dia begitulah... lo sih nggak peduli.
Meskipun lo berusaha percaya, lo sebenarnya nggak akan percaya dengan omongan orang sebelum lo lihat sendiri. Itu namanya cinta beneran. Kalau baru dengerin omongan orang tentang dia yang jelek-jelek, lo langsung ngibrit, namanya naksir doang tuh.
Jadi, perasaan lo itu disebut naksir atau jatuh cinta ya?

10. Belajar


Ini nih positifnya dari jatuh cinta. Lo bakalan belajar segiat apa pun buat nunjukin siapa diri lo sebenarnya. Belajar nyanyi, belajar main alat musik, belajar pencak silat, pokoknya belajar semua yang biasanya dia sukain. Lo bakalan jadi orang yang lebih baik lagi saat jatuh cinta dalam kondisi ini.
Lo pingin dia tau kalau lo bisa dibanggain dan menarik buat dia. Makanya lo bakalan belajar banyak hal ketika jatuh cinta dan berusaha mendapatkan si dia.Ini nih yang baru disebut jatuh cinta beneran, bukan naksir-naksiran.


Jatuh cinta itu simpel. Asal jangan jadi cinta segitiga aja sih, jadinya ruwet nanti. Hahaha. Segitu aja sih tanda-tanda orang yang lagi jatuh cinta menurut versi gue. Nggak tau deh versi kalian. Kalau kalian???


cr: www.vemale.com
10108602.blog.unikom.ac.id
anamsyaifulnews.blogspot.com
loveinglass.wordpress.com
www.dreamstime.com
www.iwantcovers.com
katakata.me
www.vemale.com
www.nyunyu.com
health.detik.com
Menunggu...
Menunggumu bukanlah hal mudah...
Menunggumu seperti hidup tanpa penopang...
Menunggumu itu... sakit...

Lalu kau datang seperti tombak...
Menusuk jantungku hingga ke bagian yang paling dalam...
Merobek setiap kesabaran...
Menghancurkan sebuah kepercayaan...

Tapi aku tetap di sini...
Tetap menanti meski tak tahu pasti...
Kapan kau kembali...
Dengan jati diri sendiri...
Sekian lama kita pacaran, sekian lama kita jalan, sekian lama kita kenal, baru kali ini aku melihatnya marah padaku. Aku tahu aku salah. Tapi apa dia tidak berlebihan? Apa jangan-jangan dia menyukai sahabatku sendiri? Atau... dia sudah bosan denganku?
Kuputuskan untuk pura-pura tak peduli. Tapi mengapa akhirnya jadi begini? Mengapa aku merasa dicampakkan? Mengapa rasa sesak di dadaku tak kunjung hilang? Dan mataku seperti tertusuk duri saat melihatnya bersama orang lain. Ini salahku... ya, ini salahku...

Lalu apa yang akan terjadi dengan hidupku? Apakah hidupku baik-baik saja tanpanya? Atau seseorang akan datang untuk mengisi hari-hariku? Ah... aku tidak tahu. Aku tidak tahu...
Huhuhu, akhirnya kita mencapai ending. Semoga ending-nya sesuai dengan keinginan ya, dan semoga di buku aslinya nanti ending-nya juga sesuai dengan harapan :) terimakasih yang udah mau baca sampai akhir, komentar selalu ditunggu loh, dont be a silent reader... Happy reading all...

Sebesar apapun usaha Tari untuk terus bertahan dari keterpurukan, takkan mampu mengubah kenyataan yang ada. Karena... kenyataan yang ada adalah Ari pergi. Jauh disana. Dan dia takkan menoleh ke arah lain lagi kecuali di depannya. Membuat Tari benar-benar putus asa menghadapi kenyataan bahwa Ari tak lagi berada disisinya.
“Jadi... gimana?”
“Gini aja, Dho. Kita ngomong baik-baik sama dia. Bilang kalo sebenernya Tari cintanya sama dia. Bukan Ata. Supaya masalah ini juga cepet selesai!” tanggap Oji dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celananya.
Mata Ridho langsung berbinar ketika mendengar kalimat Oji barusan, “ternyata! Elo pinter ya, Ji. Bijak banget!!!”
Lagi-lagi Oji harus menghela nafas jengkel. Ridho pikir apa dia sebego itu ya!?
