Hey, I come back #loh?
Hope you'll like this guys! :D

“Bisa anterin aku masuk?”

Ata menatapnya bingung.

“Aku takut nggak kuat saat aku masuk dan melihat Mama dalam keadaan kacau. Dan Papa marah-marah.”

Ata terdiam, lalu mengangguk.

Dengan perlahan, Ata membuka pintu yang satunya lagi sehingga terbuka lebar. Dan saat kedua sampai di ruang tamu, mereka medengar hal yang tak pernah mereka inginkan.

“Kalo begini terus, Mentari nggak akan tahu kalau Mentari adalah adik dari Matahari Senja dan Matahari Jingga!” ungkapnya dengan nada tegas. Kedua orang di hadapannya sedang terdiam membeku saat menyadari sesuatu.

“Mentari...” gumam mamanya. Kedua tangannya menutup sebagian wajahnya.

Tante Lidya menoleh. Bukan kaget biasa. Dia lebih kaget lagi saat melihat Mentari berada di pelukan Ata.

Mentari diam membeku. Masih di tempat dan masih berada di pelukan Ata. Keduanya tidak dapat berbuat apa-apa selain diam dan menunggu yang lain untuk menjelaskan.

***

“Mama kamu...”

“Selingkuh?”

Tante Lidya hanya mengangguk.

“Dengan Ayahnya Ata?”

Tante Lidya diam. Ia menatap Mentari nelangsa. Tidak ia sangka kalau Mentari malah berpacaran dengan kakak tirinya. Meskipun bukan secara hukum.

“Kenapa Tante nggak bilang dari awal pas ketemu sama aku?”

“Tante pernah mau kasih tau kamu, tapi kamu nolak. Karena kamu merasa nggak perlu tau. Dan Tante juga ngira kalau kamu sama Ata hanya sebatas teman kecil.”

Sekarang gantian Mentari yang diam. Entah perasaan apa yang kini ada di hatinya. Rasa yang tidak dapat di artikannya dengan s ebuah kata-kata.

Perasaan yang muncul di saat ia mulai mensyukuri kehadiran Ata di dalam hidupnya dan mencoba menepis perasaannya dengan laki-laki lain.

“Aku nggak tau harus gimana...” Mentari menggelengkan kepalanya berkali-kali.

“Sekarang yang penting bukan hubungan kamu sama Ata, tapi hubungan orang tua kamu. Kalau urusan yang itu selesai, otomatis urusan kamu sama Ata akan terselesaikan.”

***

“Eh, adek...”

“Nggak usah nyindir gue bisa nggak?”

“Gue nggak nyindir lho, Men. Gue kan pingin terbiasa aja manggil elo adek gue.”

Mentari menatap Ari dengan bingung. Cowok itu kini terdiam. Tatapannya lurus ke depan. Memfokuskan ke satu arah yang Mentari nggak tahu dimana fokus itu berada. Yang dilihatnya adalah tatapan sinis. Dingin. Terkendali.

Cowok itu berusaha untuk mengendalikan perasaannya. Mentari tahu, karena dirinya-lah yang menyebabkan orang tua Ari bercerai.

“Maaf...”

“Untuk apa?”

“Kalo gue nggak pernah ada, mungkin orang tua elo nggak bakal bercerai.”

“Ini bukan salah elo.”

“Ini salah gue.”

“Nggak ada yang salah. Ini takdir. Nggak semestinya kita melawan takdir atau bahkan menyesalinya. Karena itu memang sebuah takdir. Takdir yang sudah di tentukan dan nggak mungkin berubah. Kadang, gue sadar... takdir nggak selalu sempurna,”

Mentari diam.

“Ata pasti nggak bisa terima...”

Mentari menoleh. Di tatapnya Ari dengan tanda tanya.

