Semakin lama, semakin gaje... Biarkanlah #loh? hahaha


“Maafin aku ya, Tar...” Ata menggenggam tangan Mentari erat dengan tatapan dalam kasih sayang.

Mentari tersenyum. “Nggak apa-apa, Ta. Mungkin emang seharusnya kamu percaya temen-temen kamu daripada aku. Aku baru di kehidupan kamu...”

“Tapi aku udah kenal kamu dari kecil...”

“Tapi aku juga baru masuk ke dalam kehidupan kamu lagi. Aku pernah pergi, Ta. Apa kamu nggak takut ada yang berubah dari aku?”

“Apapun yang berubah dari diri kamu, aku percaya perasaan kamu enggak.”

Mentari terdiam. Entah kenapa dengan perasaannya sekarang. Berbeda jauh saat ia menantikan bertemunya ia kembali dengan sosok Ata. Berbeda jauh saat ia mengucapkan janji saat itu. Saat ia belum bertemu dengan Ata kembali.

“Jadi, apapun yang orang lain katakan, aku nggak akan percaya sebelum melihat sendiri!” tandasnya dengan mata yang berkilat penuh keyakinan.

***

“Udah baikan sama Ata?” tanya Ari yang sedang membantu Tari menyelesaikan tugas kimianya.

“Kita nggak marahan...” ucap Mentari.

“Kemaren elo ngapain pergi-pergi? Itu namanya apa? Marah? Sebel? Jengkel? Atau apa???” Alisnya terangkat sebelah.

“Itu namanya gue nggak kuat ngedengerin temen lo yang satu itu ngomong!” tandas Mentari. “Masuk ke hati, tau!”

“Gue percaya kok, kalo elo nggak...”

“Enggak apa?”

“Enggak ngelakuin itu lah... masa gue nggak percaya kalo elo cowok... eh... cewek!”

“Dih... pingin di hajar ya lo? Maksud lo apa?”

“Lagian jadi cewek manis dikit napa, Men. Kayak cewek gue...” Ari merangkul Tari yang langsung mengernyitkan keningnya. “Serba oranyeee...”

“Gue juga serba iteeemmmm...” Mentari nggak mau kalah!

“Tapi elo keliatan kayak cowok, tau!” ucap Ari. “Liat deh, masa cewek rok satu-pun nggak punya! Dasar cowok.. eehhh...”

Mentari langsung menjewer telinga Ari. “Apa maksud elo??? Menghina gueee???”

Tari malah ketawa ngikik. Apalagi melihat Ari meringis kesakitan karna di jewer sama Mentari.

“Tari, elo bantuin gue kek! Belain gue kek!” ucap Ari kesal.

“Males ah!” ucap Tari. “Tau nggak? kalian itu kayak kakak-adik yang lagi berantem. Hahahaha...”

Keduanya langsung berhenti bertengkar dan memandang satu sama lain. Lalu dengan serempak mereka katakan... “AMIT-AMIT DEH!”

***

Lagi-lagi nungguin Ata dulu di dekat gerbang kampus. Sudah sore pula! Kali ini Oji nggak mungkin muncul sebagai tukang ojek lagi, soalnya tadi Mentari melihat Oji sudah pulang duluan. Aktifitas barunya semenjak resmi jadi ceweknya Fio.

Kalau bukan untuk menghargai Ata, Mentari sudah naik taksi atau ojek atau becak juga boleh, yang penting langsung pulang deh! Capek banget dengan materi yang di kasih dosen tadi. Bikin mau muntah.

Mentari memang cukup pintar, sayangnya dia kalau sudah tidak ada mood, sori-sori saja buat dosen yang akan ngasih materi panjang lebar. Terutama kalau disuruh nulis dan itu dosen nge-dikte-in! Bisa-bisa Mentari langsung keluar kelas, dan ngebolos seenak jidatnya.

TIN... TIN... TIN... TIN...

Mentari menoleh ke belakang, ada mobil, ia langsung meminggirkan badannya.

TIN... TIN... TIN...

Perasaan Mentari udah geser badan deh!? Ya udah lah, Mentari geser lagi posisinya.

TIN... TIN... TIN...

Emang minta di ajak ribut ya itu mobil! Udah minggir beberapa kali masih aja di klakson! Kurang ajar! Mentari menoleh dan...

“MENTARI, AWAS!!!”

Mentari tergeletak di tanah dengan tubuh seseorang yang menindihnya dari atas. Sedangkan mobil itu sudah melaju dengan kencang. Sepertinya mobil itu memang sengaja ingin mencelakai Mentari.

“Lo nggak apa-apa?”

Mentari membuka matanya perlahan. “He? Gue masih idup?”

Orang yang menyelamatkan Mentari itu langsung menoyor kepala Mentari. “Ya iyalah, bego! Kan udah gue tolongin!” cibirnya.

Mentari langsung menoleh. “Ari?” gumamnya tanpa sadar.

“Iya, kenapa gue? Nggak bilang makasih nih? Udah gue tolongin juga...”

Berarti tebakannya nggak salah! Untung tadi dia nggak bilang kalau itu Ata, perbedaan yang mulai terlihat dari fisik mereka berdua membuat Mentari dapat membedakannya sekarang.

“Makasih ye, adik!” katanya dengan mengusap-usap rambut Ari.

“Dih... emang gue mau jadi adik lo? Emangnya elo bakal nikah sama Ata gitu?” Ari malah ngawur kemana-mana.

Belum sempat Mentari memberikan tanggapan Ari yang ngawur itu, ponselnya berbunyi keras. Ia kira itu Ata, jadi langsung angkat saja meskipun itu dari private number.

“Halo...”

“Ini belum seberapa...”

“Ha?”

“Ini belum seberapa atas tindakan lo...”

Ari yang ikut penasaran langsung mengambil ponsel yang tadinya di pegang Mentari. Ia loadspeaker hubungan itu. Pasti Ata mau ngomong romantis-romantisan, pikirnya.

“Ini belum seberapa, Mentari. Kejadian tadi cuma untuk sebagian kecil akibat yang elo lakuin. Gue peringatin, semakin elo deket sama Oji, semakin elo mencari mati!”

TUT!

Ponsel mati.

“Men...” Ari menoleh ke arah Mentari yang kini sedang duduk menyender ke pohon dengan wajah pucat dan juga tatapan kosong.

Ari mengerti. Walaupun Ridho atau yang lainnya mengatakan cewek ini jahat, cewek ini tak mungkin sejahat yang mereka katakan. Ari yakin, cewek ini sedang dalam bahaya.

“Men...”

“Gue nggak tau! Gue nggak tau apa-apa!”

“Men...”

“Ya Tuhan!” Mentari menutupi wajahnya.

Ari merangkul Mentari. “Udah, Tar. Gue tau elo nggak tau apa-apa. Gue juga yakin kok kalo yang nyulik Hera bukan lo. Gue yakin sama lo sepenuhnya!” tandas Ari yakin.

“Apa salah gue?? Gue nggak tau apa-apa. Gue cuma temenan sama Oji. Gue nggak nyulik Hera. Gue nggak dendam sama siapapun. Gue kehilangan adik gue. Gue kehilangan rasa kekeluargaan gue. Gue...”

“Sssttt... udah. Jangan dipikirin lagi, Tar. Gue ngerti perasaan lo.”

Entah mengapa, panggilan “Tar” lebih menyejukan di hati Mentari. Dan Ari berarti sedang serius sekarang!

***

“Kalo aja waktu itu gue percayain hati gue buat liat elo, mungkin dulu gue nggak kehilangan elo.” Fio memeluk Oji dari samping. “Cowok itu emang brengsek! Masa dia cuma mainin gue doang!”

“Udah! Nggak usah di inget lagi...” Oji mengelus-elus rambut Fio. Lalu mencium puncak kepalanya sambil menatap ke arah tumbuhan yang tertanam rapi di depannya.

“Elo beneran sayang gue kan, Ji?” tanyanya menatap ke arah Oji.

Oji diam. Tatapan matanya kosong. “Kalo gue nggak sayang sama lo, gue nggak mungkin mau terima elo lagi setelah caci maki itu.” Katanya dengan tatapan yang masih kosong dan terus kosong sampai keduanya pulang.

***

“Sepertinya pekerjaan tu cewek bagus, Bos!” ucap seorang pengawal kepada bos-nya yang sedang menatap ke arah jendela markas.

“Dia emang harus kerja bagus. Kalo enggak, gue mesti nyuruh elo semua buat nangkep dia dan meringatin dia.”

“Tapi, Bos, apa nggak bahaya? Dia udah tau siapa bos sebenarnya...”

“Buat apa? kalo sampe dia ngadu, tinggal gue giring aja ke sini. Dan gue yakin, nggak ada satupun orang yang akan percaya tentang apa yang Hera katakan tentang gue...”

“Sekarang tugas kita apa?”

“Nggak ada. Elo udah nyuruh seorang cewek buat nelfon dia atas kejadian kemarin kan?”

“Udah, Bos.”

“Bagus!”

“Tapi dia diselametin cowok yang kembar itu, Bos. Apa nggak apa-apa?”

“Tenang. Itu malah bagus, ngebuat Mentari Theresia berpikir ulang untuk mendekati Rhauji.” Orang itu terseyum licik dan sinis.

***

Sekarang, Mentari memandang langit gelap itu lagi. Namun dengan perasaan yang berbeda dengan yang ia rasakan dulu, sayangnya dengan suasana yang sama. Papa dan Mama yang masih bertengkar dengan dua alasan. Yang pertama karena kematian adiknya, Cinta. Dan yang kedua, Mentari tidak tahu jelas tentang itu. Tante Lidya ingin memberitahukannya pada Mentari, tapi Mentari sedang tidak ingin mendengar alasan itu.

Karena Mentari yakin, alasan yang kedua adalah alasan yang paling utama hingga mereka bertengkar. Dan itu pasti suatu kenyataan.

“Aneh!” runtuknya lebih kepada hatinya sekarang. “Kenapa gue beginiii!???” Menatri menggeleng-gelengkan kepalanya. “Inget Ata! INGETTT!?” ucapnya kepada dirinya sendiri. “Inget Fio? Tau Fio siapa kan? Selain dia pacarnya dia, Fio juga temen lo Mentariiii….”

“Kalau bukan karena kamu! Aku nggak akan marah-marah!”

Lagi? keluh Mentari. Akhirnya ia memutuskan untuk tidur saja. Ia pejamkan mata dan mulai tidur.

“Apa karena kamu minta maaf sama aku, itu ngerubah kenyataan kalau Mentari bukan anak kandung aku!? Ha? Dan bisa membuat Cinta yang sudah tidak ada, hidup lagi!???”

Mentari membuka matanya lagi. Sepertinya ia tidak bisa tidur malam ini. Karena setiap papanya mengatakan itu, ia pasti bermimpi buruk.

***

Baru beberapa langkah saja, Fio mengeluh kelelahan keliling Ragunan. Oji bukannya nggak perhatian dengan gendong-gendong Fio. Tapi, masa dia gendongin Fio di depan banyak orang sih!? Menjadi pusat perhatian orang gitu!?

“Udah, istirahat dulu yuk!” kata Oji menawarkan duduk di bawah pohon yang masih rimbun.

“Tapi gue mau terus liat-liat...” Fio keukeuh nggak mau berhenti. Udah tau itu tandanya cewek minta di gendong! Malah di ajak duduk di bawah pohon, lagi! Bikin bete aja.

“Katanya elo capek, Fi. Mendingan kita istirahat daripada elo pingsan nanti!”
Nah! Ini dia, ide cemerlang langsung muncul di kepala Fio.

“Gue baik-baik aja kok! Nggak bakal pingsan!” katanya dengan wajah yang langsung memancarkan semangat.

“Tapi elo bilang capek kan!?” Oji jadi bingung sendiri.

“Udah enggak kok! Elo ngajak ngobrol gue sih, Sayanggg. Jadi guenya semangat lagi! Dan nggak bete diem-dieman mulu dari tadi.” Katanya dengan gerlingan nakal.

Oji agak geli ngedenger panggilan itu. “Ya udah. Lanjut nih?” tanyanya pada Fio dan di jawab dengan anggukan kepala Fio. “Sip deh!”

Baru saja satu belokan mereka berjalan, Oji langsung was-was pas liat Fio jalannya agak miring. Seperti orang yang mau pingsan.

“Gue kok...”

BRUKKK!

Dengan sigap Oji langsung menahan tubuh Fio agar tidak jatuh ke tanah. Kekhawatirannya ternyata benar. Fio pingsan! Ini nih yang bikin Oji paling males kalau jalan berdua. Kalau situasinya begini gimana?

Kalau perasaan yang dulu masih sama, mungkin Oji langsung kaget dan cepat-cepat menyelematkan Fio. Menggendongnya lalu menungguinya dengan sabar hingga sadar.

Sayangnya, sekarang untuk menggendong saja malas. Apalagi sampai menungguinya dengan sabar dan setia!

“Fi...” Oji agak mengoyangkan tubuh Fio sedikit. Tapi Fio tidak memberikan reaksi. Terpaksa Oji harus menggendongnya dan cepat membawanya ke tempat terdekat. Ingat ya, TERPAKSA!?

Setelah mendapatkan tempat nyaman untuk Fio di sebuah ruangan terdekat yang diberi tahukan oleh seorang penjaga, Oji langsung menelpon seseorang untuk membantunya. Males juga kali nunggu sendirian, bete!

“Tar, elo dimana?”

Anehnya, malah Mentari yang dia telfon. Bukan Hera, Tari, Ari, Ridho atau Ata gitu. Pikiran utamanya langsung ke cewek itu.

“Di kampus. Kenapa, Ji?”

“Ke Ragunan ya?”

“Ngapain? Nyamain muka sama sodara lo? Gue sih mukanya nggak sama ya!”

“Duh! Ngaco banget sih lo!” Oji jadi kesal. “Fio pingsan nih! Keadaaan gawat. Gue mau cepet-cepet bawa dia pulang.”

“Nanti juga sadar sendiri, Ji. Kasih aja minyak kayu putih supaya cepet sadar!”

“Kok bego sih lo!? Gue bilang kan gue mau pulang cepet-cepet. Kasian dia juga kali, kelamaan disini. Tempatnya itu lho...”

“Ya udah, entar gue nyuruh si Ari dateng.”

“Gue kan nelfonnya elo! Jadi gue maunya elo!”

“Dih, guenya nggak mau. Kenapa gue? Ari aja sono. Atau gue telfon Tari atau Ata?”

“Gue bilangnya mau sama elo. Ya sama elo!” Oji ngomel.

“Tapi guenya nggak mau, Ji! Malesss...”

“Dasar bawel! Cerewet! Dasar cewek! Buruan kesini. Titik! Nggak pake koma apalagi tanda tanya!” Oji langsung mematikan ponselnya.

