Jingga Untuk Matahari 16 (FanFiction)

1 Comments
Yuhuuu... ini adalah part menuju yang terakhir ._.v maaf ya kalau ceritanya emang nggak jelas, yang nulis juga nggak jelas sih *duh... jangan lupa buat komentar yaaaa :D

Senyum merekah tampak di wajah Tari saat dilihatnya seseorang yang ia tunggu tengah duduk diatas motor hitam legamnya dengan helm yang melekat dikepalanya. Dengan langkah cepat, Tari menghampiri cowok itu dengan senang.
“Haiii Kak A...”
Ucapan Tari terhenti saat cowok itu membuka helmnya, lalu menunjukkan tampilan yang berbeda dengan apa yang Tari inginkan. Cowok ini bukan cowok yang ada di pikirannya. Bukan Ari! Tapi Ata!
“Kenapa, Tar?” alis Ata bertaut saat disadarinya senyum di wajah Tari berubah.
“Enggak,” Tari menggeleng dengan otomatis. “Ngapain Kak?” tanyanya.
“Jemput elo lha! Masa iya gue nungguin penumpang! Emang gue tukang ojek!!!”
Tari nyengir kuda. “Hehehe... berangkat sekarang nih?”
“Enggak,” Ata menggeleng. Lalu melihat jam di pergelangan tangannya. “Kayaknya sih, lima abad atau perlu empat belas abad lagi kita berangkatnya. Gimana?” alisnya terangkat sebelah. Mimik wajahnya sangat serius.
“Ih... gitu aja di bawa serius!” Tari langsung menyikut lengan Ata. “Oh ya, kok bawa motornya Kak Ari? Emang dia nggak bawa motor?”
“Ini udah jadi kepemilikan gue, lagi! Bukan dia.” Ata mengulurkan tangannya pada Tari, membantu Tari untuk menaiki motor besarnya itu.
Tapi Tari tetap bergeming, tak menghiraukan uluran tangan itu. ia masih heran, bingung dicapur aneh. “Trus Kak Ari naik apa sekolahnya? Taksi? Angkot? Bus? Mikrolet? Atau malah bajaj?”
Ata tertawa geli, lalu tangan yang terulur dan tak tersambut itu langsung mengacak-acak rambut Tari. Cewek ini!!! Ata menggeleng-gelengkan kepalanya tanpa sadar. “Mana mungkin Ari pake bajaj! Ada-ada aja lo!” ucapnya. “Tau deh! Bareng sama si Ridho atau Oji, mungkin.”
“Kenapa nggak sama lo aja, Kak?”
“Kan gue jemput elo! Special, just for you!” ucapnya sambil mengedipkan matanya.
“Ih... genit deh!”
Kembali, Ata tertawa geli. Lalu mengulurkan tangannya lagi, dan baru disambut oleh Tari yang langsung menaiki motor besar yang dibawa Ata itu.
***
Disekolah, Tari mengelilingi setiap koridor, setiap ruang kosong, di akmar mandi, di setiap kantin, dan dimana-mana saja. Tapi tak kunjung ia temukan sosok yang membuatnya mengernyitkan kening saat itu. Saat sosok itu mengatakan “selamat tinggal” padanya malam itu.
Disebelahnya, ada Fio yang meggerutu karena jadi korban akibat kelakuan Tari yang sok jadi dektektif. Untung aja Tari nggak ajdi detektif conan! Hanya mengintai dibeberapa tempat yang pastinya dipastikan tak ada sosok senior galak yang mampu menerkam mereka kapan saja.
“Tar... ada nggak sih disini? Kaki gue udah pegel banget nih!” Fio mengeluh sambil memijat-mijat kakinya.
“Nggak ada, Fi.” Tari menoleh ke arah Fio sambil cemberut. “Padahal ini kan kantin anak kelas dua belas. Tapi dia tetep nggak ada!”
“Eh... masih mending yah kita nggak keliatan sama senior. Kalo keliatan, gue nggak tau besok gue ke sekolah pake apa. Kursi roda, atau pake tongkat, atau malah gue nggak bakal masuk sekolah untuk beberapa hari, atau malah juga untuk selamanya!!!”
Sambil berjalan menyusuri koridor lagi, Tari menjitak kepala Fio dengan jengkel. “Nggak separah itu, Fi! Lo kira mereka teroris gitu!? Hiperbolis banget deh!”
Fio langsung meringis kesakitan sambil menyeringai geli. Baru sadar bahwa apa yang dikatakannya memang diluar nalar manusia.
