Sakura Fujiwara





Tadi adalah pertemuan terakhirku dengan Zia. Aku dengan sangat amat menyesal mengatakannya. Makanya aku bersikeras ke Bekasi untuk bertemu dengannya dan meminta maaf atas segala kesalahpahaman yang sudah terjadi.
Yaps. Aku menuruti apa yang orang itu mau. Aku memanggilnya dengan sebutan ‘M’. Karena aku yakin M adalah pemimpin dari orang-orang yang menculikku waktu itu.
Aku meminta padanya untuk membiarkan aku bertemu dengan orang-orang yang harus kujauhi. Mulai hari senin, aku akan pindah sekolah dan pindah rumah. Aku tidak akan lagi tinggal di Jakarta.
Baru saja aku mengirimi Atha sebuah pesan untuk menjaga Zia selamanya. Jangan membiarkan Zia tersakiti dan aku mendukung Atha untuk terus berusaha membuat Zia jatuh cinta padanya dan melupakan Awan.
Aku juga pergi ke makam Kak Yasumi dan mengucapkan selamat tinggal. Aku tidak mungkin bisa sering-sering ke makam Kak Yasumi lagi. Aku akan berada di tempat jauh, dan mungkin saja tidak kembali.
Walaupun aku tidak tahu seberapa besar kuatnya M, tapi aku yakin, dia tidak akan ragu-ragu menyakiti orang-orang yang ada di sampingku.
Dan orang terakhir yang akan kutemui adalah Badai. Ya, Badai.
Meskipun tidak yakin bahwa Badai akan datang ke sini, tapi aku akan menunggunya. Aku harus menyelesaikan semua ini dan pergi sejauh mungkin dari orang-orang yang kusayangi.
Waktuku untuk bertemu Badai tinggal hari ini. Karena besok aku sudah berangkat menuju Jepang dan meninggalkan Indonesia untuk waktu yang lama. Itu sudah menjadi keputusan bulatku dan keluargaku.
Di sebuah taman yang hanya diterangi lampu remang-remang, aku duduk sendiri menunggu Badai. Sepuluh menit... dua puluh menit... tiga puluh menit...
Baiklah. Badai sepertinya memang menjauhiku untuk kebaikanku, bukan? Ah! Lagi pula Badai sudah punya Prisil. Dan aku juga tidak yakin Badai masih memiliki perasaan yang sama denganku seperti dulu. Tapi... bisa jadi Badai memang tidak memiliki perasaan yang sama denganku.
Aku menunduk dan menatap jam berwarna perak di pergelangan tanganku. Sudah cukup lama. Sepertinya aku harus segera pulang dan beristirahat supaya besok aku bisa pergi dengan tenang ke Jepang.
Aku berdiri dan berjalan pelan menjauhi taman. Ini memang menyedihkan. Padahal aku hanya ingin mengucapkan kata-kata perpisahan.
“Ara?”
Suara itu. Suara yang kukenal baik satu tahun yang lalu dan berubah menjadi suara aneh yang tak kudengar lagi.
Aku membalikkan badanku dan melihat Badai berdiri dengan nafas terengah-engah. Sepertinya sangat sulit sekali memutuskan untuk bertemu denganku atau tidak.
“Aku kira kamu nggak datang.”
“Maaf...” Badai menunduk. “Ada apa?”
Aku menggeleng dan tersenyum. Kulihat Badai mendekat ke arahku. Jantungku kini berdebar-debar tak karuan. Sialan. Aku masih menyukai Badai sampai detik ini.
“Aku mau bicara sesuatu. Kamu cuma perlu mendengarkan dan nggak perlu menanggapi. Kamu hanya perlu berdiri di situ sampai aku selesai bicara.”
“Eh...?” Dia terlihat bingung, tapi tidak berbicara apa-apa.
“Pertama aku masuk SMA, aku pingin hidupku seperti di novel-novel. Tapi aku malah ketemu kamu. Dijailin, membuat aku marah, membuat aku pingin menutup semua mulut teman-teman sekelas dan membuat aku... jatuh cinta.”
Dia terdiam.dari raut wajahnya, aku tahu kalau dia kaget bukan main. Tapi sesuai dengan kemauanku, aku mau dia diam saja, jadi ia tetap memandangku tanpa mengeluarkan satu patah kata pun.
Aku tersenyum. “Aku udah bilang kan kalau kamu nggak usah memberikan reaksi apa-apa?” Salah satu alisku terangkat. “Jadi, walaupun aku mengatakan bahwa aku jatuh cinta sama kamu, kamu nggak perlu khawatir. Aku nggak akan ganggu kamu dan aku akan menghilang dari kehidupanmu seperti buih.”
Reaksi Badai kini tidak hanya kaget, melainkan bingung. Dia pasti sangat ingin berbicara. Menenangkanku dan meminta maaf misalnya.
“Jangan khawatir. Kamu nggak bersalah dan kamu nggak perlu minta maaf.” Sesuai dengan perkiraanku, raut wajah Badai berubah. Dan aku tidak bisa mengartikan arti dari raut wajah itu. “Sekarang aku lega karena udah bilang semuanya sama kamu. Terima  kasih udah mau medengar omong kosongku.”
