Love Song 5

0 Comments
Hahaha. Kembali lagi dengan karya gaje...
Siap! Let's check it!


Ridho, Oji, Ari, Tari, Fio dan Mentari sudah mengobrol di kolam renang milik Oji. Entah kenapa, Oji pingin banget bikin acara ramai-ramai begini.

Ridho yang paling takut kalau Mentari melakukan sesuatu yang membuat kekacauan disini. Dia tahu jelas kalau Mentari itu jahat. Yah, ia tahu Mentari jahat! Setahunya memang begitu.

“Sayang yah, Hera nggak bisa ikut...” kata Oji sambil membawa minuman-minuman untuk teman-temannya dengan nampan.

“Jadi Kak Hera itu kemana sih Kak Tari?” tanya Fio pada Mentari yang dari tadi terus melamun memikirkan sesuatu.

Mentari menghembuskan nafas beratnya. “Enggak tau juga. Dia tinggal disini sendiri, di apartemen. Dan pas gue samperin apartemennya, dia nggak ada.”

“Lo yakin?” tanya Ridho dengan kecurigaan.

Mentari mengangguk yakin. “Kalo nggak percaya, kita bisa ke apartemennya!” ungkapnya dengan yakin.

“Emmm... Kak Oji sini dong! Duduk di sebelah gue!” Fio menarik Oji duduk di sebelahnya. Entah kenapa, Oji merasa ada atmosfer yang berbeda kali ini.

“Oya, Tar, itu pacarnya Ari. Yang namanya Tari. Yeah, dia mataharinya Ari.” Ridho bermaksud untuk menyindir.

Tapi yang disindir malah tersenyum. “Udah tau kok, Dho. Waktu itu kita pernah kenalan kan, Tar?”Mentari melihat ke arah Tari yang ikut tersenyum kepadanya.

“Ooh jadi kalian udah kenal?” Ari yang lebih banyak diam kali ini mengeluarkan suara. “Gue nggak nyangka lho, Men. Kalo elo tetangga kecil gue...”

“Men?” Oji langsung mengkribokan keningnya.

“Kalo gue panggil “Tar” entar dua-duanya nengok. Jadi mending gue panggil “Men” untuk Mentari dan “Tar” buat Tari...” jelas Ari dengan cengiran.

Mentari dan Tari tertawa geli. “Iya deh, Ri. Terserah elo mau panggil gue apa, mau “Men” kek, terserah elo.”

Ponsel Oji berdering kencang. Ada yang menghubunginya, sayangnya tanpa nama bahkan nggak ada nomornya. Dengan ragu, Oji mengangkatnya.

“Halo,”

“Rhauji? Benar kan kamu Rhauji?”

“Iya... ini siapa?”

“Hera... Rhauji cepat tolong aku! Kumohon.”

“Kamu dimana?”

“Nanti aku tulis alamatnya, yang penting kamu mau nolong aku kan!?” katanya dengan suara yang sangat-sangat ketakutan. “Dan please, jangan ajak Mentari...”

“Iya, iya, aku ke sana. Sabar ya, Ra...” Oji menutup ponselnya buru-buru.

“Siapa, Ji?” tanya Ari.

***

“Jadi, gue nggak boleh ikut? Kenapa?” tanya Mentari dengan bingung.

“Akting elo emang pinter, Tar!” kata Ridho dengan sinis. “Dari awal gue udah curiga sama elo. Elo yang nyulik Hera kan!? Elo juga yang punya niat buat ngancurin hubungan Ari-Tari kan!?”

Mentari kaget. “Apa maksud elo, Dho? Gue nggak pernah punya niat buat ngancurin hubungan temen kecil gue sendiri! Apalagi ngecelakain temen deket gue!”

“Alah! Bohong elo tuh bisa banget! Mulai sekarang, buat elo, Ji... jangan deket sama cewek jahat ini!?”

Oji terdiam cukup lama menatap Mentari. Ari dan Tari hanya bisa menyaksikan dengan kebingungan.

