Jingga Untuk Matahari 14 (FanFiction)

0 Comments
Ari terpekur dalam sebuah kesalahan. Ia menunduk dalam-dalam. Disampingnya, Tari tercengang. Mulutnya yang tak menutup rapat, kontan ternganga lebar. Bisa ia rasakan sakit itu. Sakit yang selama ini Angga pendam. Hampir dua tahun.
“So… ri,” lirih Ari dengan suara yang tercekat ditenggorokan.
Angga menatap Ari. Kali ini bukan dengan tatapan amarah, benci dan juga dendam. Namun, dengan satu rasa kecewa yang teramat menyesakkan dada.
“Gue… nggak tau. Gue salah! Maafin gue,” kali ini Ari meneteskan air matanya hingga jatuh di tanah. Kepalanya masih menunduk. Matanya menatap tanah yang sebagiannya ditumbuhi rerumputan hijau.
Sudahlah. Semua ini sudah berakhir. Tak perlu lagi disesalinya. Karena ia, masih bisa melihatnya. Meskipun hanya dalam sebuah angan yang tak nyata.
“Gue… pergi sekarang!” Angga menegakkan tubuhnya. Lalu berbalik badan, pergi menghilang. Pergi menjauh dari satu kenyataan bahwa dirinya tak lagi harus menyimpan satu cerita itu sendiri.
Tak percaya. Mata Tari masih menatapnya dengan tatapan tak percaya.
“Gue… nggak tau, Tar.”
Tari melihat ada nada rasa bersalah pada suara Ari tadi. “Lo kemana? Sampe elo nggak tau itu semua?”
Dan perlahan, Ari ceritakan bahwa dirinya di rawat di rumah sakit sebelum akhirnya ia sembuh dan melaksanakan ujian. Ia sempat ke makam cewek yang telah menolongnya itu. Namun, yang tak ia sadari adalah cewek itu adalah cewek yang memberikan segalanya untuk Ari, cewek yang pernah Ari benatk-bentak, cewek yang memberikan seluruh hidupnya untuk Ari. bahkan, ia sama sekali tak mengetahui bahwa cewek yang bernama Anggun itu adalah adik kandung satu-satunya, Angga.
Teman-temannya tak ada yang mengetahui sosok cewek itu karena cewek itu pindahan dari sekolah lain. Belum lama sekolah disana. Dan… teman-teman Ari sama sekali tak mengenal Angga, lantaran mereka sama sekali tak sekelas dengan cowok itu.
Ari sudah bersusah payah untuk mencari setiap keterangan dan detail cewek itu. Namun, yang ia dapatkan adalah satu kelelahan. Kosong. Tak dapat ia temukan secuilpun informasi menyangkut cewek itu. Yang ia tahu adalah cewek itu bernama Anggun. Jelas, dia melihatnya di batu nisan yang terbuat dari keramik mahal itu.
“Dia… pasti ngerti kalo dijelasin kayak gini,” ucap Tari pelan dan hati-hati.
“Tapi… gue nggak sanggup, Tar. Gue udah bunuh adik kandungnya sendiri,” ucapnya menutup wajahnya dengan kedua tangannya. “Pantes kalo dia marah sama gue. Gue emang salah,”
Dengan kedua tangannya, ia rengkuh cowok ini dari belakang. Ia tempelkan dagunya di pundak cowok ini. Lalu ia menatap keruas jalan dengan tatapan nanar.
“Kakak… nggak salah. Lagipula, Anggun udah pesen sama Angga untuk nggak nyakitin lo, Kak. Dan… itu tandanya, Anggun pasti bahagia kalo lo juga bahagia,” ucap Tari lembut di telinga Ari.
Seketika Ari menengadah. Lalu ia menoleh ke belakang dan terkejut saat wajahnya dengan wajah Tari begitu dekat. Dekat. Sangat dekat sehingga jarak yang tersisa bisa terhitung oleh suatu ukuran. Terlalu dekat, sehingga Tari bisa merasakan hangatnya hembusan nafas yang dihembuskan oleh cowok yang ada di hadapnnya ini.
Mata mereka saling menatap. Terus tanpa kedipan. Keduanya terdiam cukup lama. Yang terdengar hanyalah desiran angin yang mulai membuat tubuh mereka kedinginan diantara pepohonan yang rimbun dan besar-besar disekitarnya.