Aku mendekat. Kuulurkan tanganku untuk menjabat tangannya. Tapi Badai tidak bereaksi sama sekali kecuali menatapku. Aku berinisiatif untuk menjabat tangannya langsung.
“Selamat malam, Badai.” Aku tersenyum simpul dan melepaskan jabatan tanganku di tangannya. Lalu aku berbalik badan, menjauhi Badai. Untuk selama-lamanya.
Selamat tinggal...
***
Pagi-pagi mamaku dan ayahku sudah cerewet karena aku masih setia dengan tempat tidurku. Aku juga merasakan tangan mamaku menyeretku untuk turun dari tempat tidur dan menyuruhku untuk cepat mandi.
Baiklah. Seharusnya aku berterimakasih karena pagi ini pasti murid-murid SMA Angkasa sedang melaksanakan upacara. Sementara aku tidak harus mengikuti upacara dan hanya perlu mandi kemudian pergi dengan santai dari negara ini. Lalu... menemui orang itu. M. Tinggal bersamanya untuk beberapa waktu sebagai jaminan.
Dalam waktu 30 menit aku sudah siap dalam balutan jins hitam panjang, blus panjang berwarna merah jambu dan topi bertuliskan ‘Now or Never’.
Aku melewatkan waktu sarapanku karena aku bangun terlambat. Mamaku tidak peduli aku mengeluh lapar bukan main, katanya itu semua karena kesalahanku. Untung saja mama dan ayahku tidak bertengkar lagi.
Sampai di bandara Soekarno-Hatta aku mendesah panjang. Tidak ada satu pun orang yang tahu kepergianku. Tentu saja, jika mereka tahu maka tamatlah riwayatku. M akan melukai orang-orang terdekatku. Aku hanya berharap mama dan ayahku tidak menjadi korban juga.
“Masih satu jam lagi sebelum waktu keberangkatan. Kamu lapar, kan!?” Mamaku melihat jam di pergelangan tangannya. Aku hanya mengangguk untuk menjawabnya. “Ayo kita ke restoran yang ada di sana.”
Aku mengintili mamaku dan segera masuk ke dalam restoran cepat saji. Sebenarnya makanan ini tidak baik untuk kesehatanku, tapi aku terpaksa memakannya karena tidak punya banyak waktu.
“Ara, ponselmu jangan lupa dimatikan.” Ayah memeringatkanku sambil duduk di depanku. “Ma, tidak ada barang yang ketinggalan, kan!?”
Mamaku menggeleng, sementara aku langsung merogoh saku jinsku mencari-cari di mana ponselku berada.
Setelah menemukannya aku melirik ponselku yang bergetar. Beberapa saat kemudian kau baru tersadar bahwa dari tadi ponselku bergetar memberitahu bahwa ada pesan masuk dan missed call dari nomor yang sama. Nomor milik Badai. Sejenak aku tertegun.
Badai menelponku lagi. Aku bingung harus melakukan apa. Jika aku mengangkatnya, apa yang harus kukatakan pada Badai? Lalu jika aku tidak mengangkatnya... apakah aku akan menyesal?
Dengan ragu, kugeser warna hijau di layar ponselku. Lalu kudekatkan ponselku ke telinga.
“Halo.”
“Ara, kamu di mana?”
Aku tersentak. Badai tahu aku tidak masuk sekolah?
“A-Aku... di rumah, kenapa?”
Sejenak hening di seberang. Lalu kudengar Badai mendesah panjang. “Aku mau ngomong sesuatu...”
“Ya...?”
“Tapi... Prisilia... kamu tahu, pacarku...”
Prisil? Mengapa Badai membicarakan pacarnya denganku? Apakah tidak ada bahasan lain? Tidakkah dia tahu bahwa aku harus pergi jauh untuk selama-lamanya? Aku menahan rasa sesak di dadaku agar air mataku tidak menetes.
“Kenapa?” Aku bertanya dengan nada getir.
“Dia... dia diculik setelah mendapatkan boneka susan dengan surat ancaman yang berisi bahwa Prisil... telah mengganggu kamu.”
APA!?
“Bi-Bisa aku ketemu kamu sekarang?”
“Sekarang?” Aku mengenyitkan keningku. Kedua orang tuaku menatapku bingung. “Kamu... kamu kan lagi sekolah.” Aku bersuara dengan nada rendah.
“Aku kabur. Sekarang aku dan Awan lagi melacak keberadaannya.”
“Trus?” Aku mendnegar suaraku yang berubah menjadi suara penuh luka. “Apa hubungannya denganku?”
Badai terdiam sejenak sebelum berbicara. “Aku rasa, kamu bisa membantu kami. Aku mohon...”
Suara itu membuatku langsung jatuh ke titik paling bawah dan membuatku tidak bisa menahan diri. Setelah mengatakan bahwa aku akan ke sana dengan nada terpaksa, aku menatap kedua orang tuaku yang sedang menunggu.
“Ayah, Mama, aku mau ngomong...” Aku berdeham. “Bisa aku berangkat di penerbangan kedua?”
