Jingga Untuk Matahari 07 (FanFiction)

2 Comments


Hai readers, saya datang membawakan Jingga Untuk Matahari lagi nih. Jangan bosen-bosen baca ya :) Jangan lupa komentarnya ditunggu.

Malam ini, Tari nggak bisa tidur. Masih memikirkan Ari yang tadi menyelamatkannya dari Vero. Matanya belum mau tertutup sejak tadi. Ia masih saja meletakan kepalanya di atas meja, dan tugas-tugasnya tergeletak begitu saja.
Suara klakson motor terdengar di luar rumahnya. Tari langsung bangun. Kak Ari!? gumamnya di dalam pikiran. Ia cepat-cepat keluar rumah, dan yang ia dapati disana adalah Angga, bukan Ari. sama sekali bukan. Apakah Tari mulai mengharapkan kehadiran Ari!?
“Angga,” serunya.
Cowok itu langsung melepas helm yang melekat di kepalanya, lalu menatap cewek yang ada di hadapannya dengan manis.
“Ada apa?” tanya Tari. “Kok malem-malem ke sini?”
“Jalan yuk!” ajaknya.
Alis Tari bertaut, “Kemana?”
“Udah, ikut aja. Lo kan udah lama nggak jalan-jalan sama gue,”
Mereka tak pergi jauh, hanya di sekitar taman kompleks Tari. Angga mengajaknya duduk disalah satu kursi taman yang berwarna putih itu. Kursinya terletak persis di depan air mancur yang terpajang disana.
Di dalam kesunyian malam, Angga menatap Tari lekat. Lalu mengamit tangannya, menggenggamnya dengan seluruh perasaan yang bergejolak di dalam hatinya saat ini.
“Tar, please. Lo itu satu-satunya orang yang membuat hidup gue nggak rusak,”
Tari membalas tatapan Angga, tatapan yang menyiratkan sebuah dendam namun juga kesedihan. Nada suaranya membuat Tari tersadar, satu orang ini adalah orang yang pernah menghiasi hidupnya. Menemaninya bahkan menyelinap ke dalam hatinya yang paling dalam. Tari bahkan rela, matanya bengkak hanya untuk cowok ini.
Cowok inilah yang selama ini melindungi Tari dari Ari, bahkan sampai memundurkan diri sebagai pelindung Tari. Sejuta rasa yang berada di dalam hatinya kini, membuat Tari bingung.
 Di satu sisi, Ari telah mendapatkan satu tempat istimewa. Namun, Tari harus melepaskan cowok itu demi kebahagiaan Ari. Sedangkan, Angga hanya dapat memasuki isi hati Tari. Hanya sebentar dan tak terlalu lama. Namun, akan ia coba untuk membangun rasa itu. Rasa yang pernah hilang, karena kedatangan seseorang.
“Lo liat gue kan? Lo nggak milih Ari kan?”
Tari menatap cowok itu, “Ga, kita jalanin aja dulu apa yang terjadi. Kali ini, gue cuma bisa ngomong gitu. Karena gue punya persoalan yang belom selesai,”
“Oke! Yang penting lo harus mau angkat semua panggilan gue,”
Tari memebalasnya dengan seulas senyuman.
***
“Bos, lo serius?” tanya Oji dengan kening yang berkerut. Nggak percaya dengan kata-kata bijak yang keluar dari bibir Ari yang mengatakan akan meninggalkan Tari untuk Ata.
“Serius, Ji.” Ari jadi capek di tanyain mulu sama Oji tentang hal ini. Baru satu menit diem, nanti tanya lagi. Pertanyaannya sama pula, mending beda. Oji ini kalau lagi eros pasti gitu, di bilangin sekali nggak ngerti-ngerti juga.
“Udah dua puluh kali lo nanya kayak gitu ke si Ari,” ucap Ridho sambil menatap Oji dengan alis yang terangkat satu. “Berhentinya kapan, Ji?”