Diam. Sunyi. Hening. Hingga mereka tak menyadari, bahwa mereka telah terdiam lama dalam satu keterpakuan yang membuat mereka lupa diri. Membuat mereka seakan berada disebuah dunia yang tak nyata namun menyenangkan. Membuat hati mereka hangat dalam satu sentuhan.
Tangan Ari memegang bagian belakang kepala Tari, sementara Tari mengikuti gerakannya. Pelan. Lalu matanya terpejam dalam sebuah imajinasi. Ari mengecup keningnya. Lama. Hingga cewek yang diciumnya itu memunculkan rona merah. Hingga Tari merasa rasa bersalah yang besar dalam hati Ari untuk seseorang yang tlah ia sakiti hampir dua tahun yang lalu.
“Terima kasih… untuk semua,” bisiknya pelan dan lembut ditelinga kanan Tari.
***
BRAKKK… seketika barang-barang yang dibawa gadis itu tertumpah semua. Mengeluarkan isinya yang terdiri dari baju-baju mahal. Gadis itu hendak marah-marah dengan cowok yang berani-beraninya menabraknya tanpa permisi itu. Namun, gadis itu mengurungkan niatnya saat ia menengadah, menatap cowok itu.
“Elo!?” pekiknya tak percaya. Ditatapnya cowok itu dengan tatapan tanya.
Namun, sesaat cewek itu menyadari bahwa sosok dihadapannya itu takkan mengenalnya lewat tatapan mata. “Sori,” ucap cowok itu seraya mengulurkan tangannya.
“Nggak pa-pa,” jawabnya dengan kening berkerut.
Sesaat, cowok itu hendak pergi meninggalkan cewek yang membawa belajaannya itu. Lalu dengan sigap, cewek itu kembali menarik lengan si cowok dengan cepat. Tak ingin cowok itu pergi begitu saja.
“Ada apa?” cowok itu terlihat sangat pucat dan wajahnya terlihat letih sekali.
“Elo Angga kan!?” terka cewek itu. Sebenarnya ia sudah tahu, namun ia hanya ingin memastikan saja. “Gue Vero,”
“Vero!?” pekiknya tak menyangka. “Elo The Scissors itu, kan!? tukang gunting-gunting itu?”
Vero mengangguk ragu, “elo kenapa?”
Tiba-tiba raut wajah Angga  menegang, di dekatinya cewek itu hingga Vero tanpa sadar memundurkan langkahnya dengan cepat. Angga mendekatkan wajahnya dengan wajah Vero, dan seketika itu pula wajah Vero ikut menengang.
“Elo ngapain Gita?” desisya dengan tatapan amarah.
“Gi… Gita mana ya?” suara Vero jadi terputus-putus.
“Gita anak kelas sepuluh!?” ucapnya sengit. “Jangan pura-pura bego deh!”
Vero menggelengkan kepalanya kuat-kuat, “gue nggak ngapa-ngapain dia… bahkan tau dia yang mana aja enggak.”
Kedua mata Angga menyorotkan tanda tak percaya sepenuhnya dengan ucapan pentolan The Scissors itu. Lalu Vero mengajaknya untuk berbicara pelan-pelan. Agar tak terjadi kesalah pahaman lagi.
“Sebelum gue cerita, gue mau tanya sama elo. Penting! Kalo lo nggak jawab, gue juga nggak akan cerita apa yang udah gue lakuin sama Gita.” Vero menatap Angga meminta kepastian. “Apa salah Ari!?”
Angga terdiam.                                           
***
“Hai, Tar,”
Tari menoleh ketika mendengar sapaan itu. di belakangnya sudah berdiri Ata dengan seulas senyum manisnya.
“Hai, Kak,” balasnya ragu.
Cowok itu langsung mendekati Tari yang sedang memerhatikan teman-temannya yang bermain bola basket.
“Kok nggak main?” tanyanya dengan alis yang terangkat satu.
Tari menggeleng, “nanti dapet giliran kok.”
Ata mengangguk-angguk, “Oh ya... katanya lo nggak bisa main basket. Basket lo parah banget kan!?”
Mata Tari melebar, “kok Kakak tau sih kalo gue nggak bisa main basket?” tanyanya takjub.
“Gue gitu lho... pasti tau lah tentang elo,” Ata memunculkan seulas senyum tipisnya.