“Nggak. Lo nggak bisa ngelakuin itu begitu aja!” tegas Angga yang duduk bersebrangan dengan Oji dan Ridho. “Gue baru dapet berita dari Vero... Ata emang tau kalo Tari cintanya sama Ari. Cuma Ata nggak mau ngalah!”
“Ck!” Oji langsung berdecak kesal mendengar nama saudara kembar Ari itu. Bikin ribet aja! “Dia nggak mau ngalah banget sih!” desahnya kesal.
“Namanya dibutain sama cinta. Kayak elo aja, Ji. Kalo mata lo udah dibutain sama makanan, gue ditinggalin!!!” Ridho melirik Oji sambil menyeringai geli.
Sementara Angga menahan senyum geli saat dilihatnya wajah Oji yang langsung cemberut. “Udah ah! Sekarang kita fokusin, gimana caranya bikin Ata nyerah sama kenyataan! Karena... cewek-cewek udah berbaik hati mau bantu kita nih,”
“Bantu apaan?” kontan Oji dan Ridho berseru bersamaan.
“Nemenin Tari kemana aja! Nyadarin Tari kalo Ari emang udah nyerahin segalanya ke Ata dan memercayai gue sebagai orang yang bisa melindungi Tari. Tapi... ngasih tau Tari juga, kalo Ari itu nggak akan pernah pergi dari kehidupan Tari. Karena Ari cinta Tari!”
***
"Ta... sadar dong! Elo disini cuma sebagai seorang perusak aja!"
Tubuh Ata terdorong menjauh, ketika kedua tangan Angga mulai menghakiminya. Ata hampir saja jatuh, namun ia akan melawan dan takkan membiarkan Angga membuatnya kalah.
"Itu hak gue! Dulu... elo juga sama kayak gue!" gertak Ata, naik darah. ia tak mampu menyembunyikan kilatan amarah itu dari kedua bola matanya yang hitam pekat.
"Dulu itu gue melakukan hal berbeda! Gue cuma mau bikin Ari menderita karena dia udah bikin Anggun pergi! Tapi dalam hal ini gue emang salah besar. Itu semua takdir! Dan gue nggak bisa mengingkarinya!"
Ata langsung bertindak. Ia melawan habis-habisan cowok yang berada di hadapannya itu dengan segala usaha. Bahkan tinju pun ia layangkan. Membuat wajah Angga mulai menimbulkan lebam biru. Ada darah diujung bibirnya.
Angga tak tinggal diam. Ia juga berusaha melawan setiap serangan yang dilayangkan Ata untuk dirinya.
“LO NGGAK USAH IKUT CAMPUR URUSAN GUE SAMA SODARA KEMBAR GUE!”
Dengan suara yang menggelegar dan diringi bentakan, Ata melayangkan satu tinju yang lebih kasar dari sebelumnya ke arah perut Angga. Membuat cowok itu tiba-tiba terhuyung dan tak dapat menyeimbangkan tubuhnya.
“LO BUTA!”
Angga membalasnya dengan bentakan yang tak kalah menggelegar dan semua orang yang berada dalam keadaan jarak jauh dengan tempat kejadian tersebut, pasti mendengarnya.
“INI ANTARA MATAHARI!”
“TAPI INI URUSAN HATI! LO BUTA!”
Kembali Ata melayangkan tinjunya. Geram. Sangat amat ingin ia hancurkan sosok dihadapannya ini dengan kedua tangannya sendiri.
Sepertinya Angga memilih menyerah, karena ia benar-benar tak sanggup menahan setiap serangan Ata dan tak dapat membalasnya dengan serangan yang sama kerasnya. Tubuh Angga terjatuh. Ia tertunduk lemas sambil mengelap ujung bibirnya yang berdarah.
Sementara Ata masih berdiri dengan luka lebam biru yang tak kalah banyak dengan Angga. Ia masih menetralkan nafasnya yang terengah-engah akibat serangan yang ia lakukan secara langsung dan tanpa berpikir dua kali. Ia benar-benar geram. Ia takkan pernah mau mengalah dalam hal ini. Sudah cukup ia mengalah hidup dengan ketidak bahagiaan, kali ini ia takkan membiarkannya kalah lagi!
