Jingga Untuk Matahari 12 (FanFiction)

2 Comments
Meskipun Tari tak mengerti dengan apa yang Ari katakan padanya tadi malam. Ia sudah mengetahui pasti. Ia terjebak dalam satu permainan kecil yang sangat sulit untuk menemukan jalan keluarnya. Ia harus memilih. Ari atau Angga.
Angga, cowok itu penuh luka. Luka dalam dan dendam yang membara di hatinya. Masa lalunya membuatnya menjdai seseorang yang pasti berbeda. Karena Tari dapat melihatnya jelas di kedua bole mata cowok itu. Cowok itu memintanya untuk tak pergi, tapi cowok itu juga tak bisa memaksa Tari.
Sedangkan Ari, dia terlihat berbeda tadi malam. Cowok itu seperti mendapatkan masalah baru yang Tari nggak tahu itu apa. Yang ia lihat di mata Ari hanyalah sebuah luka lebar yang terbuka lagi akibat sesuatu.
Kaki Tari terus saja menelusuri koridor sekolahnya. Disana tak terlihat Ari yang tampak kusut seperti tadi malam. Denga langkah gontai, ia masuk ke dalam kelasnya. Baru saja selangkah ia masuk di ambang pintu, Fio menyambutnya dengan kening yang berlipat rapat.
“Lo ngapain Kak Ari?” tanyanya dengan intonasi aneh.
Gantian kening Tari yang berkerut. “Maksudnya? Gue nggak ngapa-ngapain dia,”
“Tadi dia ke kelas, terus nanyain elo. Wajahnya pucet banget, pokoknya dia keliatan kacau banget, Tar. Lo lagi nggak berantem kan sama dia? Apa jangan-jangan kemaren Kak Ari ribut sama Angga gara-gara Angga ngajak elo pergi?” cerocos Fio.
Tari menghembuskna nafas panjangnya, lalu duduk di kursinya. “Separah itu ya Kak Ari?”  Tari melirik Fio yang kini sudah duduk di sampingnya.
Fio mengangguk, “Elo udah tau mau milih siapa?” tanya Fio dengan wajah seriusnya.
“Iya,” Tari mengangguk ragu. Ia takut pilihannya tak berujung pada sebuah kebahagiaan, ia takut pilihannya malah akan menyesatkannya, dan ia takut dengan keputusannya. Keputusan yang ia pikirkan sejak tadi malam.
Disampingnya, Fio menatap Tari lekat-lekat. “Jadi?”
Lagi-lagi Tari mengangguk, “Gue capek menghindar dari perasaan ini, Fi.”
Fio mengerti. Ia anggukan kepalanya. Kali ini, biarlah Tari menjalani apa yang dipilihnya. Fio takkan lagi ikut campur. Urusan hati memang sebaiknya di selesaikan dengan jawaban hati Tari.
***
Di halte bus, Tari terus saja menunggu. Sementara Fio sudah pulang sejak lima menit yang lalu. Tari melirik jam oranye yang berada di pergelangan tangannya. Belum terlalu sore.
Lelah. Fikiran juga tubuhnya. Tak ingin ia lari, karena lari sama saja bunuh diri. Beribu cara di tempuhnya agar ia tetap bertahan, dan kini ia akan menemukan satu alasan mengapa ia bertahan hingga kini. Bukan karena orang lain, namun hanya karena dia.
Cemas. Dengan segala yang akan terjadi di kemudian. Dengan segala rasa yang ia kumpulkan menjadi satu, Tari berusaha menembus pertahanan itu. agar sewaktu-waktu ia bisa membawanya berlari bersama. Agar orang itu tak lagi berlari sendiri di tengah badai yang tengah menerjang dan merusak pertahanan yang telah di bangun lama.
“Hai...”
Tari menoleh. Di dapatinya sosok Ata sedang menghampirinya dengan seulas senyum manis.
“Hai, Kak.”
“Lagi nunggu bus ya?” cowok itu berdiri tepat di samping kiri Tari.