“Oh ya... kok elo nggak masuk, Kak? Lo kan nggak lagi ada pelajaran olah raga,” Tari jadi bingung dengan kedatangan Ata.
Cowok itu tersenyum tipis lagi, “lagi males belajar. Mendingan gue ngeliatin elo main basket. Gue juga mau tau, seberapa parahnya elo main basket.”
“Ngeledek nih?” Tari jadi tersinggung.
Ata langsung tersenyum geli, diacak-acaknya rambut Tari yang terikat dengan satu pita oranye. “Elo nggak pernah bisa ya , jauh-jauh dari yang namanya warna oranye?”
“Kan gue bangga punya nama Jingga Matahari... itu berarti gue adalah satu pusat tata surya yang sangattt indahhh...” Tari langsung senyum-senyum.
Ata tersenyum geli lagi, “berarti elo juga bangga dong, punya nama yang kebalikannya nama gue!?”
Kali ini Tari langsung terdiam. Warna wajahnya memerah. Kata-kata itu membuatnya tertegun dan sesaat menyadari bahwa dirinya adalah satu cewek yang menyandang nama kebalikan cowok disampingnya ini. Bukan saudara kembarnya. Apakah itu takdir!?
***
Fio mengeluh berat saat mendapati dirinya masih saja digandeng sosok cowok yang punya tingakt kesarapan melebihi orang gila.
Dari bunyi bel istirahat sampai mau detik-detik bel masuk kelas, cowok yang menggandengnya itu tak jua melepaskan pegangan tangannya dari tangan Fio.
“Kak... elo bisa nggak lepasin gue!?”
“Enggak,” Oji menjawabnya dengan nada santainya. “Kalo gue lepas... entar elo kabur, lagi!? Trus... ntar elo nggak mau gue gandeng, lagi!”
“Nah... itu seharusnya elo nyadar. Kalo gue emang nggak mau elo gandeng-gandeng kayak gini. Gue malu, tau! Semua orang pada ngeliatin gue,”
Oji menghentikan langkahnya, lalu berbalik badan menghadap Fio. “Kemaren gue kasih boneka elo terima kan!?” alisnya terangkat satu.
Seketika Fio langsung memundurkan tubuhnya satu langkah, “i... iya...”
“Waktu gue kirimin mawar kerumah lo, lo terima kan!?”
“He eh...”
“Nah... hadiah-hadiah yang gue kasih ke elo, elo terima kan!?”
Kali ini Fio menjawabnya dengan anggukan.
“Ya udah,” Oji langsung balik badan lagi, lalu melanjutkan jalannya, masih sambil menggandeng tangan Fio.
“Eittss... tunggu! Jadi elo berenti cuma buat nanya gitu doang!?” Fio jadi mulai kesal. Sudah ketakutan, ternyata tanggapan Oji hanyalah “ya udah”.
“Trus? Mau apa lagi? Jelas-jelas elo terima semuanya! Berarti elo juag terima cinta gue dong! Kalo lo nolak, berarti elo minta di...”
Oji menggantungkan kalimatnya sambil menyeringai geli. Membuat Fio jadi was-was dan takut diapa-apain sama jongosnya Ari yang satu ini.
“Di... apa?” Fio jadi nggak sabaran.
“Duuiiilee... kagak sabaran yahh pingin di...”
Lagi-lagi Oji menggantungakn kalimatnya, membuat Fio tambah penasaran dengan kata selanjutnya.
“Di... apa sih?”
Oji menatap Fio lekat-lekat, lalu mulai mendekat dengan Fio. Semakin dekat. Dekat. Dekat. Dan dekattt banget... sampai wajahnya dengan wajah Fio sudah tak berjarak jauh lagi. Lalu ia tersenyum tipis, kemudian... “Dicium,” ucapnya di depan kedua bola mata Fio.
Kontan Fio langsung merasakan rona merah diwajahnya semakin menjadi-jadi, “ci... cium!?” pekiknya. Kemudian Fio menggeleng kuat-kuat.
Gelengan itu memberi tanda, membuat Oji langsung bersikap tegas. Diciumnya pipi kanan Fio. Membuat Fio menjadi beku ditempat dan tak sanggup lagi berbicara sepatah katapun.
Tanpa sadar, Fio memegangi pipi kanannya, lalu menatap Oji yang kini sudah melepas genggamannya. Ia tersenyum sendiri saat Oji sudah menghilang diujung koridor. Tak hanya di bibir, namun juga hatinya ikut tersenyum.