“Kapan-kapan kalo Tuhan mengijinkan,” Oji menatap Ari lagi. Menatapnya dengan pandangan yang benar-benar tak percaya. Ari nyerah gitu aja, beda banget dengan Ari yang dulu ngejar-ngejar Tari dan nggak membiarkan cewek itu di rebut siapapun bahkan teman dekatnya, Ridho.
“Eh, Bos. Udah di pikir-pikir tuh?” tanya Oji lagi. Kali ini mimik wajah Oji benar-benar serius. Nggak bercanda seperti biasanya.
“Ji, kalo lo nanya satu hal kayak gitu lagi. Liat aja nanti!” Ari semakin jengkel.
“Liat apaan, Bos? Liatin si Fio? Oke deh! Gue bersedia bahkan tanpa pamrih,” Oji mengacungkan kedua ibu jarinya tinggi-tinggi.
Ridho menepuk keningnya keras-keras, “Ah, lama-lama gue makan lo! Kesel gue sama lo, nggak bisa apa bener sedikit!?” gerutunya.
Oji malah nyengir kuda, sambil mengangkat dua jarinya keatas. “Peace, man.” Lalu tatapannya beralih kearah Ari lagi, “Gue nggak nyangka lo bakal nyerah gitu aja, Bos.”
Mendengar itu, tentu aja Ari langsung menunduk. Dia bukanlah orang yang gampang menyerah sejak ia berpisah dengan Mama dan saudara kembarnya sendiri. Dia adalah orang yang akan terus berlari meskipun jarak itu terlampau jauh. Ia akan terus menggapainya meskipun itu tak mungkin.
Sedangkan Ridho hanya dapat menepuk pundaknya. Mencoba menabahkan hati Ari. Ari hanyalah seseorang yang berusaha mempertahankan bentengnya dari kehancuram.
***
Ini semua memang rahasia antara Tari dan Ata. Namun, cewek itu tak sanggup lagi memikul beban yang ada di pundaknya. Ia butuh seseorang dan kini ia luapkan beban itu pada temannya, Fio.
Sebenarnya Fio memang harus tahu, secara Fiolah yang selama ini menyemangati dan menemani Tari. Fio, satu-satunya orang yang pasti sangat mengerti posisi Tari saat ini. Kasihan juga dia, kalau harus selalu ikut campur tangan dalam urusan Tari, tapi dia nggak tahu alur cerita yang sedang terjadi.
Pulang sekolah, Tari memutuskan untuk menceritakan semua inti masalah yang terjadi. Tidak panjang lebar, hanya garis besarnya saja. Bahkan, meskipun hanya garis besarnya, semua hal telah tercangkup di dalamnya. Sehingga Fio sangat mengerti dengan persoalan yang terjadi.
Dari mulai perasaannya pada Ari, lalu tiba-tiba Angga datang kembali, memasuki kehidupan Tari dan mencoba membangun rasa yang hilang itu. Saat menceritakaan bagian dimana ia harus berkorban, suaranya bergetar kuat. Ada emosi di dalamnya. Bahkan air bening yang berada di kedua bola mata Tari hampir terjatuh.
Fio menepuk pundak Tari pelan, “Sabar, Tar,” ucapnya menyemangati. “Gue masih nggak percaya, kalo semua ini cuma sandiwara semata.” Fio menggeleng-gelengkan kepalanya.
Isakan Tari semakin kencang. Ia nggak tahan. Nggak kuat dan nggak siap. Kini pilhan itu menyakitinya. “Gue cuma nggak mau dia sakit!” jerit Tari berserta dengan isakannya yang semakin kencang.
“Gue ngerti, Tar. Masalahnya, gimana caranya lo bisa terbebas dari Ata? Itu aja,” Fio sepertinya ikut emosi.
“Cuma satu. Gue harus nyakitin Kak Ari,” kepala Tari tertunduk ke bahu temannya itu.
Tari kembali meneteskan air matanya. Dengan tangannya, Fio sentuh Tari dengan lembut. Ia mencoba membuat Tari lebih tenang.
