Love Song 3

0 Comments
“Lo baru dateng?” tanya Oji saat Ari baru datang.

“Iya... tadi gue adu ngomong dulu sama Ata. Dia kan kuliahnya agak jauh, gue suruh bawa mobil, eh dia ngotot pingin bawa motor. Trus, gue salahin dia karna nggak mau satu kampus sama gue, eh dia bilang nanti orang-orang salah manggil.”

“He?” Oji jadi bingung sendiri. “Oh ya, elo kenal Mentari nggak?”

“Ha?” Ari mengerutkan keningnya. “Mentari? Tari maksud lo? Jingga Matahari?”

“Bukan,” Oji menggeleng. “Mentari, yang kemaren berantem sama gue.”

“Yang mana? Yang marah-marah sama si Hera?” Oji mengangguk. “Mana gue tau, liat
wajahnya aja belom.” Ari menggedikkan bahunya.

“Elo punya kenalan yang namanya Mentari?” Oji tetap ingin berusaha mendapatkan informasi.

Ari terlihat memikirkan sesuatu. “Oh... kayaknya pernah. Waktu gue masih kecil. Dia tetangga gue. Kenapa emang?”

“Dia pindah atau tetep masih tinggal disitu?”

“Mana gue tau. Lha gue kan bukan nyokap-bokapnya.” Ari bersikap acuh tak acuh. Lalu duduk disebelah Oji sambil menepuk pundak Oji pelan. “Hati-hati ya, Ji. Benci bisa jadi cinta.”

“Heee?”

***

Oji berjalan menyusuri taman dengan Hera disampingnya. Keduanya memang sedang menikamti indahnya suasana sore di taman ini. Katanya, taman ini terkenal dengan keindahannya pada saat sore hari.

“Makasih ya, karena kamu, aku jadi terbiasa disini...” kata Hera tulus. Ia tersenyum manis ke arah Oji, lalu tangannya meraih tangan Oji. Menggandengnya.

Oji sempat melirik ke arah tangan yang kini tergenggam. Ia memang tersenyum, tapi entah mengapa hatinya tidak. Dia merasa nyaman disebelah Hera, tapi tidak lebih dari seorang teman.

“Kamu tau, kenapa Mentari semarah itu sama kamu?” tanya Oji mengalihkan pembicaraan.

“Aku tau jelas...” ucapnya pelan. “Aku memang salah, mencoba mencari tahu tentang masalahnya, padahal dia sudah melarangku untuk ikut campur. Dan pada saat aku tahu, dia marah besar!”

“Masalah apa?”

“Kalau aku kasih tau kamu, dia pasti tambah marah sama aku.”

“Tentang pacarnya? Temannya? Atau bagaimana?”

“Jangan paksa aku, Ji.”

“Keluarga ya? Iya kan, Ra?” Percuma saja Oji memaksa, reaksi Hera hanya diam. Dia tidak mau membuat kesalahan lagi sepertinya. “Aku cuma pingin tau, kenapa selama ini dia jahat sama orang.”

“Dia nggak jahat,”

“Nggak jahat sama kamu. Tapi sama yang lain???”

“Maksud kamu seperti saat dia marah-marah sama orang karna udah ngotorin bajunya? Atau saat ia nggak sengaja di tabrak oleh orang lain?”

“Iya. Mungkin.” Oji mengangguk ragu. Belakangan ini Mentari memang terlihat seperti itu.

“Itu karena masalah itu. Dia melampiaskannya ke orang lain,” kata Hera dengan snyum kelegaan. Dia mengerti mengapa Oji sangat penasaran dengan sosok Mentari. Karena sebenarnya Mentari sudah berubah pesat semenjak dia pindah ke Korea.

***

Oji memerhatikan rumah Fio dari kejauhan. Berharap suatu saat Fio membukakan pintu, lalu tersenyum ke arahnya. Memberikan kesempatan baru untuknya untuk berubah menjadi Oji yang lebih baru.