“Dia terlalu suka sama elo. Dia sayang. Dia... cinta sama elo. Sangking cintanya, dia pernah bilang, nanti kalau selesai kuliah, dia mau lamar elo.” Ari menghembuskan nafas berat. “Gue sama Ata sama. Kalau udah suka sama orang, nggak bisa ngelepas orang itu begitu aja. Apapun alasannya. Dan nggak mungkin bisa lupain orang itu buat selamanya.”

Ini bahkan bukan sesuatu informasi yang terdengar baik di telinga Mentari.

Kini ia menyadari, begitu keegoisan itu tampak pada dirinya. Ia mencintai orang lain saat ada orang lain yang sudah di milikinya begitu mencintainya, dan ia tak membalasnya dengan perasaan yang sama lagi.

“Gue tau dari awal kalo elo nggak perlu berat-berat ngelepas Ata.”

“Maksud elo?”

“Perasaan suka lo sama Ata udah ilang semenjak elo kenal Oji.”

Mentari diam. Kaget dengan tubuh yang menjadi kaku.

***

“Mentari!”

Mentari menoleh dan mendapati Oji sedang berlari ke arahnya. Namun, ia sadar akan sesuatu. Jadi, ia balik badan dan meneruskan jalan dengan cepat. Namun, tangannya di cekal Oji dengan cepat.

“Jangan pergi!”

“Gue udah bilang untuk anggap kita nggak pernah ada hubungan!”

“Elo udah nggak punya alasan untuk nyuruh gue kayak gitu!”

Kali ini Mentari menoleh. “Apa maksud elo?”

“Gue tau kalo Ata itu adalah kakak tiri elo. Bukannya mau buka aib atau apa, gue cuma pingin elo tau kenyataan itu. Elo dan dia nggak bisa bersatu!”

“Oji! Gue nggak perlu kata-kata kasar elo itu!”

Mentari jadi merasa kalau Oji yang di hadapannya bukanlah Oji yang ia kenal sebenarnya. Cowok itu tampak beda dengan sikapnya.

Dengan kuat, Mentari menepis tangan Oji.

“Tar, elo itu nggak akan bisa bersatu sama Ata. Sadar! Sadar, Tar!”

“Ji, elo kenapa sih? Gue nggak kenal elo yang begini! Elo yang gue lihat sekarang bukan Oji yang gue kenal!”

PLAK! Mentari menampar Oji. Membalikkan badannya, lalu pergi.

Dan saat itu juga, Oji sadar sesuatu. Apa yang ia lakukan tadi? Itu bukanlah dirinya. Dirinya bukanlah seseorang yang memaksa orang lain untuk membalas perasaannya. Dirinya adalah orang yang mencintai dan rela di sakiti untuk orang lain.

Kedua tangan Oji mengepal keras. Lalu kedua tangannya mengacak-acak rambutnya dengan kesal.

“Maaf, Tar. Gue emosi...”

“Kadang elo salah mengartikan tatapan seseorang, Ji.” Tangan itu menepuk pundaknya.

Oji menoleh dan mendapati Ridho sedang menatap ke arah koridor yang lenggang itu dengan tatapan aneh.

“Dho, bukannya elo nggak...”

“Gue emang nggak suka sama dia dari awal. Tapi gue nggak suka ngeliat elo berubah begini, Ji. Elo kasar. Walaupun gue nggak suka sama Mentari, tapi gue nggak suka liat elo berubah kasar ke orang. Meskipun orang itu Mentari.”

***

“Sekarang, elo cari cara untuk ngancem Hera.”

“Maksud, Bos?”

“Elo bilang sama Hera. Celakain tu cewek! Karena kesempatan dia buat ketemu sama Oji malah lebih besar sekarang!”

“Kok bisa?”

“Jangan banyak tanya! Kebanyakan tanya, gue potong upah lo!”

“Ehhh... jangan, Bos. Iya, iya...”

“Dan jangan sampe Hera lengah karena orang itu Mentari.”

Anak buahnya hanya mengangguk, lalu pergi.