“Jadi, pertanyaan-pertanyaan waktu itu... emang nunjukin kalo elo jahat?” Oji nggak nyangka bakal diginiin. Oji tersenyum miris. “Dari awal pertama kali gue ketemu elo, elo emang pantes dapet julukan “nasty girl”! Gue kecewa sama lo!” katanya sambil meninggalkan Mentari.

Sementara yang lain mengikuti langkah Oji dan meninggalkan Mentari sendiri.

***

Baru saja Mentari rasakan kebebasan saat bersama Oji. Baru beberapa minggu. Tapi semua itu telah dihancurkan oleh sebuah kesalah pahaman yang tak akan mungkin Oji perdulikan lagi. Karena baginya, sekarang dia adalah seseorang yang jahat.

“Ngapain kamu bengong di situ, Tar?” tanya seseorang dari belakang punggung Mentari.

Saat itu Mentari sedang melihat pos tempat mainnya waktu kecil. Dimana tempat itu menjadi tempat kenangan yang paling indah. Seandainya Mataharinya itu tidak mempunyai seorang Matahari baru, atau setidaknya ingat tentang masa lalunya, mungkin Mentari nggak akan sesedih ini.

Dia menyadari, dia lebih nyaman di samping Oji. Cowok itu selalu ada di sebelahnya, sayangnya tidak untuk sekarang.

“Nggak ngapa-ngapain kok, Tan. Cuma mengenang masa lalu...”

“Mama, Papa kamu masih berantem?”

Mentari tersenyum masam. “Tante Lidya, kalo Mama Papa udah nggak berantem mungkin aku nggak akan keluyuran seperti ini buat mencari suasana lain.” Katanya dengan nada sedih.

Tante Lidya menepuk-nepuk pundak Mentari pelan. “Ini semua karena kesalahan masa lalu, Tar. Bukan hanya karena kematian adikmu... Cinta.”

“Udahlah, Tan. Aku juga nggak ingin melihat Papa dan Mama begitu. Percuma aku ngomong panjang lebar kalau akhirnya mereka malah anggap aku angin lewat. Aku juga nggak perlu tahu kekelaman masa lalu mereka.”

“Jadi, kamu udah ketemu sama Ata?”

“Ata?” Mentari mengernyitkan keningnya. “Siapa?”

“Temen kecil kamu, Tar. Masa kamu lupa?”

“Memangnya dia di panggil Ata? Bukannya Ari?”

“Kamu lupa ya? Ata punya sodara kembar. Nah, sodara kembarnya itu Ari.”

“Jadi... temen kecil aku itu... Ata? Atau Ari?”

“Dua-duanya, Tar.” Tante Lidya tersenyum. “Yang satu yang sering nolong kamu kalo kamu nangis, yang satu suka bandelin kamu. Sampai-sampai kamu nangis.”

Mentari menutup wajahnya. Tertawa. Baru ingat kalau ia waktu kecil bermain dengan dua orang, bukan satu orang. Habisnya mereka kan mirip, Mentari jadi susah bedainnya.

Kepribadiannya yang membuat Mentari bisa membedakkannya. Tapi Mentari lebih dekat, lebih tau tentang Ata bukan Ari. Pantas saja cowok itu tidak begitu mengingatnya.

“Aku salah orang, Tan...” katanya dengan tertawa. Kini wajahnya sudah tidak ditutupi kedua tangannya. “Aku malah ngira kalo itu Ari.”

“Jadi kamu belum ketemu dia?” tanya Tante Lidya. Mentari menggeleng. “Dia serumah sama Ari, cuma beda tempat kuliah. Kamu bisa ke rumah Ari, atau ke tempat kuliahnya.”

***

Ata mengernyitkan kening saat ia di hampiri seseorang di kampusnya. Seorang cewek yang cukup tinggi dan cantik. Seperti blasteran Korea-Indonesia.

“Ata ya?”

Ata mengangguk, tapi tidak mengatakan dengan bibirnya. Ia masih bingung dengan kedatangan cewek itu. “Siapa ya?”

“Mentari. Inget nggak?”

“Mentari?” ulangnya seakan mengingat sesuatu.

