Moments 08 A

0 Comments


Sakura Fujiwara


Dua bulan terakhir ini benar-benar kacau. Aku bahkan tidak bisa menemukan penopang hidupku lagi. Kak Yasumi sudah tiada dan sekarang orang tuaku mulai bertengkar. Ditambah lagi hubunganku dengan Badai yang seperti orang asing. Tapi yang paling parah lagi, kini aku harus menjaga jarak sejauh-jauhnya dari Zia.
Baiklah. Zia dan Atha selalu berusaha menjelaskan semuanya padaku. Menjelaskan bahwa mereka tak bersalah. Cih! Siapa juga yang akan percaya?
Tapi itu dulu. Semenjak aku menyadari bahwa Zia begitu menderita, sama sepertiku, aku tahu bahwa aku sudah salah paham.
Melihat bagaimana Zia berusaha mendekatiku lagi dan meminta maaf padaku sempat membuatku luluh, tapi yang membuatku lebih luluh lagi adalah ketika aku menyaksikannya menangis di taman sekolah.
Aku menyaksikan Zia menangis karena Awan. Sepertinya Zia benar-benar menyukai Awan sampai segitunya. Tapi yang membuatku tertegun adalah kehadiran Atha di sampingnya. Aku bukanlah apa-apa dibanding Atha.
Aku adalah sahabat Zia. Sahabat sejak kecil yang selalu berbagi semuanya dengan Zia. Tapi apa yang kulakukan ketika ia membuat sedikit kesalahan? Aku marah padanya! Sementara Atha berbeda denganku. Aku tahu jelas cowok itu berusaha dekat dengan Zia, meski selalu dicaci maki oleh Zia, cowok itu selalu ada untuk Zia. Bahkan saat hati cowok itu harus tersakiti karena Zia menangis karena cowok lain.
Tapi saat aku berusaha untuk kembali memperbaiki hubunganku dengan Zia, aku malah menemukannya mendapat ancaman. Aku tahu jelas ancaman itu bukan karena Zia salah, tapi itu karena diriku. Aku adalah orang pertama yang mendapatkan surat ancaman dan boneka susan berdarah.
Ponselku berdering. Aku mengambilnya dari saku seragamku dan menempelkannya di telingaku.
“Halo.”
“Halo, Sakura.”
Suara ini... suara ini suara yang sama dengan suara orang yang menculikku waktu itu.
“Ma-Mau apa kamu!?”
“Apakah sekarang kamu sudah puas?”
Aku mengenyit. Puas? Apa maksud orang ini!?
“Aku sudah memberi peringatan pada orang yang menyakitimu. Orang yang berani-beraninya membuatmu terluka, Sayang.”
Sial. Sebenarnya apa sih tujuan orang ini? Mengapa dia menculikku dan menyuruhku menjauhi Badai? Lalu sekarang malah mengatakan bahwa ia telah menyingkirkan orang yang menyakitiku!? Seakan-akan dia melakukan itu karena ia sangat peduli padaku.
“Ja-Jadi, Zia....?”
That’s right. Zia sudah membuatmu sakit hati, bukan? Dia bukan sahabat yang baik, Ara. Dia sudah mengkhinatimu.”
Aku jadi semakin penasaran dengan orang ini. Mengapa dia bisa memanggilku ‘Ara’? Apakah dia adalah orang yang dekat denganku?
“Apa sih yang kamu mau? Kenapa kamu selalu menyakiti orang-orang yang ada di sampingku!? Apa salahku?”
“Kamu tidak salah, Sayang.” Hening sebentar di seberang. “Yang salah adalah mereka. Mereka yang mempengaruhimu dan membuatmu berubah sedemikian rupa.”
“Tolong jangan ganggu mereka. Mereka nggak tahu apa-apa.” Aku memohon.
Di seberang sana, orang itu mendecak. “Kamu mau aku melepaskan mereka?”
“Ya. Lepaskan mereka. Jangan ganggu kehidupan mereka.”
“Kalau begitu jadilah milikku.” Aku tersentak. “Lupakanlah bahwa kamu pernah bersama mereka. Lupakan Zia, Badai, Yasumi... Jika kamu menjauhi mereka dan hidup tanpa bayang mereka, aku akan melepaskan mereka.”
Kak Yasumi? Aku juga harus melupakannya? Mengapa?
“Tapi... bolehkan aku minta satu permintaan terakhir?”
“Apa itu?”
***
“Hai, Zia...”
Aku melihat keterkejutan Zia dari kedua bola matanya yang bulat itu. Dia menatapku seolah aku ini adalah mimpi baginya.