Dalam isakannya itu, tersimpan seribu luka. Dalam air yang kini terjatuh itu, tersimpan seribu tanya. Mengapa? Ya, hanya itu. Mengapa ia harus bertemu dengan Ari, Ata dan Angga. Mengapa ia harus berada di dalam posisi yang menyulitkannya. Mengapa ia harus memilih pilihan yang sulit? Mengapa saat ia membuka hatinya untuk Ari, semua mempersulitnya. Kedatangan Ata dan ancaman-ancamannya. Bahkan Angga datang kembali dan berusaha membuka satu rasa yang pernah hilang di hati Tari.
       Dua mata disana melihat semua penderitaan Tari. Melihat semuanya dengan jelas, bagaimana bentuk penderitaan itu telah terlampau jauh menyakiti hati cewek itu. Sehingga dua mata itu tahu bahwa sakit yang Tari derita bukanlah sakit biasa, namun sakit yang telah membelah hatinya menjadi dua bagian. Hati yang telah tersakiti terlalu dalam.
       Sebenarnya, dua mata itu tak ingin menyaksikannya. Pemilik dua mata itu tak ingin melakukannya. Namun, ini semua di lakukannya, karena orang itu yang memintanya. Ia bahkan nggak sanggup melukai hati lembut itu. Tapi, orang itu memaksanya melakukan hal ini.
***
“Mata lo kok bengkak?” tangan itu bergerak memegangi wajah Tari yang tirus.
“Masa sih?” Tari nggak menyangka tangisannya tadi telah membuat bekas yang nyata di matanya.
 “Lo kenapa? Ari ngapain lo?”
Tari menggeleng lemah, “Enggak kok. Dia nggak ngapa-ngapain gue,”
 “Yakin? Cerita sama gue,” wajah Angga tampak nggak percaya dengan apa yang di katakan Tari. “Apa lo di ancem sama dia?”
“Enggak kok,” lagi-lagi Tari menggeleng. “Udah ah, gue lagi capek nih.”
Walau hatinya masih tak percaya dengan kata-kata Tari, Angga memersilahkan cewek itu naik di atas motornya. Ia menoleh ke belekang melihat Tari yang sekarang jadi melamun.
 “Tar,” panggil Angga.
Tari tetap diam. Pandangannya kosong. Bahkan ia nggak sadar Angga memanggilnya.
 “Tar,” panggil Angga lagi. Namun tak ada jawaban atau sahutan dari Tari. “TARIII!!!” Angga langsung teriak gara-gara nggak di sahut sama sekali oleh Tari.
Tari langsung tersentak, ia menoleh ke kanan dan juga ke kiri. “Ada apa? Ada apa?”
 “Dari tadi gue panggilin, lo nggak jawab. Kenapa sih?”
Tari menghela nafasnya, “Lo tuh ya, gue kan udah bilang. Gua capek. Jangan teriak-teriak bisa nggak sih!?”
 “Lagian, gua panggil malah tambah bengong. Mikirin apa sih? Mikirin gue ya?” terka Angga. “Gue nggak usah di pikirin, Tar. Gue kan always beside you.”
“Aduh! Nggak usah kege-eran bisa nggak sih!?” gerutunya. “Buruan jalan!” perintah Tari.
Peace,” Angga membentuk huruf “V” dengan kedua jarinya. “Galak amat sih!”
“Apa? Galak?” Tari bertolak pinggang.
Angga nggak menggubris kemarahan Tari, ia langsung tancap gas sehingga tanpa sadar Tari hampir saja terjatuh dan langsung sigap memeluk pinggangnya.
***
Hari ini, Tari berangkat sekolah dengan rasa lelah, letih dan juga lesu. Sumpah deh! Hari ini, dia nggak bersemangat sama sekali. Nggak ada tenaga. Tubuhnya pegal-pegal semua. Apalagi tadi malam ia nggak bisa tidur hanya karena memikirkan perkataan Ata dulu. Yang mengatakan akan membuatnya menangis.
