Jingga Untuk Matahari 17 (FanFiction) The Ending of Story

5 Comments
Huhuhu, akhirnya kita mencapai ending. Semoga ending-nya sesuai dengan keinginan ya, dan semoga di buku aslinya nanti ending-nya juga sesuai dengan harapan :) terimakasih yang udah mau baca sampai akhir, komentar selalu ditunggu loh, dont be a silent reader... Happy reading all...

Sebesar apapun usaha Tari untuk terus bertahan dari keterpurukan, takkan mampu mengubah kenyataan yang ada. Karena... kenyataan yang ada adalah Ari pergi. Jauh disana. Dan dia takkan menoleh ke arah lain lagi kecuali di depannya. Membuat Tari benar-benar putus asa menghadapi kenyataan bahwa Ari tak lagi berada disisinya.
“Jadi... gimana?”
“Gini aja, Dho. Kita ngomong baik-baik sama dia. Bilang kalo sebenernya Tari cintanya sama dia. Bukan Ata. Supaya masalah ini juga cepet selesai!” tanggap Oji dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celananya.
Mata Ridho langsung berbinar ketika mendengar kalimat Oji barusan, “ternyata! Elo pinter ya, Ji. Bijak banget!!!”
Lagi-lagi Oji harus menghela nafas jengkel. Ridho pikir apa dia sebego itu ya!?
“Nggak. Lo nggak bisa ngelakuin itu begitu aja!” tegas Angga yang duduk bersebrangan dengan Oji dan Ridho. “Gue baru dapet berita dari Vero... Ata emang tau kalo Tari cintanya sama Ari. Cuma Ata nggak mau ngalah!”
“Ck!” Oji langsung berdecak kesal mendengar nama saudara kembar Ari itu. Bikin ribet aja! “Dia nggak mau ngalah banget sih!” desahnya kesal.
“Namanya dibutain sama cinta. Kayak elo aja, Ji. Kalo mata lo udah dibutain sama makanan, gue ditinggalin!!!” Ridho melirik Oji sambil menyeringai geli.
Sementara Angga menahan senyum geli saat dilihatnya wajah Oji yang langsung cemberut. “Udah ah! Sekarang kita fokusin, gimana caranya bikin Ata nyerah sama kenyataan! Karena... cewek-cewek udah berbaik hati mau bantu kita nih,”
“Bantu apaan?” kontan Oji dan Ridho berseru bersamaan.
“Nemenin Tari kemana aja! Nyadarin Tari kalo Ari emang udah nyerahin segalanya ke Ata dan memercayai gue sebagai orang yang bisa melindungi Tari. Tapi... ngasih tau Tari juga, kalo Ari itu nggak akan pernah pergi dari kehidupan Tari. Karena Ari cinta Tari!”
***
"Ta... sadar dong! Elo disini cuma sebagai seorang perusak aja!"
Tubuh Ata terdorong menjauh, ketika kedua tangan Angga mulai menghakiminya. Ata hampir saja jatuh, namun ia akan melawan dan takkan membiarkan Angga membuatnya kalah.
"Itu hak gue! Dulu... elo juga sama kayak gue!" gertak Ata, naik darah. ia tak mampu menyembunyikan kilatan amarah itu dari kedua bola matanya yang hitam pekat.
"Dulu itu gue melakukan hal berbeda! Gue cuma mau bikin Ari menderita karena dia udah bikin Anggun pergi! Tapi dalam hal ini gue emang salah besar. Itu semua takdir! Dan gue nggak bisa mengingkarinya!"
Ata langsung bertindak. Ia melawan habis-habisan cowok yang berada di hadapannya itu dengan segala usaha. Bahkan tinju pun ia layangkan. Membuat wajah Angga mulai menimbulkan lebam biru. Ada darah diujung bibirnya.
Angga tak tinggal diam. Ia juga berusaha melawan setiap serangan yang dilayangkan Ata untuk dirinya.
