Love Song 8

4 Comments
Hey, I come back #loh?
Hope you'll like this guys! :D

“Bisa anterin aku masuk?”

Ata menatapnya bingung.

“Aku takut nggak kuat saat aku masuk dan melihat Mama dalam keadaan kacau. Dan Papa marah-marah.”

Ata terdiam, lalu mengangguk.

Dengan perlahan, Ata membuka pintu yang satunya lagi sehingga terbuka lebar. Dan saat kedua sampai di ruang tamu, mereka medengar hal yang tak pernah mereka inginkan.

“Kalo begini terus, Mentari nggak akan tahu kalau Mentari adalah adik dari Matahari Senja dan Matahari Jingga!” ungkapnya dengan nada tegas. Kedua orang di hadapannya sedang terdiam membeku saat menyadari sesuatu.

“Mentari...” gumam mamanya. Kedua tangannya menutup sebagian wajahnya.

Tante Lidya menoleh. Bukan kaget biasa. Dia lebih kaget lagi saat melihat Mentari berada di pelukan Ata.

Mentari diam membeku. Masih di tempat dan masih berada di pelukan Ata. Keduanya tidak dapat berbuat apa-apa selain diam dan menunggu yang lain untuk menjelaskan.

***

“Mama kamu...”

“Selingkuh?”

Tante Lidya hanya mengangguk.

“Dengan Ayahnya Ata?”

Tante Lidya diam. Ia menatap Mentari nelangsa. Tidak ia sangka kalau Mentari malah berpacaran dengan kakak tirinya. Meskipun bukan secara hukum.

“Kenapa Tante nggak bilang dari awal pas ketemu sama aku?”

“Tante pernah mau kasih tau kamu, tapi kamu nolak. Karena kamu merasa nggak perlu tau. Dan Tante juga ngira kalau kamu sama Ata hanya sebatas teman kecil.”

Sekarang gantian Mentari yang diam. Entah perasaan apa yang kini ada di hatinya. Rasa yang tidak dapat di artikannya dengan s ebuah kata-kata.

Perasaan yang muncul di saat ia mulai mensyukuri kehadiran Ata di dalam hidupnya dan mencoba menepis perasaannya dengan laki-laki lain.

“Aku nggak tau harus gimana...” Mentari menggelengkan kepalanya berkali-kali.

“Sekarang yang penting bukan hubungan kamu sama Ata, tapi hubungan orang tua kamu. Kalau urusan yang itu selesai, otomatis urusan kamu sama Ata akan terselesaikan.”

***

“Eh, adek...”

“Nggak usah nyindir gue bisa nggak?”

“Gue nggak nyindir lho, Men. Gue kan pingin terbiasa aja manggil elo adek gue.”

Mentari menatap Ari dengan bingung. Cowok itu kini terdiam. Tatapannya lurus ke depan. Memfokuskan ke satu arah yang Mentari nggak tahu dimana fokus itu berada. Yang dilihatnya adalah tatapan sinis. Dingin. Terkendali.

Cowok itu berusaha untuk mengendalikan perasaannya. Mentari tahu, karena dirinya-lah yang menyebabkan orang tua Ari bercerai.

“Maaf...”

“Untuk apa?”

“Kalo gue nggak pernah ada, mungkin orang tua elo nggak bakal bercerai.”

“Ini bukan salah elo.”

“Ini salah gue.”

“Nggak ada yang salah. Ini takdir. Nggak semestinya kita melawan takdir atau bahkan menyesalinya. Karena itu memang sebuah takdir. Takdir yang sudah di tentukan dan nggak mungkin berubah. Kadang, gue sadar... takdir nggak selalu sempurna,”

Mentari diam.

“Ata pasti nggak bisa terima...”

Mentari menoleh. Di tatapnya Ari dengan tanda tanya.

