Moments 04

0 Comments


Gema Athaillah


Gue Atha. Nama panjang gue Gema Athaillah. Nama yang unik, kan? Iya dong. Dari kecil gue makannya banyak, makanya sekarang badan gue besar banget.
Gue sebenarnya nggak tau kenapa tujuan gue sekarang adalah sekolah. Setiap hari gue memang nggak punya tujuan. Bukan karena gue nggak punya rumah atau ternyata gue ini adalah gembel. Gue hanya bosan di rumah. Jujur  saja, rumah gue itu berada di kawasan elit di Jakarta. Orang-orang pasti mengatakan bahwa gue ini orang kaya kelas atas. Tapi untuk apa semua itu, kalau gue aja enggak bahagia.
Ketidakhadiran orang tua di dalam hidup gue ini memang cukup menyakitkan. Bukan berarti gue enggak punya orang tua atau orang tua gue sudah meninggal. Hanya saja... mereka terlalu sibuk dengan urusan mereka. Sehingga gue, satu-satunya anak mereka, malah terabaikan.
Meskipun kehidupan keluarga gue enggak begitu menyenangkan, gue enggak berniat untuk berbuat macam-macam, apalagi di sekolah. Walaupun badan gue cukup besar dan pas untuk berantem, gue nggak akan melakukannya. Karena gue benci banget sama kekerasan.
Waktu kecil, gue menonton berita tentang kekerasan terhadap sesama pelajar. Semacam tawuran gitu deh. Banyak korban yang berjatuhan. Ada yang mati terpenggal kepalanya, ada yang mati tertusuk jantungnya, dan ada yang terikat lehernya. Gue melihat itu dengan ngeri. Orang-orang itu keji banget. Padahal, menurut gue, tawuran sama sekali nggak keren.
Jangan anggap gue ini cowok letoy. Gini-gini gue sanggup menggebok orang-orang. Dan kekuatan gue, omong-omong, tentu saja lebih besar dari pada cewek ganteng di kelas gue dulu. Sakura. Lagi pula, gue ini atlit kebanggan sekolah. Meskipun otak gue nggak pintar-pintar amat, tapi kekuatan gue nomor satu.
Gue jago banget dalam bidang olahraga. Gue juga sudah beberapa kali memenangkan pertandingan.
Kembali ke waktu sekarang. Gue sedang berdiri di depan gerbang sekolah. Semua orang juga tahu, kalau pada malam hari, sekolahan memang menyeramkan banget. Tapi gue sih nggak takut hantu. Yang gue takuti hanya satu. Kadal. Nggak tahu kenapa, pokoknya gue sebal banget melihat kadal menggeliat di dekat gue. Apalagi nempel di tubuh gue.
Gue lihat gerbang sekolah nggak dikunci. Itu berarti ada orang di dalam. Karena gue adalah orang yang cuek dan nggak kepo, maka gue lebih memilih masuk ke dalam sekolah dan menuju pos satpam yang bisa gue masuki kapan pun gue mau.
Asal gue enggak membuat isi pos satpam berantakan, Pak Sardi, satpam sekolahan gue yang kumisnya kece abis itu, nggak akan memarahi gue atau melarang gue untuk datang ke sekolah selarut ini. Maklum, gue sudah jadi sahabat dekat Pak Sardi, makanya gue bisa memegang kunci gerbang sekolah.
Karena mengantuk, gue memutuskan untuk tidur di kursi dengan koran menutupi wajah gue.
***
“Hei, pintunya nggak dikunci nih.”
“Sssstt... suara lo bisa dikecilin dikit nggak sih!?”
“Emang suara gue kenceng banget ya?”
“Heran deh. Kalian tuh berantem terus. Konsentrasi sedikit dong! Kita mau nemuin Sakura, nggak!?”
Gue mendengar suara ribut-ribut. Tapi kepala gue yang pusing nggak bisa membedakan apakah itu dari mimpi gue, atau itu memang nyata.