Tidak lama kemudian, Mentari datang dengan kepalanya yang celingukan ke kanan dan ke kiri. Mencari sosok Oji.

Mengetahui itu, Fio yang pura-pura pingsan langsung bete! Dan buru-buru sadar. Kenapa harus bawa-bawa cewek lain sih!?

“Oji!” seru Mentari menghampiri Oji yang sedari tadi duduk sambil memandang ke luar. Oji yang di panggil langsung menoleh.

“Kak Oji, aku dimanaaa?”

Perhatian Oji yang tadinya ke arah Mentari langsung berpindah ke arah Fio yang ternyata sudah sadar.

“Di ruangan semacam UKS gitu, Fi. Elo udah sadar?”

Fio mengangguk pelan dan menunjukkan wajah letihnya. “Kak, kita pulang yuk?”

“Eh, Fi, udah sadar? Tuh kan, Ji, kasih minyak kayu putih pasti langsung sadar!” kata Mentari.

Fio melirik sinis lewat ujung matanya. “Kakak sayanggg, pulang yuk!?” ajaknya dengan manja.

“Iya, Fi. Kamu minum teh anget dulu nih!” Oji memberikan segelas teh hangat yang tadi di dapatnya oleh seorang petugas.

Fio menegaknya sampai habis. “Kak, gue pingin denger elo ngomong “sayang” ke gue sekaliii aja. Biar gue cepet sembuh dan kita pulang!”

“Ha? Enggak ah!”

“Kenapa? Elo nggak sayang gue? Kalo gitu gue nggak mau pulang!”

Pasti gara-gara ada Mentari di sini, jadi Oji nggak mau Fio suruh panggil sayang.
Oji sempat melirik Mentari yang sedang menatapnya dengan wajah datar. Lalu cewek itu memalingkan wajahnya untuk tidak melihat wajah Oji.

“Iya, Sayanggg. Kita pulang ya?”

“Sekaliii lagiii... yang kenceng!”

“Oke, Sayanggg. Kita pulang ya, Fio Sayanggg!”

Mentari diam, sementara Fio tersenyum puas sambil menggandeng Oji keluar dari sana.

***

Sialnya Mentari tadi ke sana pakai taksi, sehingga Oji memaksanya untuk ikut ke dalam mobilnya. Yeah, Oji terpaksa bawa mobil karena Fio ngomel-ngomel nggak mau kena sinar matahari. Itu maksudnya apa!?

Setelah mengantarkan Fio, tinggal Oji dan Mentari yang ada di dalam mobil. Oji memaksa Mentari pindah ke depan, biar nggak terkesan seperti supir. Tadinya Mentari nggak mau, tapi karena langsung di sinisin sama Oji, akhirnya dia nurut juga.

“Jangan pulang dulu ya!” kata Oji pada Mentari.

“Kenapa? Gue jalan kaki aja deh, Ji. Deket kok dari rumah Fio.”

“Gue nggak mau elo pulang, Tar!” tandasnya.

“Kenapa?”

“Temenin gue. Gue mau liat matahari terbenam bareng elo di danau. Kayak dulu...” katanya sambil menggenggam tangan Mentari erat.

Mentari melirik tangannya yang di genggam oleh Oji. Ia tersenyum dalam hati. Seperti ada sengatan lebah di hatinya. Ia merasa sangat senang! Sayangnya ia nggak bisa munculkan itu di wajahnya.

“Ji...”

“Tar, seandainya keadaan yang sekarang berbeda.”

Alis Mentari menyatu. “Maksudnya?”

“Elo nggak sama Ata dan gue nggak sama Fio. Mungkin lebih baik...” ucapnya pahit.

“Ji...”

“Lupain aja, Tar! Gue tau kok elo suka sama Ata. Suka banget. Karena kalian temen kecil...” katanya mulai menyalakan mesin mobilnya.

Gue juga suka elo, Ji. Gue suka. Asal elo tau, gue nggak punya perasaan apa-apa sama Ata lagi. Udah beda, Ji! teriaknya dalam hati. Ia tak mungkin bisa mengungkapkan itu pada Oji. Tidak akan pernah mungkin.

Jadi Mentari hanya bisa tersenyum pahit dan ikut terdiam dalam keheningan yang mulai merambat ke hatinya juga. “Elo salah,” gumamnya pelan. Bahkan mungkin tak mungkin dapat Oji dengar. Suaranya selirih angin yang berhembus.
Hahaha. Kembali lagi dengan karya gaje...
Siap! Let's check it!


Ridho, Oji, Ari, Tari, Fio dan Mentari sudah mengobrol di kolam renang milik Oji. Entah kenapa, Oji pingin banget bikin acara ramai-ramai begini.

Ridho yang paling takut kalau Mentari melakukan sesuatu yang membuat kekacauan disini. Dia tahu jelas kalau Mentari itu jahat. Yah, ia tahu Mentari jahat! Setahunya memang begitu.

“Sayang yah, Hera nggak bisa ikut...” kata Oji sambil membawa minuman-minuman untuk teman-temannya dengan nampan.

“Jadi Kak Hera itu kemana sih Kak Tari?” tanya Fio pada Mentari yang dari tadi terus melamun memikirkan sesuatu.

Mentari menghembuskan nafas beratnya. “Enggak tau juga. Dia tinggal disini sendiri, di apartemen. Dan pas gue samperin apartemennya, dia nggak ada.”

“Lo yakin?” tanya Ridho dengan kecurigaan.

Mentari mengangguk yakin. “Kalo nggak percaya, kita bisa ke apartemennya!” ungkapnya dengan yakin.

“Emmm... Kak Oji sini dong! Duduk di sebelah gue!” Fio menarik Oji duduk di sebelahnya. Entah kenapa, Oji merasa ada atmosfer yang berbeda kali ini.

“Oya, Tar, itu pacarnya Ari. Yang namanya Tari. Yeah, dia mataharinya Ari.” Ridho bermaksud untuk menyindir.

Tapi yang disindir malah tersenyum. “Udah tau kok, Dho. Waktu itu kita pernah kenalan kan, Tar?”Mentari melihat ke arah Tari yang ikut tersenyum kepadanya.

“Ooh jadi kalian udah kenal?” Ari yang lebih banyak diam kali ini mengeluarkan suara. “Gue nggak nyangka lho, Men. Kalo elo tetangga kecil gue...”

“Men?” Oji langsung mengkribokan keningnya.

“Kalo gue panggil “Tar” entar dua-duanya nengok. Jadi mending gue panggil “Men” untuk Mentari dan “Tar” buat Tari...” jelas Ari dengan cengiran.

Mentari dan Tari tertawa geli. “Iya deh, Ri. Terserah elo mau panggil gue apa, mau “Men” kek, terserah elo.”

Ponsel Oji berdering kencang. Ada yang menghubunginya, sayangnya tanpa nama bahkan nggak ada nomornya. Dengan ragu, Oji mengangkatnya.

“Halo,”

“Rhauji? Benar kan kamu Rhauji?”

“Iya... ini siapa?”

“Hera... Rhauji cepat tolong aku! Kumohon.”

“Kamu dimana?”

“Nanti aku tulis alamatnya, yang penting kamu mau nolong aku kan!?” katanya dengan suara yang sangat-sangat ketakutan. “Dan please, jangan ajak Mentari...”

“Iya, iya, aku ke sana. Sabar ya, Ra...” Oji menutup ponselnya buru-buru.

“Siapa, Ji?” tanya Ari.

***

“Jadi, gue nggak boleh ikut? Kenapa?” tanya Mentari dengan bingung.

“Akting elo emang pinter, Tar!” kata Ridho dengan sinis. “Dari awal gue udah curiga sama elo. Elo yang nyulik Hera kan!? Elo juga yang punya niat buat ngancurin hubungan Ari-Tari kan!?”

Mentari kaget. “Apa maksud elo, Dho? Gue nggak pernah punya niat buat ngancurin hubungan temen kecil gue sendiri! Apalagi ngecelakain temen deket gue!”

“Alah! Bohong elo tuh bisa banget! Mulai sekarang, buat elo, Ji... jangan deket sama cewek jahat ini!?”

Oji terdiam cukup lama menatap Mentari. Ari dan Tari hanya bisa menyaksikan dengan kebingungan.

“Jadi, pertanyaan-pertanyaan waktu itu... emang nunjukin kalo elo jahat?” Oji nggak nyangka bakal diginiin. Oji tersenyum miris. “Dari awal pertama kali gue ketemu elo, elo emang pantes dapet julukan “nasty girl”! Gue kecewa sama lo!” katanya sambil meninggalkan Mentari.

Sementara yang lain mengikuti langkah Oji dan meninggalkan Mentari sendiri.

***

Baru saja Mentari rasakan kebebasan saat bersama Oji. Baru beberapa minggu. Tapi semua itu telah dihancurkan oleh sebuah kesalah pahaman yang tak akan mungkin Oji perdulikan lagi. Karena baginya, sekarang dia adalah seseorang yang jahat.

“Ngapain kamu bengong di situ, Tar?” tanya seseorang dari belakang punggung Mentari.

Saat itu Mentari sedang melihat pos tempat mainnya waktu kecil. Dimana tempat itu menjadi tempat kenangan yang paling indah. Seandainya Mataharinya itu tidak mempunyai seorang Matahari baru, atau setidaknya ingat tentang masa lalunya, mungkin Mentari nggak akan sesedih ini.

Dia menyadari, dia lebih nyaman di samping Oji. Cowok itu selalu ada di sebelahnya, sayangnya tidak untuk sekarang.

“Nggak ngapa-ngapain kok, Tan. Cuma mengenang masa lalu...”

“Mama, Papa kamu masih berantem?”

Mentari tersenyum masam. “Tante Lidya, kalo Mama Papa udah nggak berantem mungkin aku nggak akan keluyuran seperti ini buat mencari suasana lain.” Katanya dengan nada sedih.

Tante Lidya menepuk-nepuk pundak Mentari pelan. “Ini semua karena kesalahan masa lalu, Tar. Bukan hanya karena kematian adikmu... Cinta.”

“Udahlah, Tan. Aku juga nggak ingin melihat Papa dan Mama begitu. Percuma aku ngomong panjang lebar kalau akhirnya mereka malah anggap aku angin lewat. Aku juga nggak perlu tahu kekelaman masa lalu mereka.”

“Jadi, kamu udah ketemu sama Ata?”

“Ata?” Mentari mengernyitkan keningnya. “Siapa?”

“Temen kecil kamu, Tar. Masa kamu lupa?”

“Memangnya dia di panggil Ata? Bukannya Ari?”

“Kamu lupa ya? Ata punya sodara kembar. Nah, sodara kembarnya itu Ari.”

“Jadi... temen kecil aku itu... Ata? Atau Ari?”

“Dua-duanya, Tar.” Tante Lidya tersenyum. “Yang satu yang sering nolong kamu kalo kamu nangis, yang satu suka bandelin kamu. Sampai-sampai kamu nangis.”

Mentari menutup wajahnya. Tertawa. Baru ingat kalau ia waktu kecil bermain dengan dua orang, bukan satu orang. Habisnya mereka kan mirip, Mentari jadi susah bedainnya.

Kepribadiannya yang membuat Mentari bisa membedakkannya. Tapi Mentari lebih dekat, lebih tau tentang Ata bukan Ari. Pantas saja cowok itu tidak begitu mengingatnya.

“Aku salah orang, Tan...” katanya dengan tertawa. Kini wajahnya sudah tidak ditutupi kedua tangannya. “Aku malah ngira kalo itu Ari.”

“Jadi kamu belum ketemu dia?” tanya Tante Lidya. Mentari menggeleng. “Dia serumah sama Ari, cuma beda tempat kuliah. Kamu bisa ke rumah Ari, atau ke tempat kuliahnya.”

***

Ata mengernyitkan kening saat ia di hampiri seseorang di kampusnya. Seorang cewek yang cukup tinggi dan cantik. Seperti blasteran Korea-Indonesia.

“Ata ya?”

Ata mengangguk, tapi tidak mengatakan dengan bibirnya. Ia masih bingung dengan kedatangan cewek itu. “Siapa ya?”

“Mentari. Inget nggak?”

“Mentari?” ulangnya seakan mengingat sesuatu.

“Iya. Kalo elo nggak inget gue, elo keterlaluan banget deh! Udah bikin janji sama gue, suka
nangisin gue, suka...”

“Stop... stop... kebanyakan ngomong bikin gue jadi kesel sama lo!” katanya dengan mata yang menyipit.

“Kenapa?” tanya Mentari bingung.

“Elo ninggalin gue, tau! Pake nanya, lagi...” Ata langsung sewot. “Mentang-mentang elo pindah, elo nggak hubungin gue? Katanya bikin janji, tapi elo pergi nggak bilang-bilang sama gue!”

“Lho? Kok elo yang marah-marah sama gue!?” Mentari bertolak pinggang. “Waktu kecil kan elo yang bandelin gue mulu! Makanya gue pergi. Biar gue nggak di gangguin sama elo!”

“Yeee... ngeles mulu lo kerjaannya! Gue tau sifat elo. Licik...”

“Oke! Elo gue end!”

Setelah ngomong gitu Mentari langsung pergi tanpa perduli dengan omongan Ata lagi. Tapi besoknya, Mentari malah melihat sebuket bunga di depan rumahnya.

Sayangnya pas Mentari cium bunganya dia malah bersin-bersin nggak karuan. Dari kecil dia paling nggak suka sama yang namanya bunga. Di lemarinya nggak ada yang namanya gaun-gaun begitu, apalagi rok!

“Suka?”

Mentari kaget saat seseorang muncul dari balik pohon. Ata.

“Enggak!”

“Elo romantis dikit napa, Tar. Kita kan baru ketemu setelah sekian lamanya...”

“Dih, kemaren gue udah bilang kalo kita end! Elo aja...”

Perkataan Mentari terhenti saat Ata memeluknya erat. Lalu menaruh dagunya di pundak Mentari dengan hembusan nafas yang dapat Mentari rasakan.

“Gue kangen elo, Tar.” Katanya dengan lembut. “Ternyata elo udah jadi cewek yang nggak cengeng,” tambahnya. “Seneng deh ngeliat wajah lo kemarin. Lo nggak lupa janji kita kan?” Ata melepas pelukannya lalu menatap Mentari dalam, lekat dan sangat berarti.

Mentari mengangguk pelan, lalu tersenyum. “Kalau matahari pagi masih bersinar cerah, aku yakin senyummu dan ingatanmu takkan pernah sirnah. Karena kita masih di bayang-bayang matahari yang sama.”