“LO NGGAK USAH IKUT CAMPUR URUSAN GUE SAMA SODARA KEMBAR GUE!”
Dengan suara yang menggelegar dan diringi bentakan, Ata melayangkan satu tinju yang lebih kasar dari sebelumnya ke arah perut Angga. Membuat cowok itu tiba-tiba terhuyung dan tak dapat menyeimbangkan tubuhnya.
“LO BUTA!”
Angga membalasnya dengan bentakan yang tak kalah menggelegar dan semua orang yang berada dalam keadaan jarak jauh dengan tempat kejadian tersebut, pasti mendengarnya.
“INI ANTARA MATAHARI!”
“TAPI INI URUSAN HATI! LO BUTA!”
Kembali Ata melayangkan tinjunya. Geram. Sangat amat ingin ia hancurkan sosok dihadapannya ini dengan kedua tangannya sendiri.
Sepertinya Angga memilih menyerah, karena ia benar-benar tak sanggup menahan setiap serangan Ata dan tak dapat membalasnya dengan serangan yang sama kerasnya. Tubuh Angga terjatuh. Ia tertunduk lemas sambil mengelap ujung bibirnya yang berdarah.
Sementara Ata masih berdiri dengan luka lebam biru yang tak kalah banyak dengan Angga. Ia masih menetralkan nafasnya yang terengah-engah akibat serangan yang ia lakukan secara langsung dan tanpa berpikir dua kali. Ia benar-benar geram. Ia takkan pernah mau mengalah dalam hal ini. Sudah cukup ia mengalah hidup dengan ketidak bahagiaan, kali ini ia takkan membiarkannya kalah lagi!
“Gue udah kasih tau lo! Tari tersiksa dan seharusnya... elo sadar itu! Kalo lo emang cinta sama dia, lo lepas dia demi kebahagiaannya! Bukannya memisahkannya.”
“Dia sendiri yang ngabulin, Ga. Gue minta dan dia kasih. Karena... semuanya udah dia yakinin dalam hati. Semua senyum yang ada di bibir Tari, dia bilang bukan buat dia, tapi buat gue!”
Angga mendongak, menatap Ata tajam. “Tapi kenapa nggak lo yakinin kalo Tari senyum buat dia! Bukan buat elo! Gue... yakin banget kalo lo tau hal itu!”
***
Mata Tari menatap ke langit biru, lalu matanya beralih ke sampingnya. Menatap kedua temannya. Fio dan Vero yang sedari tadi memerhatikan Tari, jadi ikut gelisah juga. Apalagi mereka berdua belum mengetahui perkembangan usaha para cowok untuk mematahkan usaha Ata.
Tari tersenyum menatap kedua temannya. Sedangkan mereka berdua hanya membalasnya dengan kening yang berlipat rapat. tak mengerti maksud Tari.
“Kalian tau nggak? Dia pernah bilang... gue dan dia adalah benda dan bayangan. Manis banget kan!?” ucapnya membuat kedua temannya itu menjadi tertegun dengan kalimat tersebut. “Tapi... sayangnya dulu gue nggak nganggep kalimat itu manis. Malah gue benci sama kalimat itu!”
Kali ini suaranya berubah menjadi menyesal, wajahnya murung lagi. Matanya menatap ke langit biru, lalu air matanya menetes, mengaliri pipinya yang tirus dan pucat pasi.
“Tar... jangan gini terus dong!”
Tari menoleh, menatap Fio dengan air mata yang terus mengalir. “Gue emang bodoh!” tangannya memukul kepalanya pelan.
Tangan Vero merangkul Tari, “Tar... dia pasti balik kok! Gue yakin banget. Dia sayang elo, Tar.”
“Ada dia dan nggak ada dia, sama aja. Hati gue terluka...,”
Keduanya tertegun. Apalagi ketika mereka menatap jelas Tari. Cewek itu berusaha tegar, namun tak bisa. Cewek itu berusaha berdiri, namun selalu terjatuh. Cewek itu menangis, tapi tak kentara. Air matanya terus mengalir, matanya memerah, wajahnya tetap wajah yang tirus akibat kelelahan. Tak hanya fisik, tapi juga batinnya.