“Gue udah kasih tau lo! Tari tersiksa dan seharusnya... elo sadar itu! Kalo lo emang cinta sama dia, lo lepas dia demi kebahagiaannya! Bukannya memisahkannya.”
“Dia sendiri yang ngabulin, Ga. Gue minta dan dia kasih. Karena... semuanya udah dia yakinin dalam hati. Semua senyum yang ada di bibir Tari, dia bilang bukan buat dia, tapi buat gue!”
Angga mendongak, menatap Ata tajam. “Tapi kenapa nggak lo yakinin kalo Tari senyum buat dia! Bukan buat elo! Gue... yakin banget kalo lo tau hal itu!”
***
Mata Tari menatap ke langit biru, lalu matanya beralih ke sampingnya. Menatap kedua temannya. Fio dan Vero yang sedari tadi memerhatikan Tari, jadi ikut gelisah juga. Apalagi mereka berdua belum mengetahui perkembangan usaha para cowok untuk mematahkan usaha Ata.
Tari tersenyum menatap kedua temannya. Sedangkan mereka berdua hanya membalasnya dengan kening yang berlipat rapat. tak mengerti maksud Tari.
“Kalian tau nggak? Dia pernah bilang... gue dan dia adalah benda dan bayangan. Manis banget kan!?” ucapnya membuat kedua temannya itu menjadi tertegun dengan kalimat tersebut. “Tapi... sayangnya dulu gue nggak nganggep kalimat itu manis. Malah gue benci sama kalimat itu!”
Kali ini suaranya berubah menjadi menyesal, wajahnya murung lagi. Matanya menatap ke langit biru, lalu air matanya menetes, mengaliri pipinya yang tirus dan pucat pasi.
“Tar... jangan gini terus dong!”
Tari menoleh, menatap Fio dengan air mata yang terus mengalir. “Gue emang bodoh!” tangannya memukul kepalanya pelan.
Tangan Vero merangkul Tari, “Tar... dia pasti balik kok! Gue yakin banget. Dia sayang elo, Tar.”
“Ada dia dan nggak ada dia, sama aja. Hati gue terluka...,”
Keduanya tertegun. Apalagi ketika mereka menatap jelas Tari. Cewek itu berusaha tegar, namun tak bisa. Cewek itu berusaha berdiri, namun selalu terjatuh. Cewek itu menangis, tapi tak kentara. Air matanya terus mengalir, matanya memerah, wajahnya tetap wajah yang tirus akibat kelelahan. Tak hanya fisik, tapi juga batinnya.
***
“Gue nyerah! Gue mau serahin dia balik!”
Ridho, Oji dan Angga menoleh. Mereka mendapati Ata sudah berdiri di ambang pintu kelas. Cowok itu terlihat kacau balau. Bahkan mungkin, kini ia terlihat begitu mirip dengan Ari.
“Lo yakin?” tanya Ridho dengan alis yang terangkat ketika Ata sudah duduk dihadapannya. “Gue takut elo malah kalap lagi! Lupa lawan lo itu siapa.”
Ata mengangguk tegas, “gue yakin banget! Kita hubungin Ari sekarang!” tegasnya dengan tatapan yang kini sudah terliaht ketulusannya.
“Ponselnya mati. Nggak pernah nyala. Gue udah berusaha berkali-kali ngubungin dia. Tapi nggak ada tanggapan!” kali ini Oji menatap layar ponselnya dengan tatapan kecewa.
“Ke rumahnya?”
“Nggak. Nggak. Dia selalu nggak ada di rumah. Home schooling aja nggak jelas jadwalnya. Kita nggak bisa langsung mutusin ke sana. Masalahnya, tadi malem gue udah kesana, tapi dia emang nggak ada!” Angga langsung mejelaskan bahwa dirinya sudah berulang kali menghubungi Ari tapi tetap nggak bisa.
“Jadi... kemana?”
Ketiganya terdiam. Sama-sama memikirkan cara untuk menghubungi Ari. Hening. Tak ada satupun yang menemukan jawaban. Sementara Ata masih menatap ketiganya meminta jawaban.
Di dalam keheningan, suara ponsel Oji dan Ridho berdering kencang. Membuat semuanya langsung menoleh ke arah suara tersebut. Oji dan Ridho langsung saling tatap ketika muncul nama seseorang di layar ponsel mereka. Lalu keduanya mengangguk, seakan setuju untuk membukanya bersama.