“Iya. Kalo elo nggak inget gue, elo keterlaluan banget deh! Udah bikin janji sama gue, suka
nangisin gue, suka...”

“Stop... stop... kebanyakan ngomong bikin gue jadi kesel sama lo!” katanya dengan mata yang menyipit.

“Kenapa?” tanya Mentari bingung.

“Elo ninggalin gue, tau! Pake nanya, lagi...” Ata langsung sewot. “Mentang-mentang elo pindah, elo nggak hubungin gue? Katanya bikin janji, tapi elo pergi nggak bilang-bilang sama gue!”

“Lho? Kok elo yang marah-marah sama gue!?” Mentari bertolak pinggang. “Waktu kecil kan elo yang bandelin gue mulu! Makanya gue pergi. Biar gue nggak di gangguin sama elo!”

“Yeee... ngeles mulu lo kerjaannya! Gue tau sifat elo. Licik...”

“Oke! Elo gue end!”

Setelah ngomong gitu Mentari langsung pergi tanpa perduli dengan omongan Ata lagi. Tapi besoknya, Mentari malah melihat sebuket bunga di depan rumahnya.

Sayangnya pas Mentari cium bunganya dia malah bersin-bersin nggak karuan. Dari kecil dia paling nggak suka sama yang namanya bunga. Di lemarinya nggak ada yang namanya gaun-gaun begitu, apalagi rok!

“Suka?”

Mentari kaget saat seseorang muncul dari balik pohon. Ata.

“Enggak!”

“Elo romantis dikit napa, Tar. Kita kan baru ketemu setelah sekian lamanya...”

“Dih, kemaren gue udah bilang kalo kita end! Elo aja...”

Perkataan Mentari terhenti saat Ata memeluknya erat. Lalu menaruh dagunya di pundak Mentari dengan hembusan nafas yang dapat Mentari rasakan.

“Gue kangen elo, Tar.” Katanya dengan lembut. “Ternyata elo udah jadi cewek yang nggak cengeng,” tambahnya. “Seneng deh ngeliat wajah lo kemarin. Lo nggak lupa janji kita kan?” Ata melepas pelukannya lalu menatap Mentari dalam, lekat dan sangat berarti.

Mentari mengangguk pelan, lalu tersenyum. “Kalau matahari pagi masih bersinar cerah, aku yakin senyummu dan ingatanmu takkan pernah sirnah. Karena kita masih di bayang-bayang matahari yang sama.”

Ata tersenyum, lalu memeluk Mentari lagi. Hangat. “Elo masih inget, Tar. Itu berarti janji itu masih berlaku sampai sekarang!” katanya di telinga Mentari. Dan saat itu juga Mentari menyadari ada sesuatu yang aneh.

***

Oji balik badan saat melihat kemesraan antara Ata dan Mentari. Mungkin ini memang sudah jalannya. Mentari datang hanya untuk menghibur Oji dan saat Fio kembali, Mentari pergi.

Sepertinya Mentari baru menyadari kalau dia salah orang. Oji memang tahu semuanya dari awal, sayangnya hatinya tak berkenan untuk membiarkan Mentari mengetahui tentang siapa teman kecilnya sebenarnya.

Sebenarnya ia tak percaya kalau Mentari melakukan penculikan Hera itu. Karena Hera juga tidak mengatakan apa-apa tentang penculikan itu kecuali untuk tidak mengajak Mentari.

“Kak Oji!” seru Fio dari kejauhan saat Oji tak sengaja berjalan melewati rumah Fio. Dia lupa!

“Aduh, lo mau ke rumah gue kok nggak bilang-bilang?” Fio langsung menggandeng Oji.

Kenapa Fio kembali lagi? Sebenarnya Fio mau Oji berubah. Dia mau Oji menjadi seseorang yang biasa saja, tidak seperti Oji yang rada-rada sarap (maaf papa oji). Dan saat Fio tahu tentang perubahan Oji melalui informasi seseorang, kini ia akan melakukan apa saja untuk mendapatkan Oji.

“Eng... sori, lupa!”

***

“Lo dendam sama gue?”

