Moments 06

0 Comments


Ardiyanti Zia


 “Ayo latihan! Kenapa pada males sih!?”
Aku sudah lelah mengurusi mereka. Ini semua gara-gara tugas Bahasa Sunda yang menyuruh kami untuk membuat drama. Aku tidak masalah jika aku bisa memilih kelompokku dengan bebas, tapi ini? Ajigile! Kepala sekolah kami yang baru memang rada-rada stres. Kenapa juga kelompok ini terdiri dari kalangan yang berbeda kasta?
Asal kalian tahu saja, aku sekarang berkelompok dengan Awan, Atha, Indri, Prisilia, Tia, Ruth dan Badai. Coba bagaimana anak-anak IPA bisa menyelip di anggotaku?
Untung saja aku tidak satu kelompok dengan Cessa dan Amboi. Mereka berisik banget sekarang. Lagi pula kalau Cessa sekelompok dengan Badai, bisa gawat. Bisa-bisa Cessa membuat keributan. Belakangan ini Cessa, yang sekarang sekelas dengan Badai, mencoba untuk mendekati Badai. Tapi selalu gagal.
Melihat kehadiran Badai, aku jadi teringat akan Sakura. Bagaimana kabar cewek itu sekarang? Apakah dia baik-baik saja setelah kekacauan yang sudah terjadi?
Baiklah. Aku memang tidak pantas bertanya keadaannya. Karena memang akulah yang membuat semua ini terjadi. Aku yakin, akulah penyebabnya.
Oke, sialan. Atha juga iya. Si Atha nyebelin itu juga termasuk dalam penyebab Sakura menjadi seperti ini.

“Lo yakin lo denger begitu?”
Atha mengangguk yakin.
“Sakura juga ngaku sih kalau orang itu minta dia ngejauhin Badai.”
“Tapi kalau gini terus, apa yang akan terjadi dengan Sakura? Dia bisa aja mati sewaktu-waktu.”
“Elo jangan nakutin gue gitu dong!” Aku menyikut lengannya.
“Gue nggak nakut-nakutin! Gue kan cuma ngingetin bahwa penculik itu berkelompok dan dia punya atasan yang bisa bikin kita lari terbirit-birit.” Atha menatapku dengan tatapan yang membuatku percaya. “Kita kalah dalam hal apapun. Dalam hal jumlah, kekuatan dan juga kekuasaan.”
“Kekuasaan?” Aku mengernyitkan keningku.
“Ya... karena dia bisa keluar-masuk ruang staf guru dan ruang CCTV sekolah. Elo sendiri kan yang menemukan salah satu orang mereka ada di ruangan CCTV dan kabur?”
Aku mengangguk, mengakuinya. Sial. Ini benar-benar menyeramkan. Lalu apa yang harus kulakukan?
“Kalian lagi bicara apa?”
Aku dan Atha langsung menoleh. Kami terkejut bukan main saat melihat Awan dan Badai berada di dekat kami dengan tatapan aneh mereka. Sial. Kenapa mereka menjenguk Sakura di waktu yang tidak tepat sih?

Tapi sialnya Badai tidak terlihat sedang menderita. Dia terlihat bahagia-bahagia saja saat Prisilia mengajaknya mengobrol bahkan bertindak sok manis di depannya. Mana pegang-pegang segala!
Baiklah, kenapa sekarang jadi aku yang emosi?
“Zi, elo malah bengong, lagi!” Awan menyenggolku. “Lo tadi seenak jidat nyuruh-nyuruh, sekarang malah bengong!”
“Gue enggak bengong, Wan. Gue lagi mikir.”
Awan mencibir. “Gitu disebut mikir? Emang lo punya otak?”
Sialan. Kata-katanya masuk banget ke dalam hatiku. “Lo sendiri emangnya punya otak?”
“Siapa yang bilang Tuan Putri gue ini nggak punya otak!?” Tiba-tiba saja tangan besar Atha merangkulku dengan santainya.
Dengan kedua mataku yang setajam elang, aku meliriknya dengan kejam. “Lepas!” perintahku dan Atha langsung cemberut. Ia menuruti kata-kataku.
Sejujurnya, walaupun kata-kata Awan begitu menyakitkan, aku diam-diam menyukainya. Entah kenapa aku menyukai sikap dinginnya. Karena di balik sikap dinginnya, aku mengenali dirinya yang lain. Cowok itu baik.
Kalian pasti bertanya-tanya mengapa aku mengatakan itu. Tentu saja aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa di balik sikap dingin yang dimiliki Awan, ternyata cowok itu baik.
Sesaat aku tersenyum sendiri, mengingat untuk pertama kalinya aku merasa jantungku berdegup lebih kencang. Perasaan itu sangat berbeda dengan perasaanku terhadap Raja dulu. Perasaan di mana ketika aku melihatnya, aku tidak ingin kehilangannya.