Dan ketika ponsel tersebut membuka pesannya. Oji membelalakkan maksimal matanya. Sementara Ridho langsung menatap Angga dan Ata yang sedang menatap mereka dengan tatapan bertanya.
Lalu mata Ridho mengarah pada Oji, Oji mengangguk mengiyakan. Melalui isyarat itu Ridho mengerti.
“Kita terlambat!” ucapnya seperti tercekat. Suaranya sangat sulit untuk di keluarkan ketika ia membuka pesan singkat yang menghampiri ponselnya tadi.
“Maksudnya apa?” Angga jadi heran.
“Ari udah mutusin untuk benar-benar pergi dari kehidupan Tari...,” kali ini Oji yang menjawabnya.
“Jadi...?”
“Ari bilang dia mau pergi ke London. Soalnya, kalo di sini, dia nggak bisa menguasai dirinya untuk nggak ketemu Tari meskipun hanya dalam jarak jauh dan tak terlihat oleh Tari.” Ridho menatap Ata seperti ingin melahapnya karena sudah membuat keadaan tambah buruk.
“Kita harus cegah! Tadi dia ngirim SMS kan? Berarti ponselnya aktif!” Ata langsung berniat untuk mengambil ponselnya dan menghubungi Ari.
Tangan Oji langsung mencekal tangan Ata, “bukan dia yang SMS. Tapi Raka, temen baiknya. Dia bilang Ari mau pergi ke London!”
Semua langsung menahan nafas. Tak tahu harus berbuat apa. Mereka sama sekali tak mengetahui kapan kepergian sosok itu dari Indonesia.
***
Di bawah pohon disana, di sore yang mengindahankan, Tar berdiri menghadap langit. Dari jarak jauh, Vero dan Fio memerhatikan Tari dengan seksama. Mata cewek itu bekaca-kaca, menandakan cewek itu akan menangis sebentar lagi.
Matahari mulai terbenam dan Tari mulai memejamkan matanya perlahan. Semburat jingganya mengingatkannya pada Ari. pada saat Ari menjadi Ata dan mereka berdua melihat matahari terbenam di atas gedung. Menikmatinya besama. Tapi kini tak lagi.
Terdengar suara derap langkah seseorang yang mulai mendekati Tari. Sebentuk senyum manis langsung terlihat di wajah Tari. Cewek itu mengharapkan apa yang ada di imajinasinya menjadi satu kenyataan. Ia langsung membuka matanya, lalu menoleh ke arah kanan, ke arah suara tersebut.
Harapan itu langsung sirnah ketika ia mengetahui siapa yang datang. Senyumnya langsung lenyap ketika menyadari itu hanyalah imajinasi dan bayang-bayang sementara. Karena kenyataannya buka itu. Angga menghampirinya dengan seulas senyum yang ia berikan untuk Tari, cewek itu tersenyum namun tak seindah yang tadi dan sedikit di paksakan.
“Udah mulai malam...,” ucapnya pelan sambil melihat ke arah langit yang mulai berubah warna dan memunculkan kegelapan.
“Gue udah tau, Ga...,” Tari menunduk lemah.
Angga menoleh, “tau apa?” alisnya terangkat sebelah.
“Dia... udah pergi. Dia mutusin untuk jauh-jauh dari gue. Gue sadar, Ga, gue emang...,”
“Tar... maksudnya Ari tuh gini...”
“Jangan. Jangan sebut namanya. Nama itu malah bikin gue mikir kalo gue dan dia itu terikat dan nggak akan bisa lepas lagi. Nanti gue berharap lagi, Ga. Jadi... tolong jangan sebut namanya. Nama itu malah bikin gue seakan berada di dunia mimpi lagi.”
Terdengar helaan nafas panjang Tari. Lalu cewek itu menatap Angga, tersenyum. Senyum pahit. Matanya berkaca-kaca lagi. Wajahnya masih sama seperti yang kemarin-kemarin. Pucat. Tirus dan seakan tak bertenaga dan tak berdaya.
Angga mengerti, bahkan sangat mengerti dengan perasaan Tari. Tapi Tari salah dalam mengkonstartikan apa yang ada dan yang terjadi. Apa yang di pahaminya sebenarnya tak sama dengan apa yang seharusnya ia pahami.
