Moments 03

0 Comments


Ardyanti Zia


Aku sudah mendengar cerita tentang Awan dari Sakura. Gila! Pacarnya, eh maksudku mantan pacarnya itu sadis banget. Aku tahu banget kalau Sakura sukanya sama Badai, bukan Awan. Jadi nggak mungkin kan tiba-tiba Sakura nikung jadi suka sama Awan.
“Oh ya, atlit di kelas lo juga masuk kelas gue.”
“Siapa?” Sakura menengadah. “Atha?”
“Yang mantan pacarnya kakak kelas itu loh.”
Sakura mengangguk sambil meminum es jeruknya. “Oh bener. Itu namanya Atha.”
Aku hanya mengangguk-angguk saja. Jadi, namanya Atha. Lumayan ganteng juga sih, udah gitu badannya bagus, lagi.
“Eh, gue pinjem novel lo dong! Besok kan mulai libur, pasti gue bete banget di rumah.”
Sakura mengulurkan tangannya padaku dan memberikan kunci lokernya. “Nih. Ambil sendiri. Tapi jangan lupa dibalikin ya.”
Aku tersenyum senang. “Oh itu sih pasti.”
***
Uh! Gara-gara aku pindah rumah, sekarang aku tidak pulang bareng sama Sakura lagi. Aku bukannya tidak berani pulang sendiri, tapi sekarang sekolahan terasa sunyi senyap dan gara-gara tadi mampir ke teman-teman kelas sepuluhku, aku jadi kesorean. Mana aku lupa ngambil novel di lokernya Sakura, lagi!
Sekarang aku berjalan sendirian di koridor sekolah. Jujur saja, aku takut banget sama hal mistis apalagi hantu. Dulu, aku pernah lihat makhluk halus seperti itu karena tak sengaja. Dan sekarang, aku jadi trauma.
Tiba-tiba saja bulu kudukku berdiri. Aku mulai merasakan ketakutan. Aduh! Jangan-jangan ada yang sedang membuntutiku? Jangan sampai deh! Aku sudah kapok melihat wajah aneh.
JRENG.
Aku tersentak. Kedua mataku membelalak lebar. Jantungku berdegup kencang seperti habis berlarian. Sial! Siapa tuh?
“Kau gadisku yang manis, coba lihat aku di sini... di sini ada aku yang sayang padamu...”
KAMPRET!
Gila! Tadi jantungku hampir keluar dan sekarang mataku yang hampir keluar. Itu semua gara-gara makhluk ajaib dan aneh bin sableng di sampingku. Bimo luar biasa sialan.
“Gila! Elo ngagetin gue aja! Liat-liat dong kalo mau ngamen! Ni sekolah udah sepi, jangan nyari ribut deh sama gue!” semburku tanpa basa-basi.
Bimo berhenti memainkan gitar juga bernyanyi. “Yah, gue kan niatnya menemani elo yang ternyata masih di sekolahan juga.”
Sial! Tampangnya Bimo pingin aku tendang. Mau tampangnya diubah jadi sedih banget, aku juga nggak bakalan sudi berbaik hati padanya. Aku hampir saja mengira jantungku copot atau bahkan mataku akan keluar dari tempatnya karena melihat makhluk-makhluk aneh. Ternyata yang kutemukan adalah raja dari makhluk aneh!
Mana kalau dia senyum diterangi cahaya remang-remang seperti ini tampangnya nyeremin banget. Betul kata Chelsea, teman sekelas Sakura dulu, Bimo ini mirip banget penculik kelas kakap.
“Tapi caranya nggak ngagetin gue gitu dong! Kalo gue tiba-tiba pingsan dan nggak ada yang nolongin gimana? Trus gue ternyata mati di tempat!?”
