Moments 07

0 Comments


Gema Athaillah


Belakangan ini gue menyadari sesuatu. Gue udah terlibat konflik tanpa gue sadari. Keputusan gue untuk ikut mencari Sakura waktu itu, membuat gue jadi ikut campur urusan orang lain.
Sebenarnya hidup gue ini tenang-tenang saja. Tanpa ada masalah yang terlalu serius. Urusan cinta, gue nggak pernah ambil pusing. Waktu itu gue pernah pacaran sama kakak kelas cantik yang merupakan seleb figuran. Tapi hubungan gue sama dia kandas di jalan. Sebenarnya gue nggak ambil pusing masalah itu, karena sebenarnya gue jadian secara tiba-tiba dan begitu aja. Toh, sebenarnya gue ini incaran para wanita.
Kali ini gue merasakan yang berbeda. Sejak bertemu cewek itu, gue jadi merasakan dunia baru. Gue merasa bahwa ternyata hidup gue datar-datar aja tanpa ada sentuhan. Sekarang, gue merasa tertantang untuk menjalani kehidupan. Meskipun agak ribet sih.
Cewek itu membuat gue tertantang. Sikap jutek dan cueknya itu bikin gue penasaran sama dia. Apalagi gue sama dia selalu satu kelompok dalam mengerjakan tugas.
Gue tau pasti, dia mengeluh tak keruan karena sekelompok sama gue. Sementara gue, gue merasa bahagia banget karena bisa sering-sering ngobrol sama dia. Meskipun ujung-ujungnya gue disuruh mingkem.
Ardiyanti Zia.
Pertama kali dia mengenalkan dirinya, benar-benar lugas, jutek dan sinis. Selama gue kenalan sama cewek-cewek, gue selalu disambut hangat. Tapi cewek ini luar biasa kejam.
Awalnya gue mengira bahwa Zia ini mantan buronan atau penjahat kelas kakap. Sikapnya yang angkuh dan menyeramkan membuat gue sempat ciut. Tapi itu sikap yang berbeda yang ditunjukkannya pada gue.
Di kelas, Zia cewek paling gokil yang gue kenal. Ketawa haha-hihi seenak jidat dan melakukan semua hal yang dia inginkan. Tidak peduli dengan kasta juga gender.
Tapi sekarang gue melihat Zia duduk di bawah pohon dengan raut wajah suram. Mata bulatnya menunjukkan bahwa dia sedang berduka.
Sejenak gue tergelak. Gue belum pernah liat Zia muram seperti ini sebelumnya. Selama ini Zia masih bisa tertawa dan tersenyum, bahkan marah-marah sama gue. Tapi Zia yang gue lihat sekarang benar-benar rapuh.
Gue mendekatinya perlahan. Duduk di samping kirinya, lalu menyenderkan punggung gue pada dahan pohon.
“Jangan ganggu gue! Gue mau sendiri!”
Seperti biasa. Nadanya dingin dan raut wajahnya judes banget. Tapi itu tetap tidak berpengaruh. Hal yang berpengaruh bagi gue adalah kedua bola mata bulat yang muram itu.
“Gue nggak mau gangguin elo kok. Gue akan diam. Anggap aja gue ini angin.”
Setelah mengatakan itu pada Zia, Zia tetap bergeming di tempatnya. Raut wajahnya nggak berubah dan dia sama sekali nggak mau berbicara.
Gue memang nggak tahu harus apa. Gue nggak bisa menenangkan orang yang sedih dengan kalimat-kalimat lebay. Yang bisa gue lakukan hanya menemaninya dan mendengarkan keluh kesahnya jika dia mau. Tapi Zia tidak bereaksi apa-apa. Membuat gue jadi kikuk sendiri.
Saat gue sadari langit mulai gelap, gue melirik jam tangan hitam di pergelangan tangan kiri gue. Pukul 05.30.
Gue membulatkan tekad, gue menyentuh pundaknya dengan ragu. Lalu berkata, “Zi, udah sore. Hari ini elo nggak bawa motor, kan!? Gue anter pulang ya...?”
Zia berdiri. Tatapannya lurus ke depan seakan menghiraukan gue. “Gue bisa pulang sendiri.”