“Apa Atha bakal baik-baik aja kalo sendirian?”
Kulihat Awan melirikku dan menyeringai. “Tentu saja.”
Aku kembali terdiam. Untuk kesekian kalinya aku berusaha mencari topik untuk dibicarakan dengan Awan. Tapi Awan memang sialan nyebelin banget, dia masih bersikeras dengan sikap dingin dan acuh tak acuhnya itu.
“Kalo dia tertangkap gimana? Keadaan Sakura pasti terancam.”
“Dia nggak akan tertangkap.”
“Kok elo yakin banget?”
“Nggak tau. Yakin aja.”
Sudahlah. Lupakan saja. Aku tidak berniat berbicara dengannya lagi. Awan selalu begitu. Jika yang dibahas Sakura, maka dia akan berbicara panjang lebar. Jangan-jangan... dia suka sama Sakura, lagi!?
Kemungkinan iya. Soalnya Via, mantan pacar Awan, sempat mengancam Sakura untuk menjauh dari Awan.
Tunggu dulu! Jangan-jangan otak dibalik penculikan Sakura ini adalah Via? Jangan-jangan Via menyimpan dendam pada Sakura yang menyebabkan dirinya putus dengan Awan!?
Tiba-tiba aku merasakan tanganku ditarik. Dan tau-tau saja aku melihat sekelebat bayangan hitam yang lewat.
“Lo nggak apa-apa?”
Aku menengadah. Mataku membelalak lebar. Aku kaget bukan main saat aku melihat wajah Awan dari jarak sedekat ini. Gila! Aku lagi dipeluk Awan!? Yang benar saja!!!
“Zi...?”
Untuk menjawab pertanyaan Awan, aku hanya mengangguk saja. Itu dikarenakan lidahku yang tiba-tiba jadi kelu dan tak dapat berbicara sedekat ini dengan Awan. Mana dia masih memelukku!
Sepertinya Awan langsung sadar bahwa ia terlalu lama memelukku. Jadi, ia melepaskan pelukannya dan melihatku dari ujung kaki sampai ke ujung kepala. Tapi tangannya masih memegang kedua bahuku. Membuatku jadi merasakan panas di pipiku.
“Sori, gue nggak sengaja. Tadi gue liat salah satu dari mereka muncul. Kayaknya mereka nggak cuma dua atau tiga orang.”
Aku masih diam, sementara Awan langsung menatapku dengan tatapan khawatir.
“Lo beneran nggak apa-apa,kan!?”
“Gue...” Sial! Suaraku serak banget. “Nggak apa-apa kok.”
Kulihat Awan menghembuskan nafas lega. Sepertinya dia belum yakin kalau aku belum berbicara.
“Sekarang, jangan lepasin tangan gue. Apapun yang terjadi, kita harus segera menemukan orang itu dan menelfon polisi.” Lalu Awan menggenggam tanganku dengan lembut.
Ajigile! Sebelumnya aku tak pernah merasakan yang namanya perhatian cowok sedemikian besar. Mengerti cinta saja tidak. Yang aku tahu, aku menyukai banyak cowok ganteng bukan karena prilakunya kepadaku. Asal wajahnya ganteng sih aku suka-suka aja.
Awan berjalan duluan dengan tangan yang masih menggenggamku. Tangannya seakan menuntunku agar tak kehilangan arah. Mungkin dia takut aku ketinggalan atau tiba-tiba ada yang menyergapku dari belakang.
Sesampainya di ruangan CCTV, aku dan Awan berjalan mengendap-endap membuka sedikit pintu itu.
Krek.
