Jingga Untuk Matahari 10 (FanFiction)

0 Comments
Hai readers, saya kembali lagi nih :) sesuai jadwal ya. Senin-Kamis. Udah kayak puasa sunnah aja ya? Hehe... Yang mau kasih komentar bisa juga lewat twitter @rinstriwi. Happy reading... 

“Kak, lo tau darimana semuanya?” tanya Tari seraya mencoba mengikuti langkah Ari yang panjang-panjang.
Ari menghentikan langkahnya, lalu ia tatap Tari. “Kenapa lo sembunyiin semuanya dari gue?” tannyanya dengan nada yang tajam.
“Gu… gue… cuma belom siap aja,” ucapnya terbata-bata.
Dengan kedua tangannya, Ari pegang pundak Tari kuat. Ia tatap cewek itu dengan pandangan tenang dan senyum pahitnya. “Gue udah bilang kan, kalo apapun yang terjadi, lo harus cerita sama gue.” Ari menghembuskan nafas kesabarannya.
“Maaf,” lirih Tari seraya menundukkan kepalanya. Ia tak sanggup menatap mata tajam itu terlalu lama.
“Lo tau, apa yang di lakuin Ata ini udah berlebihan,” ucapnya dengan penekanan di setiap katanya. Dengan tangan kanannya, ia sentuh dagu Tari, mengangkatnya agar mau menatap matanya. “Seharusnya lo pikirin gimana baiknya, jangan nurutin kemauan dia,”
“Gue… cuma mau lo nggak sakit dan terpuruk lagi,” Tari menolak untuk menatap mata tajam itu. Ia memalingkan wajahnya dari wajah Ari.
Terdengar hembusan nafas lagi, “Lo di ancem apa?”
“Gue nggak di ancem,” jawab Tari, masih memalingkan wajahnya.
“Terus kenapa lo lakuin ini? Pilihan apa yang bikin lo berbuat seperti ini?” nadanya menajam. Sepertinya Ari sudah menelan rasa kesabarannya untuk cewek ini.
“Berkorban atau… mengorbankan,” kali ini ia beranikan diri untuk menatap kedua bola mata Ari yang mencekam.
“Kalo lo pilih mengorbankan?”
“Dia… akan misahin lo dengan nyokap lo! Padahal selama ini lo butuh seorang nyokap di dalam hidup lo!” tegasnya sampai-sampai ia lupa memanggil Ari, kakak. Emosinya meluap, ia nggak mau di salahkan begitu saja.
“Ck… berkorban?” Ari berdecak kesal.
“Gue harus jadi…”
“Pacar palsunya? Berarti lo dan dia sama aja dong. Tukang makar! Manipulasi,” potong Ari cepat. “Gue nggak ngerti sama jalan pikir lo! Pendek banget. Apa lo nggak mikir, dia nggak mungkin bisa misahin gue dan nyokap,” ucapnya.
Mata Tari menantang mata Ari. Tukang makar? Segitukah bodohnya dia sampaidia di bilang tukang makar bahkan manipulasi! “Kalo dia bisa?”
Ari menggeleng cepat, “Seperti apapun cara itu. Dia tetep aja nggak bisa,”
Tari lelah. Lelah menantang mata tajam itu. Lelah beragumentasi. Lelah membela dirinya sendiri. Ia rasa, kini ia terpojok. Sangat terpojok hingga ia merasakan sendirian tanpa pembelaan.
Ari melepas pegangannya di pundak Tari. Lalu dengan kedua tangannya, ia tarik tangan kanan Tari ke dalam genggamannya. Pelan, ia gandeng Tari menyusuri koridor sekolah menuju tempat parkiram.
Sejenak ia tatap Tari dengan tatapan yang tak dapat di mengerti. Lalu ia tersenyum lebar seraya mengacak-acak rambut Tari yang tergurai dengan indah.
Dalam hatinya, ia berjanji akan menjaga Tari, bagaimanapun caranya. Cewek ini begitu berarti untuknya, dia adalah satu orang yang dapat membuat hidup Ari menjadi indah dan Ari bisa semangat lagi. Meskipun cewek itu tak tahu apa-apa tentang itu.
***
Dingin. Udara pagi ini begitu dingin sehingga membuat tubuhnya menggigil. Pagi yang sejuk ini membuat hatinya nggak perlu lagi merasakan ketakutan. Karena dia nggak akan berdiri sendiri lagi. Seseorang itu kini kembali disisinya. Satu masalah selesai. Tapi… tidak pada kenyataannya. Sekarang Ari dan Ata seperti musuh. Sama-sama saling diam. Tapi Ata berbeda, dia hanya menatap lurus Ari jika Ari menatapnya tajam.
Satu alasan Ata itu belum dapat Tari mengerti sepenuhnya. Alasannya hanya singkat, Ari harus merasakan apa yang ia rasakan dan Tari nggak tahu jelas apa yang kini di rasakan cowok itu. Nggak tahu harus menanggapinya dengan apa. Dengan amarah atau malah kebaikan.