“Tanya Kak Oji gih!” Tari memerintahkan dengan nada seorang bos-nya.
Fio langsung melirik Tari, “apa-apaan tuh! Udah jadi korban sampe kaki gue pegel-pegel gini. Lo mau ngorbanin gue ke tu anak!?” Fio mendengus jengkel. “Oo... tidak bisaaa,” diikutinya gaya Sule di Opera Van Java.
“Ya ampun, Fi! Kali ini aja deh! Gue kasih cokelat selusin deh... gue bener-bener nggak enak hati nih nggak liat tu pentolan sekolah!” pintanya dengan nada memelas.
“Ha? Pentolan korek?” Fio pura-pura budeg.
“Ih... pentolan sek...”
“Ooh, pentolan bakso!” Fio memotong dengusan Tari. “Iya-iya gue ngerti. Di kantin tuh banyak banget pentolan bakso yang gede-gede. Habis itu mantap banget lagi rasanya!!!” kepala Fio mengangguk-angguk, lalu saat menjelaskan tentang bakso, lidahnya seperti mengatakan, “lezat!!!”
Tari langsung bertola pinggang, “BILANG DONG KALO LAPER!!!” serunya dongkol. Dari tadi di potong mulu ucapannya. Dimintain tolong, malah nggak mau. Emang ngajak ribut ni anak!
“Hehehe... lagian elo kagak mikirin gue sih! Dari istirahat pertama sampe istirahat kedua ini, gue belom makan sama sekali cuma gara-gara disuruh nemenin lo ngintai Kak Ari!” Fio jadi ketawa geli sendiri.
“Iya, sori. Sori. Gue kan kuatir banget sama tu anak!”
“Kuatir sama siapa, Tar?”
Tari dan Fo kontan menoleh, dan mendapati kakak kelas nan sangar itu sedang menatap keduanya dengan lembut. Vero!
“Kak... Vero!?” pekiknya tanpa sadar.
“Nggak perlu takut, Tar. Cerita aja sama gue... gue nggak akan nyakitin elo lagi kok. Gue sadar, kalo tindakan gue itu kekanak-kanakkan banget. Jadi... kita berteman sekarang?”
Keduanya menatap Vero, lalu tersenyum tanpa sadar. Senyum persahabatan!
***
 “Fi... buruan dong! Telfon Kak Oji!!!” tangan Tari menggoyang-goyangkan tubuh Fio. “Udah gue beliin bakso, juga!”
Fio nyengir, “iya, iya. Sabar dong!” ucapnya sambil merogoh sakunya, mencari alat elektronik baru itu. setelah berhasil menemuka barang itu, ia dekatkan ke telinganya.
“Halo...,” diseberang sana suara Oji terlihat bingung dengan satu nomor yang memanggilnya itu.
“Halo, Kak. Ini gue... Fio.”
Diseberang sana, Oji ternganga lebar, lalu tersenyum. “Oh... hai sayang! Ada apa telfon-telfon? Kangen ya? Kok elo tau nomor gue sih?”
Fio langsung menghembuskan nafas panjangnya, diliriknya Tari dengan jengkel. Gara-gara Tari, dia harus ngomong sama Oji. Sabar, sabar! ingatnya dalam hati. “Eng... itu Kak. Gue mau tanya... Kak Ari hari ini masuk nggak?”
Kontan Oji mengerutkan keningnya, “lo nyariin Bos gue? Elo jatuh cinta ya sama dia? Ha? Nggak boleh. Lo harus sama gue!!!”
Iih! keluhnya. Kok ada orang yang maksanya kayak gitu ya? Emang dia siapanya Fio? Dengan sabar, ia hela nafas panjangnya. “Bukan. Gue nggak jatuh cinta sama dia. Tapi, ada orang yang nyariin dia dari tadi. Sampe ngorbanin kaki gue. Gara-gara cuma nyariin Bos elo itu, kaki gue pegel-pegel! Mana gue kelaperan, lagi! Udah di kasih makan sih, tapi kan nggak cukup buat perut gue! Sumpah deh, rasanya pingin banget gue cekek Bos lo itu supaya nggak bikin gue jadi korban!”
Tanpa sadar, Fio langsung marah-marah sama Oji yang kini sedang ternganga lebar. Kaget! Sumpah deh! Dia kan nggak tahu apa-apa, dan tiba-tiba Fio nyerocos gitu sama dia!? Bikin keningnya jadi keriting aja!
“Fi... Fi... elo kalo ngambek gitu jangan ke gue dong!”
“Biarin aja! Pan elo temennya Kak Ari. Biar elo ngerasain juga akibatnya Bs elo kagak ada!”
