Love Song 6

0 Comments
Semakin lama, semakin gaje... Biarkanlah #loh? hahaha


“Maafin aku ya, Tar...” Ata menggenggam tangan Mentari erat dengan tatapan dalam kasih sayang.

Mentari tersenyum. “Nggak apa-apa, Ta. Mungkin emang seharusnya kamu percaya temen-temen kamu daripada aku. Aku baru di kehidupan kamu...”

“Tapi aku udah kenal kamu dari kecil...”

“Tapi aku juga baru masuk ke dalam kehidupan kamu lagi. Aku pernah pergi, Ta. Apa kamu nggak takut ada yang berubah dari aku?”

“Apapun yang berubah dari diri kamu, aku percaya perasaan kamu enggak.”

Mentari terdiam. Entah kenapa dengan perasaannya sekarang. Berbeda jauh saat ia menantikan bertemunya ia kembali dengan sosok Ata. Berbeda jauh saat ia mengucapkan janji saat itu. Saat ia belum bertemu dengan Ata kembali.

“Jadi, apapun yang orang lain katakan, aku nggak akan percaya sebelum melihat sendiri!” tandasnya dengan mata yang berkilat penuh keyakinan.

***

“Udah baikan sama Ata?” tanya Ari yang sedang membantu Tari menyelesaikan tugas kimianya.

“Kita nggak marahan...” ucap Mentari.

“Kemaren elo ngapain pergi-pergi? Itu namanya apa? Marah? Sebel? Jengkel? Atau apa???” Alisnya terangkat sebelah.

“Itu namanya gue nggak kuat ngedengerin temen lo yang satu itu ngomong!” tandas Mentari. “Masuk ke hati, tau!”

“Gue percaya kok, kalo elo nggak...”

“Enggak apa?”

“Enggak ngelakuin itu lah... masa gue nggak percaya kalo elo cowok... eh... cewek!”

“Dih... pingin di hajar ya lo? Maksud lo apa?”

“Lagian jadi cewek manis dikit napa, Men. Kayak cewek gue...” Ari merangkul Tari yang langsung mengernyitkan keningnya. “Serba oranyeee...”

“Gue juga serba iteeemmmm...” Mentari nggak mau kalah!

“Tapi elo keliatan kayak cowok, tau!” ucap Ari. “Liat deh, masa cewek rok satu-pun nggak punya! Dasar cowok.. eehhh...”

Mentari langsung menjewer telinga Ari. “Apa maksud elo??? Menghina gueee???”

Tari malah ketawa ngikik. Apalagi melihat Ari meringis kesakitan karna di jewer sama Mentari.

“Tari, elo bantuin gue kek! Belain gue kek!” ucap Ari kesal.

“Males ah!” ucap Tari. “Tau nggak? kalian itu kayak kakak-adik yang lagi berantem. Hahahaha...”

Keduanya langsung berhenti bertengkar dan memandang satu sama lain. Lalu dengan serempak mereka katakan... “AMIT-AMIT DEH!”

***

Lagi-lagi nungguin Ata dulu di dekat gerbang kampus. Sudah sore pula! Kali ini Oji nggak mungkin muncul sebagai tukang ojek lagi, soalnya tadi Mentari melihat Oji sudah pulang duluan. Aktifitas barunya semenjak resmi jadi ceweknya Fio.

Kalau bukan untuk menghargai Ata, Mentari sudah naik taksi atau ojek atau becak juga boleh, yang penting langsung pulang deh! Capek banget dengan materi yang di kasih dosen tadi. Bikin mau muntah.

Mentari memang cukup pintar, sayangnya dia kalau sudah tidak ada mood, sori-sori saja buat dosen yang akan ngasih materi panjang lebar. Terutama kalau disuruh nulis dan itu dosen nge-dikte-in! Bisa-bisa Mentari langsung keluar kelas, dan ngebolos seenak jidatnya.

TIN... TIN... TIN... TIN...