“Sekarang kita harus periksa loker Sakura. Sepertinya Sakura memang nggak tau apa-apa tentang surat itu, makanya dia nggak takut pergi sendirian sampai sore.”
“Kenapa kalian nggak ngasih tau gue kalo Sakura diteror?”
“Emang lo siapanya Sakura?”
“Jadi, elo beneran suka sama Sakura?”
Berkali-kali gue mendengar nama Sakura membuat gue jadi merasa aneh. Jadi gue putuskan untuk membuka mata gue. Dan seketika mata gue melebar saat menemukan tiga orang penyelundup yang baru saja memasuki area sekolah.
Gue sipitkan mata gue agar bisa melihat jelas siapa mereka. Tapi nggak berhasil. Gue putuskan untuk melihat mereka menggunakan senter yang ada di pos satpam.
BLASH.
Mata gue langsung menangkap Badai, Awan dan seorang cewek yang gue kenali sebagai teman sekelas gue yang baru.
By the way, gara-gara kepala sekolah gue ganti, gue pindah kelas. Dari 10-IPA 3 menjadi 11-IPS 1. Kepala sekolah gue yang baru ini memang rada-rada nyebelin. Bayangkan pelajaran IPA yang sudah gue lahap mati-matian satu tahun penuh berganti menjadi pelajaran IPS yang nggak gue ketahui sama sekali.
Baiklah, gue memang nggak pintar-pintar amat. Jadi nggak seharusnya gue mengomel karena pindah kelas. Lagian gue masuk IPA karena kekayaan orang tua gue kok.
“ATHA!?” Mereka menyahut berbarengan
“Kalian ngapain di sini?”
“Sssttt...” Awan melototi gue. “Suara lo itu kecilin dong!”
Memangnya suara guebesar banget ya? “Iya... ini gue kecilin.” Gue berusaha berbisik.
“Ah! Sama aja. Mau lo bisik-bisik, suara lo tetep membahana.” Badai mencibir.
Oke. Suara gue memang besar banget dan gue rasa usaha gue tadi sia-sia saja. Tapi itu kan bawaan dari lahir. Jadi jangan salahkan gue jika suara gue membahana ke mana-mana.
“Tadi, gue denger-denger kalian nyebut nama Sakura. Kenapa?”
“Sakura diculik!”
Cewek itu berusaha berkata pelan, tapi sepertinya suaranya sama seperti gue. Sama-sama membahana. Yes, gue punya kembaran!
“Apa?” Sebenarnya nggak perlu gue tanyakan lagi. Toh, gue tadi mendengar percakapan mereka meskipun mengira itu mimpi.
“Kita harus segera ke lokernya. Waktu semakin malam nih!” Badai berseru seperti anak kecil yang kebelet pipis. Wajahnya khawatir banget. Atau jangan-jangan... gosip itu bener!? Kalau Badai suka sama Sakura?
“Benar! Ayo kita ke sana!” Si cewek kembaran gue itu mengangguk setuju.
Mereka pergi bergitu saja tanpa memerdulikan gue yang berdiri menatap mereka dengan wajah culun.
“Eh tunggu gue!!!” Lalu gue berlari mengikuti mereka.
***
Mata gue mendelik dan mulut gue menganga. Sial. Apaan tuh yang ada di dalam lokernya Sakura? Boneka? Asemeleh. Gue dari dulu nggak suka sama boneka. Apalagi boneka yang ada darahnya begitu. Mana kedua matanya melotot, bibirnya tersenyum lebar seperti akan melahap gue dan baju boneka itu compang-camping.
Gue mengenalinya dengan boneka susan. Meskipun terkenal karena lucu, kalau begini kondisi si boneka susan, gue juga nggak bakalan sudi bilang boneka itu lucu.
Gue lihat Awan mengambil secarik kertas yang terselip di boneka itu. Gue dan yang lain ikut membaca isi kertas itu dengan penasaran.