Hera menggeleng.

“Trus? Kenapa elo ngomong gitu?”

Hera diam.

“Jawab gue, Hera! Gue tau kok elo ngerti bahasa gue, jadi nggak ada alasan lain buat nggak jawab pertanyaan gue!” Mentari menggoyang-goyangkan tubuh Hera yang malah diam dan menunduk.

“Aku tau kamu yang menculikku kan!? Aku tau kamu adalah Tari. Nama kamu di Indonesia Mentari. Dan teman-teman sering memanggil kamu Tari!”

“Ya Tuhan! Hera? Maksud lo, elo nuduh gue yang nyulik elo? Mana buktinya Hera?”

“Orang-orang itu bilang sama aku kalo bos mereka adalah Tari. dan Tari itu kamu! Aku enggak salah. Jangan salahin aku. Aku nggak tau kenapa kamu niat nyulik aku? Apa salah aku sama kamu? Apa karena kamu juga suka Rhauji? Kalo begitu aku mau kembali ke Korea saja.”

“Hera!” Mentari bangkit dan berusaha mengejar Hera yang kini berlari. “Jangan pergi!” Tapi sepertinya usaha Mentari sia-sia saja. Hera sudah jauh. “Sial!”

***

“Ta, elo pacaran sama Mentari? Cewek jahat kayak dia?” Ridho nggak nyangka saat Ata mengajak Mentari makan bersama.

“Maksud lo apa? Dia enggak jahat!” Ata langsung emosi. “Dan sejak kapan elo sok tau tentang orang yang baru gue bawa!?”

“Gue udah kenal dia! Dia satu kampus sama gue! Dan dia udah berani nyulik temen baiknya sendiri!!!” tegas Ridho dengan rahang yang mengeras.

“Yang bener, Tar?” tanya Ata serius.

“Ha? Apaan, Kak?” Tari langsung menanggapi, dan saat itu juga Tari mendapatkan cubitan gemas dari Ari.

“Bukan elo, Sayanggg... Mentari bukan Tari...” jelasnya.

“Oooh!”

Mentari langsung bangkit dari tempat duduknya. “Udah! Cukup, Dho. Gue tau dari awal elo emang nggak suka sama gue. Gue tau elo ngiranya gue bakal ngerebut Ari dari Tari! Jadi semua tindak kejahatan selalu di timpain ke gue!” Mentari menarik nafas saat semua mata melihat ke arahnya. Tapi masa bodolah! “Tapi gue nggak sejahat itu, Dho!” Mentari langsung mengambil tas-nya dan siap-siap untuk pergi.

“Mentari!” panggil Ata, tapi Mentari nggak peduli.

Ia tutup telinga rapat-rapat dan cepat pergi dari tempat itu. Terlalu lama disitu, semakin dadanya sesak.

“Mau kemana?”

Mentari menoleh saat ia sedang berjalan menyusuri trotoar kota.

“Oji...” gumamnya pelan.

“Elo mau kemana?”

Rasanya hati Mentari seperti dimasuki oleh ribuan bunga, tapi Mentari tidak ingin berbaik hati pada cowok itu. Karena berbaik hati dengan cowok itu pasti ujung-ujungnya berakhir dengan penuduhan tanpa bukti.

“Bukan urusan lo!” jawabnya kasar.

“Gue nanya baik-baik sama elo...” katanya pelan.

“Trus? Gue peduli? Mau elo nanya baik-baik kek, jahat-jahat kek, yang jelas elo nggak perlu sok baik-baik sama gue!” hardik Mentari kasar.

Namun reaksi yang di berikan Oji sangat berbeda jauh dengan apa yang Mentari lakukan. Tangan Oji merengkuh Mentari ke dalam pelukan hangat. Tangan kanannya mengusap-usap pelan rambut Mentari.

“Jangan kayak gini, Tar. Gue nggak mau elo terus memakai topeng lo...” ucapnya di telinga Mentari. Dan saat itu juga Mentari merasakan ada sesuatu yang menyentuh hatinya.