“Dia terlalu suka sama elo. Dia sayang. Dia... cinta sama elo. Sangking cintanya, dia pernah bilang, nanti kalau selesai kuliah, dia mau lamar elo.” Ari menghembuskan nafas berat. “Gue sama Ata sama. Kalau udah suka sama orang, nggak bisa ngelepas orang itu begitu aja. Apapun alasannya. Dan nggak mungkin bisa lupain orang itu buat selamanya.”

Ini bahkan bukan sesuatu informasi yang terdengar baik di telinga Mentari.

Kini ia menyadari, begitu keegoisan itu tampak pada dirinya. Ia mencintai orang lain saat ada orang lain yang sudah di milikinya begitu mencintainya, dan ia tak membalasnya dengan perasaan yang sama lagi.

“Gue tau dari awal kalo elo nggak perlu berat-berat ngelepas Ata.”

“Maksud elo?”

“Perasaan suka lo sama Ata udah ilang semenjak elo kenal Oji.”

Mentari diam. Kaget dengan tubuh yang menjadi kaku.

***

“Mentari!”

Mentari menoleh dan mendapati Oji sedang berlari ke arahnya. Namun, ia sadar akan sesuatu. Jadi, ia balik badan dan meneruskan jalan dengan cepat. Namun, tangannya di cekal Oji dengan cepat.

“Jangan pergi!”

“Gue udah bilang untuk anggap kita nggak pernah ada hubungan!”

“Elo udah nggak punya alasan untuk nyuruh gue kayak gitu!”

Kali ini Mentari menoleh. “Apa maksud elo?”

“Gue tau kalo Ata itu adalah kakak tiri elo. Bukannya mau buka aib atau apa, gue cuma pingin elo tau kenyataan itu. Elo dan dia nggak bisa bersatu!”

“Oji! Gue nggak perlu kata-kata kasar elo itu!”

Mentari jadi merasa kalau Oji yang di hadapannya bukanlah Oji yang ia kenal sebenarnya. Cowok itu tampak beda dengan sikapnya.

Dengan kuat, Mentari menepis tangan Oji.

“Tar, elo itu nggak akan bisa bersatu sama Ata. Sadar! Sadar, Tar!”

“Ji, elo kenapa sih? Gue nggak kenal elo yang begini! Elo yang gue lihat sekarang bukan Oji yang gue kenal!”

PLAK! Mentari menampar Oji. Membalikkan badannya, lalu pergi.

Dan saat itu juga, Oji sadar sesuatu. Apa yang ia lakukan tadi? Itu bukanlah dirinya. Dirinya bukanlah seseorang yang memaksa orang lain untuk membalas perasaannya. Dirinya adalah orang yang mencintai dan rela di sakiti untuk orang lain.

Kedua tangan Oji mengepal keras. Lalu kedua tangannya mengacak-acak rambutnya dengan kesal.

“Maaf, Tar. Gue emosi...”

“Kadang elo salah mengartikan tatapan seseorang, Ji.” Tangan itu menepuk pundaknya.

Oji menoleh dan mendapati Ridho sedang menatap ke arah koridor yang lenggang itu dengan tatapan aneh.

“Dho, bukannya elo nggak...”

“Gue emang nggak suka sama dia dari awal. Tapi gue nggak suka ngeliat elo berubah begini, Ji. Elo kasar. Walaupun gue nggak suka sama Mentari, tapi gue nggak suka liat elo berubah kasar ke orang. Meskipun orang itu Mentari.”

***

“Sekarang, elo cari cara untuk ngancem Hera.”

“Maksud, Bos?”

“Elo bilang sama Hera. Celakain tu cewek! Karena kesempatan dia buat ketemu sama Oji malah lebih besar sekarang!”

“Kok bisa?”

“Jangan banyak tanya! Kebanyakan tanya, gue potong upah lo!”

“Ehhh... jangan, Bos. Iya, iya...”

“Dan jangan sampe Hera lengah karena orang itu Mentari.”

Anak buahnya hanya mengangguk, lalu pergi.

***

“Maafin gue, Tar!” Oji menggenggam tangan Mentari dengan erat. Takkan membiarkan cewek itu pergi.