Sekarang waktu lo udah habis! Waktu lo pura-pura dengan muka busuk lo itu udah habis! Sore ini... gue akan menemukan lo di mana pun lo berada! Ingat, gue nggak main-main. CAMKAN ITU!

Gue nggak yakin mata gue normal sekarang. Itu surat ancaman? Asemeleh. Sakura si keturunan Jepang dengan matanya yang sipit itu diancam sama orang? Apa salah Sakura? Selama mengenal Sakura, dia baik-baik aja tuh sama gue. Dia memang bossy, tapi dia memang cocok dengan karakter itu. Dia punya jiwa mengatur orang untuk mengubahnya menjadi lebih baik.
“Ada yang tau kenapa Sakura dikirimi surat seperti ini?”
Gue dengar suara Badai yang serak dan kedua bola matanya yang mengelam. Gue baru melihat Badai seram begini. Padahal biasanya dia kocak abis.
“Gue juga nggak tau.” Cewek di sebelah gue menggeleng. “Selama ini Sakura nggak kelihatan punya musuh. Hidupnya juga tenang-tenang aja kok.”
“Yang pasti, Sakura ada di tangan pengirim surat kaleng ini.” Awan mengacungkan surat yang dipegangnya. “Ponselnya masih nggak aktif?”
Cewek kembaran gue itu menggeleng dengan pasrah. Sementara Badai langsung memeriksa ponselnya.
“Terakhir kali, ponselnya aktif jam lima sore.”
“Hei!” Gue menyikut Badai. “Kok elo tau ponselnya nggak aktif setelah itu?”
Badai melirik gue dengan raut wajah seperti maling yang sedang kepergok nyuri perhiasan. “Tau aja.”
“Ah...” Gue tersenyum meledek. “Lo habis telfon-telfonan sama dia ya?” terka gue.
“Enggak!” ketusnya. “Gue cuma sms biasa sama dia.”
“Ooooh, jadi lo beneran suka sama Sakura?”
“Badai, lo suka sama Sakura?”
Awan melipat kedua tangannya di depan dada. “Udahlah. Itu nggak penting sekarang. Yang penting sekarang adalah di mana keberadaan Sakura.”
“Kenapa nggak hubungi polisi aja?” usul gue.
“Sakura itu remaja. Bukan anak kecil. Lagi pula, ini belum 24 jam. Kita nggak bisa melapor.” Awan berkata pelan. “Mereka pasti mikir kalau Sakura akan segera pulang karena hanya main tanpa ijin.”
“Tapi bukti ini kan kuat, Wan!” Cewek kembaran gue berkata ngotot. “Kita bisa tunjukin sama polisi kalau Sakura diculik!”
NGING.
Asemeleh. Bunyi apaan tuh di sekolah. Jam segini pula. Gue dan yang lainnya sampai menutup telinga kami agar nggak pengang karena suara barusan.
“Aku tahu kalian di sini.”
Hei! Suara itu tertuju untuk kami? Tapi saat gue mendengar suaranya, gue nggak dapat mengenalinya. Jangan-jangan ia mengubah suaranya dengan alat di ruang siaran radio.
Yes. SMA Angkasa punya saluran radio sendiri untuk para siswanya. Hanya murid SMA Angkasa yang mengetahui bahwa sekolah kami punya saluran radio sendiri. Ini berguna untuk memberitahu kami jika ada pengumuman mendadak tentang sekolah. Keren kan sekolah gue?
Tapi gue rasa orang itu cukup pintar. Karena dia meminjam alat dari ruang siaran radio. Lalu memberitahu kami lewat saluran yang ada di ruang staf guru.
Sial. Dia bisa keluar masuk ruang staf guru! Ini namanya penjahat kelas kakap. Gue aja nggak bisa seenak jidat masuk sana. Dia bisa masuk sana seenak jidatnya!
“Kalian mencari Sakura, kan?”
“Siapa sih tuh, iseng banget!” Gue nyeletuk yang langsung dapat jitakan dari cewek kembaran gue.
“Berisik!”
Gue meringis.
“Jika kalian ingin Sakura tetap dalam keadaan baik-baik saja, ada syaratnya.”
“Syarat?” Awan mengernyitkan keningnya.
“Badai, kamu harus menyelamatkan Sakura sendiri.”
“HAH!?” Gue, cewek kembaran gue dan Awan terkejut.
Berbeda dengan Badai yang terlihat diam dan tenang. Aneh. Biasanya Badai nggak setenang ini. Badai selalu membuat kerusuhan dan selalu nggak bisa diam.
