Love Song 7

2 Comments
Sekarang, Mentari menatap ke depan. Yah, ke arah Ata. Bukan waktunya untuk menginginkan apa yang ada di dalam hatinya. Karena itu tidak mungkin. Sesuatu yang sangat tidak mungkin untuk keduanya.

Apa yang Mentari lakukan? Ia telah mendapatkan apa yang ia inginkan dulu. Bahkan ia sempat merasa hampa saat mengetahui teman kecilnya sudah memiliki “matahari” lain, bukan dirinya. Kenapa Mentari tidak mensyukuri semuanya?

Setelah apa yang ia inginkan menjadi miliknya?

Terlalu egoiskah dirinya? Atau memang waktu yang memaksanya untuk bersikap egois.

“Kamu kenapa, Tar?”

Mentari langsung menyadarkan dirinya. “Ah, iya? Kenapa, Ta?”

“Aku tanya, kamu kenapa? Bukan aku...” Kedua tangan Ata memegang wajah Mentari.

Ia terdiam. Bola matanya menatap lurus ke arah bola mata Ata. Lalu ia tersnyum dan menggeleng. “Enggak, Ta. Aku cuma ingin bersyukur.”

“Bersyukur?” Ata jadi bingung.

“Karena aku bisa milikin kamu. Itu sesuatu yang mungkin aku nggak sadari.”

Ata tersenyum lalu memeluk Mentari, dan Mentari membalas pelukannya dengan hangat.

Kali ini, ia mencoba mengikhlaskan semua yang sudah terjadi. Begini lebih baik, daripada melukai hati orang lain bahkan Fio, teman kecilnya.

“Aku sayang kamu, Tar.”

“Aku juga...”

***

“Rhaujiii...”

Hera berlari kecil ke arah Oji yang sedang membaca isi mading.

“Eh, hai Hera...” Oji menoleh dan tersenyum pada cewek itu.

“Lagi ngapain?”

“Cuma liat-liat aja kok, Ra. Kamu tumben baru keliatan? Kemana aja?”

“Oh...” Hera terdiam. “Nggak kemana-kemana kok, Ji. Aku lagi males keluar, jadi aku di apartemen terus.”

“Sebentar ya, Ra. Aku mau ke Ridho dulu. Mau ambil pesenanku. Sebentar kok, nanti aku balik ke sini lagi!” katanya.

Hera mengangguk. Sementara Oji sudah pergi dan menghilang di ujung koridor.

“Kemaren-kemaren elo males keluar?”

Hera menoleh kaget saat Ari sudah ada di sebelahnya sambil mengatakan hal itu. Apa Ari tau sesuatu???

“Iya.”

“Atau elo takut ketauan karena udah bikin temen lo hampir kecelakaan?”

“Maksud kamu apa, Ri? Aku nggak ngerti,” Hera merasa tubuhnya panas dingin. Ia merasa Ari benar-benar tahu sesuatu.

“Nggak usah pura-pura bego deh, Ra! Gue tau, elo yang bikin Mentari hampir aja ketabrak kan, waktu itu!? Gue tau elo nggak suka kalo Mentari deket-deket sama Oji? Tapi seharusnya elo liat kenyataan!”

“Tapi aku...”

Saat itu Oji sudah kembali, namun saat ia melihat Hera sedang berbicara dengan Ari, ia lebih memilih untuk mendengarkannya di balik dinding.

“Mentari menganggap Oji hanya sebatas teman! Dan elo harus tau, kalo elo nggak suka Mentari deket-deket sama Oji, elo bilang baik-baik sama dia! Lagi pula Oji udah punya pacar! Dan dia Fio.”

Oji masih mendengarkannya di balik dinding. Satu kenyataan yang membuatnya terdiam lebih lama di balik dinding itu. Bahwa Mentari hanya menganggapnya sebatas teman!

“Ari... aku...”