“Ada apa?”
“Sepertinya aku lupa bahwa pagi ini aku harus mengucapkan selamat tinggal pada Kak Yasumi.”
“Kamu bisa melakukannya nanti, Sayang. Kamu bisa terbang ke Indonesia satu bulan lagi, atau tahun depan. Lalu kunjungi Yasumi. Dia tidak akan marah.” Ayahku mengelus-elus puncak kepalaku.
Aku menggeleng. “Aku juga lupa mengucapkan selamat tinggal pada Zia. Aku mohon...”
“Baiklah. Tapi janji penerbangan kedua kamu langsung naik pesawat ya?” Mama menatapku dengan tatapan lembut. Aku mengangguk.
Setelah mendapat ijin dari orang tuaku, aku langsung berlari keluar dan mencari taksi untuk bertemu Badai.
Namun saat aku baru saja menghempaskan pantatku di kursi taksi, ponselku bergetar.
“Sakura...”
“Ada apa, Tha?”
“Zia diculik, Ra. Dia menghilang setelah pergi ke kamar mandi!!!”
Aku tersentak kaget luar biasa. Lalu ponselku berdering tanda ada pesan masuk. Aku membukanya dengan tangan gemetar.

See? Saat kamu tidak menepati janji kamu, orang-orang yang ada di sekitarmu akan tetap berada dalam bahaya. Kamu sudah berjanji akan menjadi milikku. Maka kamu harus melupakan apapun dan siapapun yang ada di masa lalumu, Sayang.

Aku terkejut bukan main. M benar-benar cerdik dan sangat memperhitungkan waktu. Dalam beberapa menit, dia sudah mengetahui bahwa aku meninggalkan bandara dan menuju tempat pertemuanku dengan Badai.
Sial. Aku menyesal melakukan ini. Zia menjadi taruhannya. Seandainya perasaanku pada Badai tidak seegois ini... aku memang bodoh! Jelas-jelas Badai meminta bantuan untuk menyelamatkan pacarnya. Yang secara tidak langsung, telah menyakiti hatiku dan membunuhku secara perlahan.
Zia, I’ll find you...



Pulang sekolah!
Saat yang benar-benar menegangkan bagi Tari dan juga Fio. Saat Fio terpaksa meninggalkan Tari di pintu gerbang dan menitipkan Tari pada Angga, Tari benar-benar deg-degan. Kalau Ari melihat, pasti gawat!
Tapi satu hal kemungkinan yang sangat amat nggak ingin Tari lihat, sepertinya akan menjadi kenyataan sebentar lagi. Karena dari arah tempat parkir sekolah, ada mata tajam yang mnegarah lurus-lurus pada Tari dan Angga.
Dan satu hal, mereka bahkan nggak mengetahui mata tajam itu mengarah pada mereka sejak tadi. Dengan tangan yang siap menggas motornya kapan saja, Ari menatap cewek yang menyandang nama yang sama dengannya. “Lo bener-bener memulai sebuah kesalahan, Tar,” desisnya.
“Bye, Tar,” Fio melambaikan tangannya pada Tari, sebelum Angga membawa Tari dengan motornya itu pergi dari gerbang sekolah SMA Airlangga.
Tari membalasnya dengan senyuman yang merekah di wajahnya, dan pada saat itu pula, Ari menggas motornya, mengikuti kemana dua orang itu pergi.
Angga nggak membawa Tari pergi jauh-jauh, dia hanya mengantar Tari pulang dan langsung beranjak pergi setelah Tari menyuruhnya pergi dengan paksa. Sementara Ari masih melihat Tari dari kejauhan, ia langkahkan kakinya perlahan menuju rumah Tari, setelah Angga benar-benar telah pergi dan jauh dari rumah Tari.
Dengan keadaan yang memang belum siap, Tari kini tercengang saat melihat Ari mendekatinya dengan langkah perlahan dan tatapan yang datar tapi dingin. Satu hal yang Tari sadari, Ari melihatnya bersama Angga dan Ari pasti nggak tinggal diam saat mengetahui Angga telah kembali.
“Jadi ini permainan lo?” tanyanya dengan mata yang menyipit.
Tari terdiam, lidahnya kelu, tak mampu mengatakan sedikit saja kata agar Ari nggak marah sama dia. Tapi percuma aja, Ari nggak akan peduli, karena ini adalah sebuah awal dari peperangan yang dibuat oleh Tari sendiri.
“Gue pikir lo nggak akan lagi melihat kearah lain, tapi kenyataannya lo masih ngarepin dia,” ucapnya sengit. Tersirat nada kecewa yang bercampur marah didalamnya.
“Enggak gitu kok, lo jangan…”
“Panggil gue kakak!” bentaknya.
Tari kaget, mulutnya kontan terbuka lebar. Kayaknya kali ini Ari memang marah banget sama dia. Jangan sampe aja kejadian di kantin waktu itu terulang lagi! Bisa gawat kalau gitu mah.
“Eng… maaf, Kak. Tapi kakak salah pengertian, dia cuma mau lindungin saya aja kok,” Tari menunduk, tak berani menatap mata tajam Ari.