Ata tersenyum, lalu memeluk Mentari lagi. Hangat. “Elo masih inget, Tar. Itu berarti janji itu masih berlaku sampai sekarang!” katanya di telinga Mentari. Dan saat itu juga Mentari menyadari ada sesuatu yang aneh.

***

Oji balik badan saat melihat kemesraan antara Ata dan Mentari. Mungkin ini memang sudah jalannya. Mentari datang hanya untuk menghibur Oji dan saat Fio kembali, Mentari pergi.

Sepertinya Mentari baru menyadari kalau dia salah orang. Oji memang tahu semuanya dari awal, sayangnya hatinya tak berkenan untuk membiarkan Mentari mengetahui tentang siapa teman kecilnya sebenarnya.

Sebenarnya ia tak percaya kalau Mentari melakukan penculikan Hera itu. Karena Hera juga tidak mengatakan apa-apa tentang penculikan itu kecuali untuk tidak mengajak Mentari.

“Kak Oji!” seru Fio dari kejauhan saat Oji tak sengaja berjalan melewati rumah Fio. Dia lupa!

“Aduh, lo mau ke rumah gue kok nggak bilang-bilang?” Fio langsung menggandeng Oji.

Kenapa Fio kembali lagi? Sebenarnya Fio mau Oji berubah. Dia mau Oji menjadi seseorang yang biasa saja, tidak seperti Oji yang rada-rada sarap (maaf papa oji). Dan saat Fio tahu tentang perubahan Oji melalui informasi seseorang, kini ia akan melakukan apa saja untuk mendapatkan Oji.

“Eng... sori, lupa!”

***

“Lo dendam sama gue?”

Hera menggeleng.

“Trus? Kenapa elo ngomong gitu?”

Hera diam.

“Jawab gue, Hera! Gue tau kok elo ngerti bahasa gue, jadi nggak ada alasan lain buat nggak jawab pertanyaan gue!” Mentari menggoyang-goyangkan tubuh Hera yang malah diam dan menunduk.

“Aku tau kamu yang menculikku kan!? Aku tau kamu adalah Tari. Nama kamu di Indonesia Mentari. Dan teman-teman sering memanggil kamu Tari!”

“Ya Tuhan! Hera? Maksud lo, elo nuduh gue yang nyulik elo? Mana buktinya Hera?”

“Orang-orang itu bilang sama aku kalo bos mereka adalah Tari. dan Tari itu kamu! Aku enggak salah. Jangan salahin aku. Aku nggak tau kenapa kamu niat nyulik aku? Apa salah aku sama kamu? Apa karena kamu juga suka Rhauji? Kalo begitu aku mau kembali ke Korea saja.”

“Hera!” Mentari bangkit dan berusaha mengejar Hera yang kini berlari. “Jangan pergi!” Tapi sepertinya usaha Mentari sia-sia saja. Hera sudah jauh. “Sial!”

***

“Ta, elo pacaran sama Mentari? Cewek jahat kayak dia?” Ridho nggak nyangka saat Ata mengajak Mentari makan bersama.

“Maksud lo apa? Dia enggak jahat!” Ata langsung emosi. “Dan sejak kapan elo sok tau tentang orang yang baru gue bawa!?”

“Gue udah kenal dia! Dia satu kampus sama gue! Dan dia udah berani nyulik temen baiknya sendiri!!!” tegas Ridho dengan rahang yang mengeras.

“Yang bener, Tar?” tanya Ata serius.

“Ha? Apaan, Kak?” Tari langsung menanggapi, dan saat itu juga Tari mendapatkan cubitan gemas dari Ari.

“Bukan elo, Sayanggg... Mentari bukan Tari...” jelasnya.

“Oooh!”

Mentari langsung bangkit dari tempat duduknya. “Udah! Cukup, Dho. Gue tau dari awal elo emang nggak suka sama gue. Gue tau elo ngiranya gue bakal ngerebut Ari dari Tari! Jadi semua tindak kejahatan selalu di timpain ke gue!” Mentari menarik nafas saat semua mata melihat ke arahnya. Tapi masa bodolah! “Tapi gue nggak sejahat itu, Dho!” Mentari langsung mengambil tas-nya dan siap-siap untuk pergi.

“Mentari!” panggil Ata, tapi Mentari nggak peduli.

Ia tutup telinga rapat-rapat dan cepat pergi dari tempat itu. Terlalu lama disitu, semakin dadanya sesak.

“Mau kemana?”

Mentari menoleh saat ia sedang berjalan menyusuri trotoar kota.

“Oji...” gumamnya pelan.

“Elo mau kemana?”

Rasanya hati Mentari seperti dimasuki oleh ribuan bunga, tapi Mentari tidak ingin berbaik hati pada cowok itu. Karena berbaik hati dengan cowok itu pasti ujung-ujungnya berakhir dengan penuduhan tanpa bukti.

“Bukan urusan lo!” jawabnya kasar.

“Gue nanya baik-baik sama elo...” katanya pelan.

“Trus? Gue peduli? Mau elo nanya baik-baik kek, jahat-jahat kek, yang jelas elo nggak perlu sok baik-baik sama gue!” hardik Mentari kasar.

Namun reaksi yang di berikan Oji sangat berbeda jauh dengan apa yang Mentari lakukan. Tangan Oji merengkuh Mentari ke dalam pelukan hangat. Tangan kanannya mengusap-usap pelan rambut Mentari.

“Jangan kayak gini, Tar. Gue nggak mau elo terus memakai topeng lo...” ucapnya di telinga Mentari. Dan saat itu juga Mentari merasakan ada sesuatu yang menyentuh hatinya.

Air matanya tak mungkin dapat ia bendung, kini air mata itu menetes perlahan menyusuri lekuk wajahnya. Mengartikan ada goresan yang dalam di hatinya.

“Maaf karna gue nggak percaya sama lo...” ucapnya lagi pelan. “Gue emang bego! Gue tau elo emang jahat, tapi elo nggak melakukannya untuk niat yang buruk, tapi niat yang baik...”

“Hera nggak percaya sama gue...”

“Dia emang bilang kalo bos yang nyulik dia adalah Tari. Tapi gue yakin kok, orang itu bukan elo. Sejahat apapun elo, gue masih yakin di dalam hati gue, Tar. Elo nggak akan melakukan itu...”

***

“Semakin elo ngedeketin Oji, gue akan semakin bertindak kasar, sayang...” ucap orang itu dengan senyuman sinis.

Matanya jelas mengarah ke arah Oji dan Mentari. Dua orang yang sedang berpelukan. Lalu matanya berpindah ke arah lain, ke arah cewek yang sedang menatap sinis keduanya juga. Ini kesempatan!

“Bagus... gue cuma perlu elo jadi kambing hitam gue...” ucapnya dengan senyuman sinis yang masih tak kunjung hilang dari wajahnya. Dan ia bisa menebak apa yang akan di lakukan oleh cewek lain itu kepada dua orang itu.

“Good! Gue emang tau, sifat elo pasti ngebantu gue, Hera. Gue cukup memerhatikan aja...” tambahnya lagi. “Kalo elo sampe gagal, mungkin elo akan gue depak! Dan elo nggak mungkin bisa deket sama Oji!” katanya.

***

Mentari dan Oji duduk di kursi taman kota. Keduanya menatap jalan setapak berbatu yang indah itu dengan mata berbinar.

“Gimana hubungan lo sama Ata?” tanya Oji sebagai pembukaan pembicaraan setelah lama mereka berdiam diri sambil menatap jalan setapak itu.

Kenapa? Kenapa harus menanyakan hal yang paling Mentari benci. Entah kenapa, pertanyaan itu malah menjadi satu hal yang Mentari nggak suka. Apalagi di hadapan Oji.

“Yah, gitu deh...” jawab Mentari dengan senyuman yang di paksakan.

“Pasti seneng ya, ketemu sama temen kecil dan sekarang bisa bersama. Sesuai dengan keinginan...”

“Nggak juga...” Mentari jawab sekenanya. “Elo gimana? Sama Fio? Seneng-kah? Elo suka dia dari elo masih SMA kan?”

Oji tersenyum masam. “Iya sih, ya gitu juga, sama kayak elo.” Oji menoleh ke arah Mentari yang ikutan menoleh ke arah Oji. “Oh ya... elo nggak main lagi sama Fio? Elo temen kecil Fio juga kan?”

“Iya sih... dia emang temen kecil gue. Cuma beberapa minggu aja sih. Trus, waktu kecil gue suka jailin dia. Sampe-sampe dia nangis. Mungkin kalo main sama gue, dia ngeri gue jailin kali ya...” Mentari tertawa bebas sambil menatap Oji.

Melihat cewek itu tertawa bebas, tersenyum manis, itu membuat hatinya yang resah ikut senang. Ada sedikit kelegaan yang muncul di hatinya.

“Dasar nasty girl!” Oji mencubit pipi Mentari dengan gemas.

“Iih... Oji! Jail bangettt siiihhhh...” Mentari melepaskan cubitan Oji dengan sebal. “Dasar bloon!” Mentari menjulurkan lidahnya ke arah Oji.

“Ih, rese ya lo! Gue udah gondok banget nih di katain bloon sama orang-orang!” Oji menggelitiki Mentari yang masih menjulurkan lidahnya ke arah Oji.

“Oji, geli, tauuu!!!”

“Makanya jangan jadi cewek jahat!”

“Gue enggak jahat! Cuma licik. Hahaha...”

“Sama ajaaaa...”

“OJI GELIIIII....”
Kalau di pikir-pikir lagi, berita yang diterima Ari dari Ridho menandakan kalau dalam waktu dua minggu ke depan, Oji nggak akan jadi pindah ke Australia. Menurut pemberitahuan Ridho, Mentari yang membuat Oji berubah yang biasanya diam jadi lebih aktif lagi. Kali ini bukan aktif karena bodoh, ya!

Meskipun begitu, Ridho masih belum berani mengatakan tentang keheranannya pada Mentari yang sempat menanyakan Ari padanya. Ridho masih ingin mencari tahu.

“Dho, Tar, gue cari minuman dulu ya...” kata Oji sambil menepuk pundak Mentari pelan dan kemudian menghilang di ujung koridor kampus.

“Menurut lo, dia gimana?” tanya Ridho pada Mentari.
Cewek itu menoleh dan mengernyitkan keningnya. “Maksudnya?” tanyanya bingung.

“Yah, menurut lo, Oji itu orangnya gimana?”

“Menurut gue...” Mentari tampak berfikir. “Dia baik, gokil, kadang iseng, nyebelin tapi ngebuat gue nggak bisa marah sama dia.”

“Tapi kenapa pas pertama kali ketemu sama dia, elo marah-marah sama dia?” tanya Ridho bingung.

“Soalnya, waktu itu Oji mau sok nolongin Hera. Padahal nih ya, waktu itu gue cuma mau gertak dia, supaya dia nggak ngebocorin tentang keluarga gue yang ancur!” katanya dengan senyuman. Mengingat masa waktu itu, membuatnya tegelak sendiri. “Dan waktu itu, Oji bilang kalo gue adalah cewek jahat. Dan gue akuin, kalo gue emang jahat.”

“Kok elo malah ngasih tau gue tentang keluarga lo?”

“Soalnya, masalah itu nggak berpengaruh lagi bagi gue. Karna kata Oji, meskipun banyak masalah, nggak seharusnya kita limpahin ke orang lain. Kita malah harus hibur orang lain...” katanya.

“Hubungan elo sama Ari?”

DEG! Mentari merasa lidahnya kelu seketika. Ia tak mungkin bisa mengatakan apapun pada teman barunya ini. Teman yang menjadi teman Ari juga. Jujur, tapi berbahaya untuk hubungannya dengan Ari.

“Hey!” Tiba-tiba Ari mendekat. “Eh Mentari ya?” Mentari mengangguk. “Oh, salam kenal ya. Elo mirip sama tetangga kecil gue,” katanya. Lalu tatapannya beralih ke Ridho. “Oji mana?”

“Kantin. Katanya mau beli minuman...”

“Oh, gue nyusul Oji ya!?” katanya pada Mentari dan Ridho. “Entar gue balik lagi...”
Setelah Ari pergi, perhatian Ridho kembali pada Mentari yang kini diam terpaku dan terus menatapi Ari dari kejauhan.

Dia ingat, hati Mentari seakan teriak. Dia ingat tentang masa kecilnya, tapi kenapa hanya sebatas itu?

“Elo tetangganya Ari waktu kecil?” tanya Ridho. “Pantes! Elo ngeliatnya sampe segitunya,” tambah Ridho tanpa memerdulikan jawaban Mentari. Dia sudah yakin kalau Mentari nggak akan ngaku. “Oh ya, elo kenal Fio? Anak SMA Airlangga?”

“Oh, kenal. Kenapa?”

“Dia juga kenal Ari, dia juga tau siapa Ari.” Katanya dengan datar. Pasti akan ada masalah antara hubungan Ari dan Tari kalau begini caranya. “Gue cuma mau kasih tau, Ari udah punya cewek!” tambahnya dengan datar. Lalu berdiri dari tempat duduk dan kemudian pergi.

Saat itu juga Mentari merasa pikirannya tiba-tiba kosong dan jiwanya entah pergi kemana.

***

“Tar, elo kenapa sih? Belakangan ini jadi aneh banget!” Oji melihat Mentari dari atas sampai bawah, dari kiri sampai kanan dan depan ke belakang.

“Nggak kenapa-kenapa,” jawabnya pelan.

“Gue nggak yakin!” ungkap Oji. Yeah, dari wajahnya Mentari saja sudah menunjukkan kalau cewek itu ada masalah.

Mentari tetap tidak memerdulikan kebingungan Oji, yang ia rasakan saat ini hanyalah seuntai harapan yang telah di hancurkan oleh sebuah kenangan. Dia tidak sanggup lagi membendung air matanya. Kalau saja Ari tahu bahwa dia memang tetangga kecilnya, apa Ari akan memilih dia daripada Tari?

Mungkin tidak. Atau mungkin, iya. Entahlah!

“Gara-gara Ari kah?” tanya Oji yang mampu membuat Mentari langsung tersentak dan gelagapan untuk menjawabnya.

“Maksud lo?”

“Gue tau kok, kalo elo tetangga Ari waktu kecil. Gue juga tau kalo elo punya kenangan sama dia kan? Gue tau kok, teman kecil yang selalu elo ceritain itu adalah Ari.” Oji tersenyum miris. Entah kenapa, dadanya terasa sesak.

“Elo tau???”

“Dari awal elo liat Ari. Dari tatapan elo, dan pas elo teriak nama Matahari.” Katanya dengan suara yang sebisa mungkin dibuat wajar. Rasa hatinya kini begitu bergejolak.

“Maaf...” ucap Mentari pelan sambil menundukkan kepalanya.

“Untuk apa?”