“Tar...,” panggil Angga pelan.
“Senjakala udah nggak ada lagi, Ga. Dia udah pergi. Keberadaannya tak mampu gue tembus hanya dengan mata telanjang. Hanya dengan kedua bola mata gue. Dia... memilih untuk pergi!” ucapnya. Suaranya bergetar hebat, seakan kalimat itu mampu menusuk jantungnya. Mampu mengkoyak setiap perasaan yang sudah tertata rapi di dalam hatinya.
Tertegun. Hanya itu yang dapat Angga lakukan. Cewek itu langsung menyandarkan kepalanya di bahu Angga. Dan Angga tak melarangnya. Ia membiarkan cewek ini untuk mencari penyangga, agar cewek ini tak akan terjatuh meskipun cewek ini sudah berulang kali jatuh dan terluka, bahkan hampir hancur karena kerapuhan.
Air menetes dari kedua bola mata Tari, cewek itu menangis. Terisak hebat, matanya mulai memerah. Kedua tangannya menutupi wajahnya. Sementara tangan Angga memegangi kepala Tari. Membuat Tari benar-benar di dalam pelukan Angga.
“Gue ikhlas, Ga. Biarin dia pergi. Biarin dia memilih jalannya. Gue mau dia cari seseorang yang pasti lebih baik dari gue...,” ucapnya sambil terisak. “Karena dia... sebenarnya baik, Ga. Dia punya sisi kebaikan yang tak kasat mata. Dia baik saat kita melihatnya lewat mata hati kita, bukan kedua bola mata kita.”
***
Lebih memilih mana? Bisa melihatnya dengan orang lain dengan senyuman atau melihatnya bersama kita namun dengan kesedihan. Mungkin Ari akan memilih untuk membiarkannya bersama orang lain yang pastinya akan membuat hidup orang itu bahagia dengan ceria. Tapi tanpa Ari sadari itu malah mengacaukan kehidupan Tari.
“Maafin gue, Tar. Tapi gue nggak bisa...,”
Mata Ari menerawang. Tangannya memegangi koper besar yang sudah terisi semua baju. Di tangan satunya lagi, Ari memegangi tiket pesawat. Tubuhnya berdiri tegak menghadap jendela kamarnya. Semalaman ia tak dapat menutup matanya, setelah melihat Tari tersenyum sendiri di teras rumahnya.
Satu hal itu membuat Ari menjadi berfikir kalau Tari memang sudah dapat dilepasnya. Sudah dapat berbahagia tanpa kehadirannya. Lagi pula, sejak kapan Tari bahagia bila bersamanya? pikirnya sambil tersenyum pahit.
Namun pada saat itu, Ari tak menyadari, tangisan hebat mengiringi kepergiannya.
Kini ia hempaskan tubuhnya di kasur. Tangannya melepas pegangan koper, tapi tiketnya masih berada di genggaman tangannya. Ia menatap ke langit-langit. Ayahnya sudah menyetujui keputusan Ari, bahkan ayahnya sangat-sangat mendukung. Karena ayahnya akan menyekolahkannya disana, dan setelah lulus kuliah, Ari yang berhak memegang kendali di perusahaan.
Mamanya juga sudah menyetujui, hanya saja agak sedikit bimbang saat Ari mengutarakan keputusannya.
“Apa kamu yakin?” tanyanya waktu itu. Wajahnya memunculkan tanda bahwa ia serius.
Ari mengangguk, “lagi pula Ari kan disekolahin sama ayah disana...,”
Tangan mama Ari menepuk pundak Ari pelan, “mama tau. Bukan itu masalahnya. Ada masalah lain kan? ayo... cerita sama mama...,”
Ari tersenyum kaku, hatinya mengiyakan pendapat mamanya itu. Namun, yang keluar dari mulutnya berbeda. “Nggak, Ma...,” Ari menggeleng. “Ngak ada masalah lain,” ucapnya pelan. “Ini keputusan Ari. Ari mutusin sekolah disana,”
Mamanya hanya bisa pasrah dengan keputusan Ari tersebut. Ata sedang tidak ada di rumah, jadi Ata tak dapat mencegah kepergian Ari ini. Apalagi, setelah itu Ari benar-benar menghilang. Karena hari pertemuannya dengan Mamanya adalah hari dimana besoknya Ari akan benar-benar pergi.