“Gitu!? Jadi sekarang gue dianggap apa? Musuh lo? Apa lo malah anggep gue nggak mampu untuk lindungin lo!?” mata tajam itu kini mencoba membuat Tari menjadi merasa bersalah.
Telak! Tari nggak bisa mengarang alasan lain. Karena sebenarnya dalam hal ini, Tari menganggap Angga sebagai pelindung Tari dari Ata bukan Ari. Dan jika Tari member alasan sebenarnya, mungkin aja Ari malah akan membela Ata mati-matian karena kenyataan yang ada hubungan antar saudara, apalagi saudar kembar, lebih erat daripada hubungan Tari dan Ari yang sebatas terikat hanya karena sebuah nama.
“Kenapa diem? Nggak bisa jawab!? Kalo lo diem gini, itu berari lo emang anggep gue musuh atau bahkan gue nggak mampu untuk lindungin lo!”
Tari menggeleng, “Nggak kok, Kak. Saya nggak bermaksud nganggep gitu…” ucapnya lirih.
“Jadi, apa maksud lo?”
Kini Tari berusaha menatap Ari, menatap kedua bola matanya yang hitam pekat. “Maaf, Kak, tapi saya nggak bisa cerita…” ucapnya, “Belum saatnya gue cerita,”
“Oke, Fine! Lo bisa nggak cerita sama gue kayak apa yang lo lakuin dulu, tapi jangan salahin gue kalo lo akan tersakiti nanti. Sama kaya dulu,” ucapnya sengit tepat di depan wajah Tari yang kini berubah memucat.
Dengan langkah panjangnya, Ari segera pergi dari tempat itu. Sedangkan Tari hanya dapat memandang punggung itu yang semakin lama semakin menjauh pergi dengan motor hitamnya.
Tari masih bingung untuk mengungkapkannya atau tidak, karena saat Ata memerintahnya agar tak memberitahunya pada Ari, saat itu juga Tari khawatir keadaan akan semakin buruk dan Ari malah mengira yang tidak-tidak pada Tari.
***
Baru saja Tari menginjakan kakinya dilantai dua sekolahnya ini, munculah jongos-jongos setia Ari. Oji dan Ridho, kali ini nggak terlihat Ari diantara mereka. Malah yang membuat Tari sekarang jadi takut, jangan-jangan jongos-jongos Ari ini mau nyulik dia!?
Tapi perkiraan Tari mengenai jongos-jongos ini akan gangguin dia, salah besar! Oji dan Ridho sama sekali nggak gangguin Tari, bahkan mereka asyik ngobrol tanpa memerdulikan Tari yang lewat dihadapan mereka. Mereka menganggap Tari hanyalah angin lewat yang tak kasat mata.
Satu hal yang kini berkelebat dikepalanya, ini benar-benar aneh! Tapi satu hal itu di syukuri Tari, karena kemungkinan besar, mereka nggak akan gangguin Tari kayak dulu. Cuma Tari merasa sedikit hampa tanpa kehadiran seorang Matahari Senja yang pernah bilang bahwa Tari itu adalah bayang-banyangnya.
Bahkan di parkiran sekolah, Tari tak melihat batang hidung pentolan SMA Airlangga itu. Apa Ari sakit!? Apa Ari masih marah!? Apa Ari bolos!? Semua kemungkinan ada dan tanpa Tari sadari, ia telah memikirkan Ari dan dalam kata lain, Tari kangen sama Ari.
“Tar,” panggil Fio.
“Ya, apa?”
“Lo nggak bermasalah lagi kan!?” tanyanya dengan nada heran.
Tari mengerutkan keningnya, “Emang kenapa?” tanyanya dengan wajah kalem.
“Tau nggak? Kak Vero nyariin lo, waktu lo belom dateng, dia ngamuk-ngamuk nyariin lo. Dia bilang, dia pengen kasih pelajaran sama lo, Tar. Emang lo ngapain lagi sih?”
Tari tersentak, “Apa? Serius lo? Gue nggak ngapa-ngapain kok, Fi. Kok dia bilangnya gitu ya!?”
Fio menggeleng, dia emang nggak tahu menahu soal yang ini. Fio cuma takut Vero nyakitin Tari. Tapi Fio yakin, Ari pasti ngelindungin Tari. Hanya di sisi lain, Fio nggak tahu, bahwa yang terjadi kemarin antara Tari dan Ari adalah awal penderitaan Tari yang selama ini diinginkan Ata.
Yang Tari lakukan malah membuat pelindungnya tak lagi ada di pihaknya bahkan mungkin disisinya seperti dulu.
“Tenang, Tar. Ada Kak Ari, dia pasti ngelindungin lo kok,” ucapnya sambil menepuk pundak Tari pelan-pelan.
Tari menunduk, nggak tahu harus mengatakan apa pada teman sebangkunya ini. Karena apa yang terjadi, sebenarnya tak ia mengerti. Ancaman Ata, kembalinya Angga, tentang Vero dan kemarahan Ari. Semua membuatnya nggak ambil pusing dan nggak terlalu mikirin semua hal itu.