“Gue nggak jujur sama elo dari awal. Padahal elo temen deket gue,” katanya.

“Ari udah punya cewek, namanya Tari. Jingga Matahari,”

“Gue udah tau,”

“Karena itu-kah elo sedih? Karena elo nggak punya harapan lagi bersama masa lalu lo?”

“Nggak tau lah, Ji.” Mentari berjalan dengan cepat. Mendahului Oji. “Nggak perlu di bahas lagi. Dia pasti udah dapet yang terbaik dan nggak seharusnya gue inget akan janji itu.”

“Janji?”

“Udah, lupain!”

“Nggak bisa gitu!” Oji mencekal tangan Mentari. “Kalo urusannya udah janji. Elo nggak bisa diem aja kayak gini...” katanya dengan raut wajah serius. “Ini masalahnya adalah janji. Janji adalah sesuatu yang kalo nggak ditepatin pasti bakal ada akibatnya. Kalo janji itu nggak di putus oleh keduanya.”

“Nggak usah sok tau!” Mentari mengibaskan tangannya di hadapan Oji. “Sekarang yang gue perlu cuma elo!” Telunjuk Mentari menunjuk ke arah wajah Oji.

“Gue?” Oji menunjuk dirinya sendiri.

“Iya.” Mentari mengangguk. “Elo harus hibur gue! Soalnya elo udah bikin gue tambah galau hari ini,” katanya.

“Lho?”

“Ayooo!!!” Mentari menarik Oji ke lapangan parkir. “Kita bolos uliah hari ini!” katanya dengan senyuman yang di arahkan pada Oji.

***

“Ji, kita dimana? Rumah siapa ini?” Mentari tampak kebingungan saat Oji menghentikan motornya di salah satu rumah besar bertingkat dengan cat berwarna biru awan di dindingnya.

“Kan elo yang minta gue hibur lo!” katanya sambil melepas helm dan mengajak Mentari masuk.

“Tapi masa perginya ke rumah? Elo nggak mau ngapa-ngapain gue kan!?” terka Mentari curiga.

“Emang gue mau ngapa-ngapain elo kok!”

“OJI! Serius gue nih!” Mentari menggetok kepala Oji dengan kesal.

Oji malah nyengir. “Gue nggak punya pikiran segitunya kali, Tar. Lagian, di dalem ada pembantu, satpam, banyak kok yang menghuni. Tapi keluarga gue emang lagi nggak di rumah aja.”

Mentari terpaksa mengikuti langkah Oji masuk ke dalam rumah.
Rumah itu tampak sepi. Ya sesuai kata Oji, keluarganya sedang tidak di rumah. Rumah ini juga cukup luas dengan pernak-pernih barang mewah di sekitarnya.

“Trus kita disini mau ngapain?” tanya Mentari bingung saat Oji menaiki tangga rumah.

“Kita nonton di atas!” kata Oji dengan senyuman. “Tenang, di dalem kamar gue, gue udah ngundang temen-temen kok! Ada Hera sama Ridho di atas.”

“Seriusss???” Mentari membelalakkan matanya. Oji mengangguk. “Eh, ngomong-ngomong, hubungan elo sama Hera gimana?” tanyanya dengan penasaran.

Oji tersenyum miris lagi. Dadanya memang tak sesesak tadi, tapi hatinya menolak untuk menjawab. “Nggak ada apa-apa.” katanya dengan polos saat membuka pintu sebuah ruangan yang cukup besar.

“Nggak ada apa-apa gimana?” tanya Mentari tambah penasaran.

“Nggak ada apa-apa, Tar. Nggak ada hubungan apa-apa. kita temen!” tegas Oji dengan gerlingan. Mencoba meyakinkan cewek di hadapannya ini lalu terdiam cukup lama saat acara di mulai.

***

Hera memeluk Oji tiba-tiba dari belakang. Kebiasaan yang pasti sudah biasa banget buat Oji dan Ridho yang melihatnya. Tapi bagi Mentari? Dia terkejut! Terkejutnya pake banget, lagi!

Baru kali ini dia melihat Oji dipeluk Hera semesra itu, tapi Oji nggak membalas. Mau ngomong, Mentari juga bingung mau ngomong apa.

“Ji, makasih ya. Kamu mau mengundang aku ke sini,” ucapnya dengan pelukan yang semakin erat. Kepalanya sudah menyender ke punggung Oji.

“Iya, Ra...” kata Oji sambil berusaha melepas pelukan Hera dengan sopan.

“Kamu tau nggak? Kamu itu baik sekali,” Hera malah mengencangkan pelukannya.
Ridho yang melihat tampang Oji yang pingin banget cepet-cepet lari itu malah nahan ketawa. Sementara Mentari merasa ada yang ganjil gitu.

“Goo Ha Ra, sudahlah. Jangan kau peluk sembarangan Rhauji! Kalau dilihat orang lain rasanya tidak enak!” peringat Mentari dengan bahasa Koreanya. Membuat Ridho dan Oji mesti mengkribokan keningnya karena nggak ngerti.

Setelah mendengar peringatan itu, Hera langsung melepaskan pelukannya pada Oji dengan perlahan. Rasanya sih nggak enak juga ngelepas gitu, tapi mau gimana lagi? Daripada di kira yang enggak-enggak sama orang lain.

Oji langsung melirik Mentari yang kini sedang melamun di pinggir kolam renang. Dia sangat berterimakasih sekali pada cewek itu. Kalau cewek itu nggak memperingatkan Hera, mungkin Hera bakalan meluk Oji sampe pagi lagi.

Dari belakang, Oji akan memberikan Mentari kejutan. Mendorongnya dari belakang supaya tersungkur ke kolam. Satu... Oji semakin dekat, untung saja Ridho lagi sibuk memanggang ikan bersama Hera. Dua... Oji tinggal selangkah lagi. TIGA! BYURRR!!!

Mentari langsung masuk ke dalam kolam renang dengan sukses! Oji di atas langsung ketawa cekikian. Sementara Mentari langsung mencari oksigen untuk bernafas.

Oji rasa, Oji salah langkah. Mata Oji menangkap Mentari yang lagi tenggelam karena nggak bisa renang. Waduh! Gaswat, eh gawat! Oji nggak tau kalo Mentari nggak bisa renang.

Hera dan Ridho langsung menatap Oji dengan wajah murka. Dengan cepat, Oji langsung terjun ke kolam renang dan berusaha menyelamatkan Mentari.

“Tar, Mentari...” bisik Oji di telinga Mentari saat ia sudah menemukan tubuh Mentari yang sudah lemah. “Bangun, Tar...” Ridho membantu Oji menaikkan Mentari ke atas.

Pertolongan pertama dengan cara gaya menekan dada sudah Oji lakukan berulang kali. Tapi mata Mentari tetap tertutup.

“Nafas buatan, Ji!” kata Ridho.

“Aku saja!!!” Hera langsung menawarkan diri. Dia nggak rela banget kalo Mentari dicium sama Oji.

“Kamu tuh perempuan!” Ridho dan Oji berkata kompak.

“Cepet!” Ridho nggak sabar. Takut anak orang kenapa-kenapa.

Oji nahan nafas. Tarik nafas, keluarkan. Lalu menutup hidung Mentari dan mendekatkan mulutnya ke arah mulut Mentari. Cara menyelamatkan orang tenggelam dengan Mouth to Mouth.

Dan saat Oji mulai mendekatkan mulutnya.

“Hahahaha...” Tawa Mentari meledak di depan wajah Oji yang sangat dekat dengan wajah Mentari.

Dunia seakan berhenti berputar. Suara yang terdengar di telinga Oji hanyalah tawa Mentari dan suara aneh yang bunyinya begini... dag, dig, dug, dag, dig, dug... terus berulang sampai Mentari terdiam dan merasakan hal yang sama.

Saat itu Oji tersadar dan ingin cepat-cepat bangun, salahnya Oji malah keplesat dan terjatuh menimpa Mentari. Bibir Oji mencium pipi kanan Mentari!

“OJIIIIII!!!”

***

“Aku suka kamu!”

“He?”

“Serius! Aku suka sama kamu!”

“Tapi...”

“Kamu yang buat aku betah tinggal di Indonesia!”

“He?”

“Kamu yang ajarin aku bahasa sini, supaya aku lebih terbiasa!”

“He?”

“Kamu mau kan jadi pacar aku?”

Oji bengong. Baru kali ini ia di “tembak” duluan sama cewek. Biasanya dia yang ngejar. Masalahnya Oji menganggap Hera hanya teman. Ingat!? Teman. Walaupun masih ada sedikit rasa untuk Fio, tapi di pastikannya lebih baik enggak nerima Hera ataupun ngejar Fio lagi.

“Hera, aku... aku...”

“Butuh waktu kah untuk kamu berfikir? Kalau iya, akan aku berikan waktu untuk kamu.
Selama yang kamu mau, aku akan nunggu kamu!” katanya dengan yakin.

“Hera...”

“Aku akan nunggu kamu...”

Mata mentari nggak salah liat, nggak buta ataupun rabun ayam. Dia lihat jelas kok, tangan Hera menggenggam tangan Oji dengan mesra sambil menatapnya dalam dan mengatakan sesuatu yang sangat amat serius.

Telinga Mentari juga enggak budeg atau semacamnya, secara taman ini sepi dan ini sudah malam. Mentari dapat mendengar jelas apa yang mereka bicarakan di taman itu dengan serius.

Nggak tahu kenapa, suatu ide muncul di kepala Mentari. Suatu kebiasaan semenjak ia pindah ke Korea. Berbuat jahat. Dan disisi lain, ada mata lagi yang melihat mereka berdua.

***

“Mau apa kalian?” Hera melihat ke sekelilingnya. Semua orang itu adalah laki-laki dengan badan yang besar.

“Ooh, kita cuma mau kamu...” kata salah satu laki-laki bertubuh besar dengan rambut gondrongnya.

“Kalian jangan macam-macam ya!” peringatnya.

“Kita nggak akan macam-macam sama kamu kalo kamu juga nggak macam-macam sama Bos kami!” terangnya dengan senyuman licik. Kali ini yang mengatakannya adalah seseorang dengan badan yang tinggi, besar tapi memakai anting di salah satu telinganya.

“Siapa Bos kalian?”

“Tari...”

“Tari? Siapa Tari? Aku tidak mengenalnya!”

“Bohong kamu! Sekarang kamu ikut kami!” Salah satu laki-laki itu menggeret Hera masuk ke dalam mobil dan membawanya pergi.

“Rhauji, tolong aku...”

***

“Oji...” panggil Mentari keesokkan paginya di kampus.

“Apa?” tanya Oji sambil berjalan ke kanan dan ke kiri terus-menerus udah kayak gosokan aja.

“Ngapain sih dari tadi mondar mandir nggak jelas?”

“Nyari Hera...”

“Buat apa?” Tiba-tiba suara Mentari menjadi ketus. “Oh iya ya, elo kan pacarnya Hera!” sindirnya.

“Ah elo! Waktu itu kan niatnya gue mau nolongin dia!” kata Oji berhenti mondar-mandir. Lalu di tatapnya Mentari dengan bingung. Nggak biasanya cewek itu bersikap seperti itu, kecuali saat pertama kali mereka bertemu.

“Ji...” panggil Mentari lagi.

“Apa?” Kali ini Oji duduk di sebelah Mentari.

“Elo suka sama cewek jahat?” tanyanya.

“Maksud lo?” Oji jadi bingung.

“Yah... elo suka nggak sama cewek yang punya sifat jahat!? Maksud gue, misalnya elo suka seorang cewek, elo taunya dia baik. Tapi pas tau dia jahat, apa yang elo lakuin?”

“Ngerubah dia... itu pun kalo gue bener-bener suka sama dia.”

“Jadi, kalo elo nggak bener-bener suka, elo nggak akan ngubah dia?”

“Nggak juga.” Oji jadi tambah bingung. “Yah, gue bakal ubah dia. Gue orangnya kalo udah suka, ya pasti suka banget. Nggak mungkin-lah gue mainin aja, meskipun cewek itu mainin gue!”

“Yang bener?” Mentari mencolek Oji.

“Ya iyalah! Masa gue boong.”

“Trus? Kalo cewek itu nggak mau berubah karena dia nggak suka elo? Gimana?”

“Apa sih lo? Pertanyaannya tuh aneh-aneh aja!” Oji mencibir. “Yah, bodo amat sih! Gue kan lagi nggak suka sama siapa-siapa. Kecuali... ada seseorang.”

“Siapa?” tanya Mentari penasaran.

“Mau tau?”

“Mau-lah!” Mentari menyenggol siku Oji dengan gemas.

Tiba-tiba ponsel Oji berbunyi. Tertera di layarnya kontak bernama Fio. “Bentar ya, Tar.” Mentari mengangguk dan Oji langsung menjauh dari Mentari.

“Halo, Kak.”

“Apa, Fio?” tanggapnya meski aneh rasanya Fio menelfonnya? Ada apa kah?

“Kakak, bisa jemput Fio sekarang nggak?”

“Kenapa, Fi?”

“Gue butuh elo sekarang, Kak. Bener-bener butuh!” katanya dengan suara memelas. “Gue mau ngomong sesuatu dan minta maaf atas prilaku gue yang kemaren-kemaren...” tambahnya.

“Ooh, oke, Fi!” Oji melihat ke arah Mentari yang sedang memainkan gantungan ponselnya yang berbentuk daun hijau yang imut.

“Tar, gue pergi dulu ya! Ada masalah! Entar kalo sempet, gue jemput elo!” katanya. Lalu tanpa menunggu jawaban Mentari, Oji langsung menggas motornya.
“Lo baru dateng?” tanya Oji saat Ari baru datang.

“Iya... tadi gue adu ngomong dulu sama Ata. Dia kan kuliahnya agak jauh, gue suruh bawa mobil, eh dia ngotot pingin bawa motor. Trus, gue salahin dia karna nggak mau satu kampus sama gue, eh dia bilang nanti orang-orang salah manggil.”

“He?” Oji jadi bingung sendiri. “Oh ya, elo kenal Mentari nggak?”

“Ha?” Ari mengerutkan keningnya. “Mentari? Tari maksud lo? Jingga Matahari?”

“Bukan,” Oji menggeleng. “Mentari, yang kemaren berantem sama gue.”

“Yang mana? Yang marah-marah sama si Hera?” Oji mengangguk. “Mana gue tau, liat
wajahnya aja belom.” Ari menggedikkan bahunya.

“Elo punya kenalan yang namanya Mentari?” Oji tetap ingin berusaha mendapatkan informasi.

Ari terlihat memikirkan sesuatu. “Oh... kayaknya pernah. Waktu gue masih kecil. Dia tetangga gue. Kenapa emang?”

“Dia pindah atau tetep masih tinggal disitu?”