Mentari menoleh ke belakang, ada mobil, ia langsung meminggirkan badannya.

TIN... TIN... TIN...

Perasaan Mentari udah geser badan deh!? Ya udah lah, Mentari geser lagi posisinya.

TIN... TIN... TIN...

Emang minta di ajak ribut ya itu mobil! Udah minggir beberapa kali masih aja di klakson! Kurang ajar! Mentari menoleh dan...

“MENTARI, AWAS!!!”

Mentari tergeletak di tanah dengan tubuh seseorang yang menindihnya dari atas. Sedangkan mobil itu sudah melaju dengan kencang. Sepertinya mobil itu memang sengaja ingin mencelakai Mentari.

“Lo nggak apa-apa?”

Mentari membuka matanya perlahan. “He? Gue masih idup?”

Orang yang menyelamatkan Mentari itu langsung menoyor kepala Mentari. “Ya iyalah, bego! Kan udah gue tolongin!” cibirnya.

Mentari langsung menoleh. “Ari?” gumamnya tanpa sadar.

“Iya, kenapa gue? Nggak bilang makasih nih? Udah gue tolongin juga...”

Berarti tebakannya nggak salah! Untung tadi dia nggak bilang kalau itu Ata, perbedaan yang mulai terlihat dari fisik mereka berdua membuat Mentari dapat membedakannya sekarang.

“Makasih ye, adik!” katanya dengan mengusap-usap rambut Ari.

“Dih... emang gue mau jadi adik lo? Emangnya elo bakal nikah sama Ata gitu?” Ari malah ngawur kemana-mana.

Belum sempat Mentari memberikan tanggapan Ari yang ngawur itu, ponselnya berbunyi keras. Ia kira itu Ata, jadi langsung angkat saja meskipun itu dari private number.

“Halo...”

“Ini belum seberapa...”

“Ha?”

“Ini belum seberapa atas tindakan lo...”

Ari yang ikut penasaran langsung mengambil ponsel yang tadinya di pegang Mentari. Ia loadspeaker hubungan itu. Pasti Ata mau ngomong romantis-romantisan, pikirnya.

“Ini belum seberapa, Mentari. Kejadian tadi cuma untuk sebagian kecil akibat yang elo lakuin. Gue peringatin, semakin elo deket sama Oji, semakin elo mencari mati!”

TUT!

Ponsel mati.

“Men...” Ari menoleh ke arah Mentari yang kini sedang duduk menyender ke pohon dengan wajah pucat dan juga tatapan kosong.

Ari mengerti. Walaupun Ridho atau yang lainnya mengatakan cewek ini jahat, cewek ini tak mungkin sejahat yang mereka katakan. Ari yakin, cewek ini sedang dalam bahaya.

“Men...”

“Gue nggak tau! Gue nggak tau apa-apa!”

“Men...”

“Ya Tuhan!” Mentari menutupi wajahnya.

Ari merangkul Mentari. “Udah, Tar. Gue tau elo nggak tau apa-apa. Gue juga yakin kok kalo yang nyulik Hera bukan lo. Gue yakin sama lo sepenuhnya!” tandas Ari yakin.

“Apa salah gue?? Gue nggak tau apa-apa. Gue cuma temenan sama Oji. Gue nggak nyulik Hera. Gue nggak dendam sama siapapun. Gue kehilangan adik gue. Gue kehilangan rasa kekeluargaan gue. Gue...”

“Sssttt... udah. Jangan dipikirin lagi, Tar. Gue ngerti perasaan lo.”

Entah mengapa, panggilan “Tar” lebih menyejukan di hati Mentari. Dan Ari berarti sedang serius sekarang!

***

“Kalo aja waktu itu gue percayain hati gue buat liat elo, mungkin dulu gue nggak kehilangan elo.” Fio memeluk Oji dari samping. “Cowok itu emang brengsek! Masa dia cuma mainin gue doang!”

“Udah! Nggak usah di inget lagi...” Oji mengelus-elus rambut Fio. Lalu mencium puncak kepalanya sambil menatap ke arah tumbuhan yang tertanam rapi di depannya.