Tari mengangguk. “Oh ya, Kak Ari kemana?” tanyanya dengan kening berkerut.
Ata mengalihkan pandangannya, “Nggak tau. Dia keliatan kacau tadi malem. Dia ribut sama lo ya?” terkanya.
“Enggak,” Tari menggeleng kuat. “Gue nggak tau dia kenapa. Tiba-tiba dia jadi aneh gitu,” cerita Tari.
Tangan Ata menarik lembut tangan Tari, “Ikut gue yuk!” ajaknya dengan nada manis.
“Kemana?” alis Tari bertaut menjadi satu.
Refreshing. Gue mau bikin kepala lo nggak terlalu banyak beban aja. Lo bisa cerita inti masalahnya sama gue. Mungkin gue bisa bantu elo,” ucap Ata kemudian membawa Tari masuk ke dalam bus yang ternyata baru saja datang.
Bukan kehadiran Ata yang membuat Tari menjadi merasa aneh. Namun apa yang di lakukan cowok itu. cowok itu datang dan mengatakan pada Tari bahwa dia akan menghibur Tari.
Tari tak mengerti jelas dengan apa yang sedang terjadi. Tapi ia sangat menikmati kehadiran Ata yang mengerti bahwa dia memang butuh refreshing. Dia mau terbebas dari segala macam persoalan yang kemarin-kemarin membuat kehidupan Tari terasa hancur dan berantakan.
Di sebuah tempat, dimana banyak anak kecil disana. Dimana anak kecil itu berkeliaran dengan bebas. Sebuah rumah yang terlihat agak besar, namun tak mewah. Mata Tari terus memandangi tempat ini. Mencoba mencari tahu dimana dirinya sekarang berada.
Tempat ini memiliki taman yang luas, dan tertera jelas tulisan kapital, “PANTI ASUHAN MULIA”. Di dekat tulisan kapital itu terdapat tumbuhan merambat yang hampir saja menutupi tulisan tersebut.
“Panti asuhan?” gumamnya tanpa sadar. Keningnya berkerut. Matanya menyipit, mencoba menerka apa yang di lakukan cowok ini disini.
“Gue sering kesini, Tar.” Cowok itu menggandeng tangan Tari lembut. Lalu dengan kedua bola matanya yang hitam pekat, ia tatap Tari dalam.
“Yuk. Gue kenalin orang yang ngurus disini,” ajaknya dengan senyum yang mengembang di wajahnya.
Ata membawa Tari menyusuri jalan setapak yang terbuat dari bebatuan menuju sebuah taman di belakang rumah besar itu. anak-anak disana sedang melakukan kegiatannya masing-masing. Disana juga ada dua orang perempuan dewasa dengan buku-buku yang dibawanya.
“Bu Ningsih!” seru Ata.
Wanita yang memakai jilbab itu datang menghampiri Ata dan juga Tari. Senyum lebar mengmbang diwajahnya yang putih.
“Eh... kamu Nak Ata,” ucapnya sambil bersalaman dengan Ata.
Ata tersenyum, “Oh ya Bu... kenalin ini Tari,” Ata menunjuk Tari yang sedang memandangi Bu Ningsih.
Wanita memandangi wajah Tari, lalu tersenyum. “Pacar kamu ya?” tanyanya.
“Bukan, Bu. Tapi calon pacar,”
Mata Tari langsung melebar, lalu di pukulnya pundak Ata dengan pelan. Sementara Ata tersenyum geli melihat semburat merah yang menghiasi wajah Tari.
Disaat wanita itu pergi meninggalkan Tari dan Ata, Ata memandang Tari. Cewek itu terlihat tersenyum-senyum sendiri saat melihat kearah anak-anak yang sedang bermain di taman belakang itu.
“Kasian ya. Hidup mereka harus begini,”