***
Seberapapun usaha Angga untuk melenyapkan segalanya. Seperti dengan apa yang di katakan Vero saat merek bertemu. Angga tetap saja tak dapat melupakan segalanya. Amarahnya itu masih membara dihatinya, menciptakan berjuta luka yang berada di hatinya.
Dengan susah payah, ia telah segala amarahnya dan mencoba lupakan yang lalu. Dendamnya sudah surut semenjak Ari terjatuh dihadapannya dan Ari mengetahui segalanya! Mengetahui betapa kerasnya usaha Angga untuk tak membencinya. Betapa sayangnya Anggun pada dirinya, hingga Anggun merelakan segalanya! Segalanya untuk Ari!
Di kamarnya yang hanya terekena cahaya lampu remang dari taman dirumahnya, Angga tertunduk lesu. Menatap foto adiknya yang sudah tiada itu dengan nanar. Air matanya tertumpah lagi. Menciptakan genangan di kaca bingaki foto itu.
Ia senderkan tubuhnya ke tembok, lalu  ia tempelkan bingkai itu didadanya. Matanya terpejam, mengingat masa lalu yang yak sepenuhnya kelam.
Disetiap kenangannya, Anggun terasa nyata. Terasa hidup di dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Membuat Angga semakin kehilangan sosok Anggun yang begitu berarti untuk dirinya. Dunianya runtuh karena kepergian sang adik tercinta.
“Maaf... maafin Kakak... Kakak nggak nepatin janji Kakak untuk nggak marah dan dendam sama Ari. Kakak nggak bisa kehilangan kamu... Kakak kangen kamu... Kakak cuma mau kamu bahagia. Tapi ternyata, menyakiti Ari sama aja nyakitin kamu ya? Kakak minta maaf... “
Kalimatnya itu terpenggal-penggal. Diringi isakan hebat yang berasal dalam hati. Matanya masih terpejam, namun air matanya tak sanggup lagi ia bendung. Ia tumpahkan air matanya besama luka itu.
Mata Angga terbuka, lalu ia tegakkan tubuhnya. Tangannya mengembalikkan bingkai foto itu keatas meja. Di foto itu, Angga sedang tersenyum sambil meranggkul adiknya, Anggun. Cewek itu tersenyum manis. Sangat manis. Sehingga mmebuat orang yang melihatnya mampu menangis saat menyadari cewek semanis itu telah tiada.
Kakinya melangkah kearah kasurnya, lalu ia hempaskan tubuhnya dengan tangan yang terbuka lebar ke kasur yang empuknya.
“Kakak janji, kali ini Kakak akan tepatin. Karena... Kakak nggak mau melihat kamu menangis lagi. Kakak nggak mungkin bisa hapus air mata kamu kayak dulu. Jadi, Kakak akan biarkan Ari bahagia. Sesuai dengan keinginan kamu.”
Senyum itu langsung terlihat di wajah Angga. Meskipun itu senyum perih. Tapi itu membuat Angga menjadi lega. Berjanji dengan adiknya yang berada di atas sana, membuat hatinya sekan terlepas dari satu hal yang menyesakkan dadanya setiap hari.
“Kakak lega sekarang. Kamu baik-baik disana ya, Anggun.”
Lalu mata Angga tertutup lagi. Sedangkan jendelanya yang terbuka lebar, langsung mengijinkan angin malam itu masuk memasuki kamar Angga yang gelap. Memberikan sensasi segar di dalam tidur Angga. Membuat mimpinya seakan menjadi kenyataan.
***
Hampir satu minggu Ari nggak masuk sekolah. Membuat Tari jadi kelimpungan mencari sosok itu kemana-mana. Sementara bertanya pada Ata, Ata pasti akan menjawabnya dengan gelengan.
Sosok yang selama ini mengisi hati Tari, hilang! Seperti ditelan bumi. Menghilang tanpa jejak sedikitpun. Bertanya pada dua kawan karibnya juga percuma, mereka hanya kan menggeleng dengan pasrah dan meminta maaf karena mereka juga nggak tahu dimana Ari sekarang.
“Kenapa, Tar?” alis Fio terangkat sebelah.