Sesaat gue hanya bisa memandangi punggungnya yang menjauh dan menghilang di ujung koridor. Gue menghargai keinginannya untuk pulang sendiri, tapi gue harus memastikan bahwa dia selamat sampai rumah. Jadi, gue memutuskan untuk mengikutinya diam-diam.
***
“Hai, Ra, sombong banget sekarang sama gue.”
Gue nyengir dengan tampang tak berdosa ke arah Sakura. Mendengar gue menyapanya seenak jidat, gue langsung mendapatkan lirikan sinis dari Sakura.
Gila! Sekarang Sakura mirip banget sama Zia. Tatapan sinisnya itu bisa bikin orang mati di tempat. Untung mental gue, mental badak Yes, kata Zia sih gue ini muka dan mental badak banget.
“Sori...” Gue mendekat, tapi Sakura malah memalingkan muka. “Sebenernya ini bukan salah Zia, tapi...”
Belum sempat gue menyelesaikan kalimat gue, Sakura langsung berjalan melengos begitu saja.
Gue menghela nafas panjang. Setiap kali gue membicaran masalah itu, Sakura pasti langsung pergi. Tanda bahwa dia memang nggak mau denger apa-apa lagi. Pengakuan gue sama Zia waktu itu sepertinya sudah membekas di hatinya.
***
Hari ini gue berangkat buat latihan drama bahasa Sunda lagi. Kali ini gue dan lainnya memutuskan untuk latihan di rumah Badai.
Rumah Badai memang jauhnya minta ribut. Gue nggak tahu harus bilang apa pas tahu perjalanan ke rumah Badai segini jauhnya.
Di belakang gue ada Zia yang duduk dengan anteng. Tadi gue melihat dia lagi berdiri nyari angkot, katanya sih hari ini dia lagi males bawa motor. Gue yang melihat Tuan Putri gue terdampar sendirian di jalan tentu aja nggak tega. Jadi, gue mendekat dan menawarkan untuk berangkat bersama.
Awalnya dia langsung nolak. Kelihatan banget dari wajahnya kalau dia lagi bete berat dan nggak mau diganggu. Apalagi sama gue. Katanya dia bisa berangkat sendiri, tapi setelah 30 menit kemudian dia nggak mendapatkan angkot, akhirnya dia nyerah. Dan gue tentu saja menyambut Tuan Putri gue dengan gembira.
Sampai di rumah Badai, gue berdecak. Rumahnya cukup besar juga. Tapi kalau perjalanannya jauh begini sih gue ogah juga ke rumahnya terus. Kecuali kalo gue berniat untuk kabur dari rumah.
“Udah sampe nih, Tuan Putri.” Gue melepas helm gue dan menoleh ke belakang.
“Nggak usah panggil-panggil gue Tuan Putri, lagi!” ketusnya.
“Kenapa?” Gue mengangkat sebelah alis gue.
Zia turun dari motor gue dan melepaskan helmnya. Dia memberikan helm itu ke gue lalu berjalan begitu saja tanpa menjawab pertanyaan gue.
“Jauh ya, Bro?”
“Deket banget, Bro.” Gue nyengir ke arah Badai yang menyambut gue dengan rangkulan. “Lain kali, pindahin rumah lo ke sebelah sekolah aje ye...”
Badai tertawa. Dia melepaskan rangkulannya dan berjalan masuk ke dalam rumahnya, diikuti gue di belakangnya.
Di rumah Badai, gue melihat Awan, Ruth dan Prisil. Sepertinya gue dan Zia telat banget. Yah, itu kan gara-gara Tuan Putri gue nggak mau diajak bareng.
“Nih naskah ceritanya.” Ruth memberikan masing-masing naskah kepada semua anggota.
Gue melihat pembagian peran. Mata gue langsung menyipit dan mulut gue langsung mengerucut. Sialan banget sumpah pembagian ini. Sumpah nggak adil banget!!!
Naskah yang ada di tangan gue ini bercerita tentang Cinderella Modern. Zia menjadi ibu tiri, Awan menjadi suaminya, Indri dan Ruth menjadi anak mereka, Tia menjadi peri, Prisil menjadi Cinderella, Badai menjadi pangerannya dan gue.... menjadi pengawal pangeran.
Nggak adil banget, kan!? Kenapa sih Zia harus dipasangin sama Awan? Bukan gue? Gue ini nggak kalah ganteng sama Awan! Bahkan gue lebih ganteng dari Awan kok!