***
“Gue nyerah! Gue mau serahin dia balik!”
Ridho, Oji dan Angga menoleh. Mereka mendapati Ata sudah berdiri di ambang pintu kelas. Cowok itu terlihat kacau balau. Bahkan mungkin, kini ia terlihat begitu mirip dengan Ari.
“Lo yakin?” tanya Ridho dengan alis yang terangkat ketika Ata sudah duduk dihadapannya. “Gue takut elo malah kalap lagi! Lupa lawan lo itu siapa.”
Ata mengangguk tegas, “gue yakin banget! Kita hubungin Ari sekarang!” tegasnya dengan tatapan yang kini sudah terliaht ketulusannya.
“Ponselnya mati. Nggak pernah nyala. Gue udah berusaha berkali-kali ngubungin dia. Tapi nggak ada tanggapan!” kali ini Oji menatap layar ponselnya dengan tatapan kecewa.
“Ke rumahnya?”
“Nggak. Nggak. Dia selalu nggak ada di rumah. Home schooling aja nggak jelas jadwalnya. Kita nggak bisa langsung mutusin ke sana. Masalahnya, tadi malem gue udah kesana, tapi dia emang nggak ada!” Angga langsung mejelaskan bahwa dirinya sudah berulang kali menghubungi Ari tapi tetap nggak bisa.
“Jadi... kemana?”
Ketiganya terdiam. Sama-sama memikirkan cara untuk menghubungi Ari. Hening. Tak ada satupun yang menemukan jawaban. Sementara Ata masih menatap ketiganya meminta jawaban.
Di dalam keheningan, suara ponsel Oji dan Ridho berdering kencang. Membuat semuanya langsung menoleh ke arah suara tersebut. Oji dan Ridho langsung saling tatap ketika muncul nama seseorang di layar ponsel mereka. Lalu keduanya mengangguk, seakan setuju untuk membukanya bersama.
Dan ketika ponsel tersebut membuka pesannya. Oji membelalakkan maksimal matanya. Sementara Ridho langsung menatap Angga dan Ata yang sedang menatap mereka dengan tatapan bertanya.
Lalu mata Ridho mengarah pada Oji, Oji mengangguk mengiyakan. Melalui isyarat itu Ridho mengerti.
“Kita terlambat!” ucapnya seperti tercekat. Suaranya sangat sulit untuk di keluarkan ketika ia membuka pesan singkat yang menghampiri ponselnya tadi.
“Maksudnya apa?” Angga jadi heran.
“Ari udah mutusin untuk benar-benar pergi dari kehidupan Tari...,” kali ini Oji yang menjawabnya.
“Jadi...?”
“Ari bilang dia mau pergi ke London. Soalnya, kalo di sini, dia nggak bisa menguasai dirinya untuk nggak ketemu Tari meskipun hanya dalam jarak jauh dan tak terlihat oleh Tari.” Ridho menatap Ata seperti ingin melahapnya karena sudah membuat keadaan tambah buruk.
“Kita harus cegah! Tadi dia ngirim SMS kan? Berarti ponselnya aktif!” Ata langsung berniat untuk mengambil ponselnya dan menghubungi Ari.
Tangan Oji langsung mencekal tangan Ata, “bukan dia yang SMS. Tapi Raka, temen baiknya. Dia bilang Ari mau pergi ke London!”
Semua langsung menahan nafas. Tak tahu harus berbuat apa. Mereka sama sekali tak mengetahui kapan kepergian sosok itu dari Indonesia.
***
Di bawah pohon disana, di sore yang mengindahankan, Tar berdiri menghadap langit. Dari jarak jauh, Vero dan Fio memerhatikan Tari dengan seksama. Mata cewek itu bekaca-kaca, menandakan cewek itu akan menangis sebentar lagi.