***
Dengan menelan segala rasa bosan yang ada, Tari menunggu Fio di foodcourt. Katanya Fio sih, dia mau bantuin mamanya masak dulu, baru deh pergi ke foodcourt. Sambil mengaduk-aduk minumannya, Tari melihat kesekeliling. Berharap Fio cepat datang dan nggak lama-lama.
Namun, saat Tari melihat kearah pojok dekat jendela, ia melihat seseorang yang ia kenal. Ari! Sedang duduk sambil meminum minumannya. Mata Tari menyipit, di satu sisi Tari sedang tak ingin melihat Ari, tapi di sisi lain hatinya tak dapat berbohong karena sebenarnya dia berharap Ari bisa seperti dulu, saat ia berpura-pura menjadi Ata. Di saat Ari ada disisinya, menemani dirinya.
Mata mereka bertemu, Ari menatap cewek itu dengan sangat amat aneh. Tak dapat Tari mengerti. Dengan langkah panjang, cowok itu mendekati Tari, lalu duduk di sebelahnya.
“Sore, Tar,” sapanya dengan seulas senyum.
Pada saat itu juga ia menyadari, ini bukan orang yang ingin ia lihat. Dia Ata! Cara bicara yang sangat Tari kenal tak dapat ia temukan pada saat cowok di depannya ini menyapanya.
“Kenapa diem? Kaget? Atau lo belom tau gue siapa?”
“Kok kakak ada di….”
“Lo pikir gue nggak bisa duduk dan masuk disini? Lo pikir gue nggak mampu? Hah!?” potong cowok itu cepat. Matanya menatap Tari lekat-lekat, tepat di manik matanya.
“Gue nggak maksud gitu kok, Kak,” kilah Tari.
Cowok itu terdiam, tapi matanya tak berhenti untuk menatap Tari. Sedangkan Tari tak berani untuk menatap mata cowok itu.
“Lo masih inget dengan kata-kata gue?” tanyanya tiba-tiba.
Tari mengangguk lemah, “Gue masih inget kok,”
“Lo udah bilang Ari?”
Tari menggeleng, “Nggak kok, gue nggak bilang sama Kak Ari,”
Tiba-tiba Ata berdiri dari tempat duduknya, lalu menarik tangan Tari dengan kasar. Tari meronta, tapi tak dapat berbuat apa-apa. Dia hanya bisa pasrah mengikuti kemana Ata pergi membawanya.
Satu hal yang Tari lupakan, Fio belum datang dan pasti khawatir karena Tari nggak ada di foodcourt.
Ata tetap menarik Tari, meskipun Tari berusaha sekuat tenaga untuk memberontak. Genggaman kasar penuh dendam, “Kak, kita mau kemana?” tanya Tari.
Ata tersenyum miris, “Ke tempat dimana lo nggak bisa lihat cahaya dan dimana lo tersakiti, sehingga seseorang itu sakit ngeliat lo,” ucapnya sengit. Ia tarik Tari semakin kuat.
“Maksud lo apa sih, Kak?”
Ata malah tak menghiraukan pertanyaan itu, ia malah terus berjalan meninggalkan mall dan foodcourt, tempat dimana Fio dan Tari janjian. Sepertinya Fio nggak akan menemukan Tari disana ketika Fio sampai. Karena Ata membawa Tari terlalu jauh, bahkan Tari nggak tahu dimana dirinya sekarang berada.
Dengan langkah panjang yang semakin lama semakin cepat, Tari mencoba menyamai langkah Ata. Semakin lama, semakin jauh. Semakin lama, semakin gelap. Dan semakin lama, semakin Tari tak dapat mengetahui dengan jelas dimana ia berada.
Samapi di sebuah tempat yang gelap, dengan lampu remang-remang yang sebentar lagi mau mati dengan sukses, Ata membawa Tari masuk ke dalam rumah yang seperti gudang itu.
Ata geret Tari dengan paksa, lalu setelah cewek itu masuk di dalamnya, dengan cepat Ata menguncinya dari luar. Sementara Tari berusaha membuka pintu itu, ia gedor-gedor dengan sekuat tenaga. Namun nihil.
“KAK, BUKA,” teriaknya dari dalam sambil menggedor-gedor pintu yang terbuat dari kayu yang sudah usang.
“Selamat menikmati ketakutan lo sendiri, Tar,” bisiknya pelan, lalu meninggalkan rumah itu dengan langkah cepat dan hati-hati.
Sedangkan di dalam rumah tersebut, Tari baru menyadari satu hal, disana nggak ada ventilasi, dan lampu rumah itu tiba-tiba dengan cepat mati! Ia ketakutan. Keringat dingin mulai mengucur di keningnya, membasahi setiap lekuk wajahnya.
Lampu yang mati itu malah membuatnya semakin ketakutan, apalagi Tari itu takut banget sama yang namanya gelap. Semakin lama, terdengar suara-suara aneh yang membuat hatinya gundah dan ketakutan. Nggak ada orang di sekitarnya, hanya ia sendiri. Meringkuk dekat pintu sambil memeluk kedua kakinya erat-erat.