***

“Maafin gue, Tar!” Oji menggenggam tangan Mentari dengan erat. Takkan membiarkan cewek itu pergi.

Dari kejauhan, Ata melihat itu. Melihat Mentari yang kini sedang mencoba melepaskan diri dari Oji.

“Lepasin dia!” bentak Ata dengan mata yang mulai memunculkan bara api kemarahan.

“Ta, gue cuma mau...”

“Gue nggak perlu alasan elo! Dari mata gue, gue tau. Elo maksa dia!”

Dengan satu gerakan, tangan Ata menghantam perut Oji dengan kasar. Oji meringis, tapi tak mencoba untuk melawan. Ia tidak ingin melawan Ata.

“Ata... ata... udah...”

“Dia maksa kamu!” Mata Ata melirik Mentari yang kini bingung harus berbuat apa-apa. Ata salah paham!

Satu pukulan lagi. Ia arahlan ke arah wajah Oji. Tetap saja, Oji tidak melawan. Tidak akan pernah melawan.

“Elo punya Fio! Inget itu, Ji!”

“Gue tau... gue cuma mau minta... maaf...” katanya dengan terbata-bata.

Ata melepaskan cekalan tangannya pada kerah Oji. Ia diam dan menatap Oji. Mencari sebah kebohongan. Ia tidak akan pernah rela kalau Mentari di sakiti.

“Gue nggak percaya!” Lalu di pukulnya lagi Oji dengan hentakan yang lebih keras lagi. Membuat Oji terhempas di tanah begitu saja.

Di tariknya Mentari pergi dari tempat itu. Tidak akan ia biarkan Mentari untuk yang lain. Mentari hanya miliknya meski ia tahu bukan sebagai seseorang yang spesial seperti dulu. Karena sudah ada tembok besar yang memisahkan mereka berdua. Membuat jarak yang bahkan mungkin tak dapat bisa di tembus kecuali dengan sebuah ingkaran.

Keduanya terdiam.

Yang ada di dalam pikiran Ata adalah Mentari harus jauh dari Oji. Mentari harus bersamanya, meski dalam hubungan yang tak lebih. Meski ia harus merobohkan batas itu.

Jangan begini, Ta. Jangan... aku nggak mungkin menyimpan kemunafikkan ini lagi. Aku nggak mau kamu sakit. Aku nggak mau kamu tau bahwa hatiku memang bukan untukmu. Aku nggak mau membuat kamu malah merobohkan setiap batas yang terlentang di antara kita berdua. Aku... nggak mau.

“Sebagai.... eng... Kakak, gue harus tau keadaan lo, Tar. Elo wajib cerita!”

Mentari menghentikan langkahnya dengan tiba-tiba. Sementara Ata langsung menoleh saat di rasanya Mentari tak mengikutinya berjalan.

“Ada apa?”

“Eng... eh... nggak, Kak. Sori, gue enggak cerita apa-apa tentang ini sama Kakak.”

“Kenapa Ari yang selalu adi tempat lo bersandar?”

“Apa?”

“Ari tau tentang elo. Semuanya! Dia tau masalah lo, dia ngerti gimana elo, dia tau keadaan lo... tapi, gue enggak!”

Mentari menatapnya bingung. Ia bahkan enggak pernah cerita apa-apa pada Ari. Dia selalu menutup semuanya begitu rapat.

“Karena elo nggak peka, Ta.”

Keduanya menoleh ke arah suara. Tampak Ari dengan kedua tangan yang terlipat di dada merapat menatap mereka dengan tatapan datar.

“Elo nggak pernah peka dengan apa yang Mentari rasain!”

“Maksud lo?”

“Elo bahkan nggak pernah ngerti perasaan Mentari. Apa dia udah berubah, atau dia masih tetap sama. Apa dia butuh elo, apa dia butuh orang lain, elo nggak pernah tau itu.”

“Gue nggak minta pendapat lo tentang gue!”