Tari menoleh pada Ata. Sedangkan Ata membalasnya dengan senyuman, lalu menatap ke depan dengan pandangan kosong. Mata Ata melihat anak-anak itu dengan iba. Anak-anak yang tak memiliki orang tua harus tinggal disini. Kadang diantara anak-anak itu, mereka masih memiliki Ayah atau Ibu. Sayangnya mungkin karena tak kemampuan dari orangtuanya, mereka harus hidup seperti ini.
Kadang kebahagiaan itu tak dapat dilihat dari seberapa kaya kita. Seperti apa kehidupan kita. Namun terlihat dari seperti apa kita tersenyum, tertawa menghadapi semuanya dengan keikhlasan. Dengan satu harapan bahwa hidup kita akan lebih baik daripada hari ini nantinya.
“Walaupun seperti itu, mereka masih bisa tersenyum. Masih bisa tertawa. Meskipun gue yakin, ada terjangan badai atau halilintar yang setiap kali memporak-porandakan hati mereka. Membuat hati mereka seakan disayat oleh ribuan pisau yang entah setajam apa. Mungkin aja setajam pisau yang baru saja di asah,”
“Lo suka sama anak kecil?” terkanya dengan mata yang menyipit.
Ata mengangguk, “Mereka itu hidupnya punya sisi yang enak dan nggak enaknya juga. Sama kayak kita. Kadang ada yang bisa hidup sedari kecil dengan kebahagiaan, tapi... ada juga yang harus hidup penuh derita disaat mereka masih belia seperti ini.”
Lagi-lagi Ata terkagum-kagum dengan tindakan yang Ata lakukan. Dengan ucapannya yang mampu membuat seribu kecurigaan bisa luntur seketika. Ketika semua prasangka yang tak harus ia yakini, hilang dalam sekejap mata. Hanya karena sebuah kata-kata.
***
“TARIII...” seru Fio dengan kehebohan tingkat luar biasa.
“Apa?” tanya Tari sambil menghampiri teman sebangkunya itu.
Tangan Fio mengeluarkan satu kotak manis berwarna oranye. Ada pita yang menghiasi kotak itu. Lalu dengan tangan kirinya, Fio mengeluarkan sebuket bunga mawar yang harumnya bisa dirasakan dari jauh.
“Dari siapa?” kening Tari berkerut.
“Kak Ari-lah buat elo. Gue juga dapet,” ucapnya sambil senyum-senyum sendiri.
Tari menerima barang-barang itu. “Lo dapet dari Kak Ari juga? Dapet upeti dong lo.”
“Ya enggaklah... gue nggak dapet dari Kak Ari. Gue dapet boneka teddy bear dari orang lain,” ucapnya dengan mata yang masih saja berbinar-binar.
Tari duduk di kursinya dengan helaan nafas panjang. Fio mengikutinya, namun masih sambil senyum-senyum nggak jelas.
“Lo dapet dari siapa emang?”
“Dari...” Fio menggantungkan kalimatnya. Semburat merah langsung mewarnai wajahnya. “Kak Oji,” ucapnya malu-malu.
Mata Tari terbelalak lebar, lalu tersenyum geli. “Ternyata... setelah lo marah-marah, ngomel-ngomel sama Kak Oji... lo suka juga...”
Lengan Fio menyikut lengan Tari, ai mendengus kesal. “Lo juga sama, Tar. Setelah marah-marah, ngamuk, nangis gara-gara Kak Ari. Elo juga pasti ujung-ujungnya milih dia,” Fio nggak terima di ledek sendirian. Tari juga harus kena.
“Eh... Tar, buka kotak elo dong. Gue mau liat seromantis apa Kak Ari sama elo,”
Tari mencibir, lalu di bukanya kotak oranye itu dengan perasaan yang aneh. Matanya terbelalak mendapati kalung putih yang tertutupi oleh kelopak bunga mawar putih. Lalu di dekat kalung itu, ada sebuah kertas putih.
“Gila! Kalungnya cantik banget,” seru Fio keras.
Kontan hampir seluruh isi kelas menghampiri Tari.