Matahari mulai terbenam dan Tari mulai memejamkan matanya perlahan. Semburat jingganya mengingatkannya pada Ari. pada saat Ari menjadi Ata dan mereka berdua melihat matahari terbenam di atas gedung. Menikmatinya besama. Tapi kini tak lagi.
Terdengar suara derap langkah seseorang yang mulai mendekati Tari. Sebentuk senyum manis langsung terlihat di wajah Tari. Cewek itu mengharapkan apa yang ada di imajinasinya menjadi satu kenyataan. Ia langsung membuka matanya, lalu menoleh ke arah kanan, ke arah suara tersebut.
Harapan itu langsung sirnah ketika ia mengetahui siapa yang datang. Senyumnya langsung lenyap ketika menyadari itu hanyalah imajinasi dan bayang-bayang sementara. Karena kenyataannya buka itu. Angga menghampirinya dengan seulas senyum yang ia berikan untuk Tari, cewek itu tersenyum namun tak seindah yang tadi dan sedikit di paksakan.
“Udah mulai malam...,” ucapnya pelan sambil melihat ke arah langit yang mulai berubah warna dan memunculkan kegelapan.
“Gue udah tau, Ga...,” Tari menunduk lemah.
Angga menoleh, “tau apa?” alisnya terangkat sebelah.
“Dia... udah pergi. Dia mutusin untuk jauh-jauh dari gue. Gue sadar, Ga, gue emang...,”
“Tar... maksudnya Ari tuh gini...”
“Jangan. Jangan sebut namanya. Nama itu malah bikin gue mikir kalo gue dan dia itu terikat dan nggak akan bisa lepas lagi. Nanti gue berharap lagi, Ga. Jadi... tolong jangan sebut namanya. Nama itu malah bikin gue seakan berada di dunia mimpi lagi.”
Terdengar helaan nafas panjang Tari. Lalu cewek itu menatap Angga, tersenyum. Senyum pahit. Matanya berkaca-kaca lagi. Wajahnya masih sama seperti yang kemarin-kemarin. Pucat. Tirus dan seakan tak bertenaga dan tak berdaya.
Angga mengerti, bahkan sangat mengerti dengan perasaan Tari. Tapi Tari salah dalam mengkonstartikan apa yang ada dan yang terjadi. Apa yang di pahaminya sebenarnya tak sama dengan apa yang seharusnya ia pahami.
“Tar...,” panggil Angga pelan.
“Senjakala udah nggak ada lagi, Ga. Dia udah pergi. Keberadaannya tak mampu gue tembus hanya dengan mata telanjang. Hanya dengan kedua bola mata gue. Dia... memilih untuk pergi!” ucapnya. Suaranya bergetar hebat, seakan kalimat itu mampu menusuk jantungnya. Mampu mengkoyak setiap perasaan yang sudah tertata rapi di dalam hatinya.
Tertegun. Hanya itu yang dapat Angga lakukan. Cewek itu langsung menyandarkan kepalanya di bahu Angga. Dan Angga tak melarangnya. Ia membiarkan cewek ini untuk mencari penyangga, agar cewek ini tak akan terjatuh meskipun cewek ini sudah berulang kali jatuh dan terluka, bahkan hampir hancur karena kerapuhan.
Air menetes dari kedua bola mata Tari, cewek itu menangis. Terisak hebat, matanya mulai memerah. Kedua tangannya menutupi wajahnya. Sementara tangan Angga memegangi kepala Tari. Membuat Tari benar-benar di dalam pelukan Angga.
“Gue ikhlas, Ga. Biarin dia pergi. Biarin dia memilih jalannya. Gue mau dia cari seseorang yang pasti lebih baik dari gue...,” ucapnya sambil terisak. “Karena dia... sebenarnya baik, Ga. Dia punya sisi kebaikan yang tak kasat mata. Dia baik saat kita melihatnya lewat mata hati kita, bukan kedua bola mata kita.”