Terdengar suara cekikian ala nenek sihir. “Jika yang lain ikut membantu dan menghubungi polisi. Maka Sakura akan kuhabisi sekarang juga!” Asemeleh. Keji banget omongannya. “Jangan lupa, aku memerhatikan kalian di setiap sudut sekolah!”
Jadi orang ini benar-benar pintar. Dia bisa masuk ke ruang staf guru dan dia bisa masuk ke ruang CCTV yang sangat ketat penjagaannya.  Dan itu berarti, orang itu nggak hanya sendiri. Tapi bersama antek-anteknya yang lain.
Baiklah. Jika dia sepintar itu, maka gue akan lebih pintar darinya. Dia kira gue bodoh? Sori-sori aja ya, sebenarnya gue ini cerdas.
Gue melirik yang lain. “Ikuti gue!” perintah gue. “Badai, lo cari sendiri. Biar dia nggak curiga. Kita akan susun rencana dan muncul buat nolong elo juga Sakura.”
Setelah berkata itu, kami berpisah. Badai tampak tenang saja saat gue suruh mengikuti intruksi dari orang itu.
***
Gue membawa yang lain ke tempat tersembunyi. Di mana CCTV nggak dipasang. Yes, pos satpam. Karena mengarah ke gerbang, mereka pasti berfikir bahwa kami pulang duluan.
Bukan berarti  gue akan diam saja di pos satpam ini. Gue dan yang lainnya harus menyusun rencana, supaya nanti kita nggak tertangkap basah.
“Bagaimana selanjutnya?” Cewek kembaran gue bertanya dengan raut wajah pasrah.
By the way, gue belom tau nama lo. Lo siapa?”
“Zia. Ardiyanti Zia.”
“Gue Atha. Gema Athaillah.”
“Gue juga udah tau.”
Aselemeh. Cewek ini jutek banget. Mungkin karena gue memang terkenal banget, makanya dia tahu nama gue. Siapa tahu sebenarnya dia ini fans gue.
“Apa rencana lo?” Awan berkata dingin.
Ah... dari dulu Awan memang dingin. Satu kelompok dengan cewek jutek dan cowok dingin adalah hal yang paling menyebalkan. Kenapa gue malah mengikuti mereka tadi? Ah sudahlah. Sudah terlanjur. Lagi pula, nggak ada ruginya.
“Di saat Badai mencari di mana Sakura, kita harus mencari pelakunya.”
“Caranya?” tanya Awan dan Zia bersamaan.
“Gini, gue hafal banget sudut sekolah yang nggak terkena CCTV.” Gue menatap penuh keyakinan yang lainnya agar mereka percaya. “Pertama, kita mengendap-endap dari sini ke sudut kantin samping. Lalu kita bagi dua kelompok.”
“Oke.” Awan menyutujui. “Gue sama Zia. Elo sendiri.”
Sial. Padahal gue pingin berduaan sama Zia. Habis dia unik sih, sama seperti gue.
“Badan lo kan gede. Jadi bisa lawan musuh kalau lo kepergok.”
Baru saja gue ingin menyela, Awan sudah mengatakan fakta yang paling gue benci. Baiklah, gue memang seharusnya sendiri. Badan gue memang besar dan gue pasti bisa mengalahkan orang yang akan menerkam gue dari belakang.
***
Setelah selesai berdiskusi dan menyusun rencana sampai akhir, kami langsung bergerak. Gue berdiri paling belakang mengikuti yang lain untuk mengendap-endap ke arah kantin.
Sampai di kantin, kami berpisah. Sesuai dengan rencana. Awan dan Zia pergi ke ruang CCTV melalui lorong belakang kelas IPS dan setelah itu menghubungi polisi. Di sana pasti ada orang yang mengawasi kami. Sementara gue mencari keberadaan Badai sekaligus kalau kebetulan ketemu sama penjahatnya, gue harus menerkamnya. Ya begitulah kata Awan dan Zia.
Gue berjalan mengendap-endap ke lingkungan anak IPA. Di sana banyak ruangan untuk praktek. Gue jadi kebingungan untuk memilih tempat mana yang akan gue periksa.
Hei! Gue melihat Badai berjalan dengan santai menyusuri lorong kelas 12-IPA. Gayanya santai banget. Gue jadi curiga. Jangan-jangan Badai yang menculik Sakura. Asemeleh, tapi tadi dia kan khawatir banget pas tahu Sakura diculik. Jadi nggak mungkin Badai yang menculik, kan? Atau... dia cuma akting?