“Ada apa? Ada apa?” tanya Nyoman dengan mata yang melirik ke kanan dan ke kiri.
“Itu tuh, kalungnya cantik banget ya.” Fio menunjuk kalung yang berada didalam kotak oranye itu.
“FIO!” pekik Tari kesal. Matanya melirik Fio tajam.
“Sori, Tar. Keceplosan. Bagus banget sih kalungnya,” jari Fio menunjukkan huruf “V” pada Tari.
“Ya ampun, Tar. Cantik banget nih kalung!” kali ini seruan heboh berasal dari mulut Maya. Matanya berbinar, apalagi teman-teman yang ada di belakang Maya. Yang mengumpul untuk melihat kalung yang dibilang cantik itu.
“Gue mau dong!” pinta Devi dengan suara yang tak kalah hebohnya.
“Dari siapa, Tar? Kak Ari?” kali ini Nyoman memandangnya dengan mata yang melebar maksimal.
Tari hanya dapat menghela nafas panjang. Lalu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Tiba-tiba, belum ada satu menit Tari menutup wajahnya, bunyi ponsel memekakan telinganya. Ia rogoh sakunya untuk mengambil ponselnya. Lalu ia tatap layar ponsel itu dengan kening berkerut, ia dekatkan ponsel itu ke telinganya.
“Gimana? Bagus nggak?” tanya seseorang diseberang sana.
“Jelek banget, tau!” jawab Tari kesal. “Sangking jeleknya, tu kalung sekarang di perebutin sama anak-anak di dalem kelas,” ucap Tari mendengus. Dia yang di kasih kalung, teman-temannya yang sekarang malah mencobanya. Dia aja baru lihat kalung itu, tapi teman-temannya sudah perebutan untuk memegang kalung itu.
Tawa geli terdengar diseberang sana, “Jelek ya? Boleh diambil lagi nggak tuh?”
“Ambil gih! Yang megang juga bukan gue, tapi anak-anak.” Tari jadi malas ngomong. Nggak nafsu jadinya.
“MISI!” seru seseorang diambang pintu.
Semuanya menoleh kearah suara itu, termasuk Tari yang masih menempelkan ponselnya ditelinganya. Semua membeku seketika. Tak ada yang bicara dan tak ada yang berani lagi perebutan kalung.
“Bisa balikin kalungnya sama Tari?” tanya cowok itu dengan manis pada Maya.
Maya mengangguk secara otomatis, diberikannya kalung itu pada cowok yang berada di hadapannya. “Maaf, Kak.” Maya langsung menunduk dalam-dalam.
“Nggak pa-pa,” jawab Ari dengan senyuman yang mengembang diwajahnya. Lalu ia dekati Tari yang kini termangu dengan ponsel yang masih saja menempel ditelinganya.
“Gue udah disini. Ngapain elo masih nempelin tu HP di kuping elo?”
Tari tersentak. Tersadara akan lamunan panjangnya. Ditatapnya cowok ini dengan kening berkerut. “Lo ngapain?”
Tangan Ari membuka kaitan yang ada di kalung itu. lalu memasangkannya di leher Tari. Cowok itu langsung tersenyum dan mengacak-acak rambut Tari.
“Lo cantik,” ucap Ari.
Semua yang berada di kelas —terutama para cewek— terpesona seketika. Mereka merasa sedang terbang. Kakak kelasnya ini ternyata romantis banget. Terlebih-lebih Tari adalah cewek pertama yang menjadi cewek pertama yang Ari sayangi. Romantis banget kan!? Kurang apa coba Ari?
Semburat merah terlihat jelas di pipi kanan dan kiri Tari. Kontan ia menunduk malu. Ia tatap kalung manis berbentuk matahari itu.
***
Butuh waktu lama untuk memikirkan semuanya. Namun bagi Tari ini sudah terlalu cukup. Ini waktunya untuk dia menunjukan bahwa dirinya punya pendirian. Dia tak ingin lagi lari kesana kemudian kesini dengan waktu yang singkat. Dengan hati yang terbelah menjadi dua bagian.