***
Lebih memilih mana? Bisa melihatnya dengan orang lain dengan senyuman atau melihatnya bersama kita namun dengan kesedihan. Mungkin Ari akan memilih untuk membiarkannya bersama orang lain yang pastinya akan membuat hidup orang itu bahagia dengan ceria. Tapi tanpa Ari sadari itu malah mengacaukan kehidupan Tari.
“Maafin gue, Tar. Tapi gue nggak bisa...,”
Mata Ari menerawang. Tangannya memegangi koper besar yang sudah terisi semua baju. Di tangan satunya lagi, Ari memegangi tiket pesawat. Tubuhnya berdiri tegak menghadap jendela kamarnya. Semalaman ia tak dapat menutup matanya, setelah melihat Tari tersenyum sendiri di teras rumahnya.
Satu hal itu membuat Ari menjadi berfikir kalau Tari memang sudah dapat dilepasnya. Sudah dapat berbahagia tanpa kehadirannya. Lagi pula, sejak kapan Tari bahagia bila bersamanya? pikirnya sambil tersenyum pahit.
Namun pada saat itu, Ari tak menyadari, tangisan hebat mengiringi kepergiannya.
Kini ia hempaskan tubuhnya di kasur. Tangannya melepas pegangan koper, tapi tiketnya masih berada di genggaman tangannya. Ia menatap ke langit-langit. Ayahnya sudah menyetujui keputusan Ari, bahkan ayahnya sangat-sangat mendukung. Karena ayahnya akan menyekolahkannya disana, dan setelah lulus kuliah, Ari yang berhak memegang kendali di perusahaan.
Mamanya juga sudah menyetujui, hanya saja agak sedikit bimbang saat Ari mengutarakan keputusannya.
“Apa kamu yakin?” tanyanya waktu itu. Wajahnya memunculkan tanda bahwa ia serius.
Ari mengangguk, “lagi pula Ari kan disekolahin sama ayah disana...,”
Tangan mama Ari menepuk pundak Ari pelan, “mama tau. Bukan itu masalahnya. Ada masalah lain kan? ayo... cerita sama mama...,”
Ari tersenyum kaku, hatinya mengiyakan pendapat mamanya itu. Namun, yang keluar dari mulutnya berbeda. “Nggak, Ma...,” Ari menggeleng. “Ngak ada masalah lain,” ucapnya pelan. “Ini keputusan Ari. Ari mutusin sekolah disana,”
Mamanya hanya bisa pasrah dengan keputusan Ari tersebut. Ata sedang tidak ada di rumah, jadi Ata tak dapat mencegah kepergian Ari ini. Apalagi, setelah itu Ari benar-benar menghilang. Karena hari pertemuannya dengan Mamanya adalah hari dimana besoknya Ari akan benar-benar pergi.
Ujian baru selesai beberapa hari yang lalu. Ari sempat bertemu dengan teman-temannya, namun tak berbicara banyak. Terlebih lagi, dengan Ata, Oji dan Ridho. Ari berusaha sebisa mungkin tak bertemu tatap dengan mereka dan usahanya itu berhasil. Setiap kali ketiga orang itu mendekatinya, Ari akan langsung mencari jarak atau mengarang alasan dan masuk ke dalam kantor guru dengan tiba-tiba.
Angga juga sudah berusaha menghubunginya dengan berbagai cara, namun karena kesibukannya di Ujian, ia tak terlalu fokus untuk menghakimi Ari dengan berbagai macam pertanyaan dan ia tak mampu mengatakan apa-apa untuk mencegah kepergiannya.
***
Tangannya bergetar saat mendapat pemberitahuan dari Ridho bahwa Ari berangkat hari ini. Berita itu mengguncangnya, membuatnya kehilangan kesadaran. Membuatnya seolah tak mampu bernafas lagi.