“Kenyataan, Ta. Kadang gue berfikir sisi positif ada di elo dan negatif ada di Mentari. Tapi... ternyata salah. Keduanya memiliki positif dan negatif. Mentari nggak salah, elo juga. Ini takdir, Ta. Elo tau? Seharusnya elo udah ikhlasin hubungan itu.”

***

Kasar.

Terasa kasar di mana-mana. Sikap, sifat, keadaan, perasaan, semuanya! Tiada yang mampu membuatnya merasa nyaman. Ia harus merasakan kekasaran hidup yang terlalu berliku. Terlalu berliku hingga ia bahkan tak dapat menerobos jalan yang lurus.

Kerapuhan semakin lama semakin muncul. Namun, kadang membuat keyakinan untuk mengakhiri hidup.

Mentari berdiri di halte bis yang sedang kosong. Hujan lebat turun tak henti-hentinya. Meneteskan setiap mili air yang ada. Membasahi setiap tikungan kota.

“Tragis. Hidup gue begitu tragis. Nggak ada harapan.”

“Hidup kamu memang tidak ada harapan lagi, Mentari!”

Mentari menoleh dan mendapati sosok cewek dengan jubah putihnya. Cadar putih menutupi sebagian wajahnya. Membuat Mentari tak mengenali sosok itu dengan jelas.

“Dan tidak pantas untuk di pertahankan! Mianhe,”

Mentari memejamkan mata saat sosok itu mengacungkan pisau tajamnya. Tubuhnya tidak mau melawan atau bergerak menjauh. Tubuhnya menginginkan goresan.

“LEPAS! GILA YA LO!”

Saat itu juga Mentari membuka matanya. Seseorang berdiri membelakanginya. Tinggi, tegap, dan sosok itu sedang mencekal tangan seseorang yang ingin membunuhnya.

“Ridho...”

Terlihat Ridho berusaha membuat orang itu tidak kabur. Mencekalnya dengan kuat saat orang itu mulai mencari cara untuk kabur.

Dan saat ia membuka perlahan cadar putih yang menutupi sebagian wajah putih itu, Ridho terbelalak lebar tak percaya.

“Hera???”

Bahkan Mentari tak dapat memercayainya itu. Seorang sahabat yang ia kenal, namun kadang tak ia akui itu membuatnya tergores. Bukan di fisik melainkan di batinnya. Di kejiwaannya. Perasaannya yang paling peka.

“Hera? Nggak mungkin!” Mentari mengkilah dengan gelengan kuat saat Ridho mengatakan siapa cewek itu.

“Dia Hera, Tar!” desis Ridho tak percaya. “Gue nggak nyangka elo begini! Maksud elo mau bunuh Mentari apa!?” Matanya menyipit ke arah Hera.

Hera merasa tubuhnya dingin. Detak jantungnya terpacu begitu cepat. Darahnya bergejolak. Ia bungkam seribu bahasa. Tak dapat di keluarkannya satu alasan yang sedang mengancamnya.
Bibirnya sudah terbuka, namun kalimat itu tak terungkap.

“Bilang sama gue, kalo ini bukan ide lo? Iya kan, Ra?” Mentari mendekati Hera, namun malah di cekal oleh Ridho. Cowok itu langsung menyembunyikan Mentari di belakang punggungnya.

“Ma... maaf, Hye Ri.”

“Nggak salah lagi. Elo cemburu sama Mentari karena dia deket sama Oji?” Ridho melirik sinis Hera.

“Awalnya aku pikir ini ide yang bagus. Hanya untuk menggertakmu, Hye Ri. Mencoba menabrakmu, dan kini hampir membunuhmu. Tapi saat aku urungkan niatku, ada seseorang yang membuatku terancam.”

“Terancam?” gumam Mentari.

“Lo ikut gue!” Tunjuk Ridho pada Hera. Kini ia genggam erat tangan Mentari yang mendingin. Ia bawa keduanya pergi dengan mobilnya.