“Apaan nih!? Kok gue jadi pengawalnya Badai!?”
Indri melirikku mengejek. “Udah deh, terima aja! Dari pada elo gue jadiin pemulung!?”
Oh, jadi yang membagi peran ini Indri ya!? Rasanya aku pingin nyekek cewek ini. Tapi kan aku cowok macho. Mana mungkin melakukan kekerasan pada seorang cewek.
“Jangan pikir kalo Indri yang ngebagi peran.” Tia berkata dengan nada datarnya. “Kita membagi peran bersama-sama. Makanya elo jangan pulang duluan waktu itu!”
Sial. Baiklah, gue memang pulang duluan waktu itu dan nggak peduli dengan pembagian peran. Tapi kalau ternyata gue dijadiin pengawal dan ternyata si Awan yang berpasangan dengan Zia!? Gue nggak terima! Enak banget Awan bisa pegang-pegang cewek gue! Ups. Belom jadi cewek gue sih.
***
Selesai latihan yang sebenarnya nggak gue minati itu, yang lain bersiap-siap untuk pulang. Sementara gue, gue menahan Badai sebentar untuk menanyakan sesuatu yang membuat gue nggak bisa tidur karena merasa bersalah juga.
“Ada apa?”
“Mengenai Sakura, elo beneran menjauhi dia gara-gara...”
“BADAI!!!”
Sial. Menganggu saja sih cewek itu. Kulihat Badai menoleh ke arah Prisil yang melambaikan tangan padanya dan menyuruhnya mendekat. Dan seperti dugaan gue, dari pada menjawab hal nggak berguna dari gue, dia pasti lebih memilih untuk mendekat ke arah Prisil.
“Jangan membahas Sakura sama Badai lagi. Sakura nggak akan suka kalo kehidupannya diusik sama orang seperti kita.”
Setelah mengatakan itu, Zia langsung pergi begitu saja. Gue langsung mengikutinya.
“Tapi kita kan harus menyelesaikan ini, Zi.” Gue memegang pundak Zia yang langsung ditepis cewek itu. “Nggak seharusnya Badai bersikap pengecut kayak begini!”
“Elo yang pengecut!” Zia berbalik badan. Matanya menatap gue dengan sorot kebencian. Seakan gue adalah penyebab segala kesengsaraannya. “Elo cuma bisa menyebabkan masalah! Elo bahkan nggak berusaha menyelesaikannya! Dan berhenti membuat gue muak sama kata-kata lebay lo!”
Rasanya gue akan mati sekarang juga. Rasanya ada yang meremas hati gue dan membuat gue merasakan betapa sakitnya rasa itu.
Setelah itu yang gue rasakan hanyalah hampa. Kekosongan yang tak berarti apa-apa. Gue tau gue salah. Gue berusaha menyelesaikannya. Tapi kenapa... setiap yang gue lakukan adalah kesalahan di mata Zia!?
***
“Dari mana aja kamu?”
Gue membenarkan letak ransel di punggung gue. Menatap dengan malas ke arahnya. “Sejak kapan Mama peduli?”
Setelah mengatakan itu dengan nada ketus, gue langsung naik ke atas. Menuju kamar gue. Tempat ternyaman yang membuat gue merasa terlindungi dari kejamnya dunia ini.
“Seharusnya Mama berhenti bekerja. Biar Ayah yang kerja.”
“Ayah, Mama nggak akan mau berhenti dari pekerjaan ini! Ayah pikir, jika Mama keluar dari pekerjaan Mama, maka anak bandel itu akan menjadi anak penurut!? Enggak! Dia akan tetap seperti itu.”
Sial. Gue langsung melempar bantal ke sembarang arah. Gue udah nggak bisa menahan emosi gue kali ini. Berkali-kali gue menekan emosi gue terhadap sikap acuh tak acuh orang tua gue, nyatanya sekarang gue meledak karena nggak sabar.
Gue merasa lelah dengan semua ini. Siapa juga yang betah dengan kehidupan gue? Kekayaan? Disayang guru karena gue atlit sekolah? Tapi... ke mana kehidupan keluarga gue yang hangat dulu?