“Capek gue, Fi!” keluh Tari dengan wajahnya yang memang terlihat sangat letih. “Dia ngilang! Blas! Nggak ada jejaknya sama sekali,”
“Udah nelfon dia?”
Tari mengangguk, “berkali-kali malah. Gue juga ngirimin SMS buat dia. Berkali-kali yang kalimatnya panjang lebar pula! Sampe-sampe jari-jari gue keriting semua!”
“Mungkin dia butuh ketenangan kali, Tar. Kasian juga gue ngeliat Kak Ari. Wajah terakhir yang gue liat, pucat pasi, berantakan dan cara ngomongnya juga berantakan banget!”
Akhirnya Tari menunduk dengan lemah. Berpasrah diri hingga cowok itu menghubunginya atau kembali lagi sekolah.
“Oh ya... ngomong-ngomong, lo udah jadian sama Kak Oji?”
Kontan Fio langsung tertegun, wajahnya sontak memerah. “Apaan sih!?”
“Ih... gue itu nanya. Kenapa elo malah sewot! Jangan-jangan bener yak!? Kok elo nggak ngomong-ngomong sih, Fi. Gue kan temen elo,” Tari nyerocos terus, membuat Fio akhirnya pasrah menceritakan semuanya. Namun, minus cerita dirinya di cium sama Oji.
“Kak Oji kok nembaknya kayak si Kak Ari ya!? Nembak tapi buntutnya ngacem!” gumam Tari sambil memegangi dagunya dengan tangan kanannya. “Wah... kagak kreatip tuh pacar elo... masa nyontek cara “nembak”-nya Kak Ari!”
“Jangan salahin gue dong! Salahin tuh jongosnya Kak Ari. Gue sih nggak bisa ngapa-ngapain!”
Tari terdiam, dipandanginya teman sebangkunya itu dengan lekat-lekat. “Elo suka sama Kak Oji ya!?” terkanya.
Kontan Fio terdiam. Bisu. Membeku. Otaknya lalu berputar memikirkan hal itu. Wajahnya menimbulkan rona-rona merah merona.
***
Kalau dulu Ari yang suka nyari-nyari Tari, sekarang Tari yang nyari-nyari Ari. Kejadian ini terbalik lagi. Kehadiran Ata pun menurutnya sama sekali tak membantu menghilangkan rasa khawatirnya pada kondisi Ari yang pasti sangat kacau itu. Ata itu beda. Meskipun memiliki raut wajah yang sama persis, mereka tetap berbeda.
Hampir dua minggu, Tari mencari kemana-mana. Dari mencoba mengunjungi rumahnya di perumahan SISTINE itu. disekolah. Di danau. Di taman yang hampir mirip dengan hutan. Berkali-kali ia telusuri jalan itu dengan susah payah dan hasilnya tetap sama. Nihil. Nol. Zero. Nggak ada sama sekali.
Dan... hampir dua minggu itu pula Ata selalu membantunya mencari Ari. Tapi tetap saja, sosok itu hilang. Tak kembali hingga sekarang. Menimbulkan beribu tanya dan juga beribu harap tentang keadaannya sekarang.
Langkah kaki Angga berjalan menuju gerbang SMA Airlangga yang terbuka lebar. Disana ia berdiri dan menunggu satu orang yang berkaitan dengan Ari. Karena dia tahu Ari memang benar-benar hilang! Berita yang didapatkannya dari Gita itu mencengangkannya. Membuatnya menjadi sempat merasa bersalah akibat perlakuannya pada Ari.
Saat sosok itu sudah ada di ambang gerbang sekolah, Angga cepat-ceat menghentikannya dengan menyetop jalan cewek itu. kedua tangannya terbuka lebar, menghalangi jalan. Dan saat gadis itu mendongak, di dapatinya Angga. Kontan cewek itu langsung limbung dan hampir jatuh sangking kagetnya. Namun, dibelakangnya sudah ada sosok bodyguard yang menyelamatkannya.
“A... ada apa, Ga?”
“Bisa kita ngomong?” tanyanya pelan.
Kemudian Tari menoleh kearah Ata yang sudah berdiri sejak tadi dibelakangnya.
“Cuma berdua...,” ucapnya pada Tari. Lalu pandangannya mengalih pada Ata, “bisa? Gue nggak mungkin nyakitin dia. Gue cuma butuh ngomong sama dia. Nanti urusan dia pulang, biar gue yang anter dia pulang.”