Ujian baru selesai beberapa hari yang lalu. Ari sempat bertemu dengan teman-temannya, namun tak berbicara banyak. Terlebih lagi, dengan Ata, Oji dan Ridho. Ari berusaha sebisa mungkin tak bertemu tatap dengan mereka dan usahanya itu berhasil. Setiap kali ketiga orang itu mendekatinya, Ari akan langsung mencari jarak atau mengarang alasan dan masuk ke dalam kantor guru dengan tiba-tiba.
Angga juga sudah berusaha menghubunginya dengan berbagai cara, namun karena kesibukannya di Ujian, ia tak terlalu fokus untuk menghakimi Ari dengan berbagai macam pertanyaan dan ia tak mampu mengatakan apa-apa untuk mencegah kepergiannya.
***
Tangannya bergetar saat mendapat pemberitahuan dari Ridho bahwa Ari berangkat hari ini. Berita itu mengguncangnya, membuatnya kehilangan kesadaran. Membuatnya seolah tak mampu bernafas lagi.
Kenyataan itu membuatnya memikirkan satu hal, bagaimana jika ia tak dapat bertemu dengan Ari lagi? Bagaimana jika dia takkan pernah lagi melihat “matahari”-nya tersenyum seperti dulu? Bagaimana jika “matahari”-nya itu pergi bersama seseorang yang mampu mencabik-cabik hati Tari?
Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, mengusir setiap kecurigaan yang ada di benaknya. Lalu matanya menatap ke langit yang masih cerah akibat sang mentari masih bersemangat untuk menerangi bumi.
“Tar...” Tari mendengar namanya di panggil. Kepalanya menoleh ke belakang dan mendapati keenam orang itu hendak menghampirinya. Yang memanggilnya sudah pasti Angga. Suaranya begitu tegas namun mampu memberikan sejuta kenyamanan di hati Tari.
“Ari udah berangkat,” katanya setelah berdiri di damping Tari.
“Maafin gue, Tar. Gue tau selama ini gue salah, gue...,”
“Nggak apa-apa,” Tari langsung memotong perkataan Ata yang terdengar merasa sangat bersalah itu. “Gue ikhlas...,” ucapnya sambil memaksakkan seulas senyum. “Gue tau, dia emang lebih baik pergi dari kehidupan gue. Karena kalo dia ada di samping gue, gue malah nyakitin dia.”
“Tar, Ari pergi bukan karena...”
“Nggak usah mengelak dengan kenyataan yang udah ada, Ta. Gue nggak apa-apa kok. Gue ngerti, gimana rasanya mengejar lama, tapi dicampakkan begitu aja.”
Semua terdiam. Ikut sedih dengan keadaan Tari yang semakin lama semakin hancur.
***
Hari mulai sore. Namun, kaki Tari terasa berat untuk meninggalkan tempat ini. Tempat dimana jika kita melihat matahari “pulang” sungguh terasa indah. Ia kesini di antar Ridho tadi. Ridho bilang kalau ini adalah tempat kesukaan Ari dulu. Tempat dimana Ari memikirkan segalanya. Tentang masa lalunya dan di tempat ini lah Ari melihat keindahan alam yang nyata.
Nggak ada yang berani menunggunya disini. Semuanya sudah pulang seja tadi karena jelas-jelas Tari “mengusir” mereka dengan tatapan memohon dengan sangat amat bahwa dia memang sedang ingin sendiri. Urusan pulang, ia bisa naik taksi. Atau ia bisa menelpon salah satu diantara keempat cowok itu.
Tari tersenyum, senyum pedih.
“Kenapa sedih?”
Suara itu membuatnya menoleh, dan apa yang dilihatnya sama sekali seperti yang ada did alam bayangannya. Ari! Cowok itu berdiri tegak dibelakangnya sambil menyunggingkan seulas senyum yang manis.
Sebentar! Mungkin penglihatannya salah atau ia berimajinasi lagi!? Atau mungkin saja itu Ata bukan Ari! mereka kan mirip dan Tari tak bisa membedakkannya lewat cahaya yang mulai meredup.