Bahkan Tari nggak tahu bagaimana caranya Ari bisa mengetahui semuanya. Padahal kemarin, Ata nggak membahas tentang semua sandiwara yang Tari mainkan bersama Ata. Ari tetap bungkam dengan seulas senyum yang pahit.
Apa yang Tari tahu, tak sebanyak apa yang Ari tahu. Apa yang Tari pikirkan, berbeda jauh dengan apa yang Ari pikirkan. Jadi, sebenarnya Tari salah mengambil keputusan. Seharusnya ia bisa jujur dalam hal ini. Terutama ini juga menyangkut Ari bahkan saudara kembarnya. Sampai saat ini pun, Tari belum bisa melaksanakan janjinya. Jujur. Ya, hanya jujur. Tari tetap tak bisa melakukannya.
“Kenapa?”
Tari menoleh dan mendapati Ari di sampingnya. “Enggak kenapa-kenapa,” Tari menggeleng. Ia sunggikan senyum manis untuk Ari.
“Masih mikirin Ata?”
Wajah Tari langsung berubah jadi cemberut, “Apa sih! Kurang kerjaan banget mikirin dia, mendingan mikirin so…” kalimat Tari terhenti menginat kalimat yang akan di ucapkannya adalah kalimat sakral.
“So… Apa?” alis Ari terangkat sebelah. “Soto? Somay? Sosis? Sol sepatu? Sop? Soal semesteran? Atau malah… Sopir bokap gue?” terka Ari dari setiap kata yang berawalan “So”.
Kontan Tari mengernyitkan keningnya, “Hah!? Sopir bokap lo?” Tari tercengang. “Enggak deh, makasih banyak!” ia mengibas-ibaskan tangan kanannya.
“Udah ngaku aja! Kalo lo lagi mikirin sopir bokap gue!?” goda Ari dengan senyuman lebarrr sekaliiii.
Tari bertolak pinggang, “Enak aja! Yang gue pikirin itu sodara kembarnya Kak Ata! Bukannya sopir bokap lo!” tegasnya dengan nada lantang.
Seketika membuat seseorang didepannya ini memunculkan senyum gelinya. Sedangkan Tari, yang baru menyadari kebodohannya itu, langsung menutup mulutnya rapat-rapat.
Gila! Kok keceplosan sih!? Di depan orangnya lagi! Tari memaki dirinya di dalam hati. Kedua tangannya masih tetap menutup mulutnya. Ia memalingkan wajahnya agar Ari tak melihat rona merah yang muncul di lekuk wajahnya.
Tangan Ari bergerak, melepas tangan Tari yang menutupi mulutnya. Lalu Ari mengubah posisi wajah Tari, agar Ari bisa memandangnya.
“Kenapa? Gue kan selalu di samping lo. Ngapain di pikirin? Kangen? Atau malah… terkagum-kagum sama gue ya!?” Ari menyikut Tari pelan.
Semburat merah itu muncul lagi. “Enggak! Ngapain gue kangen sama lo! Gue kan lagi mikirin, gimana lo bisa tau semuanya!?” kilah Tari.
“Dari gue, Tar!” seru seseorang yang berasal dari belakang tubuh Tari.
Tari membalikkan badannya dan mendapati Oji sedang melambai kearahnya dan berjalan mendekatinya. Di sebelahnya Ridho.
“Kak Oji!?” pekiknya tak percaya.
Ridho mengangguk, “Inget nggak waktu lo pingsan di gudang karena sakit?”
“Jadi, yang nolong gue itu Kak Oji?” mata Tari melebar. Semuanya mengangguk. Tari langsung mendekati Oji.
“Nggak pake peluk-peluk!” peringat Ari galak.
Tari menoleh, “Siapa coba yang mau meluk dia!” gerutunya. Tangan kananya mengamit tangan Oji. “Thanks banget, Kak. Kalo waktu itu nggak ada lo, mungkin gue bakal jadi penghuni gudang!” senyumnya mengembang di wajahnya.
“Sama-sama, Tar.”
“Gue doain deh, Kak. Semoga Fio nerima cinta lo!” seru Tari.
“Wah… Tar. Thanks banget yah, lo udah mau dukung cinta gue ke Fio.” Oji tersenyum lebar. “Nggak kayak si Ridho dan calon pacar lo, Tar. Jahat banget sama gue!” adunya dengan nada kesal.
Mata Tari melebar, ia bertolak pinggang. “Apa-apaan? Calon pacar gue!?”
Peace,” Oji menaikan kedua jarinya yang membentuk huruf “V”, lalu dengan kecepatan kilat, ia ngibrit daripada di jitakin Tari. Dan Tari nggak bisa ngejar Oji karena bel masuk sudah berbunyi nyaring.
***
Dengan langkah pelan, Tari telusuri koridor utama. Fio nggak masuk. Jadi, ia terpaksa pulang sendiri. Fio sakit panas dan meriang gitu. Jadi, Tari berniat untuk menjenguk Fio di rumahnya langsung dari sekolah.