Kadang, Tari merasa bahwa pilihannya akan membuatnya masuk ke dalam satu jurang yang lebih dalam daripada jurang yang sebelumnya. Hari ini, akan diungkapkan semua isi hatinya pada seseorang itu. Bahwa dia takkan lagi melirik kearah orang lain. Bahwa dia ingin hidupnya hanya orang itulah yang menghiasi. Hanya orang itulah yang mampu menata satu kehidupan yang penuh kebahagiaan.
Dengan langkah yang terburu-buru, ia telusuri koridor sekolah dengan hati yang berbunga-bunga. Dilihatnya Oji dan Ridho sedang tertawa di ujung koridor. Dihampirinya dua teman karib Ari tersebut.
“Hai kakak-kakak kelasku yang ganteng,” sapanya dengan senyuman sumringah.
Kedua menoleh dengan kening yang berlipat rapat.
“Tumben lo nyapa gue? Bilang ganteng, lagi. Ada maunya ya lo!?” Oji langsung curiga sama tingkah Tari. Karena biasanya yang Tari lakukan adalah menghina dirinya.
“Hai juga, Tar.  Lo pasti mau nyari Ari ya?” kali ini Ridho membalas sapaannya dengan lembut dan manis. Nggak pakai curiga-curigaan kayak Oji.
“Ya ampun, Kak. Curiga amat lo sama gue,” dengus Tari kesal pada Oji. Oji hanya membalasnya dengan cengiran. Lalu pandangan Tari beralih pada Ridho, “Iya, Kak. Kak Ari dimana ya?”
“Dia... nggak masuk hari ini, lo mau ngomong sesuatu sama dia? Biar gue yang sampein,”
Wajah Tari langsung berubah murung. “Nggak deh, Kak. Saya ke kelas dulu ya,” pamitnya dengan nada lemah.
“Eh... Tar!” seru Ridho memanggil Tari. Tari kontan langsung menoleh. “Nanti pulang sekolah, Ari ngajak lo pergi. Dia mau urusan lo sama Angga selesai hari ini juga.”
Mata Tari terbelalak. Memang, ia sudah tahu siapa yang akan ia pilih nanti. Tapi ia belum siap untuk bertatap muka dengan Angga. Dengan cowok yang mungkin akan membuatnya menjadi tak enak hati saat mengungkapkan pilihannya.
***
Pulang sekolah!
Tari dan Fio langsung deg-degan. Nggak tahu harus berbuat apa untuk menghindari waktu ini. Tapi Fio terus meyakini Tari, bahwa apa yang di pilihnya adalah yang terbaik untuknya. Apa yang terjadi nanti, itulah takdirnya.
Dari arah belakang, bisa dirasakannya genggaman kuat. Fio menoleh dan mendapati Oji sedang nyengir kuda pada dirinya.
“Kak Oji? ngapain?”
Tari ikut menoleh mendengar suara Fio. Dilihatnya Oji dengan pandangan tanya. Tapi Oji membalasnya dengan seulas senyum dan kedipan mata.
“Ini kan urusan Tari sama Ari. jadi lo nggak boleh ganggu, Fi. Lo ikut gue aja!”
“Ikut kemana?” kening Fio menjadi terlipat rapat.
“Uadh, ikut gue aja!” tangan Oji menarik tangan Fio. Lalu Oji menoleh sebentar pada Tari, “Good Luck ya, Tar.”
Tari terdiam, matanya mengikuti kepergian dua orang itu. Lalu ia menoleh kearah gerbang. Matanya terbelalak kaget saat mendapati Ari sudah berada di sebrang jalan. Kontan, dengan langkah panjang ia menyusuri jalan aspal itu dengan cepat.
Mata mereka saling tatap. Tari dengan tatapan tandan tanyanya dan Ari dengan tatapan tak terartikannya. Lalu Ari menyuruh Tari untuk cepat naik keatas motornya.