Air matanya tak mungkin dapat ia bendung, kini air mata itu menetes perlahan menyusuri lekuk wajahnya. Mengartikan ada goresan yang dalam di hatinya.

“Maaf karna gue nggak percaya sama lo...” ucapnya lagi pelan. “Gue emang bego! Gue tau elo emang jahat, tapi elo nggak melakukannya untuk niat yang buruk, tapi niat yang baik...”

“Hera nggak percaya sama gue...”

“Dia emang bilang kalo bos yang nyulik dia adalah Tari. Tapi gue yakin kok, orang itu bukan elo. Sejahat apapun elo, gue masih yakin di dalam hati gue, Tar. Elo nggak akan melakukan itu...”

***

“Semakin elo ngedeketin Oji, gue akan semakin bertindak kasar, sayang...” ucap orang itu dengan senyuman sinis.

Matanya jelas mengarah ke arah Oji dan Mentari. Dua orang yang sedang berpelukan. Lalu matanya berpindah ke arah lain, ke arah cewek yang sedang menatap sinis keduanya juga. Ini kesempatan!

“Bagus... gue cuma perlu elo jadi kambing hitam gue...” ucapnya dengan senyuman sinis yang masih tak kunjung hilang dari wajahnya. Dan ia bisa menebak apa yang akan di lakukan oleh cewek lain itu kepada dua orang itu.

“Good! Gue emang tau, sifat elo pasti ngebantu gue, Hera. Gue cukup memerhatikan aja...” tambahnya lagi. “Kalo elo sampe gagal, mungkin elo akan gue depak! Dan elo nggak mungkin bisa deket sama Oji!” katanya.

***

Mentari dan Oji duduk di kursi taman kota. Keduanya menatap jalan setapak berbatu yang indah itu dengan mata berbinar.

“Gimana hubungan lo sama Ata?” tanya Oji sebagai pembukaan pembicaraan setelah lama mereka berdiam diri sambil menatap jalan setapak itu.

Kenapa? Kenapa harus menanyakan hal yang paling Mentari benci. Entah kenapa, pertanyaan itu malah menjadi satu hal yang Mentari nggak suka. Apalagi di hadapan Oji.

“Yah, gitu deh...” jawab Mentari dengan senyuman yang di paksakan.

“Pasti seneng ya, ketemu sama temen kecil dan sekarang bisa bersama. Sesuai dengan keinginan...”

“Nggak juga...” Mentari jawab sekenanya. “Elo gimana? Sama Fio? Seneng-kah? Elo suka dia dari elo masih SMA kan?”

Oji tersenyum masam. “Iya sih, ya gitu juga, sama kayak elo.” Oji menoleh ke arah Mentari yang ikutan menoleh ke arah Oji. “Oh ya... elo nggak main lagi sama Fio? Elo temen kecil Fio juga kan?”

“Iya sih... dia emang temen kecil gue. Cuma beberapa minggu aja sih. Trus, waktu kecil gue suka jailin dia. Sampe-sampe dia nangis. Mungkin kalo main sama gue, dia ngeri gue jailin kali ya...” Mentari tertawa bebas sambil menatap Oji.

Melihat cewek itu tertawa bebas, tersenyum manis, itu membuat hatinya yang resah ikut senang. Ada sedikit kelegaan yang muncul di hatinya.

“Dasar nasty girl!” Oji mencubit pipi Mentari dengan gemas.

“Iih... Oji! Jail bangettt siiihhhh...” Mentari melepaskan cubitan Oji dengan sebal. “Dasar bloon!” Mentari menjulurkan lidahnya ke arah Oji.

“Ih, rese ya lo! Gue udah gondok banget nih di katain bloon sama orang-orang!” Oji menggelitiki Mentari yang masih menjulurkan lidahnya ke arah Oji.

“Oji, geli, tauuu!!!”

“Makanya jangan jadi cewek jahat!”

“Gue enggak jahat! Cuma licik. Hahaha...”

“Sama ajaaaa...”

“OJI GELIIIII....”


You may also like

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Ao Haru Ride

Ao Haru Ride

Daftar Blog Saya

Advertisement

Facebook

Instagram