***
Sekarang, Mentari menatap ke depan. Yah, ke arah Ata. Bukan waktunya untuk menginginkan apa yang ada di dalam hatinya. Karena itu tidak mungkin. Sesuatu yang sangat tidak mungkin untuk keduanya.

Apa yang Mentari lakukan? Ia telah mendapatkan apa yang ia inginkan dulu. Bahkan ia sempat merasa hampa saat mengetahui teman kecilnya sudah memiliki “matahari” lain, bukan dirinya. Kenapa Mentari tidak mensyukuri semuanya?

Setelah apa yang ia inginkan menjadi miliknya?

Terlalu egoiskah dirinya? Atau memang waktu yang memaksanya untuk bersikap egois.

“Kamu kenapa, Tar?”

Mentari langsung menyadarkan dirinya. “Ah, iya? Kenapa, Ta?”

“Aku tanya, kamu kenapa? Bukan aku...” Kedua tangan Ata memegang wajah Mentari.

Ia terdiam. Bola matanya menatap lurus ke arah bola mata Ata. Lalu ia tersnyum dan menggeleng. “Enggak, Ta. Aku cuma ingin bersyukur.”

“Bersyukur?” Ata jadi bingung.

“Karena aku bisa milikin kamu. Itu sesuatu yang mungkin aku nggak sadari.”

Ata tersenyum lalu memeluk Mentari, dan Mentari membalas pelukannya dengan hangat.

Kali ini, ia mencoba mengikhlaskan semua yang sudah terjadi. Begini lebih baik, daripada melukai hati orang lain bahkan Fio, teman kecilnya.

“Aku sayang kamu, Tar.”

“Aku juga...”

***

“Rhaujiii...”

Hera berlari kecil ke arah Oji yang sedang membaca isi mading.

“Eh, hai Hera...” Oji menoleh dan tersenyum pada cewek itu.

“Lagi ngapain?”

“Cuma liat-liat aja kok, Ra. Kamu tumben baru keliatan? Kemana aja?”

“Oh...” Hera terdiam. “Nggak kemana-kemana kok, Ji. Aku lagi males keluar, jadi aku di apartemen terus.”

“Sebentar ya, Ra. Aku mau ke Ridho dulu. Mau ambil pesenanku. Sebentar kok, nanti aku balik ke sini lagi!” katanya.

Hera mengangguk. Sementara Oji sudah pergi dan menghilang di ujung koridor.

“Kemaren-kemaren elo males keluar?”

Hera menoleh kaget saat Ari sudah ada di sebelahnya sambil mengatakan hal itu. Apa Ari tau sesuatu???

“Iya.”

“Atau elo takut ketauan karena udah bikin temen lo hampir kecelakaan?”

“Maksud kamu apa, Ri? Aku nggak ngerti,” Hera merasa tubuhnya panas dingin. Ia merasa Ari benar-benar tahu sesuatu.

“Nggak usah pura-pura bego deh, Ra! Gue tau, elo yang bikin Mentari hampir aja ketabrak kan, waktu itu!? Gue tau elo nggak suka kalo Mentari deket-deket sama Oji? Tapi seharusnya elo liat kenyataan!”

“Tapi aku...”

Saat itu Oji sudah kembali, namun saat ia melihat Hera sedang berbicara dengan Ari, ia lebih memilih untuk mendengarkannya di balik dinding.

“Mentari menganggap Oji hanya sebatas teman! Dan elo harus tau, kalo elo nggak suka Mentari deket-deket sama Oji, elo bilang baik-baik sama dia! Lagi pula Oji udah punya pacar! Dan dia Fio.”

Oji masih mendengarkannya di balik dinding. Satu kenyataan yang membuatnya terdiam lebih lama di balik dinding itu. Bahwa Mentari hanya menganggapnya sebatas teman!

“Ari... aku...”