“Gue nggak nyangka elo jadi temen yang begitu kejam! Gue tau kok, elo bohong kan tentang penculikan itu. Bukan Mentari yang nyulik elo. Sekarang gue baru tau, elo adalah cewek jahat! Elo tau, kalo Oji bisa milih, itu Mentari atau Fio. Keduanya cewek baik!” Ari menatap Hera tepat di manik matanya. “Inget itu, Ra!”

Kemudian Ari langsung berbalik badan dan pergi meninggalkan Hera yang masih tercengang atas kedatangan cowok itu. Ari benar-benar tau sesuatu tentang dirinya dan tentang apa yang ia lakukan.

“Hera! Udah lama nunggu?” Oji keluar dari persembunyiannya di balik dinding.

“Eh...” Hera langsung tergeragap. Bingung akan melakukan apa. “Eng... enggak kok, Ji.”

“Habis ngobrol apa sama Ari?”

Telak! Hera langsung terdiam membisu akibat pertanyaan itu. Ia tak mungkin mengungkapkan semuanya pada Oji. Itu terlalu berbahaya untuk dirinya.

“Emmm... dia cuma nanyain kabar aku aja kok. Soalnya dia jarang liat aku,” ungkapnya berbohong.

“Ooh!”

Hanya itu tanggapan Oji, karena Oji tahu jelas kalau Hera sedang berbohong dan itu menambah keyakinannya kalau bukan Mentari yang melakukan penculikan itu.

Ia harus meyakinkan Mentari baik-baik saja. Karena mungkin Mentari akan dicelakai Hera atau orang lain yang mungkin membencinya.

***

“Mentari!” Oji memanggil Mentari dari kejauhan.

Yang di panggil langsung menoleh. Saat Oji tersenyum, Mentari membalasnya dengan senyuman juga. Dengan cepat, Oji menghampiri Mentari yang masih berdiri di dekat pohon.

“Hei!” sapa Oji agak gugup. “Apa kabar?”

Mentari langsung tertawa cekikian. “Baik,” katanya sambil tersenyum geli. “Heran deh, tiap hari kita ketemu tapi elo masih aja nanya kabar gue gimana. Padahal elo tau kalo gue baik-baik aja.”

Oji langsung terdiam. Malu.

“Emmm... gue kan pingin tau aja keadaan lo. Bukan secara fisik aja, tapi secara perasaan elo juga.”

Tanpa sadar Oji malah mengatakan apa yang seharusnya tidak ia katakan. Karena itu membuat Mentari goyah dan terdiam beberapa saat sebelum menjawab.

“Gue baik-baik aja, Ji. Secara fisik dan perasaan. Gue selalu baik-baik aja.”

“Yakin?”

“Ya iyalah...”

“Lo belom baikan sama Hera?”

“Ya begitulah,” Mentari mengangkat bahunya. “Dia nggak mau kasih gue penjelasan dan nggak mau percaya kalo bukan gue yang nyulik dia.”

“Dia terlalu jahat buat elo, Tar.”

“Maksud lo?” Mata Mentari mendelik. Perasaannya terpancing. Marah. Jelas, Hera kan teman baiknya selama ia tinggal di Korea dan rela pindah negara hanya untuk menemani Mentari yang kesepian. Dan haus akan kasih sayang.

“Elo emang nggak tau apa pura-pura nggak tau?”

Mentari jelas nggak ngerti maksud Oji. Tiba-tiba bilang kalau Hera terlalu jahat untuk dirinya. Padahal dia yang awalnya jahat pada Hera karena sudah berani-beraninya mencari tahu tentang masalah keluarganya.

“Tar,”

“Hmmm...”

“Jawab!”

“Gue nggak ngerti. Sumpah!”

“Dia yang hampir nabrak elo waktu elo lagi nunggu Ata jemput elo di depan kampus.”

“Ha? Kok elo tau tentang kejadian gue hampir di tabrak? Siapa yang kasih tau?”