“Kak, tolong Tari, tolong Tari. Tari takut,” lirihnya dengan air bening yang tiba-tiba membasahi wajahnya yang kini mulai memucat.
Tari rogoh kantongnya, namun alat teknologi itu tak jua ia temukan. Dan baru ia sadari ponselnya tertinggal di foodcourt saat Ata menariknya paksa. Kini dia nggak bisa menghubungi siapapun. Nggak ada harapan, ia hanya dapat berserah pada takdir.
Ia menggigil kedinginan, dan semakin lama ia merasa tak dapat bernafas. Udara yang dia butuhkan nggak ada. Kedinginan, di dalam gelap, ketakutan dan tak dapat bernafas, itulah yang Tari rasakan sekarang.
Tari berdoa, berharap ada seseorang yang bisa menolongnya. Bahkan di dalam lubuk hatinya yang terdalam, tanpa ia sadari, ia berharap Arilah yang menolongnya. Ari yang ia butuhkan sekarang. Ia rasakan sulitnya bernafas, ia tak dapat menghirup udara. Paru-parunya tak dapat bekerja.
Matahari telah berganti menjadi bulan, kegelapan di sebuah tempat yang tak ia kenal. Matahari yang pergi telah membuatnya semakin ketakutan. Apakah itu tandanya ‘matahari’ itu nggak akan datang untuk menolongnya!?
Keringat dingin sudah mengalir deras di setiap lekuk wajahnya. Kini yang ia rasakan adalah kehampaan. Ia tak dapat merasakan apa-apa. Ia bahkan tak dapat menghirup segarnya udara, yang ia rasakan kini adalah sesak yang membuat kepalanya semakin lama semakin pening. Dan semakin lama, ia merasakan kegelapan yang berasal dari dirinya sendiri. Matanya tertutup rapat, tubuhnya terhuyung jatuh.

“Tari, angkat dong….” keluh Fio, tapi ia malah mendengar bunyi suara ponsel di salah satu meja foodcourt tersebut.
Fio hampiri meja tersebut, ada ponsel Tari disana, ada segelas jus strawberry juga. Tapi disana nggak ada pemilik ponsel tersebut. Fio cari di toilet yang ada di dalam foodcourt, tapi tetap aja nggak ada Tari disana.
Lalu Fio mencoba tanya dengan waitress yang ada disana, “Mbak, tau nggak cewek yang ada di meja itu kemana?” tanya Fio sambil menunjun kearah meja tempat Tari meninggalkan ponselnya.
“Oh itu, tadi dia di bawa sama temen cowoknya. Kayaknya sih pacarnya, orangnya tinggi, pokoknya dia kayak anak sekolah gitu. Masih muda, cakep lagi,” waitress itu malah ngomongin cowok yang bawa Tari, dia bercerita dengan nada hebohnya. Seakan-akan dia lagi ngomongin Justin Bieber.
“Oh gitu, makasih ya, Mbak,” ucapnya langsung duduk kembali di tempat Tari duduk tadi.
Ia mencoba menghubungi Ari, siapa tahu Ari adalah orang yang membawa pergi Tari tadi. Ia mencari nama kakak kelasnya itu di ponselnya, lalu mendekatkan ponselnya dengan telinganya.
“Halo,”
“Ada apa lo telpon gue?” tanya Ari langsung to the point. Nggak pakai basa-basi, nggak pake balasan sapaan, nadanya datar, terkesan jutek banget.
“Eng… kakak lagi sama Tari nggak?” tanyanya pelan, sesopan mungkin, biar nggak di anggep nantang sama Ari.
“Enggak, emang kenapa?” tanya Ari balik.
“Dia nggak ada dimana-mana, Kak. Bahkan kata salah satu orang yang ngeliat Tari, katanya, Tari dibawa sama cowok, Kak,” ceritanya.
“Gitu!?”
“Iya, kok kakak nggak khawatir sih?” Fio menautkan kedua alisnya. Heran deh, dalam keadaan genting gini, masih aja tu orang bersikap santai layaknya nggak terjadi apa-apa.
“Buat apa gue khawatir, paling juga dia sama si Angga,” ucapnya sengit dan penuh penekan dalam setiap kata.
“Tapi, Kak, dia ninggalin ponsel dia. Dan nggak mungkin Tari pergi tanpa membawa ponselnya,” Fio semakin khawatir.
Kali ini Ari tersentak, “Lo dimana?” tanya Ari.
“Foodcourt tempat dulu kakak sama Tari ketemu sebagai Kak Ata,”
Sambungan itu langsung Ari putus, dan tanpa pikir panjang, Ari mengendarai motornya gila-gilaan. Mencoba membelah setiap jalan besar. Memasuki hiruk pikuk kota yang ramai.
Sesampainya, ia langsung ke tempat Fio. Lalu mengajak Fio untuk mencari Tari. Tapi langkahnya di berhentikan oleh waitress tadi, “Ih, Dik, kok ceweknya ganti lagi? Yang tadi kemana?” tanya waitress itu.
Alis Ari bertaut, “Maksud Mbak apa?”