“Kenapa diem aja?” kali ini cowok itu duduk disebelah Tari. Tangannya mengacak-acak rambut Tari. “Lo itu bisu atau gimana? Hmm?”
Tari tersentak. Matanya melebar ketika menyadari bahwa sosok dihadapannya ini benar-benar Ari bukan saudara kembarnya! Ia menggeleng kuat, menyadarkan penglihatannya yang mungkin agak salah.
“Kenapa?” kedua alis cowok itu terangkat.
Air mata Tari mengalir, matanya menatap cowok di sampingnya itu. lalu ia tersenyum... namun  sambil menangis!?
“Lucu kan gue!? Atau gue emang udah bego? Tapi lebih tepatnya sekarang gue udah gila!” suaranya seperti terluka dan tersakiti. “Sekarang gue malah bayangin dia di samping gue! Nggak jadi ke London, lalu duduk diamping gue sambil tersenyum. Trus... dia ngacak-ngacak rambut gue sambil ngomong nggak jelas!”
Kepalanya ia geleng-gelengkan. Kedua tangannya memegangi kepalanya dengan erat. Berusaha mengenyahkan imajinasi yang ada di sampingnya itu. Lalu matanya beralih lagi ke arah samping, tapi imajinasi itu tak kunjung hilang dari hadapannya.
“Tuh kan, gue udah gila! Dia masih aja ada disini,” cewek itu terisak hebat. Air matanya masih mengalir sambil memandangi wajah orang yang ada disampingnya. Wajah yang menimbulkan ekspresi bingung.
Tangan Ari langsung menghentikan tindakan Tari yang memukuli kepalanya sendiri. Lalu ia memaksakkan wajah cewek itu mengarah kepadanya. Kedua bola mata cokelatnya kini masih berkabut, sebagian air matanya telah menetes jatuh dipipinya. Dengan ibu jarinya, Ari menghapus air bening itu. “Ini gue, Tar!”
“Gue... minta maaf. Karena gue nggak bisa nepatin janji gue untuk nggak ngeliat elo. Karena, setiap kali gue jauh dan nggak bisa ngeliat elo, hati gue hampa, Tar.”
Lalu saat itu juga Tari tersadar, ini kenyataan! Sosok dihadapanya benar-benar riil! Kontan tangisnya semakin kencang. Lalu kedua tangannya memukuli tubuh sosok dihadapannya.
“Kenapa kalo lo bilang gitu!?” desisnya. “Kenapa elo bilang gitu, tapi elo mau pergi jauh dari gue!” Ia mulai histeris dan tak dapat terkendali. “Kenapa?”
Kenapa? Pertanyaan itu membuat kedua alis Ari terangkat. Ia juga tak mengerti kenapa, yang ia tahu hanyalah, cewek di hadapannya ini terlihat ceria saat menerima segalanya yang berhubungan dengan saudara kembarnya.
“Karena lo lebih bahagia sama Ata...,”
Kedua alis Tari terangkat, “Ata? Bahagia sama Ata?” ulangnya tak mengerti.
“Dari cara lo mandang dia, dari cara lo nerima hadiah dia, dari cara lo tersenyum, dari cara lo...,”
Ari memiringkan kepalanya, menatap Tari yang tak juga memberikan reaksi. Ia melihat seulas senyum terukir indah di wajah cewek itu. terpaksa ia memberhentikan kata-katanya sendiri.
Cewek itu terlihat tersenyum, “jadi lo kira gue suka Ata?”
Tak ada jawaban. Ari terdiam, masih menatap cewek itu dengan bingung.
“Boleh gue jujur?”
“Mungkin enggak,” ucapnya. “Karena kalo lo jujur, gue... gue...,”
“Tapi... gue mau jujur,” ucap Tari menahan senyum.
Ari terdiam. Cukup lama. Namun cowok itu langsung mengangguk, meskipun terlihat ragu.
Setelah menarik nafas panjang, Tari langsung mengatakannya. “Waktu gue nerima hadiah dia, gue senyum. Gue bahkan sempet ngelamun sambil senyum-senyum sendiri. Lo tau nggak kenapa?” Ari menggeleng. “Karena... gue inget, kalo dulu lo pernah melakukan hal yang sama. Gue inget gimana perasaan gue jumpalitan pas elo masang kalung di leher gue. Kalung ini...,” Tari menunjukkan kalung yang sedang dipakainya itu.