Dari kejauhan, Ata melihat itu. Melihat Mentari yang kini sedang mencoba melepaskan diri dari Oji.

“Lepasin dia!” bentak Ata dengan mata yang mulai memunculkan bara api kemarahan.

“Ta, gue cuma mau...”

“Gue nggak perlu alasan elo! Dari mata gue, gue tau. Elo maksa dia!”

Dengan satu gerakan, tangan Ata menghantam perut Oji dengan kasar. Oji meringis, tapi tak mencoba untuk melawan. Ia tidak ingin melawan Ata.

“Ata... ata... udah...”

“Dia maksa kamu!” Mata Ata melirik Mentari yang kini bingung harus berbuat apa-apa. Ata salah paham!

Satu pukulan lagi. Ia arahlan ke arah wajah Oji. Tetap saja, Oji tidak melawan. Tidak akan pernah melawan.

“Elo punya Fio! Inget itu, Ji!”

“Gue tau... gue cuma mau minta... maaf...” katanya dengan terbata-bata.

Ata melepaskan cekalan tangannya pada kerah Oji. Ia diam dan menatap Oji. Mencari sebah kebohongan. Ia tidak akan pernah rela kalau Mentari di sakiti.

“Gue nggak percaya!” Lalu di pukulnya lagi Oji dengan hentakan yang lebih keras lagi. Membuat Oji terhempas di tanah begitu saja.

Di tariknya Mentari pergi dari tempat itu. Tidak akan ia biarkan Mentari untuk yang lain. Mentari hanya miliknya meski ia tahu bukan sebagai seseorang yang spesial seperti dulu. Karena sudah ada tembok besar yang memisahkan mereka berdua. Membuat jarak yang bahkan mungkin tak dapat bisa di tembus kecuali dengan sebuah ingkaran.

Keduanya terdiam.

Yang ada di dalam pikiran Ata adalah Mentari harus jauh dari Oji. Mentari harus bersamanya, meski dalam hubungan yang tak lebih. Meski ia harus merobohkan batas itu.

Jangan begini, Ta. Jangan... aku nggak mungkin menyimpan kemunafikkan ini lagi. Aku nggak mau kamu sakit. Aku nggak mau kamu tau bahwa hatiku memang bukan untukmu. Aku nggak mau membuat kamu malah merobohkan setiap batas yang terlentang di antara kita berdua. Aku... nggak mau.

“Sebagai.... eng... Kakak, gue harus tau keadaan lo, Tar. Elo wajib cerita!”

Mentari menghentikan langkahnya dengan tiba-tiba. Sementara Ata langsung menoleh saat di rasanya Mentari tak mengikutinya berjalan.

“Ada apa?”

“Eng... eh... nggak, Kak. Sori, gue enggak cerita apa-apa tentang ini sama Kakak.”

“Kenapa Ari yang selalu adi tempat lo bersandar?”

“Apa?”

“Ari tau tentang elo. Semuanya! Dia tau masalah lo, dia ngerti gimana elo, dia tau keadaan lo... tapi, gue enggak!”

Mentari menatapnya bingung. Ia bahkan enggak pernah cerita apa-apa pada Ari. Dia selalu menutup semuanya begitu rapat.

“Karena elo nggak peka, Ta.”

Keduanya menoleh ke arah suara. Tampak Ari dengan kedua tangan yang terlipat di dada merapat menatap mereka dengan tatapan datar.

“Elo nggak pernah peka dengan apa yang Mentari rasain!”

“Maksud lo?”

“Elo bahkan nggak pernah ngerti perasaan Mentari. Apa dia udah berubah, atau dia masih tetap sama. Apa dia butuh elo, apa dia butuh orang lain, elo nggak pernah tau itu.”

“Gue nggak minta pendapat lo tentang gue!”