“Tadi kan, kamu bawa cewek yang duduk disana,” tunjuk waitress itu kearah tempat duduk Tari tadi.
“Jadi, cowok yang bawa temen saya itu wajahnya kayak dia ya, Mbak?” tanya Fio.
Waitress itu mengangguk, “Eh… boleh minta nomer ponselnya nggak, Dik?”
Kedua orang itu melongo. Waitress ini, ternyata doyan sama brondong, Bo. Nggak nyangka deh, wajahnya aja udah agak tua gitu, doyan juga sama pesona Ari!
Ketika menunggu jawaban yang nggak juga keluar dari mulut Ari, waitress itu memerhatikan Ari dari atas sampai bawah. Meliaht setiap detail yang ada pada diri Ari. Ketika itu juga, matanya melebar, “Dik, kok udah ganti baju? Perasaan saya tadi kamu pake baju yang kasual gitu deh,”
Tanpa Ari sadari, Ari menyebut nama seseorang, “Ata!?” desisnya. Matanya melebar, menyiratkan sebuah kekagetan besar.

“Kita kemana nih, Kak?” tanya Fio dengan kening yang berkerut.
Ari diam, ia tetap saja berjalan, mencari petunjuk dimana Tari berada. Tadi ia sudah menghubungi ponsel Ata, tapi hasilnya nihil! Ponselnya mati.
Ari memilih mencari Tari dengan berjalan kaki di sekitar mall, belum lama ia berjalan, ia menginjak sesuatu. Ia arahkan pandangannya kebawah. Sebuah gelang dengan liontin berbentuk matahari. Ari membukukkan badannya, mengambil gelang itu.
“Ini punya Tari bukan?” tanya Ari pada Fio.
Fio melihat setiap detail yang ada, lalu saat itu juga ia terkejut, “Iya, Kak,” Fio mengangguk, “Tapi liontinnya ada dua, bukan satu. Kayaknya lepas deh,”
Ari melangkahkan kakinya lebih cepat lagi, kearah gelang itu terjatuh. Tepat di sebuah gang sempit dan gelap. Sedangkan Fio mengikuti Ari dari belakang seperti anak ayam mengikuti induknya.
Setelah ia telusuri setiap jalan dan memasuki gang tersebut, ia menemukan rumah tua disana. Matanya terarah pada rumah itu, tapi ia belum melangkahkan kakinya ke rumah itu. Matanya tak dapat terkepas dari rumah itu. Matanya terkunci disana, tak dapat mengarah kearah lain.
“Kak,” panggil Fio, “Kok berenti?” tanyanya, lalu Fio melihat kearah tempat dimana mata Ari terarah, “Nggak mungkin Tari disitu, tempat itu gelap dan sepi, Kak,”
Mendengar perkataan itu, Ari menoleh, “Yakin?” alisnya bertaut.
Fio mengangguk, “Iya, Kak. Tari kan takut gelap, dia nggak mungkin pergi ke tempat itu,” ucapnya.
“Tari takut gelap?” tanya Ari balik.
Fio mengangguk.
Bukannya menuruti perkataan Fio, Ari malah berjalan mendekati rumah itu. Sementara Fio, harus terpaksa mengikuti Ari, again. Gimana enggak? Dia kan takut sendiri di tempat gelap kayak gini, masa iya dia berjalan kearah lain sendirian!
Ari berdiri di depan pintu usang itu, lalu terdiam sambil menunduk. “Minggir, Fi,” perintahnya.
Kontan Fio langsung melaksanakan perintahnya.
BRAKKK…. Pintu terbuka, Ari melihat-lihat ke sekeliling. Tapi belum sempat ia beranjak, Fio memegangi pundaknya.
Ari menoleh, “Tari…” Fio menunjuk ke bawah sambil ternganga.
Ari menatap ke bawah. Disana, ada Tari yang tengah tergeletak tak berdaya. Dengan tangan yang memegangi dadanya. Ari dekati Tari, berjongkok di sebelah Tari. Ia mencoba membangunkan Tari.
“Tari bangun,” ucapnya dengan nada lirih. Ia goyang-goyangkan tubuh Tari pelan.
“Kayaknya dia pingsan, Kak,” ucap Fio dengan wajah khawatirnya, “Bawa ke dokter aja, Kak,” sarannya.
Dengan hati yang terpenuhi oleh api yang membara dan terpenuhi juga dengan luka, Ari menggendong Tari, membawanya ke rumah sakit terdekat. Tubuhnya dingin, bahkan nafasnya seperti tersenggal-senggal.
Sementara Fio tetap setia mengikuti Ari dari belakang. Sebagai teman sebangku yang selalu terlibat dalam masalah yang Tari alami, Fio menganggap hal ini benar-benar keterlaluan. Fio tahu jelas seperti apa Tari takut sama gelap apalagi sendiri di tempat gelap, tanpa ada orang lain.
Kali ini, Fio nggak percaya Atalah yang membuat Tari sampai seperti ini. Karena biasanya, saudara kembar itu ngagk beda jauh, tapi ini, dia memang mirip sama Ari. Tapi Ari melakukan segala hal itu karena ada alasan kuat, sementara apa coba alasan yang di pakai Ata untuk menyakiti Tari!? Apa Tari nyakitin dia?