Ini adalah tempat di hutan itu. Tempat yang dulu. Tari perhatikan sekeklilingnya. Emncari sosok yang akan menuntaskan permasalahannya dengan Ari. terlihat cowok itu sudah menunggu Tari di bawah pohon. Sementara Tari mulai merasa aneh dengan genggaman tangan Ari padanya. Genggaman itu membuatnya seakan merasa terjebak dalam situasi yang lebih parah daripada tawuran.
Kondisi Tari tiba-tiba melemah saat dilihatnya Angga menatapnya dengan tatapan datar.
Sesaat mereka terdiam dalam kebisuan. Tangan Ari masih menggenggam erat tangan Tari. Sementara mata Angga kini beralih pada kedua tangan yang kini menyatu menjadi satu. Dengan cepat, ia tarik tangan Tari dari genggaman Ari. Kasar. Tari meringis kesakitan akibat tarikan kuat yang dilakukan Angga padanya.
“Ga, lepas! Sakit,” Tari merintih kesakitan atas cekalan tangan Angga yang membuat tangannya memerah.
Mata Angga kini menatap Ari tajam, allu beralih kearah Tari. “Lo milik gue!” desisnya pada Tari.
Seketika itu juga Tari terdiam. Membeku di tempat. Inilah Angga yang sebenarnya. Penuh dendam dan amarah yang membara. Sementara Ari menatap garang Angga tepat dikedua manik matanya.
“LEPAS!” bentaknya kasar.
“Tari harus ngerasain apa yang dia rasain!” tangan Angga melepas cekalannya pada Tari. Lalu tangannya mengarah pada Ari dan BUKKK… satu tinju melayang seketika.
Ari tersungkur jatuh dengan darah segar yang mengalir disekitar wajahnya. Lalu ia mencoba berdiri, namun Angga langsung mendorongnya hingga jatuh lagi ke tanah. Ia pukul Ari tepat dibagian ginajl cowok itu dengan keras.
Nanar. Tari menatapnya dengan pedih. Sakit. Pasti sakit sekali. Air beningnya turun melihat Ari tersungkur tak berdaya dengan darah yang kini mulai mengalir dimana-mana. Wajah Tari berubah pucat pasi. Ia tutup matanya agar tak melihat perkelahian berdarah ini.
“Lo rasain semua pedihnya! Sama seperti waktu lo bikin dia sakit! Merana!” teriak Angga dengan satu pukulan yang melayang lagi pada tubuh Ari.
Ari mengerang kesakitan. Dibibirnya, di wajahnya, semua penuh dengan darah. Lebam biru terlihat dimana-mana. Tubuhnya melemah seketika.
“ANGGA LEPAS!!!” teriak Tari ketakutan. “Gue nggak akan pernah merubah pilihan gue. Gue tetep akan milih Kak Ari bukan elo!”
Mata Angga melirik Tari, tajam. Menusuk tepat dikedua bola matanya yang cokelat.
“Gue nggak butuh pilihan lo!!!” sentaknya dengan nada kasar. “Gue cuma butuh penyerahan lo! Semuanya! Gue pingin lo ngerasain sakit yang sama!”
Deg… hati Tari terasa terpukul. Ia merasa ingin terjatuh. Kepalanya pening tiba-tiba. Selama ini, cowok itu bersikap manis padanya. Namun, dibalik semua yang dilakukannya ada amarah dan benci. Dendam yang sangat ingin dibalasnya pada seseorang yang telah melukai dan menodai masa lalunya dengan sebuah kepedihan.
Angga hanya memakai topeng di kala itu. Kini ia buka semuanya. Ia buka topeng yang selama ini melekat pada dirinya. Ia benci dengan kebohongan. Dan kini ia tunjukan seberapa besar dendamnya pada Ari.
