Moments 15

0 Comments
Ardiyanti Zia


Setelah berusaha keras untuk membantu Badai, yang ternyata masih sadar, berdiri, aku dan yang lainnya langsung menggebrak pintu dan masuk begitu saja. Tapi saat itulah kami semua langsung tercengang dengan kedua bola mata membelalak lebar dan mulut menganga.
Rasanya aku mau nangis sekarang juga. Bagaimana bisa orang-orang yang ada di dalam ruangan ini menghilang!? Bagaimana bisa ruangan ini kosong tanpa siapapun tersisa?
“Kita terlambat.” Awan berkata kelam. “Mereka sudah kabur.”
Saat itu juga aku langsung menangis sekencang-kencangnya. Kami sudah susah payah masuk ke dalam sini dan melawan begitu banyak anak buah Fabi. Tapi kenapa hasilnya nihil? Kenapa kami masih saja tidak bisa menyelamatkan Sakura?
Sebuah tangan mengelus-elus kepalaku. Aku menoleh dan mendapati Atha tersenyum kepadaku.
“Kita pasti menemukan Sakura kok!” ucapnya yakin.
Kulihat Badai meminta bantuan Awan untuk membawanya melihat-lihat ke dalam ruangan tersebut. Memerhatikan setiap detail yang ada. Mencari petunjuk di mana keberadaan Sakura dan Prisil sekarang.
Aku tahu Badai pasti cemas karena pacarnya sudah menghilang beberapa hari dan dia malah membuat Sakura menjadi korbannya. Hanya untuk menyelamatkan pacarnya itu.
Sebenarnya aku marah. Sudah jelas Badai mencampakkan Sakura, tapi dia malah membuat Sakura melakukan segala hal yang ia inginkan. Aku bahkan tak mengerti jalan pikirnya. Karena Badai selalu bisu dalam mengungkapkan kata-kata. Jadi aku tidak bisa membaca pikirannya.
“Lo benci banget sama Badai ya?”
Aku menoleh. Menatap Atha dengan tatapan bingung.
“Muka lo berubah bengis banget pas ngeliatin Badai.”
“Bengis!?” Aku melotot. Lalu kupukul kepalanya dan dia langsung meringis kesakitan. Ups. Aku lupa kalau kepalanya berdarah tadi. “Eh... maaf. Gue lupa. Sakit ya?” Aku langsung mengelus-elus kepalanya.
Dia tertawa. “Tuan Putri walaupun bengis tetep cantik kok.”
Uh-oh. Barusan dia bilang aku apa? Cantik? Aku yakin sekarang wajahku memerah banget. Sialan. Aku langsung memalingkan wajahku karena malu melihatnya.
“Jangan salahin Badai.”
Aku kembali menatapnya. “Apa maksudnya?”
“Lo inget kan, yang nyuruh Badai menelfon Sakura itu Awan. Sebenarnya Badai nggak mau.”
Oh ya, aku lupa soal itu. Atha pernah menceritakannya padaku. Mungkin karena rasa khawatirku terlalu besar pada Sakura, makanya aku malah membenci orang yang mencampakkan perasaan Sakura juga.
“Hei, itu punya Prisil, kan!?” seru Atha dengan suara besarnya.
Aku langsung menoleh ke arah Badai dan Awan. Badai sedang menggenggam sebuah gelang cantik berwarna biru safir. Gelang yang pernah kulihat saat Prisil latihan drama di rumah Badai.
“Itu tandanya Prisil juga ada di sini tadi.” Awan menatap gelang itu penuh tanya.
Sesaat aku teringat seseorang dengan gelang. Aku langsung mengeluarkan sebuah gelang berwarna perak dari saku jaketku.
“Gelang itu...”
“Lo tau siapa pemiliknya?” Aku langsung menatap Badai penuh harap.
Badai terdiam. “Gue nggak bisa mengatakannya tanpa bukti.”
“Oh ayolah, Badai!” Aku memohon. “Kita kan bukan polisi. Kita nggak akan menanyai bukti kok.”
“Pemilik gelang ini berinisial A.” Atha melipat kedua tangannya di depan dada. “Mungkin lo bisa mengatakannya sekarang.”
Badai berdeham. “Mungkin bukan gue yang harus mengatakan siapa pemilik gelang itu. Tapi elo, Tha.”
Aku melirik Atha. Atha terlihat kebingungan. Apa maksud Badai mengatakan itu?
“Lo nggak bener-bener lupa kejadian lalu, kan?” Badai sepertinya baru menyadari bahwa Atha melupakan hal tersebut.
“Apa yang kalian lakukan di sini!?”