Ata itu memang mempunyai satu sifat sama dengan Ari, yaitu sama-sama pemakai topeng yang sangat pintar. Dia bisa melakukan dramanya dengan baik dan bagus tanpa cacat sedikitpun, tapi kali ini tindakan Ata malah membuat saudara kembarnya sendiri terluka. Ya, karena tujuan itu juga Ata melakukan ini semua. Ia ingin Ari tersakiti, sama seperti dirinya. Karena ini masih awal dari penderitaan yang Ata suguhkan, ini bukanlah hal yang susah untuk Ata lakukan.
Cowok itu, mungkin sudah tersiksa selama bertahun-tahun, tapi kali ini dia baru mengawalinya, masih banyak lagi hal yang akan dia lakukan untuk Ari. Untuk saudara kembarnya itu.
***
Dalam tidurnya, Tari terus saja menyebutkan satu nama yang membuat Ari tertegun sejak tadi. Mama Tari sudah di beritahu tentang keadaan Tari, dan katanya, Mama Tari akan datang nanti.
“Kak, tolong Tari, Tari takut,” ucapnya dalam keadaan tak sadarkan diri.
Lagi-lagi Ari tertegun, cewek itu terus saja memanggil ‘Kak’, apakah Tari memang memanggil dirinya? Atau dia memanggil orang lain? Sejauh ini, Ari nggak tahu. Karena kalimat yang Tari ucapkan dalam keadaan tak sadarnya hanya itu. Berulang-ulang dengan nada yang sama. Nada ketakutan.
“Kak, keadaan Tari gimana? Udah baikan belum?” tanya Fio di ambang pintu, ia baru saja dari kamar mandi.
Ari menoleh, “Masih sama, Fi,” ucapnya lirih, “Lo pulang aja, ini udah malem. Nanti bokap nyokap lo khawatir sama lo, lagi,” ucapnya dengan nada perintah.
“Ya udah kalo gitu, saya nitip Tari ya, Kak. Tolong jaga baik-baik,” pamitnya sebelum pergi meninggalkan ruangan itu.
Tari masih di infus, masih memakai alat bantu untuk bernafas dan masih saja mengigau seperti tadi. Bahkan hingga Mama Tari datang, Tari tetap mengigau seperti tadi.
“Tari kenapa, Ri?” tanya Mama Tari seraya menghempaskan diri di kursi tepat di sebelah kanan Tari.
“Saya juga nggak begitu ngeti, Tan. Tiba-tiba pas saya temuin, dia udah dalam keadaan pingsan,” cerita Ari. Dia sama sekali nggak bohong, Ari kan belum tahu pasti kalau Atalah yang menyebabkan ini semua.
Mama Tari menghembuskan nafas beratnya sambil menatap anaknya ini. Ia usap rambut Tari perlahan dan pelan, penuh dengan kasih sayang. Dan saat itulah Ari jadi teringat mamanya. Ia kangen mamanya, hanya kini ia harus ada di rumah lantaran ayahnya telah mengetahui pertemuan Ari, Mamanya dan juga saudara kembarnya itu.
Banyak yang ingin Ari lakukan tapi nggak pernah bisa, terutama satu sekolah dengan Ata. Satu hal ini juga menyebabkan Ata semakin lama semakin iri sama Ari, ayahnya belum mau menuruti kemauan Ari. Ayah Ari malah menganggap Ata adalah tanggung jawab istrinya dan bukan tanggung jawab dirinya. Satu kenyataan itu malah membuat Ata semakin iri terhadap semua hal yang Ari dapatkan selama ini.
“Kak Ari, tolong Tari,” Tari seperti menjerit.
Ari menoleh, tahu namanya disebutkan Tari, ia jadi merasa bersalah. Ari sudah membuat Tari jadi merasa bersalah. Ari sudah mengancam Tari akan membuatnya tersakiti. Sesal itu semakin lama membuat wajahnya ikut murung juga. Sehingga keanehan itu terlihat jelas di wajahnya dan sangat jelas sekali di mata Mama Tari.
“Kamu kenapa?” tanya Mama Tari seraya menatap kedua bola mata hitam pekat itu.
Ari menggeleng lemah, “Nggak, Tan. Saya nggak kenapa-kenapa,” ucapnya lirih.
“Jangan bohong, Ri. Tante tau kok kamu mikirin sesuatu,” ucap Mama Tari, seperti mengetahui apa yang ada di dalam pikiran Ari.
Ari tersenyum, senyum penderitaan, “Saya cuma khawatir sama keadaan Tari aja kok, Tan. Saya takut Tari kenapa-kenapa,”
Mama Tari membalasnya dengan senyum manis yang menyiratkan perhatian. “Kamu nggak pulang, Ri?” tanya Mama Tari.
Ari menggeleng sambil memberikan seulas senyum, “Saya mau jagain Tari, Tan,”
Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Ao Haru Ride

Ao Haru Ride

Daftar Blog Saya

Advertisement

Facebook

Instagram