“Elo beneran sayang gue kan, Ji?” tanyanya menatap ke arah Oji.

Oji diam. Tatapan matanya kosong. “Kalo gue nggak sayang sama lo, gue nggak mungkin mau terima elo lagi setelah caci maki itu.” Katanya dengan tatapan yang masih kosong dan terus kosong sampai keduanya pulang.

***

“Sepertinya pekerjaan tu cewek bagus, Bos!” ucap seorang pengawal kepada bos-nya yang sedang menatap ke arah jendela markas.

“Dia emang harus kerja bagus. Kalo enggak, gue mesti nyuruh elo semua buat nangkep dia dan meringatin dia.”

“Tapi, Bos, apa nggak bahaya? Dia udah tau siapa bos sebenarnya...”

“Buat apa? kalo sampe dia ngadu, tinggal gue giring aja ke sini. Dan gue yakin, nggak ada satupun orang yang akan percaya tentang apa yang Hera katakan tentang gue...”

“Sekarang tugas kita apa?”

“Nggak ada. Elo udah nyuruh seorang cewek buat nelfon dia atas kejadian kemarin kan?”

“Udah, Bos.”

“Bagus!”

“Tapi dia diselametin cowok yang kembar itu, Bos. Apa nggak apa-apa?”

“Tenang. Itu malah bagus, ngebuat Mentari Theresia berpikir ulang untuk mendekati Rhauji.” Orang itu terseyum licik dan sinis.

***

Sekarang, Mentari memandang langit gelap itu lagi. Namun dengan perasaan yang berbeda dengan yang ia rasakan dulu, sayangnya dengan suasana yang sama. Papa dan Mama yang masih bertengkar dengan dua alasan. Yang pertama karena kematian adiknya, Cinta. Dan yang kedua, Mentari tidak tahu jelas tentang itu. Tante Lidya ingin memberitahukannya pada Mentari, tapi Mentari sedang tidak ingin mendengar alasan itu.

Karena Mentari yakin, alasan yang kedua adalah alasan yang paling utama hingga mereka bertengkar. Dan itu pasti suatu kenyataan.

“Aneh!” runtuknya lebih kepada hatinya sekarang. “Kenapa gue beginiii!???” Menatri menggeleng-gelengkan kepalanya. “Inget Ata! INGETTT!?” ucapnya kepada dirinya sendiri. “Inget Fio? Tau Fio siapa kan? Selain dia pacarnya dia, Fio juga temen lo Mentariiii….”

“Kalau bukan karena kamu! Aku nggak akan marah-marah!”

Lagi? keluh Mentari. Akhirnya ia memutuskan untuk tidur saja. Ia pejamkan mata dan mulai tidur.

“Apa karena kamu minta maaf sama aku, itu ngerubah kenyataan kalau Mentari bukan anak kandung aku!? Ha? Dan bisa membuat Cinta yang sudah tidak ada, hidup lagi!???”

Mentari membuka matanya lagi. Sepertinya ia tidak bisa tidur malam ini. Karena setiap papanya mengatakan itu, ia pasti bermimpi buruk.

***

Baru beberapa langkah saja, Fio mengeluh kelelahan keliling Ragunan. Oji bukannya nggak perhatian dengan gendong-gendong Fio. Tapi, masa dia gendongin Fio di depan banyak orang sih!? Menjadi pusat perhatian orang gitu!?

“Udah, istirahat dulu yuk!” kata Oji menawarkan duduk di bawah pohon yang masih rimbun.

“Tapi gue mau terus liat-liat...” Fio keukeuh nggak mau berhenti. Udah tau itu tandanya cewek minta di gendong! Malah di ajak duduk di bawah pohon, lagi! Bikin bete aja.

“Katanya elo capek, Fi. Mendingan kita istirahat daripada elo pingsan nanti!”
Nah! Ini dia, ide cemerlang langsung muncul di kepala Fio.