Agak lebay sih. Tapi kalau ngomong sama Bimo ya harus dilebay-in, kalau enggak Bimo yang bakalan lebih lebay dari pada aku.
“Maaf, Zi. Maaf banget deh...” Bimo menunjukkan ekspresi menyesalnya.
Dengan sikap bodo amat, aku langsung pergi meninggalkan Bimo sendirian dan menuju loker Sakura. Lebih baik jangan lama-lama di sekolah, dari pada nanti aku melihat yang aneh-aneh lagi.
Sampai di depan loker Sakura, aku melihat Awan yang baru saja keluar dari salah satu lorong. Mungkin dia nongkrong dulu, makanya nggak langsung pulang.
Kuputar kunci loker Sakura beberapa kali. Lalu kubukanya perlahan.
BRAK!
Mataku membelalak lebar saat aku menemukan beberapa bercak darah di sana. Mana ada boneka susan dengan mata belonya di dalam loker Sakura.
Tubuhku melemas tiba-tiba dan jantungku rasanya benar-benar berhenti berdetak. Gila! Itu bukan milik Sakura, kan? Sejak kapan Sakura jadi psikopat begitu?
“Hei, elo nggak apa-apa?”
Aku menoleh dengan susah payah. Kulihat Awan menatapku dengan raut wajah khawatir. Aku hanya menggeleng lemah untuk menjawab pertanyaannya.
Tanpa aku beritahu apa-apa, Awan berdiri dan melihat loker yang baru saja kubuka. Matanya juga membelalak lebar dan dia terlihat kaget. Tapi dia tidak separah aku. Hanya diam bergeming lalu menatapku penuh tanya.
“Itu loker Sakura, kan?”
Aku mengangguk.
“Kenapa lo buka?”
Aku menelan ludah susah payah sebelum menjawab. “Gue mau pinjem novel dari dia. Dia ngasih kuncinya ke gue.” Aku menunjuk kunci yang masih tergantung di loker.
Awan terlihat bingung. “Sakura nggak mungkin bikin lokernya kayak loker psikopat.” Awan mengulurkan tangannya padaku, membantuku berdiri. “Sakura kan lemah lembut.”
Lemah lembut? Aku hampir saja mau muntah. Aku tahu banget bagaimana busuknya Sakura. Dia kan memang tampangnya aja yang kelihatan lemah lembut, tapi kelakuannya coy, bener-bener orang takut!
Aku akui bahwa aku lebih lebih cerewet dari pada dia. Tapi sifat cowok yang kami miliki berdua, tentu saja Sakura yang paling memiliki sifat cowok dalam dirinya. Dia memang terlihat lemah lembut, tapi sebenarnya dia sama pecicilannya sama aku. Kekuatannya juga kekuatan cowok.
Lalu kulihat Awan memasukkan tangannya ke dalam loker. Diambilnya boneka seram itu dan diperhatikannya secara teliti. Gila! Aku takut banget sama boneka itu. Jadi aku langsung ngumpet di belakang tubuh Awan.
“Ada surat.” Awan mengambil secarik surat yang berada di ketiak boneka susan. Lalu boneka susan itu dikembalikannya lagi ke loker.
Aku mengintip agar bisa ikut membaca isi pesannya. Surat itu ditulis dengan potongan-potongan koran yang membuat aku maupun Awan langsung menyadari bahwa orang ini cukup cerdas dalam membuat surat kaleng seperti ini. Tidak mudah ditebak dan ditemukan.