“Mana gue tau. Lha gue kan bukan nyokap-bokapnya.” Ari bersikap acuh tak acuh. Lalu duduk disebelah Oji sambil menepuk pundak Oji pelan. “Hati-hati ya, Ji. Benci bisa jadi cinta.”

“Heee?”

***

Oji berjalan menyusuri taman dengan Hera disampingnya. Keduanya memang sedang menikamti indahnya suasana sore di taman ini. Katanya, taman ini terkenal dengan keindahannya pada saat sore hari.

“Makasih ya, karena kamu, aku jadi terbiasa disini...” kata Hera tulus. Ia tersenyum manis ke arah Oji, lalu tangannya meraih tangan Oji. Menggandengnya.

Oji sempat melirik ke arah tangan yang kini tergenggam. Ia memang tersenyum, tapi entah mengapa hatinya tidak. Dia merasa nyaman disebelah Hera, tapi tidak lebih dari seorang teman.

“Kamu tau, kenapa Mentari semarah itu sama kamu?” tanya Oji mengalihkan pembicaraan.

“Aku tau jelas...” ucapnya pelan. “Aku memang salah, mencoba mencari tahu tentang masalahnya, padahal dia sudah melarangku untuk ikut campur. Dan pada saat aku tahu, dia marah besar!”

“Masalah apa?”

“Kalau aku kasih tau kamu, dia pasti tambah marah sama aku.”

“Tentang pacarnya? Temannya? Atau bagaimana?”

“Jangan paksa aku, Ji.”

“Keluarga ya? Iya kan, Ra?” Percuma saja Oji memaksa, reaksi Hera hanya diam. Dia tidak mau membuat kesalahan lagi sepertinya. “Aku cuma pingin tau, kenapa selama ini dia jahat sama orang.”

“Dia nggak jahat,”

“Nggak jahat sama kamu. Tapi sama yang lain???”

“Maksud kamu seperti saat dia marah-marah sama orang karna udah ngotorin bajunya? Atau saat ia nggak sengaja di tabrak oleh orang lain?”

“Iya. Mungkin.” Oji mengangguk ragu. Belakangan ini Mentari memang terlihat seperti itu.

“Itu karena masalah itu. Dia melampiaskannya ke orang lain,” kata Hera dengan snyum kelegaan. Dia mengerti mengapa Oji sangat penasaran dengan sosok Mentari. Karena sebenarnya Mentari sudah berubah pesat semenjak dia pindah ke Korea.

***

Oji memerhatikan rumah Fio dari kejauhan. Berharap suatu saat Fio membukakan pintu, lalu tersenyum ke arahnya. Memberikan kesempatan baru untuknya untuk berubah menjadi Oji yang lebih baru.

Tapi, disaat ia menatap rumah itu, ia melihat mobil yang ia kenali sebagai mobil milik Mentari melintas dihadapannya. Ternyata Mentari tinggal disini juga!
Tanpa sepengetahuan Mentari, Oji mengikutinya dari belakang. Agak menjauh, supaya Mentari tidak curiga dengan kehadirannya itu.

Sampai di sebuah rumah yang cukup besar dan bertingkat bercat-kan hijau terang, mobil itu berhenti dan masuk ke garasi rumah tersebut.

Terlihat Mentari sedang terburu-buru masuk ke dalam rumah. Lalu menghilang di balik pintu rumah tersebut. beberapa saat kemudian, Oji mendengar suara bentakan, bantingan barang, dan beberapa suara bising lainnya.

Perumahaan ini memang perumahan yang penghuninya jarang di rumah. Buktinya saja, di kanan dan kiri rumah tersebut, semua lampu menyala dan rumah-rumah tertutup rapat tanpa ada tanda ada penghuni selain satpam yang biasanya berpatroli setiap malam.

“UDAH! AKU BOSEN! KENAPA KITA NGGAK BALIK SEPERTI DULU AJA!? AKU BENCI BEGINI!”

Terdengar suara teriakan Mentari. Suara itu begitu dikenal Oji sehingga tak mungkin salah lagi.

“Papa, Mama, nggak tau kan perasaan aku gimana setiap pulang ke rumah? Aku nggak tau mesti gimana lagi. Udah takdirnya kalau Cinta...”

Suaranya mulai tak terdengar oleh Oji. Sepertinya suasana tegang mulai menurun.
Dan beberapa saat kemudian, Oji melihat Mentari keluar rumah dengan air mata yang masih berlinang di pipinya. Oji terlambat! Dia belum sempat bersembunyi dan akhirnya mata Mentari menemukannya di dekat sebuah pohon.

Melihat itu, kontan Mentari cepat-cepat menghapus air matanya dan langsung mendekati Oji dengan wajah garang.

“Ngapain elo disini!?” tanyanya galak. “Elo ngikutin gue? Mau apa? mau tau kelemahan gue?”

“Hey girl, santai dong! Nggak perlu pake otot ngomongnya,” kata Oji mencoba tenang. Padahal perasaannya berkecamuk. “Gue nggak ngikutin elo, kebetulan aja gue lewat sini. Trus liat elo masuk rumah itu.”

“Nggak usah bohong deh! Gue nggak bego!” katanya kasar.

“Ya, kalo elo nggak percaya, gue sih nggak apa-apa. Bukan masalah buat gue,” katanya enteng. Oji memang ngagk punya niat untuk berantem sama cewek ini.

Melihatnya sperti ini saja sudah membuat satu rasa muncul di hatinya. Entah apa namanya. Kasihan, mungkin.

Mentari memang masih terlihat emosi. Tapi cewek itu juga sedang malas untuk bertengkar, makanya ia putuskan untuk pergi dari tempat itu.

Tapi Oji menarik tangannya. Menahannya untuk pergi.

“Mau kemana?” tanya Oji pelan.

“Bukan urusan lo!” katanya kasar tanpa menoleh. Air matanya sudah mulai berlinang lagi. Tapi ditahannya karena jika ia menangis dihadapan Oji, sama saja menunjukkan sebuah penyerahan!

“Gue baik-baik nih nanyanya sama elo.”

“Gue nggak mau baik-baik sama elo!” ketusnya. Lagi-lagi tanpa menoleh. Mentari langsung menepis tangan Oji yang menariknya.

“Tapi gue mau baik-baik sama elo. Kenapa? Apa karena keluarga elo?”

“Elo nggak usah sok tau!” Mentari hendak pergi lagi, tapi Oji terus mencekalnya.

Kali ini Oji mengarahkan tubuh Tari ke hadapannya. Supaya Oji dapat melihat wajah Mentari yang mungkin kini sedang di liputi kesedihan.

Yang ditemukannya memang tatapan sinis dan raut wajah yang begitu murka. Tapi dibaliknya, dapat ia rasakan kesedihan menimpanya. Ia dapat merasakan kalau Mentari kini sedang ada masalah, bahkan dari dulu.

“Lo ikut gue!” katanya tegas.

“Enggak! Lepasin gue.” Mentari menolak dan mencoba melepas cekalan tangan Oji. Tapi tenaganya hari ini sudah terkuras habis oleh emosi. Jadi ia hanya bisa mengikuti Oji yang menyuruhnya untuk naik ke atas motor.

***

“Elo bawa gue kemana!?” Mentari mendesis.

Sekarang Oji dan Mentari sudah ada di sebuah tempat. Yah, tempat ini lumayan sepi dan sunyi. Tapi keindahannya tak mungkin tertandingi. Karena matahari sebentar lagi terbenam, keadaan itu pasti akan menambah keindahan tempat ini.

Seperti laut, tapi bukan. Tapi ini danau. Danau ini begitu indah dengan air yang mengalir dengan teratur. Suasananya sepi karena ini bukan hari libur. Hanya ada lampu-lampu yang mulai menyala di sekitar tempat ini.

Di tepi, Oji sudah duduk tenang. Tangannya memberi tanda untuk Mentari agar duduk disana juga.

“Elo akan lebih tenang kalo elo ada disini...” kata Oji dengan senyuman. Matanya menatap luasnya danau.

“Kenapa elo begini?”

“Tutup mata lo, dan hirup udara segar. Habis itu buka mata lo dan saksiin matahri terbenam. Oke!?” Oji malah tidak memerdulikan pertanyaan Mentari.

Mentari juga malah menuruti kata-kata Oji. Meskipun ragu, ia mencobanya.
Terasa sejuk. Tenang. Dan rasanya Mentari seperti sudah ada di atas awan dan tidur di atasnya.

“Heiii...” Oji menggerak-gerakkan tangannya di depan mata Mentari. Takut-takut Mentari ketiduran disana. Atau malah, yang lebih parah... ih~~~

Mentari membuka matanya. Dan baru tersadar kalu ia tidak duduk lagi, melainkan tidur di atas rumput.

“Tidur atau gimana?” tanya Oji bingung.

“Kata elo gue disuruh menghirup udara segar.”

“Tapi, bisa-bisa elo nggak liat matahari terbenam. Liat tuh! Mulai terbenam.” Oji menunjuk ke arah angkasa.

Memang indah, apalagi pemadangan ini membuat perasaan dan hati Mentari juga berubah. Ia tidak merasakan kehampaan, kesedihan, kertertekanan, emosi, atau semacamnya yang membuatnya harus sok kuat.

Di lain sisi, Oji merasa aneh. Bukan! Bukan karena Oji lupa bayar utang atau Oji lupa pakai kaus kutang, tapi aneh terhadap perasaan yang muncul di hati Oji sekarang!

“Biar lebih lega lagi, coba elo teriak yang kenceng!” kata Oji sambil menoleh.

“Ha? Teriak? Teriak gimana?”

“Coba elo teriak satu kata atau kalimat juga boleh, atau mau satu buku juga boleh, tentang sesuatu yang mengganjal hati lo.” Oji tersenyum.

“Gue coba ya...” katanya pada Oji. Oji mengangguk. “MATAHARI!!!”

DEG! Oji tersentak. Mengapa yang disebutnya matahari? Kenapa harus kata itu.

“Udah?” tanya Oji mencoba menepis kebingungannya.

“Udah...” katanya sambil tersenyum. Dan baru kali ini Oji melihat cewek itu tersenyum kepadanya. Setelah pertengkaran, pertemuannya dan juga segala emosi padanya. Akhirnya, Oji melihat cewek itu tersenyum kepadanya.

Dan tanpa sadar Oji membalasnya dengan senyuman juga.

“Emmm... nama lo Oji kan?” tanyanya.

Oji mengangguk. “Iya. Kenapa, Tar?”

“Enggak,” Mentari menggeleng. Lalu tersenyum lagi. “Makasih dan maaf...”

***

Ridho dan Ari sedang menikmati tontonannya sambil memakan beberapa makanan ringan. Sementara Ata sedang mengambil minuman.

Beberapa saat kemudian Ata datang disertai Oji juga yang datang tiba-tiba.

“Darimana lo, Ji? Baru dateng jam segini? Tumben banget...” kata Ridho yang sepengetahuannya Oji yang paling rajin datang duluan ke rumah Ari buat nonton film.

“Oh, tadi gue abis nemenin Tari.”

“Tari?” Ketiganya langsung berseru bersamaan.

“Kemana?” tanya Ari yang tiba-tiba dingin.

“Ke danau. Kita nyaksiin matahari terbenam bareng. Ternyata kalo dia senyum tuh manis banget ya...” kata Oji sambil mengingat-ingat.

“Maksud lo apa?” Ari udah ngebejek-bejek bantal sofa. Ata dan Ridho langsung menepuk pundaknya untuk menahan emosi.

“Hahaha,” Oji ketawa kenceng banget. Sampe-sampe ketiganya pingin nimpuk Oji pake sendal. “Lo salah pengertian, Bos! Bukan Tarinya Jingga Matahari. Tapi Tarinya Mentari...”

“He?” Ketiganya kontan bingung. Ari dan Ridho sih tahu Mentari yang di maksud Oji yang mana. Tapi kalau Ata? Ngerti aja enggak.

“Mentari?” Ata mengulang.

“Iya.”

“Kok bisa sih elo deket sama Mentari? Bukannya elo berantem?” kata Ridho penasaran.

“Banyak cerita yang nggak mungkin gue ceritain sekarang...” kata Oji sok misterius.

“Mentari?” Ata mengulang lagi.

“Iya, Ta. Kenapa sih lo? Elo pingin punya cewek yang namanya Tari juga?” tanya Oji ngelantur.

“Kagak... entar kalo pacar gue namanya Tari juga, entar gue manggil yang noleh tiga orang! Ckckck...” kata Ata sambil geleng-geleng.

***

“Nanti si Hera kemanain?” tanya Ridho saat Oji dan Ridho berjalan di koridor kampus.

“Dia kan gue anggap temen, Dho. Lo tau sendiri lah, gue nggak bisa lupain Fio kan!?” kata Oji serius.

“Trus... kalo sama Mentari? Itu namanya apa?” tanya Ridho bingung. Terkadang hubungan Oji dengan cewek-cewek itu nggak jelas. Dekat tapi bukan pacar.

“Nggak tau lah, Dho.” Oji menggedikkan bahunya. “Gue nggak ngerti gimana rasanya. Habis berantem tapi sekarang gue malah lebih suka nolong dia. Gue nggak kasianin dia, tapi gue ngerasa gue harus nolong dia.”

Ridho jadi garuk-garuk kepala sendiri. “Trus? Sama Fio? Apa elo masih nggak bisa lupain dia?”

Oji menggeleng dengan ragu. “Gue nggak ngerti juga, Dho. Saat gue bareng Mentari, rasanya Fio itu bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa. Padahal kan, Fio temen kecilnya Mentari.”

Yeah, kenyataan itu nggak mungkin Oji pungkiri. Kalau Mentari kenal Fio bahkan dekat.

“Haiii... Rhauji...” sapa Hera tiba-tiba dengan memeluknya dari belakang. Kontan Oji serta Ridho kaget bukan main. Cewek ini main nyosor aja!

“Hai, Hera...” balas Oji.

Untung saja Hera sudah melepas pelukannya pada Oji, karena Oji merasa risih.

“Kamu tau nggak? Tadi malam saat aku menelfon Hye Ri, Hye Ri bilang padaku kalau dia minta maaf sudah kasar padaku dan dia juga sudah memaafkan kelancanganku.”

“Hye Ri?” Kening Oji langsung keriting. Disebelahnya, Ridho langsung mengkribokan keningnya.

“Oh, maksudku Mentari. Di Korea dia dipanggil Goo Hye Ri. Jadi, aku terbiasa memanggilnya Hye Ri!” jelasnya dengan diiringi senyuman.

Oji dan Ridho langsung mengerti maksud Hera. Jadi, Hye Ri itu adalah Mentari.

“Trus, nama kamu di Korea apa, Ra?” tanya Ridho iseng.