Lalu Zia tersadar akan sesuatu. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri. Setelah memastikan tidak ada orang lain selain dia, dia menujuk dirinya sendiri dan menatapku dengan tanda tanya.
“Emang di sini ada yang namanya Zia lagi?” Aku memiringkan kepalaku dan tersenyum tipis.
Seakan aku ini benar-benar sebuah mimpi, Zia langsung menyubit pipinya sendiri. Lalu menjitak kepalanya dan meringis pelan. Dia masih menatapku dengan tatapan yang sama. Aku jadi geli sendiri. Jadi, aku mendekatinya dan langsung memeluknya.
“Hai, sobat.”
Kurasakan tubuh Zia yang membeku langsung berubah mengendur. Sepertinya sekarang dia yakin bahwa aku bukanlah mimpi. Zia memabals pelukanku dengan sama eratnya. Lalu kami melepaskan pelukan dan saling memandang.
“Ara, ini beneran elo, kan!? Serius?”
Aku mengangguk dan tertawa. “Segitu kangennya ya sama gue?”
Zia masih menatapku tak percaya. “Serius. Gue nggak bisa ngomong apa-apa. Lo ke sini jauh-jauh buat ketemu sama gue!?” pekiknya senang.
Yaps. Karena ini adalah hari sabtu dan minggu, aku berniat ke rumah Zia, tetapi saat aku sampai sana, orang tuanya mengatakan bahwa Zia pergi ke rumah saudara jauhnya di Bekasi. Jadi, mau tak mau, aku harus ke tempat ini untuk bertemu dengan Zia.
“Bekasi deket, kali. Kecuali gue nemuin lo di Papua.”
Sial. Aku rindu banget sama Zia. Rasanya kembali mengobrol dengannya itu adalah hal paling menyenangkan di dunia.
“By the way, sorry because didn’t trust you and understand you.” Aku tersenyum perih. “Sorry for missunderstand you.”
“Hei.” Zia menyenggolku. “Jangan merasa bersalah gitu. Gue baik-baik aja kok. Karena elo udah di sini, gue rasa cukup.”
Aku tersenyum.
“Ngomong-ngomong, masuk yuk! Gue mau kenalin lo sama cowok cakep.”
Aku menatapnya curiga. “Jangan-jangan...”
“Ah!” Zia langsung menggandeng tanganku dan menyeretku masuk ke dalam.
Sampai di dalam rumah, aku bersalaman dengan beberapa saudaranya. Agak kikuk sih, tapi mereka cukup menyenangkan. Sampai ke perkenalan terakhir. Seorang cowok yang masih muda dan sepertinya umurnya tidak berbeda jauh dengan aku maupun Zia.
Cowok itu memakai kemeja dan tubuhnya tinggi tegap berisi. Kulitnya juga putih. Tampan sih, tapi... baiklah, aku mengaku bahwa aku belum bisa melupakan Badai sampai saat ini. Jadi saat mengatakan cowok di depanku ini tampan, aku merasa Badai jauh lebih tampan dari pada dia.
“Namanya David.”
Aku bersalaman dengannya. “Sakura.”
“David.” Dia menjabat tanganku.
Setelah perkenalan singkat itu, aku langsung diseret Zia masuk ke dalam sebuah ruangan. Mungkin ini kamar Zia untuk tidur jika menginap di rumah ini.
Kulihat raut wajahnya berseri-seri. Perasaan beberapa hari kemarin Zia lagi galau-galauan karena Awan. Kenapa sekarang wajahnya berseri-seri? Lalu bagaimana dengan surat ancaman yang dia terima waktu itu?
“Ada apa? Kok kayaknya seneng banget?”
“Gimana? Gimana?”
“Apanya yang gimana?” Aku mengenyit bingung.
“Tadi. Cowok tadi.”
“Oh, David?” Zia mengangguk. “Apanya yang gimana?” Aku jadi bingung. Apalagi Zia menatapku senyum-senyum seperti itu. Jangan-jangan dia mulai gila?
Zia mendesah panjang. “Iya, gimana David menurut lo? Cakep, kan!?”
“Cakep sih.” Aku mengangguk. “Putih juga.”
“Tul, kan!?” Zia tertawa senang sekali. Membuatku jadi bertanya-tanya mengapa dia bisa terlihat senang seperti itu.
“Kenapa sih?”
Zia mendekat ke arahku, lalu berbisik dengan suara rendah. “Gue suka sama dia.”
Aku menjauhkan tubuhku. Lalu menatapnya dengan bingung. “Tunggu! Bukannya dia...”
Raut wajah Zia berubah aneh, mulutnya mengerucut. “Iya, dia saudara gue. Saudara jauh sih. Tapi nggak apa-apa, kan!?”
Aku langsung menyentuh keningnya. “Zia, sadar, Zia. Dia itu... saudara lo.” Aku menekankan kata ‘saudara’ agar dia menyadari bahwa tak seharusnya ia begitu. “Trus Awan gimana?”