Kenyataan itu membuatnya memikirkan satu hal, bagaimana jika ia tak dapat bertemu dengan Ari lagi? Bagaimana jika dia takkan pernah lagi melihat “matahari”-nya tersenyum seperti dulu? Bagaimana jika “matahari”-nya itu pergi bersama seseorang yang mampu mencabik-cabik hati Tari?
Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, mengusir setiap kecurigaan yang ada di benaknya. Lalu matanya menatap ke langit yang masih cerah akibat sang mentari masih bersemangat untuk menerangi bumi.
“Tar...” Tari mendengar namanya di panggil. Kepalanya menoleh ke belakang dan mendapati keenam orang itu hendak menghampirinya. Yang memanggilnya sudah pasti Angga. Suaranya begitu tegas namun mampu memberikan sejuta kenyamanan di hati Tari.
“Ari udah berangkat,” katanya setelah berdiri di damping Tari.
“Maafin gue, Tar. Gue tau selama ini gue salah, gue...,”
“Nggak apa-apa,” Tari langsung memotong perkataan Ata yang terdengar merasa sangat bersalah itu. “Gue ikhlas...,” ucapnya sambil memaksakkan seulas senyum. “Gue tau, dia emang lebih baik pergi dari kehidupan gue. Karena kalo dia ada di samping gue, gue malah nyakitin dia.”
“Tar, Ari pergi bukan karena...”
“Nggak usah mengelak dengan kenyataan yang udah ada, Ta. Gue nggak apa-apa kok. Gue ngerti, gimana rasanya mengejar lama, tapi dicampakkan begitu aja.”
Semua terdiam. Ikut sedih dengan keadaan Tari yang semakin lama semakin hancur.
***
Hari mulai sore. Namun, kaki Tari terasa berat untuk meninggalkan tempat ini. Tempat dimana jika kita melihat matahari “pulang” sungguh terasa indah. Ia kesini di antar Ridho tadi. Ridho bilang kalau ini adalah tempat kesukaan Ari dulu. Tempat dimana Ari memikirkan segalanya. Tentang masa lalunya dan di tempat ini lah Ari melihat keindahan alam yang nyata.
Nggak ada yang berani menunggunya disini. Semuanya sudah pulang seja tadi karena jelas-jelas Tari “mengusir” mereka dengan tatapan memohon dengan sangat amat bahwa dia memang sedang ingin sendiri. Urusan pulang, ia bisa naik taksi. Atau ia bisa menelpon salah satu diantara keempat cowok itu.
Tari tersenyum, senyum pedih.
“Kenapa sedih?”
Suara itu membuatnya menoleh, dan apa yang dilihatnya sama sekali seperti yang ada did alam bayangannya. Ari! Cowok itu berdiri tegak dibelakangnya sambil menyunggingkan seulas senyum yang manis.
Sebentar! Mungkin penglihatannya salah atau ia berimajinasi lagi!? Atau mungkin saja itu Ata bukan Ari! mereka kan mirip dan Tari tak bisa membedakkannya lewat cahaya yang mulai meredup.
“Kenapa diem aja?” kali ini cowok itu duduk disebelah Tari. Tangannya mengacak-acak rambut Tari. “Lo itu bisu atau gimana? Hmm?”
Tari tersentak. Matanya melebar ketika menyadari bahwa sosok dihadapannya ini benar-benar Ari bukan saudara kembarnya! Ia menggeleng kuat, menyadarkan penglihatannya yang mungkin agak salah.
“Kenapa?” kedua alis cowok itu terangkat.
Air mata Tari mengalir, matanya menatap cowok di sampingnya itu. lalu ia tersenyum... namun  sambil menangis!?
“Lucu kan gue!? Atau gue emang udah bego? Tapi lebih tepatnya sekarang gue udah gila!” suaranya seperti terluka dan tersakiti. “Sekarang gue malah bayangin dia di samping gue! Nggak jadi ke London, lalu duduk diamping gue sambil tersenyum. Trus... dia ngacak-ngacak rambut gue sambil ngomong nggak jelas!”