Heh, cewek ganjen! Mau sampai kapan lo bertahan, hah!? Lo kira gue bakalan diem aja? Lo salah besar. Kalau lo masih sok tebar pesona, gue akan pastiin kalo lo akan... mati!!!

Ajigile! Itu surat buat Sakura? Serius? Sakura baru sekolah di sini satu tahun lebih dan selama mengenalnya, ia tidak pernah mendapat musuh seperti ini. Mana dianggap cewek ganjen, lagi! Aku memang sering bilang bahwa Sakura itu sebenarnya memang bukan cewek lemah lembut, melainkan cewek pecicilan yang kekuatannya kayak cowok. Tapi bagi cowok yang tahunya Sakura lemah lembut, pasti cowok itu hanya melihat tampangnya saja. Jadi, itu bukan kesalahan Sakura.
Tentu saja, sebagai sahabat yang baik, aku harus membela Sakura. Bagaimanapun cewek itu dihina, aku yang lebih mengenal Sakura, jadi aku yang lebih patut menghinanya jika Sakura sudah keterlaluan.
“Jangan kasih tau Sakura.” Awan berkata pelan. “Lebih baik kita beresin ini semua. Paling ini cuma surat gertakan aja. Besok-besok nggak bakalan ada pengaruhnya. Kasian kalau sampai Sakura tau, dia pasti kaget banget.”
Aku hanya memandangi Awan. Cowok itu perhatian banget terhadap perasaan Sakura. Aku saja tidak berfikir sampai segitunya. Tapi untuk menyetujui perintah cowok itu, aku hanya mengangguk.
***
“Kenapa sih senyum-senyum gitu? Kesambet?” Aku melirik Sakura yang duduk di depanku sambil memegangi ponselnya.
Mengingat kejadian kemarin, sesuai dengan perintah Awan, aku tidak memberitahu Sakura apa-apa tentang lokernya. Mungkin Sakura lebih berani daripada aku, karena aku takut setan. Tapi dia pasti lebih syok daripada aku saat menemukan lokernya penuh darah dicampur boneka seram yang memegang surat ancaman.
Lagi pula aku juga sama yakinnya dengan Awan kalau itu hanyalah surat gertakan saja. Buktinya Sakura masih sanggup menemuiku di sebuah restoran Indonesia yang paling termashyur sejagat raya. Rumah Masakan Padang.
Sakura tersenyum. “Ah, enggak.”
Aku langsung mencibir. Bohong banget kalau dia nggak kenapa-kenapa. “Lagi sms-an sama Badai ya?”
Dia hanya nyengir, yang menandakan bahwa tebakanku tidak meleset sama sekali. Melihat Sakura yang berbunga-bunga, aku jadi tambah kasihan kalau sebenarnya Badai sudah menjadi inceran banyak cewek di luar sana.
Aku juga mengingat percakapanku dengan Ify waktu itu. Ify juga menceritakan bahwa sebenarnya Badai banyak yang suka. Rata-rata dari satu angkatan yang sering melihat wajah Badai. Badai memang memiliki cengiran khas, nggak heran dia jadi taksiran banyak cewek.
“Gue udah selesai makan nih.” Aku mendorong piringku yang sudah bersih. “Elo buruan abisin makanannya. Jangan kebanyakan sms-an sama Badai! Ntar gue tinggal loh...”
Sakura langsung mengkat kedua jarinya tanda “damai”. “Iya. Elo tinggalin juga nggak apa-apa. Gue bisa pulang sendiri kok...”
“Biar sekalian, Ra.” Aku jadi merasa nggak enak. Dia pasti tersinggung. “Buruan. Gue tungguin kok.”
Sakura menggeleng. “Nggak apa-apa. Gue bisa pulang sendiri. Gue juga lupa, nyokap nitip beliin singkong di pasar. Lo duluan aja.”
“Yakin?”
Sakura mengangguk yakin.
Setelah merasa bahwa sebenarnya Sakura tak tersinggung, aku hanya menghela nafas panjangku dan berdiri.
“Ya udah deh. Hati-hati ya.” Aku mengambil tas cokelatku dan menentengnya. “Jangan sampe kesorean. Nanti nggak dapet angkot.”