Mereka berdua jadi ngobrol sendiri. Membuat Tari yang disebelahnya kontan melotot ke arah Fio. mengingatkan kalau tujuan utamanya itu nanyain Ari, bukan ngedumel dan ngadu sama si Oji!
“Heh... melenceng amat sih! Buruan tanya!” Tari melotot.
Fio malah nyengir kuda, “eh... buruan jawab. Kak Ari dimana?”
Diseberang sana Oji makin aneh. Ni anak galak amat! “Duiiileee... galak mata, Jeng! Dia nggak masuk. Katanya, dia mau liburan dulu sebelum pusing mikirin UN. Oh ya... dia juga udah bilang, kalo Tari itu urusannya Ata sekarang. Bukan urusannya dia.”
“HAAAHHH!!!???” kontan Fio berteriak kaget. Diseberang sana, Oji sampai menjauhkan ponselnya dari telinganya. Lalu mengusap-usap telinganya. Gara-gara suara bombastis Fio, telinganya jadi sakit.
“Eh... biasa aja, Neng! Elo mau bikin gue masuk rumah sakit bagian THT.”
“Hehehe... sori, sori. Gue kaget. Elo serius nih?” Fio langsung merendahkan suaranya.
“Enggak!” diseberang sana Oji menggelengkan kepalanya tanpa sadar. “ Gue nggak suka band Serius. Gue sih sukanya SMOSH atau enggak Udin Sedunia. Kocak!!!”
“Iih... gue serius, KAK OJIII!!!”
“Iya, iya. Serius gue!”
Fio yang nggak tahu harus ngomong apa, langsung mematikan hubungannya dengan Oji. Dia menatap Tari yang duduk disebelahnya dengan nanar. Nggak sanggup ngasih tau Tari kalau Ari sekarang lepas tangan dan menyerahkan semuanya sama Ata. Saudara kembarnya.
“Gimana, Fi? Gimana? Dia masuk? Atau... dia nggak masuk?”
“Enggak masuk,” lirih Fio dengan gelengan.
“Trus... elo tau kenapa dia nggak masuk? Males belajar? Mau tawuran atau dia lagi sakit???”
“Dia... dia... dia mau liburan dulu, Tar. Mau nenangin pikiran dia sebelum UN, katanya.”
Tari langsung mengerutkan keningnya, “kemaren-kemaren dia juga udah liburan deh! Sampe dua minggu lebih! Dan... sekarang dia ngilang lagi!?” Tari geleng-geleng kepala nggak percaya. “Oh ya... dia nitip pesen ke Kak Oji buat gue nggak?”
Bohong lebih baik, Fi! peringatnya dalam hati. “Enggak. Dia bilang itu aja kok.”
***
Bunyi bel tanda pulang sekolah, berdering kecang!!! Berteriak bahwa itu adalah tanda para murid bebas lepas dari yang namanya guru, pelajaran dan juga sekolah! Bel itu nyaring, memekakan telinga Tari yang sedang berjalan terburu-buru di koridor sekolah.
Sekarang yang ingin ia pastikan Ari ada di depan gerbang, sama seperti dulu. Meskipun nggak masuk sekolah, cowok itu pasti menjemputnya. Namun, satu harapan itu langsung musnah ketika dilihatnya Ata sedang bertengger manis diatas motornya dengan helm hitam yang melekat dikepalanya.
Senyum secerah mentari pagi itu lenyap seketika, digantikan oleh kening yang berlipat rapat. Bukannya nggak suka kalau Ata menjemputnya. Namun, ia kecewa. Apa yang terjadi sama sekali tak sama dengan apa yang ia harapkan. Ia mengharapkan orang itu. Ari. Bukan Ata. Bukan saudara kembarnya. Tapi orangnya langsung.
Terpaksa hari ini Tari pulang bersama Ata. Nggak sama Fio juga. Fio sudah pulang bersama Oji tadi, saat ia memutuskan untuk mencari Ari di parkiran.
***
Angga berjalan ditengah keramain dan kepadatan kota Jakarta. Ia menghentikan motornya tadi dan menitipkannya pada salah satu orang yang sudah dikenalnya akrab. Suara bising ini mampu membuat kepalanya tambah pusing.
Sudah berkali-kali ia mencari sosok yang pernah menjasi musuhnta itu. tapi cowok itu tak terlhat lagi setelah kata-kata yang di lontarkan cowok itu sebelum akhirnya cowok itu benat-benar menghilang. Blas! Seperti di telan bumi. Dan... kali ini Ari benar-benar hilang! Dengan kata-kata yang membuatnya masih tercengang sampai sekarang.