Ari bangun dari kejatuhannya. Ia langsung membalas tinju Angga dengan pukulan yang tak kalah sadisnya. Angga mengerang kesakitan, namun ia langsung membalasnya lagi hingga lagi-lagi Ari tersungkur jatuh ke tanah.
“Butuh waktu lama sebelum akhirnya dia menyerah. Butuh waktu akhirnya dia pasrah!”
Suara itu terdengar dari dalam hati Angga yang paling dalam. Seketika Ari mencoba mengatur nafasnya yang terengah-engah akibat pukulan Angga. Ia pegang sudut bibirnya, terdapat darah disana. Cukup banyak. Namun darah yang kini keluar dari bibir Ari tak sebanyak penderitaan yang Angga rasakan.
Dengan kedua tangannya, ia raih kerah Ari. Membuat tubuh Ari menjadi tegak dengan paksaan. Kasar. Tangan Angga meninju wajah Ari lagi. Ari lemah tak berdaya. Tak mampu lagi ia serap setiap kata yang keluar dari bibir Angga. Cowok itu berkali-kali menyeruakkan kemarahan yang tiada tara.
“Gue benci lo! Lo bunuh dia dengan semua yang lo lakuin!”
Pening hebat menyerang kepala Ari yang berkali-kali mencoba berpikir keras dengan maksud kalimat Angga. Ia tutup kedua matanya, mencoba menghilang pening yang menyergap setiap sel yang berada di otaknya. Namun tak berhasil. Pening itu tetap menyergap setiap sel yang ada. Membuat Ari ahrus berpasrah diri dengan tindakan kasar Angga selanjutnya.
Akhirnya, Angga hentikan pukulan sadisnya pada Ari. Ia tatap Ari nanar. Berkali-kali ia coba untuk memahami sisi cowok ini. Namun tetap saja tak bisa. Semakin lama, ia menjadi semakin membenci Ari. semakin ingin ia buat cowok ini akhirnya mengalah pada satu penyerahan yang nyata.
Dengan sigap, Tari membantu Ari duduk dibawah pohon. Sementara Angga menatapnya tajam. Ketiganya terdiam dalam kebisuan. Mata Ari tertutup rapat, ia coba hilangkan lagi setiap rasa sakit yang menyergap tubuhnya dan pening hebat yang mampu merusak setiap sel yang berada di otaknya. Angga tertunduk lemas dibawah pohon yang sama dengan Ari.
Tari membantu tubuh Ari yang ingin menyender pada batang pohon yang besar. Ia tatap Ari dengan pandangan nelangsa. Cowok ini tersakiti. Sama seperti Angga yang kini marahnya mulai hancur. Mulai hilang akibat perkelahian yang membuat Ari terjatuh.
“Apa salah dia?” suara serak Tari menyeruakkan kebingungan atas tindakan Angga pada Ari. matanya masih sembab, air matanya masih mengalir deras.

Mata Ari perlahan terbuka mendengar pertanyaan Tari. Dan terungkaplah semua.

Clue buat part selanjutnya adalah terungkapnya alasan mengapa Angga begitu membenci Ari. Hayo... kenapa ya? Tunggu kelanjutannya di JUM 13...


You may also like

2 komentar:

  1. Masukan dikit nih, buat typonya "Lagi-lagi Ata terkagum-kagum dengan tindakan yang Ata lakukan". Itu maksutnya Tari bukan ya, yang terkagum sama Ata ?? overall ceritanya bagus, suka :))

    BalasHapus
  2. hehehe, iya nih banyak typo :D makasih banyak loh ya udah mau baca, koreksi juga :)

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Ao Haru Ride

Ao Haru Ride

Daftar Blog Saya

Advertisement

Facebook

Instagram