Tapi, disaat ia menatap rumah itu, ia melihat mobil yang ia kenali sebagai mobil milik Mentari melintas dihadapannya. Ternyata Mentari tinggal disini juga!
Tanpa sepengetahuan Mentari, Oji mengikutinya dari belakang. Agak menjauh, supaya Mentari tidak curiga dengan kehadirannya itu.

Sampai di sebuah rumah yang cukup besar dan bertingkat bercat-kan hijau terang, mobil itu berhenti dan masuk ke garasi rumah tersebut.

Terlihat Mentari sedang terburu-buru masuk ke dalam rumah. Lalu menghilang di balik pintu rumah tersebut. beberapa saat kemudian, Oji mendengar suara bentakan, bantingan barang, dan beberapa suara bising lainnya.

Perumahaan ini memang perumahan yang penghuninya jarang di rumah. Buktinya saja, di kanan dan kiri rumah tersebut, semua lampu menyala dan rumah-rumah tertutup rapat tanpa ada tanda ada penghuni selain satpam yang biasanya berpatroli setiap malam.

“UDAH! AKU BOSEN! KENAPA KITA NGGAK BALIK SEPERTI DULU AJA!? AKU BENCI BEGINI!”

Terdengar suara teriakan Mentari. Suara itu begitu dikenal Oji sehingga tak mungkin salah lagi.

“Papa, Mama, nggak tau kan perasaan aku gimana setiap pulang ke rumah? Aku nggak tau mesti gimana lagi. Udah takdirnya kalau Cinta...”

Suaranya mulai tak terdengar oleh Oji. Sepertinya suasana tegang mulai menurun.
Dan beberapa saat kemudian, Oji melihat Mentari keluar rumah dengan air mata yang masih berlinang di pipinya. Oji terlambat! Dia belum sempat bersembunyi dan akhirnya mata Mentari menemukannya di dekat sebuah pohon.

Melihat itu, kontan Mentari cepat-cepat menghapus air matanya dan langsung mendekati Oji dengan wajah garang.

“Ngapain elo disini!?” tanyanya galak. “Elo ngikutin gue? Mau apa? mau tau kelemahan gue?”

“Hey girl, santai dong! Nggak perlu pake otot ngomongnya,” kata Oji mencoba tenang. Padahal perasaannya berkecamuk. “Gue nggak ngikutin elo, kebetulan aja gue lewat sini. Trus liat elo masuk rumah itu.”

“Nggak usah bohong deh! Gue nggak bego!” katanya kasar.

“Ya, kalo elo nggak percaya, gue sih nggak apa-apa. Bukan masalah buat gue,” katanya enteng. Oji memang ngagk punya niat untuk berantem sama cewek ini.

Melihatnya sperti ini saja sudah membuat satu rasa muncul di hatinya. Entah apa namanya. Kasihan, mungkin.

Mentari memang masih terlihat emosi. Tapi cewek itu juga sedang malas untuk bertengkar, makanya ia putuskan untuk pergi dari tempat itu.

Tapi Oji menarik tangannya. Menahannya untuk pergi.

“Mau kemana?” tanya Oji pelan.

“Bukan urusan lo!” katanya kasar tanpa menoleh. Air matanya sudah mulai berlinang lagi. Tapi ditahannya karena jika ia menangis dihadapan Oji, sama saja menunjukkan sebuah penyerahan!

“Gue baik-baik nih nanyanya sama elo.”

“Gue nggak mau baik-baik sama elo!” ketusnya. Lagi-lagi tanpa menoleh. Mentari langsung menepis tangan Oji yang menariknya.

“Tapi gue mau baik-baik sama elo. Kenapa? Apa karena keluarga elo?”

“Elo nggak usah sok tau!” Mentari hendak pergi lagi, tapi Oji terus mencekalnya.

Kali ini Oji mengarahkan tubuh Tari ke hadapannya. Supaya Oji dapat melihat wajah Mentari yang mungkin kini sedang di liputi kesedihan.

Yang ditemukannya memang tatapan sinis dan raut wajah yang begitu murka. Tapi dibaliknya, dapat ia rasakan kesedihan menimpanya. Ia dapat merasakan kalau Mentari kini sedang ada masalah, bahkan dari dulu.