Kepalanya ia geleng-gelengkan. Kedua tangannya memegangi kepalanya dengan erat. Berusaha mengenyahkan imajinasi yang ada di sampingnya itu. Lalu matanya beralih lagi ke arah samping, tapi imajinasi itu tak kunjung hilang dari hadapannya.
“Tuh kan, gue udah gila! Dia masih aja ada disini,” cewek itu terisak hebat. Air matanya masih mengalir sambil memandangi wajah orang yang ada disampingnya. Wajah yang menimbulkan ekspresi bingung.
Tangan Ari langsung menghentikan tindakan Tari yang memukuli kepalanya sendiri. Lalu ia memaksakkan wajah cewek itu mengarah kepadanya. Kedua bola mata cokelatnya kini masih berkabut, sebagian air matanya telah menetes jatuh dipipinya. Dengan ibu jarinya, Ari menghapus air bening itu. “Ini gue, Tar!”
“Gue... minta maaf. Karena gue nggak bisa nepatin janji gue untuk nggak ngeliat elo. Karena, setiap kali gue jauh dan nggak bisa ngeliat elo, hati gue hampa, Tar.”
Lalu saat itu juga Tari tersadar, ini kenyataan! Sosok dihadapanya benar-benar riil! Kontan tangisnya semakin kencang. Lalu kedua tangannya memukuli tubuh sosok dihadapannya.
“Kenapa kalo lo bilang gitu!?” desisnya. “Kenapa elo bilang gitu, tapi elo mau pergi jauh dari gue!” Ia mulai histeris dan tak dapat terkendali. “Kenapa?”
Kenapa? Pertanyaan itu membuat kedua alis Ari terangkat. Ia juga tak mengerti kenapa, yang ia tahu hanyalah, cewek di hadapannya ini terlihat ceria saat menerima segalanya yang berhubungan dengan saudara kembarnya.
“Karena lo lebih bahagia sama Ata...,”
Kedua alis Tari terangkat, “Ata? Bahagia sama Ata?” ulangnya tak mengerti.
“Dari cara lo mandang dia, dari cara lo nerima hadiah dia, dari cara lo tersenyum, dari cara lo...,”
Ari memiringkan kepalanya, menatap Tari yang tak juga memberikan reaksi. Ia melihat seulas senyum terukir indah di wajah cewek itu. terpaksa ia memberhentikan kata-katanya sendiri.
Cewek itu terlihat tersenyum, “jadi lo kira gue suka Ata?”
Tak ada jawaban. Ari terdiam, masih menatap cewek itu dengan bingung.
“Boleh gue jujur?”
“Mungkin enggak,” ucapnya. “Karena kalo lo jujur, gue... gue...,”
“Tapi... gue mau jujur,” ucap Tari menahan senyum.
Ari terdiam. Cukup lama. Namun cowok itu langsung mengangguk, meskipun terlihat ragu.
Setelah menarik nafas panjang, Tari langsung mengatakannya. “Waktu gue nerima hadiah dia, gue senyum. Gue bahkan sempet ngelamun sambil senyum-senyum sendiri. Lo tau nggak kenapa?” Ari menggeleng. “Karena... gue inget, kalo dulu lo pernah melakukan hal yang sama. Gue inget gimana perasaan gue jumpalitan pas elo masang kalung di leher gue. Kalung ini...,” Tari menunjukkan kalung yang sedang dipakainya itu.
“Gue nggak tau kenapa lo bilang senyum gue beda saat liat dia. Tapi... jujur, saat gue liat Ata, yang ada di pikiran gue, justru elo. Gue malah menganggap bahwa... orang yang dihadapan gue saat itu adalah elo!”
Sekali lagi, Ari tertegun mendengar penuturan cewek ini. Ia diam dan tak dapat berkomentar apa-apa. Dia... benar-benar merasa... mungkin... senang!