Sekarang gue terus bertanya-tanya. Gue nggak bisa lagi pura-pura kalau gue baik-baik aja. Gue nggak bisa terus begini. Gue harus melakukan sesuatu!
***
Hari ini gue berangkat sekolah dengan niat nggak niat. Gue nggak bisa tidur semalaman dan mata gue udah kayak panda. Gue juga lagi nggak berniat mendapat tatapan sinis Zia. Rasanya sakit banget.
“Terima kasih atas kedatangan Anda, Tuan.”
Gue melihat Pak Rhoma, Kepala sekolah gue yang sekarang, mengangguk hormat pada sosok cowok muda yang sepertinya masih kuliah itu.
Tatapan dan senyuman cowok itu membuat gue tertarik. Tapi tunggu dulu! Bukan tertarik karena gue naksir dia, tapi ada yang membuat gue jadi penasaran sama dia.
Sedetik kemudian, pandangan gue teralihkan ke cewek yang baru saja melewati gue seperti menganggap gue ini angin. Yes, siapa lagi kalau bukan Zia?
Gue menunduk pasrah. Percuma juga gue deketin dia. Toh, dia memang nggak suka sama gue. Apalagi semua sikap gue selalu salah di matanya.
“Selanjutnya dia.”
“Huft, cewek itu membuat kita harus bekerja lebih keras lagi.”
Saat itu juga gue tergelak. Suara itu. Suara yang gue kenal. Suara yang pernah gue dengar saat Sakura diculik! Gue menengadah. Mencari-cari siapa orang yang baru saja berbicara.
Tapi gue nggak menemukan siapa pun yang terlihat habis berbicara. Sial! Gue melewatkan kesempatan, lagi!
“Oi, Atha! Lo ngapain berjemur di bawah tiang bendera?”
Gue menoleh dan mendapati Badai berjalan ke arah gue dengan Awan yang tetap terlihat santai.
“Lagi nyari ilham, Bro.”
“Nyari ilham di tempat dingin dong!” Badai menyikut lengan gue.
“Tempat dingin?” Gue mengernyitkan dahi. “Di mana?”
“Di dalem bak kamar mandi.”
Sialan banget memang si Badai. Ini dia Badai yang gue kenal. Kelihatan kocak. Sementara Awan memang selalu terlihat tenang dan dingin. Sifat yang sudah melekat bagai lem di dirinya.
“Nanti pulang sekolah gue traktir, oke!?”
Gue mengernyit bingung. Sementara Awan terlihat biasa saja. Dasar cowok datar!
“Ada apa? Elo ulang tahun?”
Badai menggeleng. “Gue abis jadian.”
Mata gue langsung membelalak lebar. Gue melirik ke Awan. Dia masih biasa saja. Jangan-jangan dia memang sudah tahu berita besar ini.
“Sama siapa!?”
“Prisil.”
Gotcha! Gue tahu kalau dia pasti bakalan jadian sama Prisil. Nggak salah lagi. Satu-satunya target yang dekat dengan Badai saat ini adalah Prisil. Tapi... apa Awan baik-baik aja?
***
Air mata itu turun membasahi pipinya. Kedua matanya yang bulat mengerjap-ngerjap seakan menahan air mata itu agar keluar lagi. Tapi sepertinya tak bisa. Karena yang terlihat, air mata itu terus turun mengaliri pipinya.
Sekali lagi gue harus menahan diri untuk nggak menonjok atau menghancurkan barang-barang di sekitar gue. Melihat Zia sedih membuat gue menjadi marah.
Gue marah karena gue nggak bisa apa-apa. Gue nggak bisa melakukan sesuatu yang membuat hatinya tenang. Karena gue tahu, gue nggak mampu. Gue bukanlah orang yang diinginkan Zia sekarang. Karena Zia... menyukai Awan.
Mengingat hal itu membuat gue menjadi orang tolol. Kenapa juga gue harus tahu siapa orang yang Zia sukai? Kenapa juga gue harus mendengar dan menyaksikan Awan menyatakan cinta pada Prisil?
Yes, gue menunggu Zia keluar dari kamar mandi waktu itu. Karena bosan menunggu, gue menyenderkan tubuh gue di dinding yang ada di balik kamar mandi cewek.