Sepertinya aku salah besar mengungkit-ungki Awan. Raut wajah Zia berubah suram. Tidak ada senyum juga suasana di sekitarku jadi aneh.
“Sori.” Aku mengelus pundaknya.
Dia menatapku dengan bingung. “Lo tau?”
“Gue tau kalo lo suka banget sama Awan. Makanya elo lampiasin perasaan lo sama David, kan?” Aku menatapnya tepat di manik mata. “Karena Awan menyukai Prisil, makanya elo begini?”
“Elo tau itu juga?” Kedua bola matanya melebar.
“Zi... gue tau elo sedih banget karena ternyata Awan malah suka sama Prisil. Tapi elo nggak boleh begini...”
“David baik. Bisa bikin gue ketawa lagi.”
Aku menggeleng. “Enggak, Zi. Perasaan lo sama David tuh sama kayak perasaan lo ke gue. Karena kita adalah sahabat. Karena David bisa bikin lo ketawa dan baik sama lo, bukan berarti lo menyukai dia, kan?”
Zia terdiam.
“Coba lo pikirin. Kenapa lo bisa suka sama Awan padahal Awan orangnya dingin, cuek dan nyebelin?” Aku memberi jeda dengan menatap kedua bola matanya. “Karena hati lo akan berdebar-debar saat ngelihat dia.”
“Nggak.” Zia menggeleng. “Nggak lagi. Nggak akan lagi.”
Aku hanya menghela nafas. Aku memang tidak berhak mengatur perasannya dan untuk siapa perasaannya diberikan. Aku hanya gelisah. Melihat Zia yang kacau begini, aku jadi tidak tahu harus berbuat apa. Meskipun Zia tersenyum dan mengatakan bahwa ia menyukai David, aku merasa ada yang janggal. Karena itu semua seperti kebohongan semata.
***
Tadi adalah pertemuan terakhirku dengan Zia. Aku dengan sangat amat menyesal mengatakannya. Makanya aku bersikeras ke Bekasi untuk bertemu dengannya dan meminta maaf atas segala kesalahpahaman yang sudah terjadi.
Yaps. Aku menuruti apa yang orang itu mau. Aku memanggilnya dengan sebutan ‘M’. Karena aku yakin M adalah pemimpin dari orang-orang yang menculikku waktu itu.
Aku meminta padanya untuk membiarkan aku bertemu dengan orang-orang yang harus kujauhi. Mulai hari senin, aku akan pindah sekolah dan pindah rumah. Aku tidak akan lagi tinggal di Jakarta.
Baru saja aku mengirimi Atha sebuah pesan untuk menjaga Zia selamanya. Jangan membiarkan Zia tersakiti dan aku mendukung Atha untuk terus berusaha membuat Zia jatuh cinta padanya dan melupakan Awan.
Aku juga pergi ke makam Kak Yasumi dan mengucapkan selamat tinggal. Aku tidak mungkin bisa sering-sering ke makam Kak Yasumi lagi. Aku akan berada di tempat jauh, dan mungkin saja tidak kembali.
Walaupun aku tidak tahu seberapa besar kuatnya M, tapi aku yakin, dia tidak akan ragu-ragu menyakiti orang-orang yang ada di sampingku.
Dan orang terakhir yang akan kutemui adalah Badai. Ya, Badai.
Meskipun tidak yakin bahwa Badai akan datang ke sini, tapi aku akan menunggunya. Aku harus menyelesaikan semua ini dan pergi sejauh mungkin dari orang-orang yang kusayangi.
Waktuku untuk bertemu Badai tinggal hari ini. Karena besok aku sudah berangkat menuju Jepang dan meninggalkan Indonesia untuk waktu yang lama. Itu sudah menjadi keputusan bulatku dan keluargaku.
Di sebuah taman yang hanya diterangi lampu remang-remang, aku duduk sendiri menunggu Badai. Sepuluh menit... dua puluh menit... tiga puluh menit...

Hai readers, ketemu lagi sama saya wkwkwk... part ini saya bagi jadi dua karena panjang bingits. Biar tambah penasaran juga wkwkwk (kayak ada yang baca aja). Terimakasih untuk membaca dan jangan lupa kirim komentarnya ya, via Line, BBM, WhatsApp, Facebook, E-mail di bawah ini *nunjuk kayak di tipi-tipi*. 


You may also like

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Ao Haru Ride

Ao Haru Ride

Daftar Blog Saya

Advertisement

Facebook

Instagram