Cowok itu tetap bergeming ditempatnya. Tetap diam. Matanya masih menatap lurus kearah Angga yang kini membalas tatapannya dengan tatapan sarat permintaan pengertian dari Ata.
Setelah terdiam lama, cowok itu mengangguk. Di dekatinya Angga, “jaga dia! Elo bukan Ari! Jadi, sampe dia lecet. Gue nggak akan segan-segan bikin lo lebih lecet!” ditepuknya pundak Angga dua kali. Lalu tatapannya mengalih pada Tari, “hati-hati ya, Tar. Kalo kenapa-kenapa calling gue aja,” ucapnya, kemudian berlalu begitu saja.
Lalu mata Tari pindah kearah Angga.
“Ari bener-bener ilang?”
Tak menyangka Angga malah akan bertanya seperti itu, sontak Tari terdiam. Cukup lama, hingga Angga mengibas-ngibaskan tangan kanannya dihadaoan wajahnya berulang kali. Ia tersadar. “Iya,” Tari mengangguk. “Kok elo...?”
“Gue udah maafin dia,” ucapnya pelan. Lalu menarik nafas, kemudian dihembuskannya dengan berat. “Jadi, elo udah cari ke mana aja?
“Ke mana-mana. Tapi tetep aja, Ga. Hasilnya nihil,” ucap Tari. Nadanya sangat amat menyiratkan kekhawatiran. “Apa dia udah tau kalo lo maafin dia?”
Angga menggeleng lemah, “masalahnya gue belom sempet ketemu dia. Dan pas kemaren gue tanya sama Gita, Gita bilang di ilang! Gue langsung panik dan cepet-cepet hubungin elo,” ucapnya sama khawatirnya dengan Tari. “Jangan ngomong disini, Tar. Nggak enak. Ikut gue yuk!” Angga menarik tangan Tari.
Tak ada se-jam, motor Angga sudah melaju kencang kearah tempat yang ditujunya. Sebuah warung makan, membuat Tari heran kenapa Angga memilih tempat ini.
“Kenapa di...?”
“Gue belom makan dari pagi, Tar. Gue laper banget! Sumpah deh! Gara-gara gue mikirin si Ari nih,” ucapnya sambil menghempaskan tubuhnya disalah satu kursi.
Lalu cowok itu memesan makanannya. Sementara Tari hanya meminta satu gelas teh hangat untuk dirinya.
“Jadi... tu sodara kembar Ari juga nggak tau dia dimana?”
“Kak Ata juga nggak tau,” Tari menggeleng.
Terdengar hembusan nafas panjang Angga, lalu cowok itu menghadapkan tubuhnya kearah Tari. “Serius dia nggak tau?” alisnya terangkat satu.
Tari mengangguk, “dia bilangnya begitu.”
“Dia? Berarti belom tentu dia jujur dong! Jangan-jangan dia tau dimana tapi nggak mau ngasih tau,”
“Dia nggak mungkin bohong, Ga. Masalahnya hampir dua minggu ini, dia malah nemenin gue nyari Kak Ari. Kalo dia tau, dia pasti mikir, ngapain susah-susah bantu gue kalo dia emang udah tau. Dia pasti biarin gue nyari sendiri,”
Kali ini Angga menatap wajah Tari lekat-lekat. Bingung dengan jalan pikir cewek ini.
“Tar, yang namanya bohong itu nggak harus ditunjukin kan? Dia pasti ikut nyariin Ari sama lo, seakan-akan dia juga nggak tau. Padahal, dia tau! Di mana Ari, ada apa sama Ari. Lo mikir dong! Jangan lo liat dari cover-nya aja!”
Tari terdiam. Ditatapnya Angga dengan tatapan tanya.
“Jadi gini lho, Tar. Mungkin dia tau dimana Ari. Tapi dia nggak boleh ngasih tau, atau... malah dia nggak mau nagsih tau. Banyak alasan, Tar.” Angga menuturkannya dengan nada pelan dan hati-hati.
“Jadi... kalo Kak Ata emang nggak mau ngasih tau... dia berarti ada di lain kubu, gitu?”

Angga terdiam sebentar, lalu mengangguk.


You may also like

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Ao Haru Ride

Ao Haru Ride

Daftar Blog Saya

Advertisement

Facebook

Instagram