Tiga menit kemudian gue mendengar suara langkah panjang yang terburu-buru. Lalu gue mendengar pernyataan cinta Awan pada Prisil. Tunggu! Kalau nggak salah, gue mendengar Prisil sudah punya pacar. Bukannya Badai dan Prisil baru-baru ini jadian? Kejadian itu kan sudah satu bulan yang lalu.
Sret...
Sesaat gue tersadar dari lamunan panjang gue. Sakura berdiri tak jauh dari tempat Zia. Sepertinya Sakura menyenggol pot bunga di dekatnya.
Sial. Melihat Sakura gue semakin merasa bersalah sama cewek itu. Pasti Sakura sudah mendengar Badai jadian dengan Prisil. Gue memang biang masalah. Gue membuat Sakura sakit hati juga marah dan gue juga membuat Zia membenci gue.
Zia berdiri dan berjalan menuju koridor atas. Sepertinya dia menuju loker murid.
Gue menghela nafas panjang, lalu berjalan gontai ke arah koridor utama. Lebih baik gue pulang. Toh gue nggak bisa apa-apa sekarang. Yang gue lakukan dari tadi hanya melihat Zia dikejauhan. Meskipun gue tau, rumah bukan lagi menjadi tempat hangat dan nyaman untuk gue berlindung.
Tapi gue merasa satu-satunya tujuan yang bisa gue...
“Atha!”
Gue menoleh dan terkejut saat melihat Sakura menahan gue. Nafasnya terengah-engah dan kedua mata sipitnya menatap gue dengan tatapan memohon. Wajah Sakura pucat pasi dengan keringat mengucur di keningnya
“Jangan pergi.” Sakura menelan ludahnya susah payah. “Zia... di loker Zia...”
Sakura berbicara terbata-bata. Gue menatapnya bingung. Ada apa dengan loker Zia?
“Loker Zia... boneka susan... surat ancaman...”
Gue melebarkan kedua mata gue. Satu persatu kata gue sambungkan dengan susah payah. Lalu gue tersadar akan sesuatu.
Saat gue bersiap untuk lari, Sakura menahan gue.
“Kenapa?”
“Gue serahin Zia sama lo. Jaga dia. Pastikan lo mengantarnya sampai rumah.”
“Lo nggak ikut?” Gue bertanya bingung.
Sakura menggeleng. “Entah kenapa gue merasa... ini semua karena gue...”
“Trus lo pulang sendiri?” Gue melotot. “Nggak boleh! Ini udah sore. Masalah lo sama Zia bisa diselesaikan kok...”
“Ini bukan masalah itu, Tha.” Sakura tersenyum perih. Kedua matanya menatap kosong ke bawah.
“Kalo gitu gue telfon Ba...” Sial. Hampir aja gue mengatakan untuk menelfon Badai. “Awan... ya, Awan rumahnya nggak terlalu jauh dari sini. Gue bisa minta...”
Sakura memegang tangan gue, lalu menatap gue sambil tersenyum. “Gue bisa pulang sendiri kok.”
“Kalo elo...”
“Nggak apa-apa. Toh mereka punya urusan sama gue. Gue akan menyelesaikan semua ini sendiri.” Sakura menatap gue dengan serius. “Janji sama gue kalo elo bakal antar Zia sampai rumah?”
Gue mengangguk.
“Kalo gitu, gue pergi.”
Setelah Sakura pergi, gue langsung berlari ke koridor loker. Gue menemukan Zia yang sedang tertunduk lemas di lantai.
“ZIA!”
Cewek itu menoleh. Gue bisa melihat air mata turun dari kedua bola matanya yang bulat. Sial. Siapa sih yang berani bikin cewek gue jadi begini!?
Gue berlari mendekati Zia. Sementara Zia berusaha berdiri. Dan setelah gue berdiri di hadapan Zia, Zia pingsan di dalam pelukan gue.
Mata gue menangkap secarik kertas yang telah dibuka Zia ada di lantai.

Badai sudah disingkirkan dengan aman. Sesuai dengan  Tapi elo malah mengacau. Membuat dia sedih adalah kesalahan fatal yang lo buat! Elo akan mati, Zia. Mati! Mati! Mati! MATIIIII!!!

Gue meremas kertas itu marah. Siapa pun yang berani mengganggu Zia, maka dia akan melawan gue.


You may also like

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Ao Haru Ride

Ao Haru Ride

Daftar Blog Saya

Advertisement

Facebook

Instagram