“Iya, Zi. Tumben elo cerewet banget.”
Aku mencibir.
***
Di jalan pulang tadi, aku melihat Awan sedang keluar dari restauran cepat saji yang menyediakan ayam goreng. Tempatnya tidak jauh dari tempatku makan bersama Sakura. Mataku sempat menangkap Via sedang duduk di bagian luar tempat itu. Wajah cewek itu kelihatan suram banget dan jelas-jelas mau nangis. Sepertinya mereka habis ketemuan.
Ah! Sudahlah. Aku malas membahas mereka. Lagi pula, belakangan ini aku jadi mengabaikan perasaanku pada Raja. Yah, mungkin karena Raja memang seperti tak bisa digapai olehku.
Tambahan lagi, dia itu murid favorite para guru. Meskipun dia rada-rada bandel dan suka melanggar peraturan sekolah, cowok itu tetap jadi favorite para guru. Tebak kenapa? Apalagi kalau karena bukan wajahnya yang tampan juga karena dia pintar mengambil hati. Termasuk hatiku.
Tiba-tiba aku teringat novel yang kupinjam dari Sakura. Aku meminjam tiga novel sekaligus. Aku tidak tahu kapan aku akan menyelesaikannya. Yang jelas, aku harus pinjam duluan sebelum dipinjam orang lain.
Baru saja aku membuka salah satu novel yang berjudul Dia, Tanpa Aku, mamaku sudah memanggil-manggil namaku. Ah! Baru mau santai. Pasti aku disuruh mengangkat jemuran deh!
***
“Halo.”
“Halo, Tante.”
“Kamu tau Sakura ke mana?”
Aku mengernyit. “Tadi siang sih jalan sama aku, Tan. Trus dia bilang mau pergi ke pasar buat beli singkong. Katanya buat Tante. Jadi kita nggak pulang bareng.” Sepertinya ada yang aneh. “Memangnya kenapa, Tante?”
“Sakura belum pulang sampai sekarang.” Terdengar suara mendesah di seberang sana. “Tolong bantu cari ya! Ponselnya juga nggak aktif soalnya.”
Aku tersentak. Setelah berbasa-basi dan menutup telfon, aku langsung mencari-cari kontak Sakura. Kuhubungi nomor itu, tapi baru saja kutekan tanda panggil, suara mbak-mbak operator yang kadang nyebelin itu muncul. Ponselnya nggak aktif.
Ah! Atau jangan-jangan dia malah jalan sama Badai? Tadi dia kan sms-an sama Badai. Tapi apa hubungan mereka udah sejauh itu?
Tanpa babibu lagi, aku langsung mencari kontak Awan. Bukan apa-apa, Awan kan temannya Badai juga. Pasti tau nomornya Badai. Awan juga teman sekelasnya Sakura dulu kok, pasti bisa membantu sedikit-sedikitlah.
“Ya?”
“Ini gue Zia.”
“Oh, yang waktu itu hampir pingsan di depan loker Sakura ya?”
Sial! Kenapa dia mengingat hal-hal seperti itu tentangku? Kan cukup mengingat namaku dan wajahku. Tidak perlu mengingat hal yang memalukan itu.
“Iya, iya.”
“Ada apa?”
“Lo punya nomor Badai?”
“Badai?” Terdengar suara di seberang sana bingung. “Buat apa?”
“Buat nanyain di mana Sakura.”
Sejenak suara di seberang hening. “Emangnya Sakura ke mana?”
Aku menghela nafas. Kalau aku tahu juga aku nggak bakalan minta nomor Badai. Cowok ini memang rada-rada sinting dan sableng kayaknya. Tidak beda jauh dengan Badai atau si Bimo. Iyuh.
“Kalo gue tau, gue nggak akan nanyain nomor Badai buat nanya di mana Sakura.”
“MAKSUD LO, SAKURA MENGHILANG?” Suara Awan terdengar tersentak sampai berteriak seperti itu. Membuat aku jadi menjauhkan ponselku dari telinga.
“Yap. Elo bener banget.”
Lalu kami terdiam berdua. Sama-sama bingung mau ngomong apa. Aku juga jadi lupa ingin menanyakan apa. Lalu aku seperti mendapat sambaran petir. Aku mengingat loker psikopat itu. Loker Sakura yang penuh darah. Jangan-jangan....