“Kenyataan, Ta. Kadang gue berfikir sisi positif ada di elo dan negatif ada di Mentari. Tapi... ternyata salah. Keduanya memiliki positif dan negatif. Mentari nggak salah, elo juga. Ini takdir, Ta. Elo tau? Seharusnya elo udah ikhlasin hubungan itu.”

***

Kasar.

Terasa kasar di mana-mana. Sikap, sifat, keadaan, perasaan, semuanya! Tiada yang mampu membuatnya merasa nyaman. Ia harus merasakan kekasaran hidup yang terlalu berliku. Terlalu berliku hingga ia bahkan tak dapat menerobos jalan yang lurus.

Kerapuhan semakin lama semakin muncul. Namun, kadang membuat keyakinan untuk mengakhiri hidup.

Mentari berdiri di halte bis yang sedang kosong. Hujan lebat turun tak henti-hentinya. Meneteskan setiap mili air yang ada. Membasahi setiap tikungan kota.

“Tragis. Hidup gue begitu tragis. Nggak ada harapan.”

“Hidup kamu memang tidak ada harapan lagi, Mentari!”

Mentari menoleh dan mendapati sosok cewek dengan jubah putihnya. Cadar putih menutupi sebagian wajahnya. Membuat Mentari tak mengenali sosok itu dengan jelas.

“Dan tidak pantas untuk di pertahankan! Mianhe,”

Mentari memejamkan mata saat sosok itu mengacungkan pisau tajamnya. Tubuhnya tidak mau melawan atau bergerak menjauh. Tubuhnya menginginkan goresan.

“LEPAS! GILA YA LO!”

Saat itu juga Mentari membuka matanya. Seseorang berdiri membelakanginya. Tinggi, tegap, dan sosok itu sedang mencekal tangan seseorang yang ingin membunuhnya.

“Ridho...”

Terlihat Ridho berusaha membuat orang itu tidak kabur. Mencekalnya dengan kuat saat orang itu mulai mencari cara untuk kabur.

Dan saat ia membuka perlahan cadar putih yang menutupi sebagian wajah putih itu, Ridho terbelalak lebar tak percaya.

“Hera???”

Bahkan Mentari tak dapat memercayainya itu. Seorang sahabat yang ia kenal, namun kadang tak ia akui itu membuatnya tergores. Bukan di fisik melainkan di batinnya. Di kejiwaannya. Perasaannya yang paling peka.

“Hera? Nggak mungkin!” Mentari mengkilah dengan gelengan kuat saat Ridho mengatakan siapa cewek itu.

“Dia Hera, Tar!” desis Ridho tak percaya. “Gue nggak nyangka elo begini! Maksud elo mau bunuh Mentari apa!?” Matanya menyipit ke arah Hera.

Hera merasa tubuhnya dingin. Detak jantungnya terpacu begitu cepat. Darahnya bergejolak. Ia bungkam seribu bahasa. Tak dapat di keluarkannya satu alasan yang sedang mengancamnya.
Bibirnya sudah terbuka, namun kalimat itu tak terungkap.

“Bilang sama gue, kalo ini bukan ide lo? Iya kan, Ra?” Mentari mendekati Hera, namun malah di cekal oleh Ridho. Cowok itu langsung menyembunyikan Mentari di belakang punggungnya.

“Ma... maaf, Hye Ri.”

“Nggak salah lagi. Elo cemburu sama Mentari karena dia deket sama Oji?” Ridho melirik sinis Hera.

“Awalnya aku pikir ini ide yang bagus. Hanya untuk menggertakmu, Hye Ri. Mencoba menabrakmu, dan kini hampir membunuhmu. Tapi saat aku urungkan niatku, ada seseorang yang membuatku terancam.”

“Terancam?” gumam Mentari.

“Lo ikut gue!” Tunjuk Ridho pada Hera. Kini ia genggam erat tangan Mentari yang mendingin. Ia bawa keduanya pergi dengan mobilnya.

***


You may also like

4 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Ao Haru Ride

Ao Haru Ride

Daftar Blog Saya

Advertisement

Facebook

Instagram