Kami berempat langsung menoleh ke sumber suara. Ruth sedang menatap kami dengan raut wajah panik.
“Sekarang kalian harus kejar mobil yang mengangkut Sakura!!!”
“Prisil juga ada di mobil itu?” tanya Atha.
Ruth terdiam. “Gue nggak melihat orang lain.” Ruth mencoba mengingat-ingat. “Ada tiga orang yang masuk ke dalam mobil itu. Lalu di belakangnya ada mobil yang menyusul.”
“Prisil pasti di salah satu mobil itu!” ketus Awan.
“Tapi gue bener-bener nggak liat Prisil masuk ke salah satu mobil tersebut!” Ruth berkata ngotot.
Badai menghela nafas panjangnya. “Bagaimana bisa lo yakin bahwa Prisil nggak masuk ke dalam salah satu mobil tersebut?”
“Karena semua yang masuk ke dalam mobil itu memakai jubah hitam!” Ruth berkata kesal. “Kecuali Sakura yang masih menggunakan seragamnya.”
“Pasti Prisil menggunakan jubah hitam!” Awan menatap sinis Ruth.
“Tenang.” Atha menjadi penengah. “Jika Prisil ada di sana, Prisil harusnya mendapat perlakuan yang sama dengan Sakura. Diikat dan dipaksa masuk ke dalam mobil.”
“Tapi gelang ini kan menunjukkan bahwa Prisil tadi ada di sini juga.” Aku berkata bingung.
Baiklah. Semuanya menjadi semakin rumit. Kapankah ini semua akan berakhir?
“Sekarang yang penting kalian ngejar mobil itu. Mobil itu pergi lima menit yang lalu dan sekarang kalian malah menyia-nyiakan waktu kalian!!!”
TING.
Tiba-tiba terdengar suara ponsel berbunyi. Ah... itu suara ponsel Badai.
Kulihat Badai mengambil ponsel dari saku celana jinsnya. Lalu raut wajahnya berubah menjadi aneh. Dia mendongak dan tersenyum.
“Sakura mengaktifkan GPS.” Badai berkata senang.
“Tunggu!” Awan mengernyitkan keningnya. “Memangnya M nggak tahu kalau Sakura bawa ponsel? Siapa tau M sedang mengelabui kita.”
Benar juga kata Awan. Mana mungkin Sakura bisa mengaktifkan GPS di ponselnya dengan tangan terikat dan tanpa ketahuan oleh Fabi?
Badai menggeleng. “Bukan GPS dari ponselnya. Tapi GPS yang dibeli Sakura waktu dia minta anterin gue ke tukang elektronik.”
“Ckckck...” Atha geleng-geleng. “Meskipun kemaren-kemaren kalian berantem luar biasa, kalian tetep pergi bareng ya...”
Aku tertawa geli dan langsung menyikut Atha yang asal ngomong. Sementara Badai terdiam dan malah membuang muka.
“Gue kan cuma bantuin dia.”
“Iya deh, percaya.” Atha menahan ketawanya sebelum meledak dan malah membuat Badai malu setengah mati.
“Udah deh. Sekarang kalian pergi kejar Sakura.” Ruth terdiam. “Dan Prisil,” ucapnya ragu-ragu. “Gue minta satu orang buat nemenin gue pergi ke suatu tempat.”
Si Manusia Badak dengan santainya langsung merangkulku. “Bukan gue. Gue nggak akan mau terpisah dari Tuan Putri.”
Uh-oh sialan banget si Manusia Badak. Perasaanku jadi aneh saat dia mengatakan itu. Biasanya kalau dia berkata seperti itu, aku akan marah. Tapi sekarang, entah kenapa, aku jadi merasa senang banget.
“Baiklah. Jadi Badai atau... Awan?” Saat mengatakan nama Awan, Ruth sepertinya terpaksa banget.
Sepertinya kejadian adu bicara tadi membuat Ruth jadi kesal dengan Awan.
“Prisil kan pacar Badai. Jadi Badai aja yang ikut kami.” Atha langsung menyeruakan pendapatnya.
Dan aku yakin sekali kalau ide itu akan ditolak mentah-mentah oleh Ruth dan Awan. Pasalnya mereka kan seperti kucing dan tikus. Yah, setidaknya aku juga diam-diam senang karena aku nggak perlu melihat adegan Awan nanti setelah bertemu Prisil. Baiklah, aku masih sedikit suka dengan Awan. Sedikit saja loh. Nggak banyak-banyak.
“Iya. Gue juga setuju.” Aku langsung menyetujui pendapat Atha. Hitung-hitung aku jadi punya kesempatan untuk tidak melihat wajah Awan lama-lama.
“Iya deh. Emang kita mau pergi ke mana sih?”
Dan Ruth langsung tersenyum misterius.