“Goo Ha Ra,” jawabnya dengan senyuman. “Oh ya, Dho. Aku pinjam Rhauji dulu ya. Aku ingin ngobrol dengan dia...” katanya.

Ridho hanya mengangguk menyetujui. Padahal Oji baru saja ingin memberikan isyarat supaya Ridho melakukan alasan agar Oji tidak di bawa Hera pergi.

Setelah keduanya pergi. Ada seseorang yang menepuk Ridho dari belakang.

“Hei!”

Ridho menoleh dan mendapati Mentari sedang menepuk pundaknya. “Eh, Elo...”

“Temennya Oji kan?” tanyanya. Ridho mengangguk. “Siapa nama lo?”

“Ridho. Emang kenapa?”

“Nggak.” Mentari menggeleng. “Kalo temen lo yang satu lagi, siapa namanya?”

“Maksud lo leader kita?” tanya Ridho meyakinkan. Mentari hanya menggedikan bahu.

“Mungkin yang elo maksud dia. Dia namanya...”

“Matahari?” tanya Mentari memotong.

Ridho mengangguk pelan. “Kok tau? Lo kenal dia?”

“Enggak.” Mentari menggeleng. “Cuma nebak aja. Soalnya dia suka banget ngeliat matahari.”

“Iya sih. Si Ari emang suka banget sama matahari.”

“Jadi, dia dipanggil Ari...” gumam Mentari tanpa sadar. Membuat Ridho langsung menanyakan maksudnya.

“Oh, ya udah yah, Dho. Gue mau masuk dulu. Ada kelas. Salam buat Oji ya...” katanya sambil menepuk-nepuk pundak Ridho pelan. Dan Ridho semakin bingung dibuatnya.

***

Pulang kuliah, Mentari langsung celingak-celinguk ke jalan. Mencari taksi yang siapa tahu lewat. Masalahnya hari ini ia nggak bawa mobil lantaran mobilnya mesti di bawa ke bengkel.

Sayang banget, jam segini tuh taksi pasti jarang lewat di depan kampusnya. Dia juga nggak mungkin jalan kaki sampai rumahnya. Bisa-bisa, kakinya langsung membengkak kayak kaki gajah. Lho?

“Nyari ojek, Neng?”

Mentari langsung berpikiran, mending naik ojek daripada nggak bisa pulang.

“Iya deh, Bang. Saya mau naik ojek!” katanya yakin, lalu menoleh ke samping.

Aneh! Ojek kok helm aja keren banget. Motonya, motor gede, lagi! Warna putih pula! Tukang ojeknya pakai jaket mahal pula. Yakin deh itu jaket beli di distro-distro mahal gitu.

“Abang tukang ojek? Yakin, Bang?” tanya Mentari nggak yakin.

Tukang ojek itu membuka helm-nya dan nampak wajah seseorang yang dikenali Mentari. “Iya. Saya yakin banget, Neng. Soalnya, abang mau ngojekin Neng sampe tempat tujuan. Sampe hati abang kalo perlu.” Oji nyengir.

“Oji!!!” Mentari mukul-mukul Oji pakai tas ranselnya. Gemes deh! Ngapain coba ngerjain dia begitu. “Kalo gitu, ke hati abang berapa ribu?” tanya Mentari mencoba melawak.

“Gratis, Neng. Hahahaha...” kata Oji sambil ketawa. “Ayo naik! Mumpung abang ojeknya lagi nge-gratisin penumpang nih!”

“Siap, Bang!” Mentari langsung naik ke atas motor dengan sigap.

“Pegangan yang kuat ya. Gue mau ngebut nih!” peringat Oji.

“Halah! Gue nggak yakin elo bisa ngebut.”

Namun, sedetik kemudian....

“OJI! GILA! GUE HAMPIR JATOH!” Mentari memeluk erat Oji dari belakang. Ngeri banget deh kalau sampai masuk rumah sakit.

“Ngeremehin gue sih...”
“Elo kemana kemaren?” tanya Ridho saat Oji duduk di kantin dan menikmati jus orange-nya. Cowok itu terlihat biasa saja terhadap kejadian kemarin.

“Tadinya gue berangkat kuliah. Gue kan bangun telat tuh, pas di jalan gue ketemu sama semacam temennya mak lampir, yah nenek lampir kayaknya. Trus, karena gue udah bete dan males banget. Jadi gue mutusin untuk tidur di rumah lagi.”

Ridho langsung mengernyitkan keningnya. “Ketemu dimana? Tu nenek lampir serem nggak?” tanyanya dengan bego.

“Cantik sih, Dho. Tapi jahat banget sama cewek yang lebih cantik dari dia.”

“He?”

“Trus ya, Dho, kalo ngomong nyolot banget. Pake nendang kaki gue, lagi!” Oji bercerita dengan raut wajah serius. “Mana pake ngomelin gue trus ngatain gue sebagai pahlawan kesiangan pula!”

“He?”

“Menurut gue sih, Dho, tu cewek kayaknya ada masalah gitu sampe-sampe berbuat jahat. Kayak di pilem-pilem tuh, Dho. Biasanya yang cantik jadi yang jahat. Lho, kok gue jadi inget-inget dia lagi sih!?”

“He? Mana gue tau...” Ridho sampai pingin nyekek Oji rasanya. “Lo cerita panjang lebar bener. Gue sampe nggak ngerti sama cerita lo. Jadi inti ceritanya apaan?”

“Yah... kemaren gue ketemu nenek lampir, jadi nggak kuliah deh!”

“Lah? Kata elo tadi cantik ceweknya, kenapa elo panggil nenek lampir? Berarti tu cewek punya muka ganda dong?”

PLETAK! Oji ngelempar buku ke arah kepala Ridho dan mendarat dengan sukses di kepala Ridho.

“Lo kira si Hudson!”

“Abis, lo nggak konsisten banget sih! Cantik ya cantik, kalo nenek lampir berarti jelek dong!” Ridho langsung membenarkan pernyataan Oji.

“Terserah apa kata lo deh, Dho. Gue juga pusing maksud kita ngobrol begini apaan!”

“He?”

***

Pagi-pagi begini Oji sudah beraksi pergi ke kampusnya. Males juga di rumah. Nggak ada siapa-siapa kecuali pembantunya, satpamnya, dan pengurus rumah lainnya. Mama dan Ayahnya kan sudah pergi ke Australia.

Hari ini Oji memakai t-shirt putih dengan kemeja biru yang keren. nggak lupa dengan kendaraan kesayangannya motor putih merek Ducati yang setia menemaninya. Layaknya sahabat.

Saat Oji sedang duduk di salah satu taman kampus, matanya melirik salah satu mahasiswi yang sedang berjalan di koridor kampus. Cewek itu kan cewek yang dilihatnya dan yang hampir di tolongnya kalau nggak salah narik itu.

Dengan cepat, ia dekati cewek blasteran itu.

“Hei...!” Oji menepuk pundaknya dari belakang.

Cewek itu menoleh dan terlihat terkejut. “Oh, hai...”

“Elo yang kemaren digangguin sama preman kan!?”

BEGO! Oji lupa memakai bahasa yang mungkin akan mudah di mengerti si cewek. Masalahnya sekarang si cewek sedang mengernyitkan kening menunjukkan ketidak mengertiannya dengan pertanyaan Oji.

“Maksud saya, kamu kemarin yang diganggu sama free man kan?”

Halah! Ngomong kok ribet bener ya!

“Oh, iya, iya. I am troubled by the free man. Maaf ya, saya belum terlalu bisa bahasa Indonesia. Jadi, saya kadang menggunakan bahasa Inggris.”

“Oh, nggak apa-apa kok. Lo bisa belajar dari gue tentang Indonesia dan bahasanya. Supaya elo cepet ngerti.”

“Ha?”

BEGO!

“Maksud saya, tidak apa-apa. Mungkin saya bisa bantu kamu untuk belajar tentang bahasa Indonesia.” Oji langsung memperbaiki kata-katanya yang semrautan.

“Oh, terimakasih yah. Kamu orang baik. Kemarin saja kamu mau menolong saya.”

“Hehehe, kalau saya tidak salah narik saya pasti selamatin kamu. Oh ya, kamu ada masalah apa sama perempuan yang kemarin?”

“Oh...” Cewek itu langsung terlihat termenung. Memikirkan sesuatu dan itu membuat Oji yakin kalau cewek yang kemarin itu nggak main-main sama omongannya.

“Saya sudah berbuat kesalahan dengan dia.”

“Salah apa?” tanya Oji penasaran.

Cewek itu berjalan, Oji mengikutinya di samping. Yah, Oji sekarang terlihat seperti teman akrab si cewek saja. Padahal nama saja belum tau.

“Saya dekat dengan seseorang laki-laki, dan dia langsung memeringati saya untuk tidak dekat dengan laki-laki itu. Katanya, dia tidak suka.”

Tuh kan!? Oji emang nggak salah lagi mengira cewek itu jahat. Begitu aja dia langsung melabrak cewek blateran ini. Padahal, kalau cowok itu nggak suka sama dia, seharusnya dia nggak bisa begitu.

“She so wicked!” kata Oji sambil menepuk pundak cewek itu.

“Tidak, dia tidak jahat.” Cewek itu menggelng kuat. “Saya yang jahat. Saya tidak menuruti kata-katanya.”

Cewek ini memang terlalu baik. Padahal yang jahat kan si cewek tomboy itu, bukan dia.

“Oh... saya lupa. Nama kamu siapa?”

“Hera. Nama kamu?”

“Rhauji,” Oji menjabat tangan Hera yang terulur padanya lalu tersenyum.

***

Hye Ri duduk di balkon atas kamarnya. Memandang ke langit luas di angkasa. Mengamati bintang-bintang yang bermunculan serta bulan yang menemaninya.

Sekarang dia sudah kembali di Indonesia. Yeah, setelah lama tinggal di Korea, satu kenangan yang tak mungkin bisa ia hapus di Indonesia. Seseorang. Bernama Matahari.

Kalau ia bisa, ia tidak mau memutuskan untuk tinggal kembali di Indonesia. Terlalu perih dan ia takut. Takut kalau dia marah pada dirinya. Takut kalau dia tidak ingin menoleh ke arahnya kembali.

Di peluknya erat bingkai foto yang menampilkan sosok laki-laki kecil dan perempuan kecil yang saling merangkul dan tersenyum ke arah foto. Teman masa kecilnya itu suka membuatnya menangis, tapi dia suka.

Waktu itu ia kembali ke perumahan lamanya dan bertemu dengan tetangganya. Katanya teman masa kecilnya sudah pindah rumah, dan sekarang yang ia tahu cowok itu pasti sudah kuliah. Sekarang, hanya mencari tahu dimana dia, karena Hye Rin punya foto dia yang sekarang.

“Kalau matahari pagi masih bersinar cerah, aku yakin senyummu dan ingatanmu takkan pernah sirnah...”

***

“Karena kita masih di bayang-bayang matahari yang sama.”

“Gila! Sok melankolis banget lo!” Oji melempar bantal ke arah Ari.

“Hahahaha,” Ridho ketawa ngakak mendengar kalimat yang baru saja di bacakan Ari tadi.

“SOMPRET!” Ari langsung melempar balik bantal itu dan BLASSS!!! Bantalnya mendarat sukses di wajah Ata.

“Wah songong ya lo sama kakak sendiri!” Ata melempar balik dan YEP!

Ata yang matanya tertutup sambil ketawa ngakak, Ari, Ridho dan Oji yang kini terdiam membisu membuat Ata diam. Dan membuka matanya. Ngoookkk...

Bantalnya kena wajah ayahnya!

“ATAAAA!!!” geramnya sambil melotot.

“Ampun, Ayah!” Ata langsung nyengir dan ayahnya langsung menjewer telinganya.

“Hahahaha,” sekarang Ari, Ridho, dan Oji ketawa ngakak.

***

Sebelum berangkat kuliah, Oji memberhentikan motornya di dekat gerbang SMA Airlangga. Entah kenapa, Oji jadi memikirkan Fio lagi.

Beberapa saat kemudian, Oji melihat Tari diantar Ari. Ari langsung menyadari kehadiran Oji di SMA itu. Ia mendekatinya.

“Ngapain lo?”

“Mau liat Fio,” jawab Oji.

“Elo bakal sakit hati kalo liat dia. Dia udah...”

Kata-kata Ari terhenti saat matanya dan mata Oji melihat ke arah seberang. Fio sedang berjalan bersama seseorang yang menggandeng tangannya. Keduanya tersenyum, sepertinya anak SMA Airlangga juga.

“Baru aja gue mau kasih tau elo,”

“Nggak apa-apa,” kata Oji. Ia langsung memasang helm-nya dan cepat-cepat pergi tanpa memberitahu apa-apa tentang perasaannya pada Ari.

***

“Gue udah bilang. Jangan ke SMA Airlangga lagi. Ngerti nggak sih lo!?” Ari ngomel-ngomel sama Oji yang sekarang tampangnya udah kusut banget.

Sementara Ridho di sebelahnya hanya bisa memandang dengan perasaan nelangsa. Bukannya tidak setuju dengan pendapat Ari, tapi Ridho lebih suka kalau Ari memberitahu Oji dengan kalimat yang lebih halus lagi agar Oji juga nggak tambah sakit hati.

“Apa sih lo!?” seru seseorang cewek dengan kasar.

“Saya minta maaf sama kamu.”

“Kan gue udah bilang sama lo! Elo kalo jadi cewek nggak usah songong deh! Gue udah peringatin elo, elo malah ngelunjak!”

Ari, Ridho dan Oji yang mendengar itu langsung menoleh ke arah suara. Terlihat Hera dan cewek yang berantem sama Oji itu kini sedang bertengkar.

“Gue nggak suka elo deket dia!” Cewek itu menepis tangan Hera yang hendak memegang tangannya. “Jangan pernah sentuh gue! Dan jangan pernah harap bisa berteman baik dengan gue!”

“Heh! Bisa nggak, elo nggak ngebentak orang sembarangan!” Oji langsung datang dan menyatakan ketidak sukaannya terhadap cewek dihadapannya itu.

“Terserah gue! Ini mulut-mulut gue!” bentak cewek itu pada Oji.

“Heh, elo tuh udah mau bertindak kekerasan pake mau nyulik dia,m elo mau ngapain lagi!? Kurang puas lo!? Dia yang nggak salah, dia yang minta maaf. Sebenernya otak elo itu ada dimana!?”

“Otak gue disini!?” Cewek itu menunjuk kepalanya. “Kalo elo nggak tau masalahnya, mendingan elo nggak usah ikut campur deh!”

Ari dan Ridho langsung menghampiri Oji. Mereka berdua baru melihat Oji ngebentak cewek sampai segitunya. Dan mereka juga baru melihat ada cewek yang segitu kasarnya.