Sial! Pintunya berbunyi. Aku dan Awan menyadari bahwa orang di dalam mengetahui keberadaan kami. Aku tidak dapat melihat wajahnya karena tertutup topeng. Tapi yang kutahu, orang itu langsung berlari saat melihat kami mengintip. Dia pergi menuju pintu belakang.
Otomatis aku dan Awan langsung berlari masuk ke dalam. Awan berusaha mengejar orang itu, sementara aku melihat TV di depanku yang menyala dan menunjukkan beberapa tempat.
Mataku membulat saat melihat Atha tiba-tiba berlari mendekati Badai. Cowok itu memang pembohong. Katanya tahu tempat-tempat yang tak terekam CCTV, tapi dia malah tertangkap CCTV sekarang.
Tapi anehnya dia hanya mengikuti Badai. Badai pun sepertinya tak mengetahui kehadirannya. Sesekali kulihat Badai menekan telinga kirinya dengan tangan. Apa jangan-jangan... dia menggunakan earphone?
Tiba-tiba aku merasakan kehadiran seseorang di belakangku. Aku menahan nafas. Jantungku langsung berdegup kencang. Tamatlah riwayatku. Aku tidak bisa berantem, maka kemungkinan besar aku akan mati di tangan orang yang berada di belakangku.
Aku memejamkan mataku. Bersiap-siap menerima apa pun yang terjadi pada tubuhku juga bersiap-siap jika rasa sakitnya membuatku ingin mati.
BRAK!
Sepertinya sekarang aku langsung mati. Karena aku tidak merasakan apa-apa selain tubuhku yang terhempas jatuh.
Tunggu! Aku barusan terungkur ke lantai?
Aku membuka mataku dan mendapati Awan terpukul balok kayu yang dibawa monster itu. Baiklah, aku mengatainya monster karena orang itu nggak punya hati. Saat monster itu hendak memukuli Awan lagi, Awan bangkit dan meraih tongkat itu. Berusaha merebutnya juga mulai menendang-nendang mosnter itu.
Ya ampun! Barusan Awan menyelamatkanku dan mebiarkan nyawanya terancam!?
Terjadi perkelahian sengit di antara keduanya. Saat balok kayu itu terlempar di dekatku, mereka adu jotos. Awan sepertinya jago berantem, atau jangan-jangan biasanya dia ikut tawuran!? Ah... tidak mungkin. SMA Angkasa bersih dari yang namanya tawuran.
Aku masih syok dan aku merasakan bahwa wajahku pasti sudah pucat pasi sekarang. Tapi aku harus menolong Awan, bagaimanapun caranya. Atau tidak... Awan akan mati di tangan moster itu.
Badan Awan sepertinya kelelahan, serangannya pada monster itu melemah. Pasti akibat pukulan kuat yang mengenai punggungnya itu.
Kuberanikan diri untuk menggapai tongkat kayu di dekat kakiku tanpa menimbulkan suara. Lalu aku berusaha bangkit.
Saat kulihat Awan menyadari bahwa aku akan membantunya, Awan membuat monster itu berada di depanku dan membelakangiku. Aku tersenyum. Awan memang cukup cerdik.
BRAK!
Aku langsung memukul kepalanya tanpa ampun. Makan tuh monster! Makanya jangan membuatku ketakutan bukan main dan mencoba membunuh orang yang menyelamatkan hidupku! Dan Monster itu pun pingsan...