Mentari heran. Dia selalu tutup mulut terhadap masalah-masalah seperti itu. Masalah kecil baginya. Dan dia juga percaya kalau Ari orangnya nggak ember. Tau sendirilah kalau cowok, apalagi cowok macam Ari. Yang pertama kali ia lihat adalah kelembutan.

“Gue nggak sengaja denger percakapan Hera.”

“Gue nggak percaya.” Mentari geleng-geleng kepala.

“Tapi itu nyata, Tar!” Oji bersikeras agar Mentari dapat memercayainya.

“Udah! Gue juga nggak peduli sama masalah itu. Udah lewat, Ji. Sekarang yang terbaik, elo urusin urusan elo dengan Fio dan urusan gue dengan Ata. Kita jalan sendiri-sendiri!”

Oji terdiam. Tetap mendengarkan apa yang di katakan oleh Mentari.

“Gue tau, perasaan ini nggak akan mungkin pernah bisa menyatu.”

***

“Mau es krim?”

“Enggak.”

“Mau coklat?”

“Enggak.”

“Trus kamu maunya apa?”

“Kamu...”

Mentari langsung mencubitr lengan Ata dengan genit. “Nggak usah gombal deh!”

“Jadi nggak mau di gombalin nih sama aku? Ooh, aku maunya di gombalin sama si Ari?” Ata terkekeh geli.

“Udah deh, waktu itu kan aku nggak tau kalo itu sodara kembar kamu. Dan anggap dia teman kecil aku yang udah bikin janji sama aku.”

“Gantengan mana aku sama Ari?”

Mentari bengong.

“Pertanyaaan kamu aneh deh. Kamu kan kembar sama Ari. Muka kamu sama. Jadi, bedain gantengnya gimana?” Bola mata Mentari membesar. “Sebenernya yang bloon siapa sih!?”

“Kamu ngatain aku bloon?”

“Enggak. Cuma... bego!”

Dengan gerakan cepat Ata mencium pipi kanan Mentari.

“Ata...” desis Mentari sambil mengusap-usap pipinya.

“Sekali lagi kamu katain aku bego, aku bakal cium bibir kamu.”

“Di depan semua orang?” Mata Mentari membulat. “Enggak ah!”

“Jadi maunya di tempat sepi? Oke deh!” Ata menyeringai nakal.

“Iih, aku kan bercanda ngatain kamu bego. Kamu nggak bego kok, cuma... cara pikir kamu itu aneh!”

“Duh, yang dewasa. Aku ngaku kalah deh...” Ata mencubit pipi Mentari dengan gemas.

“Iih, nggak usah pake cubit-cubit deh!”

“Itu kan tanda sayang...”

Gantian Mentari mencubit pipi Ata. Kalo Mentari nyubit orang, pasti pake tenaga kuli. “ARGH!” Ata menjerit. “Sakit, tau!”

“Itu kan tanda sayang...” Mentari tersenyum meledek.

***

Dari balik kaca, meskipun jaraknya agak jauh, Oji masih bisa melihat kemesraan di antara Ata dan Mentari. Dua orang yang kini benar-benar terlihat serasi di matanya. Dia mengakui, ada luapan marah. Luapan yang tak bisa ia keluarkan begitu saja di hadapan Mentari dan Ata.

Respon yang di terima pasti adalah penolakan. Penolakan tajam yang sangat pahit untuk Oji. Untuk semua luapan marahnya.

Pintu toko roti itu terbuka. Dan keluarlah sosok Fio yang mengenakan dress selutut dengan warna biru. Ia tersenyum gembira ke arah Oji sambil menenteng bungkusan yang berisi roti.
Fio membuka pintu mobil.

“Aku beliin kamu roti rasa cokelat, dan Chocolate panas.” Fio tersenyum sambil membukakan pintu.
“Makasih, Fi.”

Sekarang, keadaan memang benar-benar sangat berubah. Hubungan Oji yang sekarang mungkin lebih agak melembut karena sebelumnya, Oji masih tidak bisa menerimanya. Hanya bisa menerima Fio karna kasihan.