***
Ruth dan Awan memutuskan untuk naik motor berdua sementara aku, Badai dan Atha menuju lokasi Sakura sekarang menggunakan mobil Badai.
Aku duduk di belakang. Setelah perdebatan tempat duduk, akhirnya Badai dengan tegasnya mengatakan bahwa aku harus duduk di belakang.
Pasalnya, si Manusia Badak ingin duduk berdua denganku. Otomatis Badai duduk di depan sendiri. Badai langsung ngomel-ngomel dan mengatakan bahwa dia bukanlah supir. Jadi aku berinisiatif untuk duduk di depan bersama Badai, tapi si Manusia Badak itu malah melarangku dekat-dekat dengan Badai.
Konyol sih. Tapi entah kenapa, aku merasa lebih hidup setelah bertemu orang-orang ini.
Oh ya kondisi Badai sebenarnya parah banget. Tapi dia bersikeras untuk tetap melanjutkan rencana karena menunda esok akan membuat semuanya menjadi terlambat.
Kami sempat ke apotek untuk membeli P3K. Tentu saja aku yang membelinya. Kalau Badai dan Atha yang membelinya, orang-orang pasti mengira mereka adalah tersangka pelaku kecelakaan yang kabur karena takut ditangkap polisi.
Aku memasangkan perban dan obat merah ke kepala Atha. Sementara Badai lebih banyak perban yang dia pakai. Sungguh malang.
“Eh, tadi pembicaraan kita kepotong.” Atha memulai percakapan.
“Pembicaraan yang mana?” tanya Badai dengan mata yang tetap fokus ke jalanan.
Atha mendesah. “Tentang pemilik gelang berinisial A. Siapa dia? Kenapa elo bilang begitu tadi?”
“Bilang apa?”
Duh. Kok aku jadi ikut geregetan sama si Badai ya. Aku akan juga penasaran dengan apa yang dikatakan Badai tadi.
“Yang mengenai kejadian lalu. Gue nggak ngerti.”
“Udah lupain aja. Kalo elo inget, kondisi kita akan makin parah.” Badai berkata acuh tak acuh.
“Maksudnya?” tanyaku tak mengerti. “Badai, plis jangan bikin orang jadi pusing.”
“Lo sayang sama Tuan Putri lo ini, kan!?”
DEG.
Kenapa aku jadi deg-degan begini? Padahal kan yang ditanyai Badai itu si Manusia Badak.
Diam-diam aku melirik ke arah Atha. Raut wajahnya menunjukkan bahwa dia terkejut tapi dia tidak berkata apa-apa selain melirik Badai.
“Kalo elo tau siapa pemilik gelangnya,” ucap Badai. “Dia akan berada dalam bahaya...,” lanjutnya dengan santai. “Yang lo perlu lakuin sekarang adalah menjaga Tuan Putri lo ini dalam keadaan apapun. Jangan pernah tinggalin dia sendiri.”
Aku tergelak. Ucapan Badai sepertinya benar-benar dalam hati. Tapi apa maksudnya? Mengapa aku akan berada dalam bahaya jika Atha mengetahui siapa pemilik gelang tersebut?
“Gue nggak ngerti...” Suara Atha merendah.
“Kalo elo tau...” Badai memutar setirnya. “Elo akan mencari orang itu dan memeringatinya untuk nggak mengganggu Zia.”
Bukankah itu sikap gentle? Badai ini kadang-kadang aneh juga ya. Kenapa sikap gentle seperti itu malah dilarang!? Memangnya kenapa?
“Elo ngomongin gue kayak gue nggak ada di sini aja.” Aku langsung mencoba menenangkan suasana yang aneh ini. Kita nggak mungkin adu pendapat di saat-saat seperti ini, kan!?
“Setelah itu... Zia yang akan mundur.” Badai melanjutkannya tanpa menggubris sama sekali kalimatku. “Dan elo... terpaksa ikut menjauh juga.”
Aku terdiam. Cukup tertegun dengan kata-kata Badai. Tapi mengapa Badai malah memberitahu kami kemungkinan terburuk?
Aku bergidik ngeri. Kulihat raut wajah Atha yang berubah menjadi raut wajah mengerti. Tapi aku masih tidak mengerti mengapa harus seperti itu?
***
“Kita sampai.” Badai berkata enteng dan mematikan mesin mobilnya.
Uh, setelah pembicaraan itu, tak ada satupun dari kami yang berbicara. Aku juga tidak berani mengatakan apa-apa. Bukannya takut, tapi aku juga masih memikirkan setiap perkataan Badai tadi.
“Di mana tempatnya?” tanyaku untuk mencairkan suasana.