“Lo nggak apa-apa?”
Aduh! Awan ini memang rada-rada stress. Yang seharusnya bertanya kan aku.
Aku menggeleng. Tanpa sadar aku memegang wajahnya. “Lo nggak apa-apa?”
Awan mencoba tersenyum. Gila! Baru kali ini aku melihatnya beneran tersenyum.
“Nggak apa-apa... Argh...”
“Gitu dibilang nggak apa-apa!?” Aku langsung melotot. Tanganku menyentuh pundaknya. “Bisa jalan?”
“Yang terluka itu punggung gue, bukan kaki gue.”
Baiklah. Sikapnya yang menyebalkan mulai kambuh lagi. “Terserah deh. Yang penting sekarang lo bisa jalan nggak!?”
“Bisa.”
Aku menghembuskan nafas lega. Aku meraih ponselku dari kantong baju dan segera menelfon polisi.
“Lo mau ngapain?”
“Telfon polisi.”
“Tunggu!” Awan mengernyit kesakitan. “Kita harus menemukan Sakura dulu. Kita harus memastikan bahwa dia baik-baik aja.”
Aku terdiam. Lagi-lagi aku melihat raut wajahnya yang khawatir akan Sakura. Dan tanpa sadar mulutku berbicara seperti biasanya, tanpa kukendalikan.
“Lo suka sama Sakura ya?”
Pertanyaan itu terlontar begitu saja dan membuatku menyesal setengah mati. Kenapa sepertinya aku cemburu banget? Padahal Awan kan teman Sakura. Bukan siapa-siapaku.
Tapi aku melihat sorot mata Awan yang berubah. Kedua matanya membelalak kaget. Dan sedetik kemudian, dia tertawa.
“Ada yang lucu?” tanyaku.
Awan menggeleng. “Nggak ada.”
“Trus kenapa lo ketawa?”
Awan mengangkat bahu. Lalu berjalan pelan menuju power button yang ada di tembok. Kemudian mematikan semua CCTV. “Gue merasa lagi interogasi sama pacar gue.”
DEG.
Awan sialan nyebelin bangeeeeeet! Kenapa sekarang aku jadi salting?
“Gue kan cuma nanya.” Aku berkata sedingin mungkin. Agar terlihat bahwa aku tidak begitu peduli. “Soalnya lo perhatian banget sama Sakura. Gue kan sahabat Sakura, wajar dong kalo gue nanya.”
Dan wajar aja kalau tiba-tiba aku merasa kayak sakit hati...
Awan berjalan keluar dari ruangan CCTV. Menguncinya dan menaruh kuncinya di dalam sakunya. Awan mengambil kunci itu dari loker yang ada di sana.
“Gue perhatian sama Sakura karena merasa bersalah.”
Bersalah? “Untuk...?”
Awan menarik tanganku lagi. Sial! Di saat-saat seperti ini dia masih saja sempat menggengam tanganku.
“Takut lo dilibas sama mereka.” Awan menjelaskan tanpa kutanya.
“Gue bisa jalan sendiri kok!” Uh, aku sok banget.
Awan tertawa. “Dan tadi hampir kena pukulan kayu?” Awan menggerling. “Gue nggak percaya.”
“Jangan mengalihkan pembicaraan deh!”
Seketika Awan terdiam. “Via...”
Uh-oh... satu nama itu membuatku mengerti segalanya. Bentuk perhatian itu karena rasa bersalahnya dan Awan pasti takut bahwa Via mencelakai Sakura karena dirinya.
Baiklah. Entah kenapa aku jadi merasa lega.
“Nggak usah dibahas! Gue udah ngerti.” Aku berkata sok.
Dan kulihat Awan tersenyum geli.