“Gue nggak nyangka elo jadi temen yang begitu kejam! Gue tau kok, elo bohong kan tentang penculikan itu. Bukan Mentari yang nyulik elo. Sekarang gue baru tau, elo adalah cewek jahat! Elo tau, kalo Oji bisa milih, itu Mentari atau Fio. Keduanya cewek baik!” Ari menatap Hera tepat di manik matanya. “Inget itu, Ra!”

Kemudian Ari langsung berbalik badan dan pergi meninggalkan Hera yang masih tercengang atas kedatangan cowok itu. Ari benar-benar tau sesuatu tentang dirinya dan tentang apa yang ia lakukan.

“Hera! Udah lama nunggu?” Oji keluar dari persembunyiannya di balik dinding.

“Eh...” Hera langsung tergeragap. Bingung akan melakukan apa. “Eng... enggak kok, Ji.”

“Habis ngobrol apa sama Ari?”

Telak! Hera langsung terdiam membisu akibat pertanyaan itu. Ia tak mungkin mengungkapkan semuanya pada Oji. Itu terlalu berbahaya untuk dirinya.

“Emmm... dia cuma nanyain kabar aku aja kok. Soalnya dia jarang liat aku,” ungkapnya berbohong.

“Ooh!”

Hanya itu tanggapan Oji, karena Oji tahu jelas kalau Hera sedang berbohong dan itu menambah keyakinannya kalau bukan Mentari yang melakukan penculikan itu.

Ia harus meyakinkan Mentari baik-baik saja. Karena mungkin Mentari akan dicelakai Hera atau orang lain yang mungkin membencinya.

***

“Mentari!” Oji memanggil Mentari dari kejauhan.

Yang di panggil langsung menoleh. Saat Oji tersenyum, Mentari membalasnya dengan senyuman juga. Dengan cepat, Oji menghampiri Mentari yang masih berdiri di dekat pohon.

“Hei!” sapa Oji agak gugup. “Apa kabar?”

Mentari langsung tertawa cekikian. “Baik,” katanya sambil tersenyum geli. “Heran deh, tiap hari kita ketemu tapi elo masih aja nanya kabar gue gimana. Padahal elo tau kalo gue baik-baik aja.”

Oji langsung terdiam. Malu.

“Emmm... gue kan pingin tau aja keadaan lo. Bukan secara fisik aja, tapi secara perasaan elo juga.”

Tanpa sadar Oji malah mengatakan apa yang seharusnya tidak ia katakan. Karena itu membuat Mentari goyah dan terdiam beberapa saat sebelum menjawab.

“Gue baik-baik aja, Ji. Secara fisik dan perasaan. Gue selalu baik-baik aja.”

“Yakin?”

“Ya iyalah...”

“Lo belom baikan sama Hera?”

“Ya begitulah,” Mentari mengangkat bahunya. “Dia nggak mau kasih gue penjelasan dan nggak mau percaya kalo bukan gue yang nyulik dia.”

“Dia terlalu jahat buat elo, Tar.”

“Maksud lo?” Mata Mentari mendelik. Perasaannya terpancing. Marah. Jelas, Hera kan teman baiknya selama ia tinggal di Korea dan rela pindah negara hanya untuk menemani Mentari yang kesepian. Dan haus akan kasih sayang.

“Elo emang nggak tau apa pura-pura nggak tau?”

Mentari jelas nggak ngerti maksud Oji. Tiba-tiba bilang kalau Hera terlalu jahat untuk dirinya. Padahal dia yang awalnya jahat pada Hera karena sudah berani-beraninya mencari tahu tentang masalah keluarganya.

“Tar,”

“Hmmm...”

“Jawab!”

“Gue nggak ngerti. Sumpah!”

“Dia yang hampir nabrak elo waktu elo lagi nunggu Ata jemput elo di depan kampus.”

“Ha? Kok elo tau tentang kejadian gue hampir di tabrak? Siapa yang kasih tau?”