“Lo ikut gue!” katanya tegas.

“Enggak! Lepasin gue.” Mentari menolak dan mencoba melepas cekalan tangan Oji. Tapi tenaganya hari ini sudah terkuras habis oleh emosi. Jadi ia hanya bisa mengikuti Oji yang menyuruhnya untuk naik ke atas motor.

***

“Elo bawa gue kemana!?” Mentari mendesis.

Sekarang Oji dan Mentari sudah ada di sebuah tempat. Yah, tempat ini lumayan sepi dan sunyi. Tapi keindahannya tak mungkin tertandingi. Karena matahari sebentar lagi terbenam, keadaan itu pasti akan menambah keindahan tempat ini.

Seperti laut, tapi bukan. Tapi ini danau. Danau ini begitu indah dengan air yang mengalir dengan teratur. Suasananya sepi karena ini bukan hari libur. Hanya ada lampu-lampu yang mulai menyala di sekitar tempat ini.

Di tepi, Oji sudah duduk tenang. Tangannya memberi tanda untuk Mentari agar duduk disana juga.

“Elo akan lebih tenang kalo elo ada disini...” kata Oji dengan senyuman. Matanya menatap luasnya danau.

“Kenapa elo begini?”

“Tutup mata lo, dan hirup udara segar. Habis itu buka mata lo dan saksiin matahri terbenam. Oke!?” Oji malah tidak memerdulikan pertanyaan Mentari.

Mentari juga malah menuruti kata-kata Oji. Meskipun ragu, ia mencobanya.
Terasa sejuk. Tenang. Dan rasanya Mentari seperti sudah ada di atas awan dan tidur di atasnya.

“Heiii...” Oji menggerak-gerakkan tangannya di depan mata Mentari. Takut-takut Mentari ketiduran disana. Atau malah, yang lebih parah... ih~~~

Mentari membuka matanya. Dan baru tersadar kalu ia tidak duduk lagi, melainkan tidur di atas rumput.

“Tidur atau gimana?” tanya Oji bingung.

“Kata elo gue disuruh menghirup udara segar.”

“Tapi, bisa-bisa elo nggak liat matahari terbenam. Liat tuh! Mulai terbenam.” Oji menunjuk ke arah angkasa.

Memang indah, apalagi pemadangan ini membuat perasaan dan hati Mentari juga berubah. Ia tidak merasakan kehampaan, kesedihan, kertertekanan, emosi, atau semacamnya yang membuatnya harus sok kuat.

Di lain sisi, Oji merasa aneh. Bukan! Bukan karena Oji lupa bayar utang atau Oji lupa pakai kaus kutang, tapi aneh terhadap perasaan yang muncul di hati Oji sekarang!

“Biar lebih lega lagi, coba elo teriak yang kenceng!” kata Oji sambil menoleh.

“Ha? Teriak? Teriak gimana?”

“Coba elo teriak satu kata atau kalimat juga boleh, atau mau satu buku juga boleh, tentang sesuatu yang mengganjal hati lo.” Oji tersenyum.

“Gue coba ya...” katanya pada Oji. Oji mengangguk. “MATAHARI!!!”

DEG! Oji tersentak. Mengapa yang disebutnya matahari? Kenapa harus kata itu.

“Udah?” tanya Oji mencoba menepis kebingungannya.

“Udah...” katanya sambil tersenyum. Dan baru kali ini Oji melihat cewek itu tersenyum kepadanya. Setelah pertengkaran, pertemuannya dan juga segala emosi padanya. Akhirnya, Oji melihat cewek itu tersenyum kepadanya.

Dan tanpa sadar Oji membalasnya dengan senyuman juga.

“Emmm... nama lo Oji kan?” tanyanya.

Oji mengangguk. “Iya. Kenapa, Tar?”

“Enggak,” Mentari menggeleng. Lalu tersenyum lagi. “Makasih dan maaf...”

***

Ridho dan Ari sedang menikmati tontonannya sambil memakan beberapa makanan ringan. Sementara Ata sedang mengambil minuman.

Beberapa saat kemudian Ata datang disertai Oji juga yang datang tiba-tiba.