“Kenapa sih, Ji?” tanya Ari.

Cewek itu menoleh dan tersentak hebat. Dia takut kalau saat itu juga, cowok itu mengetahui siapa dia yang sebenarnya. Dan saat itu juga, cewek itu langsung cepat-cepat kabur.

Oji tentu saja melihatnya. Cewek itu terlihat tampak ketakutan saat melihat Ari dan itu membuat Oji tambah penasaran dengan cewek itu.

“Ra, kamu nggak apa-apa?”

“Enggak,” jawab Hera yang kini sudah agak terbiasa oleh omongan yang lebih menjurus ke santai. Berkat Oji tentunya. “Dia nggak mau maafin aku.”

“Dia itu jahat, Ra. Kenapa sih kamu minta maaf sama dia?”

“Yang salah itu aku. Dia baik, tapi caranya mungkin aneh.”

“Aku nggak ngerti maksud kamu,”

“Aku nggak mau membuat kamu mengerti. Karena dengan begitu, dia pasti akan semakin marah sama aku.”

***

“Fio ya?”

“Iya, kok tau?” Fio jadi bingung sendiri.

“Lupa sama gue? Gue kan yang suka ngisengin elo waktu kecil. Sampe nangis-nangis malah. Hahaha, tapi elo nangis juga waktu gue tinggal pergi.”

“Kak Mentari!!!” teriak Fio kaget dan senang.

Mentari itu teman kecilnya Fio. Umurnya lebih tua dua tahun di banding Fio. Mentari pindah ke Korea waktu kecil. Sebelum pindah ke Korea, Mentari pernah pindah rumah di dekat rumah Fio untuk beberapa minggu lalu memutuskan pindah ke Korea.

“Jadi, kenapa Kakak balik?” tanya Fio bingung.

“Jadi, elo nggak suka nih kalo gue balik?” tanya Mentari balik.

“Hahaha, ya nggak gitu juga, Kak. Masalahnya nih ya, Kakak aja bilang nggak betah tinggal disini.”

“Gue bilangnya kan nggak betah tinggal disini, bukan berarti gue nggak betah tinggal di Indonesia dong?” Mentari mengajak Fio masuk ke dalam mobilnya.

“Sebentar, Kak. Gue mau kenalin Kakak sama temen gue!” Fio masuk ke dalam sekolah lagi, lalu beberapa saat kemudian, dia kembali dengan Tari disebelahnya.

“Tar, kenalin, ini Kak Tari... Mentari!” kata Fio senang.

Tari yang dikenalin, malah kaget. Ini nama nggak ada yang lain yah? Kenapa mesti dipanggil Tari juga?

“Kak, ini namanya Tari juga lho. Cuma, namanya Jingga Matahari.” Katanya dengan raut wajah senang.

“Hai, Tari...” sapa Mentari dengan senyuman.

“Hai juga, Kak...” balas Tari sambil tersenyum.

“Pulang bareng yuk! Gue anter elo berdua deh...” kata Mentari dengan senyuman.

“Tapi rumah saya kan beda arah sama Fio, Kak.”

“Aduh! Elo ngomongnya nggak usah formal begitu napa. Gue kan bukan Kakak kelas elo. Pake kata gue-elo aja.” Mentari langsung menyuruh keduanya masuk ke dalam mobil. “Udahlah! Gue kan pingin liat-liat Jakarta.”

“TARI!”

Terlihat Oji sedang menghampiri Fio dan Tari yang belum masuk ke dalam mobil Mentari.

“Ada apa?” tanya Tari.

“Enggak sih, gue cuma mau kasih tau, kalo Ari nggak bisa jemput hari ini. Jadi, gue yang bakal nganterin elo pulang,” katanya. Matanya melihat sosok yang menyebalkanitu lagi.

“Elo???”

“Mau ngapain lagi lo? Mau jadi pahlawan kesiangan?”

“Gue cuma mau jemput pacar temen gue. Dan, Tar, elo kenal dia?”

“Dia temen kecilnya Fio.” Tari menunjuk Fio.

“Oh, pantes. Sama-sama nggak punya hati,” ucap Oji sinis. “Ayo, Tar! Udah sore. Nanti nyokap elo marah-marah.”

“Apa maksud elo gue nggak punya hati? Ha!?”

“Elo emang nggak punya hati kan!? Main ngelabrak orang sembarangan! Jelas-jelas dia cewek baik, tapi malah elo jahatin!”

“Udah deh, Kak. Jangan berantem begini. Ya udah ya Kak Tari, aku pulang sama Kak Oji aja. Kasian dia udah dateng jauh-jauh. Makasih atas tawarannya.” Tari langsung mendorong Oji pergi.

“Ish, kenapa pake dorong-dorong sih, Tar? Gue belom selesai ngomelnya!”

“Aduh, Kak Oji. Sampe abad ke 50-pun nggak akan selesai kalo begitu!” Tari gantian ngomel. “Kenapa elo yang jemput gue sih? Stres gue begini caranya...”

***

PRANG!!!

Suara pecahan barang terdengar sampai kamar Mentari. Lelah rasanya kalau begini. setiap hari mendengar keributan disana-sini dengan topik yang sama. Mentari lebih memilih untuk mendengarkan musik di headphone-nya dan memejamkan matanya.

“Ternyata kita satu tempat kuliah ya?” Mentari bergumam sendiri. “Nggak nyangka, sekarang elo tuh beda banget. Matahari, seandainya elo tau kalo gue itu temen kecil elo, apa yang bakal elo lakuin ke gue?”

Mentari membuka matanya lalu menatap langit yang penuh bintang.

“Apa elo bakal benci gue? Atau elo bakal biasa aja sama gue. Atau bahkan elo udah lupa sama gue dan nggak ingat gue lagi?”

Lagu Memories, Super Junior, mengalun indah dan terus menyelimuti perasaannya.

“Tapi, sebisa mungkin, gue nggak akan ngasih tau kalo gue Mentari. Itu lebih baik kan? Gue takutnya elo udah punya matahari lain...”

***

Oji menatap langit kamarnya. Sunyi hari ini. Sepi. Tapi pikirannya terlalu ramai. Terlalu banyak yang ia pikirkan. Terutama persoalan cewek yang ternyata bernama Mentari.

Mentari itu teman kecilnya Fio, Mentari langsung ketakutan saat melihat Ari, Mentari punya masalah sama Hera dan parahnya Hera nggak mau ngasih tau masalah yang real-nya apa dan selalu bilang kalau Mentari itu baik dan dia yang jahat.

Dia jadi penasaran dengan sosok Mentari. Cewek itu seperti penuh misteri. Dan apa hubungannya dengan Ari? Apa Ari mengenalnya tapi berpura-pura tidak tahu.

Yang Oji tahu hanyalah Mentari adalah sosok cewek jahat, bukan cewek baik.

Ponsel Oji berbunyi nyaring, menandakan ada SMS. Dengan cepat, ia ambil ponselnya dan membaca isi pesan tersebut.



Oji, Mentari adalah orang baik. Dia yang memperingatiku untuk tidak dekat dengan laki-laki itu. Karena ternyata laki-laki itu punya niat busuk. Saat Mentari mengajak anak buahnya, Mentari hanya ingin menggertakku untuk tidak membocorkan rahasianya. Aku sebenarnya teman baiknya di Korea.



Oji menutup ponselnya dan lagi-lagi termenung. Hera teman baiknya Mentari di Korea? Tapi kenapa sekarang mereka tidak dekat lagi? Apa karena Hera mengetahui rahasia terbesar Mentari?

Otak Oji terus berputar mempertanyakan semuanya yang terjadi. Oke! Oji bisa ambil kesimpulan mengapa Hera bilang kalau Mentari baik. Tapi rahasia apa yang membuat Mentari hingga semarah itu dan perlu menggertak Hera?

Dan masalahnya, apakah Fio tahu tentang masalah itu? Dan hubungan apa yang terjadi antara Mentari dan Ari?
Iseng-iseng bikin ceritanya si Papa Oji, hahahaha.


“Gue rasa... usaha kita berhasil untuk menghasut Ari.”

“Kita nggak menghasut Ari, tapi kita bohongin Ari. Kita kan bilang kalo Tari sekarang mau coba bunuh diri...,” ralat Vero merubah kata-kata Angga.

“Ide siapa sih?” Ridho melirik ke semua orang yang ada di sekelilingnya. “Gila banget! Si Ari sampe pucet gitu pas tau,” ucapnya sambil tersenyum geli. “Tapi... tadi gue ngira si Tari juga bakal bunuh diri. Soalnya dia keliatan putus asa banget!”

Oji nyengir, “gue sama cewek gue dong!” ucapnya bangga. Tangan kanannya merangkul pundak Fio.

Cewek itu langsung melotot tajam, “apa? Cewek lo? Ngarep banget lo!” di pukulnya kepala Oji pelan dengan buku yang di pegangnya.

“Ya ampun, cintaku! Jahat banget sih!” Oji langsung manyun. Tangannya yang bebas mengelus-elus kepalanya yang sebenarnya nggak sakit. “Nah, Dho. Gue kan udah sama Fio nih. Si Bos juga udah dapet mataharinya. Lo mau sama siapa? Lo doang yang jomblo lho!” kepala Oji dijitak lagi sama Fio, tapi Oji nggak peduli.

“Si Angga sama si Ata juga jomblo!” ralat Ridho kesal.

“Oh tidak bisa! Angga sama Vero aja. Jadi... elo sisa aja yak!” ucapnya dengan seringai geli. “Elo sama... Ata!”

“APA???” seru kedua orang itu dengan mata yang terbelalak lebar.

***

Belakangan ini, Oji mungkin agak keterlaluan, karena dia selalu membuat Fio ingin menceburkan diri ke dalam jurang paling dalam. Oji sih niatnya menghibur agar semua temannya yang kadang lagi bete atau galau bisa tertawa lepas akibat lawakannya, sayangnya niat itu sama sekali nggak diterima oleh Fio karena menurut Fio, Oji itu mempermalukannya sebagai orang yang dekat dengan Oji.

Seperti kelakuannya di suatu cafe saat Ari, Oji, Tari dan Fio sedang bersama. Ceritanya sih double date. Tapi bagi Ari dan Tari itu adalah acara yang merusak acara pribadi Ari dan Tari. Mau tahu kenapa? Yuk kita selediki! Hahahaha.

“Ini hadiah buat lo, Fi.” Oji mengulurkan sebuah kotak besar dengan pita yang jumbo berwarna merah.

“Apa nih?” tanya Fio dengan kening berkerut.

“Buka aja,” ucap Oji, tersenyum.

Saat Fio membukanya, matanya terbelalak lebar. tak mampu ia ungkapkan kata-kata untuk mengungkapkan isi hatinya. Sementara, Tari yang dri tadi menunggu reaksi Fio, tidak sabar dan mulai mengikuti Fio dengan melihat isi kotak itu.

Sesaat, mata Tari juga terbelalak lebar. ia juga terdiam dan terpaku lama, hingga kali ini Ari yang penasaran dan memutuskan untuk melihat isi kotak itu.

“Ada ap...” ucapan Ari terhenti saat melihat isinya. “Ji...” panggilnya pada Oji.

“Apa Bos?” Oji memasang wajah lugu hingga Ari ingin sekali mencekik Oji.

“Lo ngasih ini...? yakin lo? Lo beliin ini!?” Ari yang nggak nyangka akhirnya menunjukkan isinya. “Lo beliin Fio DASTER!? TOBAT GUE, JI!!!” Kepala Ari geleng-geleng.

“Kan daster lagi mode on sekarang, Bos! Daster gombrong yang mirip sama bajunya Syahrini,” ucap Oji dengan lugunya.

“Itu bukan daster yang kayak beginian, tauuuu!!!” Fio bangkit dari tempat duduknya, lalu pergi.

***

“Kalo mau ngelawak, mending lo ngelawak yang bener aja! Yang bikin orang ketawa, jangan yang bikin orang jadi keliatan gila!” sentak Fio dengan sebal.

“Yah Fi... kan niatnya mau menghibur aja gitu lho. Gue juga tau kok, daster yang kemaren gue kasih ke elo itu bukan daster yang dipake Syahrini.” Oji memasang wajah tulus terbaiknya.

“Oh ya? Kalo lo emang tau, kenapa elo ngasih daster kayak begituan ke gue? Dan bilang tu daster adalah daster yang dipake Syahrini? Mau neglucu? Gilaaa lucu buangettt!!!”

“Karena elo lebih cuantik kalo lagi pake daster. Kayak pembantu-pembantu gitu lho...,”

Sedetik kemudian....

“OJIIIII!!!!!!!!!!!!” Fio ngelempar Oji pake sendal.

***

Kenapa Oji begitu? Saya juga nggak tahu. Yang jelas, mungkin Oji memang sudah sarap #eeeh. Oji begitu niatnya buat menghibur diri dan biar lebih santai dengan kehidupannya yang sebenarnya lebih ruwet dari benang yang udah di tarik ke arah kanan terus ke kiri terus ke samping terus kebelakang dan akhirnya mentok di pertengahan.

“Ayah mau bisnis disana aja, Ma. Lebih enak...” kata Papa Oji suatu pagi. Oji yang dapat mendengarnya karena baru bangun pagi langsung mengernyitkan keningnya. Heran, pagi-pagi gini udah ngomongin bisnis.

“Nggak apa-apa, Pa. Kalau itu yang terbaik untuk masa depan kita nanti, lebih baik kita berbisnis disana. Mama juga tau, seperti apa papa disana. Nggak kayak disini,” ucap Mama Oji sambil memberikan setangkup roti untuk suaminya itu.

“Kalau bisa, Rhauji juga ikut, Ma. Papa pingin dia lebih baik daripada disini. Selama disini, papa nggak pernah menemukan perkembangan baik tentang dia.”

Oji yang lagi minum, langsung keselek.

***

“Lo mau mutusin kuliah dimana, Ji?” tanya Ridho saat Oji sedang bersantai-santai di halaman rumah Ari.

“Kayaknya di Sydney...” jawab Oji sambil nyengir.

PLETAK! Oji mendapatkan satu pukulan dari buku yang tengah Ari genggam.

“Gue tau, Ji. Bokap lo emang kaya... tapi buat sekolah disana, gue rasa otak lo nggak nyampe!” ucap Ari sambil menampilkan wajah songongnya.

“Meskipun otak gue nggak menjamin, tapi duit bokap gue menjamin, Bos.” Katanya dengan mimik wajah yang sok serius.

Tiba-tiba ketiganya menoleh secara bersamaan ke arah pintu gerbang. Terlihat disana cewek mungil dengan warna yang disukainya, oranye.