“Secarik kertas yang ada di hadapan gue waktu itu juga ngebuat gue mikir sendiri. Tapi bukan mikir kalimat itu mampu menyentuh perasaan gue. Tapi... kalimat itu mengingatkan gue saat elo bilang bahwa kita itu adalah benda dan bayangan. Jadi... gue nggak bisa nahan senyum saat inget penuturan aneh lo yang... eng... gue suka.”
Ari menatap Tari, cewek itu mungkin benar. Apa yang ada di dalam pikiran Tari takkan pernah diketahuinya. Dan ia tak tahu apakah Tari bohong atau tidak padanya, yang jelas ia merasa... sangat senang! Kedua bola mata Tari memberikan senyum, membuat Ari mengetahui bahwa cewek itu tidak bohong. Cewek itu mengutarakan isi hatinya.
Ari tersenyum, lalu kedua tangannya merengkuh Tari kedalam pelukan hangatnya. “Gue sayang sama lo, Tar.” Mata Ari terpejam dengan senyum diwajahnya.
Kedua tangan Tari melingkat di leher Ari, tersenyum. “Gue juga...,” ucapnya senang.
Wajah Ari mulai mendekat dengan wajah Tari. Mata Tari langsung terpejam rapat. Tangan Ari mengangkat dagu Tari mendekat. Lalu Tari merasakan bibirnya di sentuh oleh bibir Ari. Rasa hangat langsung Tari rasakan di sekujur tubuhnya dan Tari yakin wajahnya sudah merah merona.
Matahari terbenam. Memunculkan warna-warna indah dilangit. Melukiskan sejuat perasaan yang berada di dalam kedua orang yang tengah duduk di saung itu. Tangan Ari merangkul Tari, sementara tangan Tari melingkar di pinggang Ari. Keduanya menatap ke arah yang sama. Ke arah matahari terbenam. Ini lah satu keindahan alam yang menyatukan keduanya.
***
“Gue rasa... usaha kita berhasil untuk menghasut Ari.”
“Kita nggak menghasut Ari, tapi kita bohongin Ari. Kita kan bilang kalo Tari sekarang mau coba bunuh diri...,” ralat Vero merubah kata-kata Angga.
“Ide siapa sih?” Ridho melirik ke semua orang yang ada di sekelilingnya. “Gila banget! Si Ari sampe pucet gitu pas tau,” ucapnya sambil tersenyum geli. “Tapi... tadi gue ngira si Tari juga bakal bunuh diri. Soalnya dia keliatan putus asa banget!”
Oji nyengir, “gue sama cewek gue dong!” ucapnya bangga. Tangan kanannya merangkul pundak Fio.
Cewek itu langsung melotot tajam, “apa? Cewek lo? Ngarep banget lo!” di pukulnya kepala Oji pelan dengan buku yang di pegangnya.
“Ya ampun, cintaku! Jahat banget sih!” Oji langsung manyun. Tangannya yang bebas mengelus-elus kepalanya yang sebenarnya nggak sakit. “Nah, Dho. Gue kan udah sama Fio nih. Si Bos juga udah dapet mataharinya. Lo mau sama siapa? Lo doang yang jomblo lho!” kepala Oji dijitak lagi sama Fio, tapi Oji nggak peduli.
“Si Angga sama si Ata juga jomblo!” ralat Ridho kesal.
“Oh tidak bisa! Angga sama Vero aja. Jadi... elo sisa aja yak!” ucapnya dengan seringai geli. “Elo sama... Ata!”

“APA???” seru kedua orang itu dengan mata yang terbelalak lebar.


You may also like

5 komentar:

  1. Diawal ceritanya belibet kaya dulu"an gitu tapi lambat laun keliatan apa yg mau disampaikan. Alurnya unik krna saat masalah kelar timbul masalah baru lagi dan untuk endingnya bikin galau haha. So far ceritanya keren banget. Masih ga nyangka ternyata ridho endingnya sama ata

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Ao Haru Ride

Ao Haru Ride

Daftar Blog Saya

Advertisement

Facebook

Instagram