“Darimana lo, Ji? Baru dateng jam segini? Tumben banget...” kata Ridho yang sepengetahuannya Oji yang paling rajin datang duluan ke rumah Ari buat nonton film.

“Oh, tadi gue abis nemenin Tari.”

“Tari?” Ketiganya langsung berseru bersamaan.

“Kemana?” tanya Ari yang tiba-tiba dingin.

“Ke danau. Kita nyaksiin matahari terbenam bareng. Ternyata kalo dia senyum tuh manis banget ya...” kata Oji sambil mengingat-ingat.

“Maksud lo apa?” Ari udah ngebejek-bejek bantal sofa. Ata dan Ridho langsung menepuk pundaknya untuk menahan emosi.

“Hahaha,” Oji ketawa kenceng banget. Sampe-sampe ketiganya pingin nimpuk Oji pake sendal. “Lo salah pengertian, Bos! Bukan Tarinya Jingga Matahari. Tapi Tarinya Mentari...”

“He?” Ketiganya kontan bingung. Ari dan Ridho sih tahu Mentari yang di maksud Oji yang mana. Tapi kalau Ata? Ngerti aja enggak.

“Mentari?” Ata mengulang.

“Iya.”

“Kok bisa sih elo deket sama Mentari? Bukannya elo berantem?” kata Ridho penasaran.

“Banyak cerita yang nggak mungkin gue ceritain sekarang...” kata Oji sok misterius.

“Mentari?” Ata mengulang lagi.

“Iya, Ta. Kenapa sih lo? Elo pingin punya cewek yang namanya Tari juga?” tanya Oji ngelantur.

“Kagak... entar kalo pacar gue namanya Tari juga, entar gue manggil yang noleh tiga orang! Ckckck...” kata Ata sambil geleng-geleng.

***

“Nanti si Hera kemanain?” tanya Ridho saat Oji dan Ridho berjalan di koridor kampus.

“Dia kan gue anggap temen, Dho. Lo tau sendiri lah, gue nggak bisa lupain Fio kan!?” kata Oji serius.

“Trus... kalo sama Mentari? Itu namanya apa?” tanya Ridho bingung. Terkadang hubungan Oji dengan cewek-cewek itu nggak jelas. Dekat tapi bukan pacar.

“Nggak tau lah, Dho.” Oji menggedikkan bahunya. “Gue nggak ngerti gimana rasanya. Habis berantem tapi sekarang gue malah lebih suka nolong dia. Gue nggak kasianin dia, tapi gue ngerasa gue harus nolong dia.”

Ridho jadi garuk-garuk kepala sendiri. “Trus? Sama Fio? Apa elo masih nggak bisa lupain dia?”

Oji menggeleng dengan ragu. “Gue nggak ngerti juga, Dho. Saat gue bareng Mentari, rasanya Fio itu bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa. Padahal kan, Fio temen kecilnya Mentari.”

Yeah, kenyataan itu nggak mungkin Oji pungkiri. Kalau Mentari kenal Fio bahkan dekat.

“Haiii... Rhauji...” sapa Hera tiba-tiba dengan memeluknya dari belakang. Kontan Oji serta Ridho kaget bukan main. Cewek ini main nyosor aja!

“Hai, Hera...” balas Oji.

Untung saja Hera sudah melepas pelukannya pada Oji, karena Oji merasa risih.

“Kamu tau nggak? Tadi malam saat aku menelfon Hye Ri, Hye Ri bilang padaku kalau dia minta maaf sudah kasar padaku dan dia juga sudah memaafkan kelancanganku.”

“Hye Ri?” Kening Oji langsung keriting. Disebelahnya, Ridho langsung mengkribokan keningnya.

“Oh, maksudku Mentari. Di Korea dia dipanggil Goo Hye Ri. Jadi, aku terbiasa memanggilnya Hye Ri!” jelasnya dengan diiringi senyuman.

Oji dan Ridho langsung mengerti maksud Hera. Jadi, Hye Ri itu adalah Mentari.

“Trus, nama kamu di Korea apa, Ra?” tanya Ridho iseng.