Tunggu! Sepertinya Badai melihat petunjuk yang mengarah ke tempat Sakura diculik. Dia memang terlihat santai, tapi matanya selalu tertuju ke bawah. Jangan-jangan di lantai tempatnya berjalan ada panah yang mengatakan akan mengantar ke tempat Sakura diculik.
Gue langsung berjalan mengendap di belakangnya. Seharusnya gue langsung menyapanya dan mengatakan bahwa gue akan membantunya. Tapi itu terlalu berisiko. Jika mereka tahu, Sakura pasti dalam bahaya.
Ah! Ternyata di telinga kiri Badai dipasang earphone. Badai juga bicara pelan tapi sangat dingin. Sesekali gue mendengar dia mengatakan ‘baiklah’. Sepertinya mereka menyuruh Badai mengikuti intruksi dengan menggunakan alat itu.
Lebih baik gue berpisah. Kalau gue mengikuti Badai terus, mereka bisa saja tahu keberadaan gue. Lagi pula, siapa tahu mereka ingin menipu Badai.
Setelah gue putuskan untuk berpisah dan mencari keberadaan Sakura atau penculik itu sendiri, gue berjalan ke arah laboratorium. Sementara Badai bergerak menjauh ke arah lingkungan taman.
“Jadi ini gara-gara gue nggak mau nurutin kalian buat ngejauhin Badai!?”
Gue langsung menoleh. Itu suara Sakura. Sepertinya di daerah laboratorium paling belakang yang nggak pernah dipakai.
“Yeps. Apa lo belom sadar juga? Kita udah beberapa kali ngirimin lo surat ke loker lo itu.” Terdengar suara cewek yang nggak pernah gue dengar sebelumnya. “Dan elo malah mengabaikannya.”
“Gue nggak takut sama surat lo! Gue juga nggak takut sama ancaman lo! Bunuh gue sekarang kalo lo berani!”
“Jangan bodoh! Mas nggak nyuruh buat ngebunuh lo.” Kali ini terdengar suara cowok yang nggak asing bagi gue. “Lagi pula apa bagusnya Badai sih? Lo bisa cari yang lain.”
“Sekarang Badai lagi nyariin lo.”
Gue mendekatkan telinga gue ke dinding. Suara cewek itu semakin mengecil.
“Tapi dia nggak tau, kalo ternyata dia lagi masuk perangkap kita.” Cewek itu tertawa sinis. “Padahal gue sayang sama Badai. Tapi dia harus kita singkirkan juga. Itu perintah Mas.”
“Siapa sih yang kalian bicarakan!? Siapa pemimpin kalian?”
“Atha...”
Gue menoleh. Jantung gue benar-benar hampir copot dan kedua mata gue langsung mendelik kaget. Badai berdiri di belakang gue.
“Badai, kok elo bisa ke sini?”
Badai menatap gue dengan bingung. “Tentu bisa dong!”
“Tadi kan elo lagi kena perangkap mereka. Lo disuruh muterin satu sekolahan, kan?”
Badai mengangguk. “Kok elo bisa tau?”
Gue langsung menunjuk laboratorium di belakang gue. “Mereka dan Sakura ada di dalam. Tadi gue denger mereka ngobrol tentang...”
Tiba-tiba saja Badai sudah menyenggol gue dan berlari masuk ke dalam laboratorium. Dasar anak pecicilan. Kenapa sih dia nggak nunggu gue selesai ngomong dulu? Atau seenggaknya dia harusnya bilang-bilang kalau mau menerobos masuk.
Gue mengikuti Badai. Masuk ke dalam laboratorium itu dengan gaya keren dan santai, tentunya. Tapi mata gue langsung mendelik saat melihat hanya Sakura yang kini duduk di sana dengan tubuh diikat dikursi dan kedua mata terpejam. Bajunya compang-camping dan beberapa luka terlihat di sekitar tubuhnya.
Gue menengok ke kanan dan kiri. Mencari keberadaan Badai. Tapi gue enggak menemukan keberadaannya.
“Sakura...” Gue mendekati Sakura yang tertunduk. Gue mengangkat wajahnya dan saat itu juga gue melihat darah mengalir dari keningnya. “SAKURAAAAAA!!!!”


You may also like

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Ao Haru Ride

Ao Haru Ride

Daftar Blog Saya

Advertisement

Facebook

Instagram