Mentari heran. Dia selalu tutup mulut terhadap masalah-masalah seperti itu. Masalah kecil baginya. Dan dia juga percaya kalau Ari orangnya nggak ember. Tau sendirilah kalau cowok, apalagi cowok macam Ari. Yang pertama kali ia lihat adalah kelembutan.

“Gue nggak sengaja denger percakapan Hera.”

“Gue nggak percaya.” Mentari geleng-geleng kepala.

“Tapi itu nyata, Tar!” Oji bersikeras agar Mentari dapat memercayainya.

“Udah! Gue juga nggak peduli sama masalah itu. Udah lewat, Ji. Sekarang yang terbaik, elo urusin urusan elo dengan Fio dan urusan gue dengan Ata. Kita jalan sendiri-sendiri!”

Oji terdiam. Tetap mendengarkan apa yang di katakan oleh Mentari.

“Gue tau, perasaan ini nggak akan mungkin pernah bisa menyatu.”

***

“Mau es krim?”

“Enggak.”

“Mau coklat?”

“Enggak.”

“Trus kamu maunya apa?”

“Kamu...”

Mentari langsung mencubitr lengan Ata dengan genit. “Nggak usah gombal deh!”

“Jadi nggak mau di gombalin nih sama aku? Ooh, aku maunya di gombalin sama si Ari?” Ata terkekeh geli.

“Udah deh, waktu itu kan aku nggak tau kalo itu sodara kembar kamu. Dan anggap dia teman kecil aku yang udah bikin janji sama aku.”

“Gantengan mana aku sama Ari?”

Mentari bengong.

“Pertanyaaan kamu aneh deh. Kamu kan kembar sama Ari. Muka kamu sama. Jadi, bedain gantengnya gimana?” Bola mata Mentari membesar. “Sebenernya yang bloon siapa sih!?”

“Kamu ngatain aku bloon?”

“Enggak. Cuma... bego!”

Dengan gerakan cepat Ata mencium pipi kanan Mentari.

“Ata...” desis Mentari sambil mengusap-usap pipinya.

“Sekali lagi kamu katain aku bego, aku bakal cium bibir kamu.”

“Di depan semua orang?” Mata Mentari membulat. “Enggak ah!”

“Jadi maunya di tempat sepi? Oke deh!” Ata menyeringai nakal.

“Iih, aku kan bercanda ngatain kamu bego. Kamu nggak bego kok, cuma... cara pikir kamu itu aneh!”

“Duh, yang dewasa. Aku ngaku kalah deh...” Ata mencubit pipi Mentari dengan gemas.

“Iih, nggak usah pake cubit-cubit deh!”

“Itu kan tanda sayang...”

Gantian Mentari mencubit pipi Ata. Kalo Mentari nyubit orang, pasti pake tenaga kuli. “ARGH!” Ata menjerit. “Sakit, tau!”

“Itu kan tanda sayang...” Mentari tersenyum meledek.

***

Dari balik kaca, meskipun jaraknya agak jauh, Oji masih bisa melihat kemesraan di antara Ata dan Mentari. Dua orang yang kini benar-benar terlihat serasi di matanya. Dia mengakui, ada luapan marah. Luapan yang tak bisa ia keluarkan begitu saja di hadapan Mentari dan Ata.

Respon yang di terima pasti adalah penolakan. Penolakan tajam yang sangat pahit untuk Oji. Untuk semua luapan marahnya.

Pintu toko roti itu terbuka. Dan keluarlah sosok Fio yang mengenakan dress selutut dengan warna biru. Ia tersenyum gembira ke arah Oji sambil menenteng bungkusan yang berisi roti.
Fio membuka pintu mobil.

“Aku beliin kamu roti rasa cokelat, dan Chocolate panas.” Fio tersenyum sambil membukakan pintu.
“Makasih, Fi.”

Sekarang, keadaan memang benar-benar sangat berubah. Hubungan Oji yang sekarang mungkin lebih agak melembut karena sebelumnya, Oji masih tidak bisa menerimanya. Hanya bisa menerima Fio karna kasihan.