 “Jadi ini maksud dia,” gumamnya saat berjalan di koridor sekolah. “Dan dia berhasil! Hebat!” Tari malah memuji semua yang dilakukan Ata.
Selain kemarin, pulangnya, Tari juga menangis. Menangis lagi. Bahkan lebih kencang dan sampai-sampai membuatnya flu, nggak bisa nafas! Sesak banget di dadanya.
Tiba-tiba ada orang yang merangkul Tari dari belakang, kontan Tari nenoleh dan mendapati sosok cowok yang nggak asing algi untuk dirinya. Cowok itu tersenyum sinis.
“Udah puas nangisnya?” alis Ata terangkat satu.
 “Enggak!” tegas Tari. “Kayaknya gue perlu satu bulan buat nangis! Jadi lo, jangan gangguin gue!” Tari menghentakkan kakinya, lalu melepas rangkulan Ata.
 “Anggap aja gue Ari,” ucapnya santai. “Jadi, lo bisa nangis di pelukan gue,” tambahnya dengan senyuman kalem.
Mata Tari menyipit, “Jangan harap!” tangannya mengibas di depan wajah Ata. “Lo dan dia beda! Sangat beda!” tegasnya.
Kedua tangan Ata melipast di dada, “Oh ya?” dia seperti terkejut. “Tapi jangan lupa ya, kita saudara kembar! Nggak beda!”
Tari menghembuskan nafas kesabarannya. Cowok satu ini emang doyan banget bikin Tari naik darah bahkan nangis. “Beda!” seru Tari nggak mau kalah dengan pernyataan Ata tadi. Matanya melotot.
 “Terserah. This is fact,” Ata merangkul Tari lagi. Lalu menggeretnya kearah kelasnya. Dengan senyuman manis yang palsu. Mau Tari berontak, Ata pasti langsung bersiap untuk mengeluarkan ancaman. Jadi, Tari nggak bisa apa-apa, selain menurut saja apa kata cowok satu ini.
***
Ari mengangkat satu kakinya keatas, lalu menghisap rokoknya. Di sampingnya ada Oji dan Ridho yang menyantap makanannya dengan lahap. Bahkan bisa di sebut kelaparan! Bukan lahap lagi.
 “Bos, lo nggak laper?” Oji menatap Ari dengan alis yang terangkat satu.
 “Enggak,” Ari menggeleng seraya menghembuskan asap rokoknya.
 “Oh ya, si Eki ngajak main bola. Lo ikut nggak?”
Ari diam. Nggak menjawab. “Oke deh,” ucap Ari akhirnya. “Tapi sampe pagi lagi ya.”
 “Ah kalo gitu gue nggak ikut ah,” Ridho langsung nyerah kalau di suruh Ari main bola sampai pagi lagi. “Gue kan bukan kalong!”
 “Gue juga nggak ah! Lo ajak aja tuh sodara lo,” Oji juga langsung turun tangan. “Kayaknya satu kelas bakal nolak kalo lo ngajaknya sampe pagi,”
 “Cewek semua lo! Kayaknya yang cowok gue doang deh!” Ari menghisap rokoknya lagi. Kakinya turun kebawah.
Oji bertolak pinggang, “Kalo lo mau nyiksa, jangan nyiksa gue napa! Cukup. Gue udah menderita gara-gara lo larang deket-deket sama Fio. Lo ajak sodara lo aja tuh, kan dia yang bikin lo menderita!”
Ari malah tertawa geli, “Oh jadi lo tersiksa ya?”
 “Ya iyalah,” Oji mendengus kesal.
 “Ya udah, sekarang lo boleh deketin si Fio.” Ari meminum minumannya. Puntung rokonya ia matikan dengan injakan kakinya.
 “Serius lo?” mata Oji melebar.
Ari mengangguk, “Tapi, main bola sampe pagi ya?”
 “Nggak pa-pa deh, yang penting gue boleh deket Fio!” seru Oji sambil loncat-loncat.
Ridho melongo, “Serius lo, Ji? Lo lagi nggak gila kan? Sampe pagi lho.”
Ari menepuk pundak Ridho, “Itulah sikap orang kalo lagi jatuh cinta. Jadi jangan heran, Dho. Makanya, elo harus ngerasain jatuh cinta.”