“Jaga Tari ya. Dia gue titipin sama Ata. Gue nggak bisa jaga dia. Dan... yang gue percaya elo bukan Ata. Jadi, kalo Ata bikin Tari nangis. Lo boleh mukul dia sampe mati!” ucapnya ketika itu dengan kedua bola mata yang mengelam.
Dan saat ditanya maksudnya, Ari malah tersenyum  samar sambil memegang pundak Angga. Cowok itu langsung memeluk Angga erat.
Thanks, udah mau maafin gue. Padahal gue tau banget, kesalahan gue nggak akan pernah bisa dimaafin. Tapi... elo terlalu baik sama gue.” Dilepaskannya pelukan hangat, namun dingin. Menyakitkan namun juga menyenangkan. Di tatapnya Angga dengan kedua bola mata yang masih mengelam. “Sekali lagi, maafin gue!” ucapnya sebelum akhirnya dia benar-benar menghilang dari hadapan Angga saat itu juga.
Kejadian itu masih saja terus terbayang di kepala Angga. Apalagi, setelah memberitahu Tari tentang kejadian itu tadi sore. Dan... saat itu juga Angga langsung melihat wajah pucat pasi serta tangis haru yang mendalam di diri Tari. Cewek itu kehilangan!
“Ga... Ga... ANGGA!!!” teriak seorang gadis di hadapan Angga sambil melambai-lambaikan telapak tangannya dihadapan wajah Angga. Cowok itu terdiam dari tadi, tubuhnya menyender ke tembok tua yang berada di pinggir jalan.
“VERO!?” pekiknya tak menyangka.
“Elo dari tadi gue panggilin. Bengong mulu!” ucapnya sambil ikut menyenderkan tubuhnya di tembok tua yang sama dengan Angga.
“Gue mikirin...,”
About Tari, Ari and Ata? Or something else?” potong Vero sambil menatap Angga lekat-lekat. “Ga... gue tau semuanya kok. Tapi... menurut gue, elo biarin Tari nenangin dirinya dulu. Kasian dia.”
Angga menoleh ke arah Vero, “thanks, Ver. Elo selalu ngasih jalan yang terbaik saat jalan gue udah buntu. Elo selalu ada, saat gue butuh. Elo... kayak Anggun.”
Disebelahnya, Vero tertawa geli. “Gue nggak kayak adek lo itu. Gue nggak sepolos itu. Lo kan tau sendiri, gimana gue. Gue itu orang jahat, Ga. Nggak kayak Anggun. Dia itu orang baik,”
Tangan Angga mengacak-acak rambut panjang Vero, lalu tersenyum manis. “Ver, itu elo yang dulu. Elo yang sekarang... jauh banget. Berbeda. Karena... elo sebenernya emang baik. Cuma elo belom mengetahui sisi baik lo itu, kemaren-kemaren.”
Vero tertegun. Baru kali ini ada orang yang mengatakn hal itu. Lalu ada perasaan menyelinap begitu saja di dalam hatinya. Membuat debar yang tak karuan.
***
Bukankah ini benar-benar tak adil? Bukankah disetiap kesabaran itu ada batasnya? Mengapa semuanya terjadi seperti ini? Tak seindah yang dibayangkannya? Mengapa harus ia jalani kisah hidup trgais seperti ini? Sendirian? Tak ada satupun yang mampu menyelinap ke dalam hatinya karena hatinya hanya milik satu orang. Satu orang yang kini mungkin benar-benar telah lenyap dikehidupannya.
Disaat semuanya merasakan satu kebahagiaan tiada tara, ia malah mendapatkan kesedihan yang tiada tara! Ari. Cowok itu memilih home schooling. Dan nggak pernah terbesit dibenaknya untuk belajar langsung di SMA Airlangga seperti dulu. Cowok itu tlah menentukan jalannya. Pergi jauh-jauh dari kehidupan Tari. Dan takkan mengganggu setiap detik kehidupan Tari.
Setiap kali, Tari terdiam. Melamun hingga tanpa sadar dirinya mungkin sudah seperti mayat hidup. Menangis. Tertawa. Tersenyum. Mengeluh. Berbicara. Selalu sendiri. Bahkan dirinya sudah tampak seperti orang gila.
“Tar... makan dulu. Mamam udah masakin, masakan kesukaanmu.”