“Gue nggak tau kenapa lo bilang senyum gue beda saat liat dia. Tapi... jujur, saat gue liat Ata, yang ada di pikiran gue, justru elo. Gue malah menganggap bahwa... orang yang dihadapan gue saat itu adalah elo!”
Sekali lagi, Ari tertegun mendengar penuturan cewek ini. Ia diam dan tak dapat berkomentar apa-apa. Dia... benar-benar merasa... mungkin... senang!
“Secarik kertas yang ada di hadapan gue waktu itu juga ngebuat gue mikir sendiri. Tapi bukan mikir kalimat itu mampu menyentuh perasaan gue. Tapi... kalimat itu mengingatkan gue saat elo bilang bahwa kita itu adalah benda dan bayangan. Jadi... gue nggak bisa nahan senyum saat inget penuturan aneh lo yang... eng... gue suka.”
Ari menatap Tari, cewek itu mungkin benar. Apa yang ada di dalam pikiran Tari takkan pernah diketahuinya. Dan ia tak tahu apakah Tari bohong atau tidak padanya, yang jelas ia merasa... sangat senang! Kedua bola mata Tari memberikan senyum, membuat Ari mengetahui bahwa cewek itu tidak bohong. Cewek itu mengutarakan isi hatinya.
Ari tersenyum, lalu kedua tangannya merengkuh Tari kedalam pelukan hangatnya. “Gue sayang sama lo, Tar.” Mata Ari terpejam dengan senyum diwajahnya.
Kedua tangan Tari melingkat di leher Ari, tersenyum. “Gue juga...,” ucapnya senang.
Wajah Ari mulai mendekat dengan wajah Tari. Mata Tari langsung terpejam rapat. Tangan Ari mengangkat dagu Tari mendekat. Lalu Tari merasakan bibirnya di sentuh oleh bibir Ari. Rasa hangat langsung Tari rasakan di sekujur tubuhnya dan Tari yakin wajahnya sudah merah merona.
Matahari terbenam. Memunculkan warna-warna indah dilangit. Melukiskan sejuat perasaan yang berada di dalam kedua orang yang tengah duduk di saung itu. Tangan Ari merangkul Tari, sementara tangan Tari melingkar di pinggang Ari. Keduanya menatap ke arah yang sama. Ke arah matahari terbenam. Ini lah satu keindahan alam yang menyatukan keduanya.
***
“Gue rasa... usaha kita berhasil untuk menghasut Ari.”
“Kita nggak menghasut Ari, tapi kita bohongin Ari. Kita kan bilang kalo Tari sekarang mau coba bunuh diri...,” ralat Vero merubah kata-kata Angga.
“Ide siapa sih?” Ridho melirik ke semua orang yang ada di sekelilingnya. “Gila banget! Si Ari sampe pucet gitu pas tau,” ucapnya sambil tersenyum geli. “Tapi... tadi gue ngira si Tari juga bakal bunuh diri. Soalnya dia keliatan putus asa banget!”
Oji nyengir, “gue sama cewek gue dong!” ucapnya bangga. Tangan kanannya merangkul pundak Fio.
Cewek itu langsung melotot tajam, “apa? Cewek lo? Ngarep banget lo!” di pukulnya kepala Oji pelan dengan buku yang di pegangnya.
“Ya ampun, cintaku! Jahat banget sih!” Oji langsung manyun. Tangannya yang bebas mengelus-elus kepalanya yang sebenarnya nggak sakit. “Nah, Dho. Gue kan udah sama Fio nih. Si Bos juga udah dapet mataharinya. Lo mau sama siapa? Lo doang yang jomblo lho!” kepala Oji dijitak lagi sama Fio, tapi Oji nggak peduli.
“Si Angga sama si Ata juga jomblo!” ralat Ridho kesal.
“Oh tidak bisa! Angga sama Vero aja. Jadi... elo sisa aja yak!” ucapnya dengan seringai geli. “Elo sama... Ata!”

“APA???” seru kedua orang itu dengan mata yang terbelalak lebar.
Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Ao Haru Ride

Ao Haru Ride

Daftar Blog Saya

Advertisement

Facebook

Instagram