“Nanti kita lihat sunset bareng di danau? Ya, kan?”

Oji terdiam. Sunset itu biasanya ia lihat bersama Mentari. Paling tidak, kalau bukan Mentari, ia masih bisa melihatnya bersama Ridho atau Ari. Apalagi Ari yang penggila sunset. Sesuai dengan namanya.

“Oke!” Oji tersenyum. Senyum yang di paksakan.

“Oji...”

“Ya?”

“Elo masih kayak dulu kan?”

Oji tahu pertanyaan itu membunuh. Pertanyaan yang setiap kali ia dengar, ia takkan bisa menjawabnya. Karena sebenarnya, hatinya sudah berlabuh pada Mentari. Sosok yang ada saat Fio mencampakkannya.

“Masih kok, Fi.”

Dan Fio tersenyum senang dan menang!

***

Mentari membuka pintu rumahnya dengan perasaan kacau balau. Suara pecahan barang-barang beling terdengar nyaring sampai ada suara yang membuat Mentari terdiam membeku.

Di dekat pagar masih ada Ata yang sedang menunggunya untuk masuk. Saat Mentari menoleh, Ata hanya dapat tersenyum sarat pengertian.

“Kalian mau sampai kapan begini?” Suara Tante Lidya membuat Mentari dan Ata juga terdiam. “Kasihan Mentari. Dan sampai kapan kalian mau sembunyiin tentang status Mentari kalau Mentari bukanlah anak kandung ayahnya.”

Kedua tangan Mentari menutupi setengah wajahnya. Air mata tak tertahankan itu langsung tumpah. Tanpa menunggu semua terkuak.

Ata berdiri mematung di pinggi mobil Everestnya. Mobil yang Ari bagi dengannya. Bahkan Ata tak tahu tentang pertengkaran kedua orang tua Mentari. Ia hanya tahu Mentari selama ini baik-baik saja tanpa ada masalah.

Yang membuatnya lebih kaget adalah suara Tante Lidya disana. Entah untuk apa ia disana, mungkin untuk menyelesaikan semua yang terjadi.

“Untuk apa kalian bertengkar terlalu lama? Ini sudah bertahun-tahun. Kalian tahu, Cinta memang di takdirkan untuk tidak hidup lebih lama.”

Ata yang mendengar setiap perkataan itu mulai mendekati Mentari. Dan saat ia lihat cewek itu sedang menahan isak tangis yang memburu.

“Cinta... siapa?” Ata bertanya pelan.

“Dia...” Mentari terdiam di tengah-tengah isakan tangisnya. “Adik aku yang udah meninggal...”

Ata diam.

“Dia selingkuh, Lid!” Suara Ayah Mentari terdengar lantang.

“Masih persoalan yang dulu? Kenapa? Kenapa masih kamu ungkit, padahal di kedua belah pihak udah setuju untuk tidak mempermasalahkan ini lagi!”

Yang paling menyakitkan telinga Mentari adalah saat mamanya menangis menangis tersedu-sedu.

“Kasihan Mentari nggak tau kalo dia punya saudara lain. Meskipun enggak satu keluarga.”

Ata merengkuh Mentari ke dalam pelukan. Membuat cewek itu merasa lebih tenang.

“Bisa anterin aku masuk?”

Ata menatapnya bingung.

“Aku takut nggak kuat saat aku masuk dan melihat Mama dalam keadaan kacau. Dan Papa marah-marah.”

Ata terdiam, lalu mengangguk.

Dengan perlahan, Ata membuka pintu yang satunya lagi sehingga terbuka lebar. Dan saat kedua sampai di ruang tamu, mereka medengar hal yang tak pernah mereka inginkan.

“Kalo begini terus, Mentari nggak akan tahu kalau...”


You may also like

2 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Ao Haru Ride

Ao Haru Ride

Daftar Blog Saya

Advertisement

Facebook

Instagram