“Goo Ha Ra,” jawabnya dengan senyuman. “Oh ya, Dho. Aku pinjam Rhauji dulu ya. Aku ingin ngobrol dengan dia...” katanya.

Ridho hanya mengangguk menyetujui. Padahal Oji baru saja ingin memberikan isyarat supaya Ridho melakukan alasan agar Oji tidak di bawa Hera pergi.

Setelah keduanya pergi. Ada seseorang yang menepuk Ridho dari belakang.

“Hei!”

Ridho menoleh dan mendapati Mentari sedang menepuk pundaknya. “Eh, Elo...”

“Temennya Oji kan?” tanyanya. Ridho mengangguk. “Siapa nama lo?”

“Ridho. Emang kenapa?”

“Nggak.” Mentari menggeleng. “Kalo temen lo yang satu lagi, siapa namanya?”

“Maksud lo leader kita?” tanya Ridho meyakinkan. Mentari hanya menggedikan bahu.

“Mungkin yang elo maksud dia. Dia namanya...”

“Matahari?” tanya Mentari memotong.

Ridho mengangguk pelan. “Kok tau? Lo kenal dia?”

“Enggak.” Mentari menggeleng. “Cuma nebak aja. Soalnya dia suka banget ngeliat matahari.”

“Iya sih. Si Ari emang suka banget sama matahari.”

“Jadi, dia dipanggil Ari...” gumam Mentari tanpa sadar. Membuat Ridho langsung menanyakan maksudnya.

“Oh, ya udah yah, Dho. Gue mau masuk dulu. Ada kelas. Salam buat Oji ya...” katanya sambil menepuk-nepuk pundak Ridho pelan. Dan Ridho semakin bingung dibuatnya.

***

Pulang kuliah, Mentari langsung celingak-celinguk ke jalan. Mencari taksi yang siapa tahu lewat. Masalahnya hari ini ia nggak bawa mobil lantaran mobilnya mesti di bawa ke bengkel.

Sayang banget, jam segini tuh taksi pasti jarang lewat di depan kampusnya. Dia juga nggak mungkin jalan kaki sampai rumahnya. Bisa-bisa, kakinya langsung membengkak kayak kaki gajah. Lho?

“Nyari ojek, Neng?”

Mentari langsung berpikiran, mending naik ojek daripada nggak bisa pulang.

“Iya deh, Bang. Saya mau naik ojek!” katanya yakin, lalu menoleh ke samping.

Aneh! Ojek kok helm aja keren banget. Motonya, motor gede, lagi! Warna putih pula! Tukang ojeknya pakai jaket mahal pula. Yakin deh itu jaket beli di distro-distro mahal gitu.

“Abang tukang ojek? Yakin, Bang?” tanya Mentari nggak yakin.

Tukang ojek itu membuka helm-nya dan nampak wajah seseorang yang dikenali Mentari. “Iya. Saya yakin banget, Neng. Soalnya, abang mau ngojekin Neng sampe tempat tujuan. Sampe hati abang kalo perlu.” Oji nyengir.

“Oji!!!” Mentari mukul-mukul Oji pakai tas ranselnya. Gemes deh! Ngapain coba ngerjain dia begitu. “Kalo gitu, ke hati abang berapa ribu?” tanya Mentari mencoba melawak.

“Gratis, Neng. Hahahaha...” kata Oji sambil ketawa. “Ayo naik! Mumpung abang ojeknya lagi nge-gratisin penumpang nih!”

“Siap, Bang!” Mentari langsung naik ke atas motor dengan sigap.

“Pegangan yang kuat ya. Gue mau ngebut nih!” peringat Oji.

“Halah! Gue nggak yakin elo bisa ngebut.”

Namun, sedetik kemudian....

“OJI! GILA! GUE HAMPIR JATOH!” Mentari memeluk erat Oji dari belakang. Ngeri banget deh kalau sampai masuk rumah sakit.

“Ngeremehin gue sih...”


You may also like

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Ao Haru Ride

Ao Haru Ride

Daftar Blog Saya

Advertisement

Facebook

Instagram