Tari datang sambil tersenyum ke arah Ari. Kedua tangannya memegang plastik yang mungkin berisi makanan.

“Tumben kesini, Tar? Ngapain? Pingin ngecengin gue ya?”

Dengan satu tendangan kaki dari Ari, Oji langsung mingkem dan nggak ngomong lagi. Itu sudah tanda, kalau berurusan dengan ceweknya Ari yang satu itu, Oji nggak bakal bisa selamat dari gangguan di dunia jikalau berani-beraninya godain Tari.

“Amit-amit deh, Kak. Gantengan juga pacar gue, ngapain gue ngecengin elo!???”

SUMPAH! Itu nyelekit banget, tapi Oji cuma bisa manyun sambil menyipitkan mata ke arah Tari. Tanda bahwa Tari bakal Oji gangguin.

“Bawa apa, Tar? Kue ya? Buat gue kan?” Kali ini Ridho yang rasanya udah kena virusnya si Oji.

“Yeee, ini emang kue. Tapi bukan buat elo, Kak. Males banget deh gue susah-susah bikin tapi yang makan elo.” Katanya dengan lidah yang terjulur ke arah Ridho. “Ini kan buat Matahari...” Nada suaranya berubah, Tari langsung tersenyum sambil memberikan bungkusan itu kepada Ari.

“Ngobrolnya di taman belakang aja yuk, Tar!” ajak Ari langsung. Tangannya menggandeng tangan Tari. Lalu menoleh ke belakang sebentar, “elo-elo jangan ganggu gue!” peringatnya dengan tatapan tajam, lalu masuk ke dalam rumah.

Oji langsung mencibir. “Gitu yah, kalo udah punya pacar, dia pasti lupain gue. Elo jangan gitu ya, Dho?” Tangan Oji menepuk pundak Ridho.

Tiba-tiba ponsel Ridho berbunyi. “Eh, gue angkat telfon dulu yah. Dari gebetan gue nih!” katanya sambil tersenyum. Lalu menepuk pundak Oji pelan, setelah itu ia menjauh.

“Baru juga gue bilang...” keluh Oji sebal.

***

Bukannya kebodohan itu hanya ditujukan agar semua tertawa dan menyukainya? Bukan malah membencinya dan tidak menghargainya. Oji bukan bodoh, tapi keadaan keluarganya yang sama seperti keadaan keluarga Ari-lah yang membuatnya harus melakukan ini untuk hiburan hatinya, sekaligus pelarian akibat kesendirian.

Oji memilih melampiaskannya dengan cara yang berbeda dengan Ari. Dengan cara yang tak merugikan orang lain, mungkin yang hanya merugikannya sendiri.

Belakangan ini, Fio selalu menghinanya. Entah kenapa, semakin lama, menurut Oji itu bukan sebatas untuk bercanda atau hiburan. Melainkan dari hati. Oji tidak mengerti bagaimana harus menanggapinya. Karena dia juga tidak mengerti dengan tindakannya.

Berubah kembali menjadi Oji yang penurut dan anak baik-baik juga tidak ada gunanya. Mereka pasti mengira, Oji sedang melawak lagi dan hanya ingin mencari perhatian Oji. Lagi pula, untuk apa Oji melakukan itu kalau yang ia inginkan saja tidak dapat terwujud!?

Selama ini, yang ia butuhkan adalah mendapatkan perhatian penuh dari orangtuanya yang gila kerja. Sayangnya, nggak pernah terwujud. Sehingga Oji juga lebih memilih untuk menyibukkan dirinya, atau mencari hiburan untuk hatinya sendiri.

“Gue nggak mau liat lo jadi orang tolol kayak gini lagi!” bentak Fio.

“Fi, tolong dong, ngertiin gue sedikit aja.” Oji menggenggam tangan Fio dengan lembut.

Fio langsung menariknya dengan kasar. “Apa sih? Buat apa ngertiin cowok yang nggak punya akal sehat kayak lo?”

“Fi... gue terlihat bodoh dihadapan lo? Segitu bodohnyakah gue?” Oji menatap Fio tak percaya.

“Lo emang bodoh! Sikap tolol lo itu bikin gue muak!” ucap Fio sengit. Lalu berbalik badan meninggalkan Oji yang kini hanya dapat berdiri diam dalam sebuah pertanyaan.

Kata-kata kasar Fio tadi mampu menusuk setiap luka yang sudah terbuka sejak dulu. Mampu merusak setiap ketenangan hatinya dan membuat hatinya kini berlumur darah.

Dengan perih, Oji melangkahkan kakinya pergi dari taman itu.

Mau dibilang putus? Nggak juga. Karena selama ini Fio nggak pernah bilang cinta atau sayang sama Oji. Bilang nerima cinta Oji-pun enggak. Jadi hubungan mereka seperti hubungan yang tak jelas juntrungannya.

Buat kebanyakan orang yang merasa hidupnya sempurna, apa yang Oji lakukan adalah tindakan bodoh yang sangat menjijikan. Tahu kenapa? Karena Oji malah terlihat menjijikkan dihapan mereka yang melihat dan mengetahui kelakuan bodohnya. Termasuk sikapnya yang memuja sosok Ari.

“Gue akan pergi, Fi. Jika itu yang elo mau dari gue,” ucap Oji lirih. Ia mauk ke dalam mobilnya lalu beranjak pulang. Lebih baik, sekarang ia tentramkan dulu hatinya lalu menghilang untuk beberapa saat... atau mungkin untuk selamanya. Agar Fio tak dapat lagi melihat kebodohannya yang membuat Fio muak.

***

“Ji, please deh! Elo coba kuliah di Jakarta selama setahun dulu, nanti kalo elo emang nggak nyaman, baru elo boleh pergi!” kata Ridho dengan wajah serius.

“Dho, itu kelamaan banget. Lagipula, gue nggak enak hidup di Jakarta sendiri.”

Kemarin setelah pertengkarannya dengan Fio, Oji memutuskan sesuatu. Sesuatu hal yang pernah dipertanyakan mamanya waktu itu. Karena Ayah Oji lebih suka berbisnis di Australia, Ayah Oji memutuskan untuk berbisnis disana.

Ini bisa menjadi kesempatannya melupakan Fio. Jujur, dia suka banget sama Fio. Tapi kali ini, mungkin kebodohannya memang harus dipertanyakan di negara lain. Ia mau berubah dengan melupakan masa lalu.

“Oke!” Ari menatap Oji lurus. Pembawaannya yang tenang namun mencekam membuat suasana menjadi tegang. “Elo coba kuliah disini selama sebulan. Gue yang bakal jamin kalo elo nggak perlu pindah kemana-mana,” kata Ari tegas, lalu cowok itu berdiri dengan kedua tangannya yang dimasukkan ke dalam kantong.

Keduanya hanya bisa menatap Ari yang kini menjauh. Ari memang ada benarnya. Kalau Oji tidak mencoba untuk kuliah disini barang satu bulan saja, mungkin Oji akan melewatkan sesuatu.

***

Hari ini, hari pertama Oji, Ari, dan Ridho kuliah. Ini bukan awal bagi ketiganya juga bukan sesuatu hal yang pastinya akan menyenangkan. Karena kini Ari punya tugas sendiri untuk membuat kawan karibnya itu betah di Indonesia tanpa seorang Fio. Diulang... TANPA SEORANG FIO!

Sialnya, Oji dari dulu emang terkenal dengan kesukaan terlambatnya. Maklum, tadi malem ngeronda ngeliatin bola sampe matanya ngejureng. Hari ini Oji terlambat kayak waktu kebiasaannya di SMA dulu. Bedanya, Ari dan Ridho kayaknya udah berangkat duluan deh.

“Saya itu enggak ngerti apa yang kalian bicarakan!”

Oji yang lagi ngelewatin sebuah gang dengan motor putih besarnya langsung berhenti. Suara yang cukup kencang dengan logat yang Oji kenal dengan orang-yang-baru-bisa-bahasa-Indonesia.

“Aduh! Cewek cantik, baru bisa ngomong bahasa Indonesia ya?” Terdengar salah satu suara cowok di ujung gang.

“Namanya juga blasteran begini... liat aja mukanya, mulus banget coy!” kata salah satu suara lagi.

“Bos, perlu kita apain nih cewek?”

“Berisik! Gue cuma mau meringatin dia!”

Pertama, Oji sebenernya paling males kalau ada cewek yang diganggu-gangguin gitu. Kedua, sayangnya Oji adalah orang yang males sok jadi pahlawan kesiangan buat nyelametin dia. Ketiga, daripada bonyok kan mending lari.

“TOLONG!”

Heh, itu cewek malah minta tolong lagi. Bantuin nggak ya?

“TOLONG!”

Kayaknya mesti dibantuin sih. Tapi Oji malah planga-plongo kayak orang bego. Lalu di masukinya sebuah gang yang tadi memunculkan suara-suara.

Terlihat dimata Oji, satu cewek blasteran Korea-Inggris yang sedang mencoba melepaskan cekalan cowok-cowok sangar yang sedang menatapnya seperti nggak dikasih makan sebulan. #loh?

Nggak tau Oji salah liat atau apa, disana juga ada cewek yang gayanya tomboy minta ampun! Bedanya, dia nggak lagi disekap sama orang-orang berotot itu. Dia malah lagi anteng berdiri sambil ngeliatin cewek blasteran itu. Kayaknya tu cewek yang jadi leadernya.

“Mau apa lo?”

“Mau ngambil cewek gue!”

BEGO! Oji dalam hati langsung menggerutu. Si cewek mana mau ngakuin Oji? Meskipun Oji masih termasuk dalam daftar orang yang ganteng, cewek itu juga bakal kira-kira juga buat ngakuin Oji sebagai cowoknya.

“Dia? Cewek lo? Yakin?” Salah satu cowok dengan tato di tangannya. Matanya melotot serem, ngebikin Oji merinding dan berdoa dalam hati kalau dia punya kekuatan tiba-tiba kayak Ari.

“Iya. Kenapa? Nggak suka? Dia emang cewek gue!” tegas Oji dengan mata yang melotot ke arah cowok-cowok sangar itu.

“Elo lawan gue kalo elo emang bukan cowok lenjeh!”

Oji yang di pancing begitu jadi emosi. Udah dapet predikat gila, masa dia mau ditambahin dengan predikat cowok lenjeh!? Minta ditabok banget tu orang.

Satu pukulan melayang langsung ke arah perut si cowok dengan tatao di otot. Sementara temannya yang lain, berbadan besar dan kumisan langsung menghampiri Oji untukm memberikan pembalasan.

Dengan sigap, Oji langsung menarik tangan cowok yang hampir saja memukulnya, lalu membantingnya ke samping. Masih ada tiga lagi dan badannya gede semua. Dan lebih parahnya, orang yang punya tato di otot itu langsung bangun dan mencoba menonjok Oji.

Daripada mati konyol, Oji mengambil inisiatif dengan... menarik cewek yang sedang terpojok di belakang lalu menghampiri motornya dan kabur secepat mungkin.

“Elo nggak kenapa-kenapa?” tanya Oji mencoba fokus ke depan jalan.

“Gue akan baik-baik aja tanpa bantuan elo!”

SUMPRET! Barusan Oji denger si cewek blasteran ngomong apaan???

Dengan cepat, Oji langsung meminggirkan motornya di pinggir jalan. Ia langsung turun, begitu juga dengan cewek itu.

“Loh???”

“APA?” kata cewek itu galak.

Eh, ini mata Oji salah apa enggak sih? Perasaan yang dia tarik terus disuruh naik paksa cewek blasteran. Ini kenapa yang ada di hadapan Oji adalah cewek yang blasteran juga tapi tomboy minta ampun!!!

“Kok elo sih?” Oji malah nanya dengan tampang bego.

“Make nanya! Elo yang narik gue. Dasar bego!” Mata cewek itu sinis.

KAMPRET! Itu maksudnya menghina apa? nggak dimana-mana Oji dikatainnya bego. Kasian dong Ojinya. #plak

“Trus? Tu cewek blasteran yang lebih cakep dari elo kemana?”

Kayaknya Oji salah ngomong. Soalnya mata cewek itu mulai membara dan tangannya menggepal. Dan dalam hitungan detik, cewek itu langsung ... BUG! Kaki Oji ditendang sama cewek itu.

“Gue kasih tau ya, elo nggak usah jadi pahlawan kesiangan. Dia itu cewek yang nggak tau diri! Dan elo yang nggak kenal sama dia, jangan sok kenal deh!”

Tangan Oji masih memegangi kakinya yang terasa cenat-cenut. Sudah tomboy, galak, judes, sinis, SADIS pula!

Tuh kan, Oji kan emang nggak niat bantuin dan jadi pahlawan kesiangan. Sayangnya, cewek yang blateran tadi itu teriak-teriaknya bikin Oji nggak tega.

“Elo nggak usah nyolot dong!” balas Oji dengan mata yang nggak kalah sinisnya. “Gue kasih tau ya, jadi cewek jangan jahat. Elo mau ngapain tu cewek sampe tu cewek minhta tolong begitu?”

“Dianya aja yang suka akting. Gue nggak ngapa-ngapain dia! Inget ya, elo bukan siapa-siapa yang perlu tau masalah gue!”

“Ini ada urusannya sama gue. Karena ini udah masuk ke dalam tindak kejahatan!”

“Bodo amat! Yang penting ini masalah gue, bukan masalah elo! Dia bikin kesalahan ke gue, jadi gue bertindak. Kalo dia diem aja, mungkin gue nggak akan labrak dia. Dan buat elo cowok yang suka ikut campur urusan orang, jangan sekali-kali elo muncul dihadapan gue dan berusaha bela tu cewek!”

Cewek yang nggak Oji tahu namanya itu menggertak dengan suara yang lantang dan sinis. Kedua bola matanya menunjukkan bahwa orang yang bermain-main dengan dia, pasti celaka!

“OKE! FINE!” Oji mengangkat kedua tangannya. Lalu mengangguk-angguk setuju. “Gue nggak akan ikut campur urusan elo sama cewek blasteran yang lebih cakep dari elo!”

Oji emang minta dihajar. Kenapa harus ngomong gitu!?

“Lain kali, kalo elo mau ngelabrak orang... cari tempat yang aman. Yang memungkinkan orang-orang nggak tau tindak kejahatan elo itu.” Oji menepuk pundak cewek itu pelan.

Cewek itu malah melirik sinis dengan tanda kalau pegang lagi, dijamin hidup mati Oji ada di tangannya.

“Gue pergi ya, nasty girl!” Oji tersenyum sinis, lalu memakai helm dan mengendarai motornya dengan cepat.

Saat Oji pergi, cewek itu mendesis. “Gue emang jahat!”
Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Ao Haru Ride

Ao Haru Ride

Daftar Blog Saya

Advertisement

Facebook

Instagram