Tetap saja Tari diam. Tak bergeming dari tempatnya. Ia tetap menatap ke luar jendela. Menatap embun yang menempel di kaca akibat hujan lebat tadi. Menatap kekosongan di luar sana. Yang sama persis dengan apa yang ia rasakan.
“Tari... makan sedikit aja. Dari pulang sekolah, kamu belum makan, sayang. Mamam kuatir kamu malah sakit.”
Sama seperti tadi. Tari tetap diam. Tak menggubris perkataan mamanya. Ia hanya menatap keluar dengan tatapan kosong.
“Tar...” mamanya sudah hampir menyerah. “Ada Ari di luar...” ucapnya tanpa di pikir dua kali.
Bukan sahutan yang mama Tari dapatkan. Bukanlah senyum cerah gembira yang di dapatkannya. Namun, tangisan histeris Tari. Cewek itu memegangi kedua kepalanya. Mengacak-acak rambutnya yang tergerai indah. Tangisannya meledak. Tak sanggup dibendung. Nama “keramat” itu di sebutkan mamanya, dan itu malah membuat keadaannya tambah buruk karena ia harus mengingat cowok itu lagi.
Akhirnya mama Tari memilih menyerah dari pada anaknya tambah mengeluarkan air matanya. Ia tinggalkan Tari sendiri dengan kesedihannya.
“Lo tega! Lo tega! Gue benci elo!!! Kenapa elo giniin gue!?”
***
Bahkan di sekolah sekalipun. Semuanya menjadi merasa nelangsa terhadap Tari. Disetiap kehadirannya, selalu ada Ata. Padahal yang ia butuhkan hanyalah Ari. Ari. Ari dan Ari. Dia butuh Matahari Senja-nya sekarang.
Tari sangat ingat jelas, bagaimana Ari memeluknya, saat Ari mencium keningnya, saat Ari memberikan rasa nyaman pada dirinya. Semuanya! Kenangan-kenangan indah itu mulai bermunculan di kepalanya, tanpa peduli rasa sakit yang kini sedang menghadang hatinya dan mencoba untuk merobek setiap helai kesabarannya.
Sesaat di mulai keletihannya, Tari benar-benar menyerah. Ia tak tahu harus berbuat seperti apa lagi. Cukup disini kesabarannya menunggu sosok yang tak pernah ada.
Kini, ia paksakan senyum itu untuk semua orang disekitarnya. Kepergian Ari yang membuatnya semakin terpuruk. Senyumnya yang tulus berubah menjadi senyuman paksaan. Apalagi, kini Ata melihatnya dengan jelas. Cewek itu terlihat tegar, padahal hatinya sedang runtuh. Cewek itu terlihat santai saja saat dirinya mengajak pergi, padahal ia menerimanya untuk melupakan Ari.
Di sisi ini, Ata mengerti satu hal. Cintanya hanya sebatas cinta sebagai seorang Kakak. Nggak lebih. Karena, Tari takkan mungkin menyambutnya dengan senyuman, bahkan dengan senyuman paksaan sekalipun. Memang hanya Ari-lah yang mampu mengisi hati Tari. Bukan dirinya.
Senyum manis itu, rona merah itu, ia berikan bukan untuk Ata. Namun, Ari. Karena apa yang dilihatnya sangat berbeda jauh dengan apa yang terjadi sebenarnya. Tari begitu mencintai Ari. Lebih dari yang ia bayangkan. Cinta itu bertahan, meskipun dirinya sudah mencoba untuk masuk ke dalamnya. Ari terlalu berarti untuk Tari. Untuk cewek yang kini di landa kesedihan akibat ulahnya sendiri.
“Tar, jangan gini dong!” keluh Fio.
“Gue... kangenn bangett sama Kak Ari,” ucapnya tanpa sadar. Tatapannya mengarah ke arah papan tulis. Kosong!

Lagi-lagi Fio harus menghela nafas sabar. Setiap kali dirinya mengajak bicara Tari, cewek itu hanya akan mengeluarkan kata, “gue kangen Kak Ari”, “dia dimana ya?”, “salah gue apa sih?”. Dan itu lagi-lagi membuat Fio dan yang lainnya harus menindak lanjuti urusan ini.


You may also like

1 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Ao Haru Ride

Ao Haru Ride

Daftar Blog Saya

Advertisement

Facebook

Instagram