“Gue baik-baik aja kok! Nggak bakal pingsan!” katanya dengan wajah yang langsung memancarkan semangat.

“Tapi elo bilang capek kan!?” Oji jadi bingung sendiri.

“Udah enggak kok! Elo ngajak ngobrol gue sih, Sayanggg. Jadi guenya semangat lagi! Dan nggak bete diem-dieman mulu dari tadi.” Katanya dengan gerlingan nakal.

Oji agak geli ngedenger panggilan itu. “Ya udah. Lanjut nih?” tanyanya pada Fio dan di jawab dengan anggukan kepala Fio. “Sip deh!”

Baru saja satu belokan mereka berjalan, Oji langsung was-was pas liat Fio jalannya agak miring. Seperti orang yang mau pingsan.

“Gue kok...”

BRUKKK!

Dengan sigap Oji langsung menahan tubuh Fio agar tidak jatuh ke tanah. Kekhawatirannya ternyata benar. Fio pingsan! Ini nih yang bikin Oji paling males kalau jalan berdua. Kalau situasinya begini gimana?

Kalau perasaan yang dulu masih sama, mungkin Oji langsung kaget dan cepat-cepat menyelematkan Fio. Menggendongnya lalu menungguinya dengan sabar hingga sadar.

Sayangnya, sekarang untuk menggendong saja malas. Apalagi sampai menungguinya dengan sabar dan setia!

“Fi...” Oji agak mengoyangkan tubuh Fio sedikit. Tapi Fio tidak memberikan reaksi. Terpaksa Oji harus menggendongnya dan cepat membawanya ke tempat terdekat. Ingat ya, TERPAKSA!?

Setelah mendapatkan tempat nyaman untuk Fio di sebuah ruangan terdekat yang diberi tahukan oleh seorang penjaga, Oji langsung menelpon seseorang untuk membantunya. Males juga kali nunggu sendirian, bete!

“Tar, elo dimana?”

Anehnya, malah Mentari yang dia telfon. Bukan Hera, Tari, Ari, Ridho atau Ata gitu. Pikiran utamanya langsung ke cewek itu.

“Di kampus. Kenapa, Ji?”

“Ke Ragunan ya?”

“Ngapain? Nyamain muka sama sodara lo? Gue sih mukanya nggak sama ya!”

“Duh! Ngaco banget sih lo!” Oji jadi kesal. “Fio pingsan nih! Keadaaan gawat. Gue mau cepet-cepet bawa dia pulang.”

“Nanti juga sadar sendiri, Ji. Kasih aja minyak kayu putih supaya cepet sadar!”

“Kok bego sih lo!? Gue bilang kan gue mau pulang cepet-cepet. Kasian dia juga kali, kelamaan disini. Tempatnya itu lho...”

“Ya udah, entar gue nyuruh si Ari dateng.”

“Gue kan nelfonnya elo! Jadi gue maunya elo!”

“Dih, guenya nggak mau. Kenapa gue? Ari aja sono. Atau gue telfon Tari atau Ata?”

“Gue bilangnya mau sama elo. Ya sama elo!” Oji ngomel.

“Tapi guenya nggak mau, Ji! Malesss...”

“Dasar bawel! Cerewet! Dasar cewek! Buruan kesini. Titik! Nggak pake koma apalagi tanda tanya!” Oji langsung mematikan ponselnya.

Tidak lama kemudian, Mentari datang dengan kepalanya yang celingukan ke kanan dan ke kiri. Mencari sosok Oji.

Mengetahui itu, Fio yang pura-pura pingsan langsung bete! Dan buru-buru sadar. Kenapa harus bawa-bawa cewek lain sih!?

“Oji!” seru Mentari menghampiri Oji yang sedari tadi duduk sambil memandang ke luar. Oji yang di panggil langsung menoleh.

“Kak Oji, aku dimanaaa?”

Perhatian Oji yang tadinya ke arah Mentari langsung berpindah ke arah Fio yang ternyata sudah sadar.