“LOKER ITU!” Kami berdua berseru bersamaan.
Setelah merencanakan untuk ketemuan, aku menunggu Awan di depan kompleks perumahaanku. Maklum, rumah Awan memang searah dengan rumahku, dan karena ini sudah malam aku tidak mungkin minta ijin untuk pergi membawa motorku. Jadi, aku ijin beli gorengan di pojokan, dan langsung ngacir menunggu Awan yang akan menjemputku.
Beberapa menit kemudian, Awan datang dengan motor bebeknya. Aku mendesah, tidak ada yang lebih keren sedikit? Kita kan berencana untuk mencaritahu apakah Sakura benar-benar diculik atau tidak.
“Udah hubungi Badai?”
Awan mengangguk. “Dia nyusul sebentar lagi.”
Fyuh! Ternyata Sakura nggak bersama Badai. Aku juga curiga kalau tiba-tiba mereka jalan berdua. Benar-benar tak terduga jika sampai itu terjadi. Lagi pula Sakura kan orangnya gengsi, dan Badai nggak ada serius-seriusnya.
“Kita nunggu atau langsung?”
“Langsung aja deh. Nanti elo telfon Badai pake hape gue. Bilang sama dia buat ke sekolahan.”
Aku terdiam. Kata sekolahan selarut ini membuatku merinding. Ini sudah jam delapan malam dan aku harus pergi ke sekolah untuk mencari tahu apakah loker Sakura terdapat surat ancaman seperti kemarin. Jika ada, berarti ancaman kemarin itu tidak main-main. Dan Sakura pasti diculik!
“Eng... bawa senter?”
Awan nyengir. “Lupa. Nggak inget kalau sekolahan gelap banget kalo malem.”
“Ya udah, suruh Badai aja.”
Awan menggeleng. “Dia udah berangkat dari tadi. Karena rumahnya jauh dan pelosok, kemungkinan sampe sini agak lama.” Awan terdiam dan memandangiku. “By the way, kenapa Badai yang lo tanyain? Temen sekelas Sakura kan banyak?”
Duh! Aku nggak mungkin bilang kalau Sakura lagi pedekate sama Badai, kan? Bisa-bisa Sakura marah berat sama aku.
“Soalnya... gue kenal sama si Renata. Itu temen sekelas Sakura juga...”
“Iya gue tau si Rena. Trus?”
Aku menggaruk-garuk kepalaku yang nggak gatal. “Tadi gue udah nelfon dia. Nanyain ada Sakura atau enggak, dia bilang nggak ada. Trus gue minta buat hubungi temen-temen cewek yang lain.”
“Trus kenapa nggak nanyain nomor anak cowok yang lain?” Ia memiringkan kepalanya. “Ada Rado, Dido, Atha, Septian...”
“Stop!” Aku menunjukkan wajah bete. “Nggak usah lo sebutin semua nama temen sekelas lo juga, kali!”
“Trus kenapa harus Badai?”
Aku terdiam. Aku hanya bisa memandanginya tanpa berkata-kata. Jujur adalah hal baik, tapi kalau aku jujur sekarang, aku akan koit di tangan Sakura.
“Ah!” Awan seperti menemukan sesuatu. “Karena Badai digosipin suka sama Sakura?”
DEG.
Aku nggak ngomong apa-apa, kan, tadi? Awan yang menebaknya sendiri, kan? Aku nggak ember, kan? Serius. Kalau barusan aku mengeluarkan suara hatiku, berarti aku baru saja membeberkan rahasia negera yang harus kujaga sampai mati.
“Siapa yang suka sama siapa?”
Aku dan Awan langsung menoleh. Sama-sama kaget saat menemukan Badai sudah datang dengan motor hitam gedenya. Duh! Mati deh aku mati. Bumi, plis telan aku sekarang juga. Aku benar-benar akan digebok sama Sakura kalau sampai Badai denger semuanya. HUAAAAAAA.... Sakura, di mana elo? Kenapa elo pake menghilang gitu sih? Kekuatan lo kan kayak cowok, kenapa elo bisa diculik?


You may also like

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Ao Haru Ride

Ao Haru Ride

Daftar Blog Saya

Advertisement

Facebook

Instagram