“Di ujung gang itu.” Badai menunjuk ke depan. “Lo liat ada rumah tua dua tingkat, kan?”
“Kita... nggak akan diserang lagi, kan!?” tanyaku ngeri.
Saat Awan masih bersama kami saja, kami kalah berkali-kali. Sampai bonyok malah. Apalagi tanpa Awan. Bagaimana aku bisa melawan mereka nanti? Badai dan Atha pasti akan sibuk melawan musuh.
“Tuan Putri lupa ya?” Atha nyengir. “Tadi Ruth bilang kalau cuma ada dua mobil yang diisi tiga orang di masing-masing mobil.”
Aku langsung bernafas lega. “Jadi... kira-kira siapa aja yang ada di dalam?”
“Sakura.” Atha menjawabnya sambil menyeringai lebar.
Badai mendengus. “Cessa, M, A dan dua orang lagi yang gue nggak tau siapa.”
Aku mengangguk-angguk. “Oh ya, gue belum kasih tau lo, kalo anak buah Fabi ada yang panggilannya R. Dia cowok.”
Badai langsung menoleh. Raut wajahnya seakan terkejut. “Apa lo bilang?”
“Kenapa?” tanyaku bingung.
“R? Anak buah M? Cowok?” tanyanya dengan raut wajah aneh.
Aku mengangguk sambil mengernyitkan keningku. Heran deh. Reaksi Badai berlebihan banget. Eh... atau jangan-jangan dia tahu siapa kemungkinan orang tersebut!?
“Apa lo mengenalnya?” Atha menatap Badai yang masih terdiam. “Dari percakapannya tentang lo, kayaknya dia nggak suka lo.”
“Percakapan?” Badai mengernyit. “R nggak suka gue?”
“Sepertinya sih begitu.”
“Tha...” Badai menatap Atha dengan raut wajah serius. “Lo inget nggak, di kelas kita yang dulu, gue pernah nggak sengaja ngerjain seseorang?”
“Maksud lo....!?” Atha membelalakkan matanya. “Lo yakin itu dia?”
“Spekulasi, Tha. Gue nggak tahu harus bilang bener atau enggak.” Badai berkata pasrah.
“Kalian berdua ngomongin apaan sih!? Gue nggak ngerti!” Aku berkata jengkel.
Kenapa sih cowok-cowok ini nggak menganggap bahwa aku masih di sini berdiri kebingungan dengan arah percakapan mereka!?
“Maaf, Tuan Putri.” Atha tersenyum manis padaku. Mengacak-acak rambutku. Lalu menatap Badai lagi. “Pantesan gue merasa pernah denger suara dia.”
“Kalian serius nggak mau kasih tau gue siapa orang yang lagi kalian omongin!?” Aku mendelik marah dan kedua orang itu hanya menyeringai ke arahku.
***
BRAK.
Pintu itu dibuka dengan paksa oleh Atha. Tendangan kakinya memang benar-benar kuat. Aku saja tidak percaya bahwa kakinya itu bisa membuat pintu kayu yang kuat itu terbuka lebar hanya dalam sekali tendangan.
Kami memang sudah menyetujui untuk langsung mendobrak dan mengambil Sakura dan Prisil secara paksa. Tidak peduli dengan apapun yang ada di depan. karena kami yakin seratus persen bahwa Fabi tidak memiliki anak buah lagi.
“Ba-Bagaimana kalian bisa menemukan tempat ini!?”
Aku melihat wajah tergeragap seorang cewek yang sudah kami ketahui identitasnya sejak awal. Cessa.
Lalu tatapanku teralih pada seorang cewek yang berbalut seragam SMA dengan tangan dan kaki terikat kuat. Mulutnya diikat dengan kain, agar tidak bisa berbicara. Beberapa luka goresan pisau terlihat di sekujur tubuhnya.
Melihat kondisi Sakura yang begitu menyedihkan membuatku ingin membunuh Fabi sekarang juga tak peduli apapun.
“Prisil?”
Badai menatap Prisil yang mendapat perlakuan yang sama dengan Sakura. Cewek itu duduk di sebelah Sakura dengan air mata berlinang di pipinya.
Aku menatap Sakura. Sakura menatapku sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Seakan memberikan isyarat kepadaku untuk berhati-hati.

“Jadi... siapa yang akan kalian selamatkan?” Fabi melipat kedua tangannya di depan dada dengan gaya santainya.

:D terimakasih yang udah mau sempet baca...


You may also like

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Ao Haru Ride

Ao Haru Ride

Daftar Blog Saya

Advertisement

Facebook

Instagram