“Di ruangan semacam UKS gitu, Fi. Elo udah sadar?”

Fio mengangguk pelan dan menunjukkan wajah letihnya. “Kak, kita pulang yuk?”

“Eh, Fi, udah sadar? Tuh kan, Ji, kasih minyak kayu putih pasti langsung sadar!” kata Mentari.

Fio melirik sinis lewat ujung matanya. “Kakak sayanggg, pulang yuk!?” ajaknya dengan manja.

“Iya, Fi. Kamu minum teh anget dulu nih!” Oji memberikan segelas teh hangat yang tadi di dapatnya oleh seorang petugas.

Fio menegaknya sampai habis. “Kak, gue pingin denger elo ngomong “sayang” ke gue sekaliii aja. Biar gue cepet sembuh dan kita pulang!”

“Ha? Enggak ah!”

“Kenapa? Elo nggak sayang gue? Kalo gitu gue nggak mau pulang!”

Pasti gara-gara ada Mentari di sini, jadi Oji nggak mau Fio suruh panggil sayang.
Oji sempat melirik Mentari yang sedang menatapnya dengan wajah datar. Lalu cewek itu memalingkan wajahnya untuk tidak melihat wajah Oji.

“Iya, Sayanggg. Kita pulang ya?”

“Sekaliii lagiii... yang kenceng!”

“Oke, Sayanggg. Kita pulang ya, Fio Sayanggg!”

Mentari diam, sementara Fio tersenyum puas sambil menggandeng Oji keluar dari sana.

***

Sialnya Mentari tadi ke sana pakai taksi, sehingga Oji memaksanya untuk ikut ke dalam mobilnya. Yeah, Oji terpaksa bawa mobil karena Fio ngomel-ngomel nggak mau kena sinar matahari. Itu maksudnya apa!?

Setelah mengantarkan Fio, tinggal Oji dan Mentari yang ada di dalam mobil. Oji memaksa Mentari pindah ke depan, biar nggak terkesan seperti supir. Tadinya Mentari nggak mau, tapi karena langsung di sinisin sama Oji, akhirnya dia nurut juga.

“Jangan pulang dulu ya!” kata Oji pada Mentari.

“Kenapa? Gue jalan kaki aja deh, Ji. Deket kok dari rumah Fio.”

“Gue nggak mau elo pulang, Tar!” tandasnya.

“Kenapa?”

“Temenin gue. Gue mau liat matahari terbenam bareng elo di danau. Kayak dulu...” katanya sambil menggenggam tangan Mentari erat.

Mentari melirik tangannya yang di genggam oleh Oji. Ia tersenyum dalam hati. Seperti ada sengatan lebah di hatinya. Ia merasa sangat senang! Sayangnya ia nggak bisa munculkan itu di wajahnya.

“Ji...”

“Tar, seandainya keadaan yang sekarang berbeda.”

Alis Mentari menyatu. “Maksudnya?”

“Elo nggak sama Ata dan gue nggak sama Fio. Mungkin lebih baik...” ucapnya pahit.

“Ji...”

“Lupain aja, Tar! Gue tau kok elo suka sama Ata. Suka banget. Karena kalian temen kecil...” katanya mulai menyalakan mesin mobilnya.

Gue juga suka elo, Ji. Gue suka. Asal elo tau, gue nggak punya perasaan apa-apa sama Ata lagi. Udah beda, Ji! teriaknya dalam hati. Ia tak mungkin bisa mengungkapkan itu pada Oji. Tidak akan pernah mungkin.

Jadi Mentari hanya bisa tersenyum pahit dan ikut terdiam dalam keheningan yang mulai merambat ke hatinya juga. “Elo salah,” gumamnya pelan. Bahkan mungkin tak mungkin dapat Oji dengar. Suaranya selirih angin yang berhembus.


You may also like

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Ao Haru Ride

Ao Haru Ride

Daftar Blog Saya

Advertisement

Facebook

Instagram