 “Nggak ah. Ntar gue gila lagi kayak si Oji. Ngurusin si Sarah aja ribetnya kebangetan. Gimana gue mau jatuh cinta? Nanti tu fans gue ngegorok gue lagi!”
Ari ketawa ngakak.
***
Di tempat lain, Ata mengajak Tari pergi. Pergi ke suatu tempat yang penuh dengan pohon-pohon yang rimbun. Ke suatu tempat yang selama ini menjadi tempat pertahanan Ata. Tempat dimana Ata bisa menyusun semua rencananya.
 “Ngapain, Kak?” Tari menoleh kearah Ata.
Ata tampak pucat, wajahnya tegang. Entah karena apa, mungkin Ata kurang tidur atau makan. Cowok itu nggak menjawab pertanyaan Tari, ia hanya menatap lurus dengan pandangan kosongnya. Pandangan yang memliki beberapa makna dan arti.
Karena Ata diam, Tari pun ikut diam. Cewek itu nggak mau buka suara lagi. Daipada di cuekin, mendingan diem deh. Yang penting dia nggak diapa-apain sama kembaran Ari ini.
Tangan Ata mengamit tangan Ari, memerintahkannya untuk duduk disebelahnya. Tari menurut, namun tak berkata apa-apa. Lalu cowok itu menatap Tari lekat. Tepat di kedua manik matanya yang cokelat.
 “Tar, gue…” Ata menggantung kalimatnya. Lalu dengan hitungan detik, ia rengkuh cewek ini ke dalam pelukannya. Ia peluk erat, dengan segala rasa yang ada.
Marah, iri, sedih, tersiksa, segalanya. Semua rasa. Cewek itu mencoba berontak dari pelukan itu, “Sebentar aja,” lirih Ata.
Akhirnya Tari diam. Ia biarkan cowok ini memeluknya. Sepertinya cowok ini telah lelah dengan apa yang ia lakukan. “Gue… capek. Tapi gue nggak bisa berhenti.”
 “Kenapa?” kontan Tari mengeluarkan pertanyaan itu.
 “Karena dia belum merasakan apa yang gue rasakan. Dia masih bisa menahan bentengnya agar nggak runtuh. Padahal segala cara udah gue lakuin,” ucapnya. Suaranya bergetar hebat.
Tari diam. Ata juga. Hening. Tapi Tari masih ada di dalam pelukan yang membingungkan itu. Pelukan yang terasa menyakitkan. Sampai-sampai Tari merasakan dirinya tak dapat bernafas lebih lama lagi di dalam pelukan ini. Pelukan ini begitu mematikan.
Terdengar helaan nafas yang keluar dari mulut Ata. “Cuma lo. Lo yang bisa membuat dia sakit!” ucapnya pedih. “Cuma lo.”
 “Tapi dia, dia tetep bertahan. Gue nggak tau cara apa lagi yang bisa bikin benteng dia hancur. Padahal hati dia cukup tersakiti melihat lo dan gue. Apalagi dengan permintaan lo,”
Tari melepas rengkuhan erat itu. Ia tatap Ata lekat-lekat. “Dia kuat! Gue yakin. Dia nggak akan pernah runtuh! Meskipun lo udah melakukan segala cara,” tegas Tari.
Ata menuduk, lalu tersenyum. Senyum pedih, “Tapi sayang, Tar. Gue juga nggak akan menyerah! Sampai titik penghabisan gue, karena gue sama kayak Ari!”
Tari tercengang. Nggak menyangka. Cowok ini benar-benar keukeuh mau membuat Ari hancur. Cowok ini nggak akan pernah menyerah, meskipun gagal. Dia pasti akan mencobanya, terus sampai misinya berhasil.


You may also like

2 komentar:

  1. Itu ada ralat, ata meluk tar bukan ari :D oya, sama nama adiknya tari itu geo, bukan gio :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih udah mau kasih koreksi :) nanti dibenerin...

      Hapus

Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Ao Haru Ride

Ao Haru Ride

Daftar Blog Saya

Advertisement

Facebook

Instagram