“Nanti kita lihat sunset bareng di danau? Ya, kan?”

Oji terdiam. Sunset itu biasanya ia lihat bersama Mentari. Paling tidak, kalau bukan Mentari, ia masih bisa melihatnya bersama Ridho atau Ari. Apalagi Ari yang penggila sunset. Sesuai dengan namanya.

“Oke!” Oji tersenyum. Senyum yang di paksakan.

“Oji...”

“Ya?”

“Elo masih kayak dulu kan?”

Oji tahu pertanyaan itu membunuh. Pertanyaan yang setiap kali ia dengar, ia takkan bisa menjawabnya. Karena sebenarnya, hatinya sudah berlabuh pada Mentari. Sosok yang ada saat Fio mencampakkannya.

“Masih kok, Fi.”

Dan Fio tersenyum senang dan menang!

***

Mentari membuka pintu rumahnya dengan perasaan kacau balau. Suara pecahan barang-barang beling terdengar nyaring sampai ada suara yang membuat Mentari terdiam membeku.

Di dekat pagar masih ada Ata yang sedang menunggunya untuk masuk. Saat Mentari menoleh, Ata hanya dapat tersenyum sarat pengertian.

“Kalian mau sampai kapan begini?” Suara Tante Lidya membuat Mentari dan Ata juga terdiam. “Kasihan Mentari. Dan sampai kapan kalian mau sembunyiin tentang status Mentari kalau Mentari bukanlah anak kandung ayahnya.”

Kedua tangan Mentari menutupi setengah wajahnya. Air mata tak tertahankan itu langsung tumpah. Tanpa menunggu semua terkuak.

Ata berdiri mematung di pinggi mobil Everestnya. Mobil yang Ari bagi dengannya. Bahkan Ata tak tahu tentang pertengkaran kedua orang tua Mentari. Ia hanya tahu Mentari selama ini baik-baik saja tanpa ada masalah.

Yang membuatnya lebih kaget adalah suara Tante Lidya disana. Entah untuk apa ia disana, mungkin untuk menyelesaikan semua yang terjadi.

“Untuk apa kalian bertengkar terlalu lama? Ini sudah bertahun-tahun. Kalian tahu, Cinta memang di takdirkan untuk tidak hidup lebih lama.”

Ata yang mendengar setiap perkataan itu mulai mendekati Mentari. Dan saat ia lihat cewek itu sedang menahan isak tangis yang memburu.

“Cinta... siapa?” Ata bertanya pelan.

“Dia...” Mentari terdiam di tengah-tengah isakan tangisnya. “Adik aku yang udah meninggal...”

Ata diam.

“Dia selingkuh, Lid!” Suara Ayah Mentari terdengar lantang.

“Masih persoalan yang dulu? Kenapa? Kenapa masih kamu ungkit, padahal di kedua belah pihak udah setuju untuk tidak mempermasalahkan ini lagi!”

Yang paling menyakitkan telinga Mentari adalah saat mamanya menangis menangis tersedu-sedu.

“Kasihan Mentari nggak tau kalo dia punya saudara lain. Meskipun enggak satu keluarga.”

Ata merengkuh Mentari ke dalam pelukan. Membuat cewek itu merasa lebih tenang.

“Bisa anterin aku masuk?”

Ata menatapnya bingung.

“Aku takut nggak kuat saat aku masuk dan melihat Mama dalam keadaan kacau. Dan Papa marah-marah.”

Ata terdiam, lalu mengangguk.

Dengan perlahan, Ata membuka pintu yang satunya lagi sehingga terbuka lebar. Dan saat kedua sampai di ruang tamu, mereka medengar hal yang tak pernah mereka inginkan.

“Kalo begini terus, Mentari nggak akan tahu kalau...”
Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Ao Haru Ride

Ao Haru Ride

Daftar Blog Saya

Advertisement

Facebook

Instagram