“Tuan Putri lagi bayangin gue ya?”
Sialaaaaaaaan! Aku kaget banget. Kenapa sih manusia badak ini tiba-tiba muncul di depan mataku!? Mana mukanya deket banget dengan mukaku, lagi!
“Cuih! Ogah gue.”
“Nggak usah bohong begitu. Tadi Tuan Putri senyum-senyum sama ngeliatin gue.”
“Idih... enggak!!!” Aku langsung mengelak. Siapa juga yang mau ngeliatin dia? Ge-er banget tuh manusia badak.
“Tapi dari tadi kamu ngeliatin dia kok, Zi.” Prisil tersenyum ke arahku.
Aduh! Rasanya aku pingin menyobek-nyobek mulutnya. Ikut campur  urusan orang lain saja. Mana dia masih sok-sok merangkul Badai gitu!
Aku melirik sinis Prisil yang langsung ciut. Lalu aku mencari-cari keberadaan Awan, tapi aku menemukannya mengambil raselnya dan bersiap-siap untuk pergi.
“Wan, lo mau kemana!?” Aku langsung berteriak heboh.
“Pulang.” Dia menjawab dengan gaya santainya.
Rasanya aku pingin nyolok matanya deh. Eh, tapi karena aku diam-diam suka sama dia, aku pasti lebih milih untuk nyubit nakal dia.
“Kok pulang sih!? Kita dari tadi belom bener-bener latihan.” Aku mencak-mencak. Kelompokku benar-benar kacau.
“Males aja.”
Aku melihatnya sempat melirik Badai dan Prisil. Aneh. Tatapannya seakan ingin menghancurkan Badai dan Prisil saat itu juga. Padahal Badai dan Awan kan berteman.
***
Sekarang aku jadi dekat dengan Ruth. Semenjak aku bertengkar dengan Sakura, (ralat. Sakura membenciku karena aku telah keceplosan soal Badai) aku jadi tak punya tempat berkeluh kesah. Hidupku juga jadi jungkir balik.
Aku tahu Sakura pasti lebih menderita dari pada aku. Tapi tetap tidak bisa membuatnya mengerti, bahwa aku tidak bermaksud mengatakan semuanya pada Badai. Ini semua gara-gara si manusia badak sialan itu.
“Ssstt...” Ruth menyenggolku dan aku segera tersadar.
Ruth menyenggolku karena melihat Sakura berjalan sendirian di koridor kantin. Wajahnya datar dan tidak terlihat bahagia sama sekali. Rasanya aku ingin menghampirinya, memeluknya dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Tapi siapa aku sekarang? Aku hanyalah sahabat yang tak bisa menjaga ucapanku. Menjaga janjiku untuk tidak memberitahukan kepada orang lain. Meskipun tidak disengaja, itu jelas salahku. Seharusnya aku membiarkan saja manusia badak itu.
Aku tahu Sakura melihatku, tapi cewek itu hanya melengos. Jalan lurus saja tanpa merasa bahwa ada orang berjalan berlawan arah yang memerhatikannya.
Rasanya sakit banget melihat Sakura menghindariku dan menganggapku tak ada. Aku dan dia sudah bersahabat sejak kecil. Selalu bersama dan tak pernah berpisah. Sekarang... aku harus rela melepaskannya?
“Hei, Tuan Putri!”
Lagi-lagi si manusia badak. Aku benci banget sama dia. Gara-gara dia aku jadi musuhan sama Sakura. Dia selalu saja merusak hari-hariku.
“Ruth, gue mau ke kamar mandi dulu. Lo duluan aja ya...”
Ruth hanya mengangguk.
Sementara itu aku langsung melirik sinis si manusia badak dan berjalan melewatinya begitu saja. Tanda bahwa aku malas berbicara dengannya.
Sesampainya di kamar mandi, aku buru-buru masuk ke salah satu bilik. Aku beneran kebelet pipis, bukan hanya karena ingin menghindari si manusia badak itu.
Setelah selesai, aku berniat keluar dari bilik itu. Tapi tiba-tiba aku mendengar derap langkah orang di luar sana.
“Aku suka sama kamu...”
Suaranya seperti kukenal. Siapa ya?
Hening sebentar. Lalu terdengar desahan seorang cewek. “Aku udah punya pacar.”
“Aku tau itu...”
“Lalu mau kamu apa, Awan?”
DEG.
Aku merasakan jantungku seakan berhenti berdetak dan rasa sakit menjalari hatiku


Hai Readers (Ih kayak ada yang baca aja wkwkwk), maaf karena nggak tepat waktu. Ini bukan karena gue kehilangan ide, tapi karena paket bool saya habis. Buat yang udah baca, jangan lupa komentar ya. Terimakasih banyak telah membaca cerita aneh ini :)

Salam Author.... 


You may also like

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Ao Haru Ride

Ao Haru Ride

Daftar Blog Saya

Advertisement

Facebook

Instagram