Disaat kaki Tari melangkah menuruni undakan tangga, kakinya berhenti dengan cepat saat ia sadari ada sepasang kaki yang menghalangi langkahnya. Tari mendongak, ia dapati Ari sedang berdiri di hadapannya dengan senyum lebar yang manis.
“Jalan yuk!” ajaknya dengan nada paksa.
“Kemana? Gue mau jenguk Fio nih,” ucap Tari dengan kening brekerut.
“Jenguk Fionya nanti aja, sekarang lo ikut gue!” paksanya.
Akhirnya Tari pasrah. Tarikan Ari itu langsung membawanya menuju tempat parkir sekolah. Lalu ia duduk di belakang Ari. Dan satu pemaksaan –yang sebenarnya Tari lakukan dengan ikhlas– yang harus Tari lakukan. Tari harus memeluk pinggangnya!
Dengan setengah ikhlas dan setengah bahagia, ia turuti kemauan Ari. daripada di pelototin terus di bentak-bentak nggak berhenti meskipun sudah berganti hari. Mendingan nurut aja deh kemauan dari pentolan SMA Airlangga ini. Membantah adalah salah satu jalan tercepat untuk mati di tangan Ari.
Sebenarnya. Ada tiga orang yang memerhatikan mereka dari jauh. Dari tempat yang berbeda. Tiga orang itu punya dendam masing-masing. Dan di masing-masing pikiran dari ketiga orang itu berbeda. Ada perasaan marah, ada iri, ada bersalah dan masih banyak lagi pikiran tentang orang yang kini di pandang mereka.
Tari dan Ari pergi ke tempat yang pernah mereka kunjungi sebelumnya. Di suatu tempat yang nyaris seperti hutan belantara. Kali ini tetap saja, suasananya sepi karena bukan hari libur. Dengan tangan kanannya, Ari menggandeng Tari mengelilingi tempat tersebut.
Ketika mereka sudah terlalu asyik karena telah mengobrol banyak, hingga mereka seperti satu pasangan yang romantis abis. Satu tangan yang berasal dari belakang, menarik tangan kiri Tari, membuat genggaman lembutnya dengan Ari terlepas.
Keduanya menoleh dan mendapati mata tajam yang kini menatap Ari dan Tari tajam. Mata elang yang menusuk kedua mata orang yang ada di hadapannya. Lalu dengan kasar ia tarik tangan Tari dengan kasar, pergi menjauh dari Ari. Meskipun Tari memberontak, ia tetap tidak bisa lepas dari cekalannya. Dengan cepat pula, Ari hentikan langkah itu dengan berdiri di depan orang yang membawa Tari saat ini.
Mata Ari dan matanya kini beradu. Tangan kiri Tari di genggam kasar oleh orang itu, sementara tangan kanannya di genggam erat oleh Ari. Mereka berdua sama-sama menatap tajam. Tak membiarkan Tari di rebut satu sama lain di antara mereka.
“Lo mau apa?” tanya Ari tajam. Nadanya meninggi. Kesabarannya sudah tak bisa lagi ia tahan. Kemarahannya pun tak dapat ia redam. Orang ini membuatnya naik pitam.
“Tari!” tegasnya. Matanya tetap menatap Ari tajam. Gigi gerahamnya mengatup rapat. Di tahannya semua emosi yang sebentar lagi akan meledak. Sebelum satu buah tinju melayang.
Sementara, Tari di antara kedua orang itu. Menatap mereka bergantian. Menatapnya dengan pandangan tanya. Haruskah ia menjadi korban diantara mereka berdua? Haruskah ia tersesat di dalam pertanyaan yang pastinya akan membuatnya kebingungan bahkan kelelahan?
“Nggak bisa!” katanya tegas. Ari menegaskan bahwa Tari takkan pernah bisa di dapatkan orang itu.
“Gue bisa!” katanya melawan tatapan mata Ari yang tajam.
“Enggak!” tegas Ari lagi.
Sepertinya kesabaran orang ini sudah habis di telan ketegasan Ari yang menjadi-jadi. Satu tangan kanannya bersiap-siap untuk meninju Ari. Dan… bukkk… satu tinju melayang dari tangannya. Ari hampir tersungkur jatuh. Tari langsung meminggirkan diri. Memojokkan tubuhnya di batang pohon yang rimbun.
Perkelahian berdarah ini terjadi lagi! Dan ini lebih dari sengketa yang biasanya terjadi. Adu jotos ini benar-benar menyakitkan mata Tari yang melihantnya. Ari terluka cukup parah dari pada cowok yang ada di hadapannya ini.
“Mau berapa kalipun lo nonjok gue, Tari nggak bisa jadi milik lo, Ga!”
Kalimat itu membuat Angga menjadi geram. Ia layangkan satu tinju untuk Ari lagi, namun saat tangannya masih di udara, ada tangan yang mencekalnya dan malah meninju Angga dengan kasar. Kontan Ari menoleh, di dapatinya Ata sedang dalam keadaan marah!
Angga menatap orang itu dengan mata terbelalak. Sebelumnya, ia bahkan belum bertemu dengan saudara kembar Ari ini. Saat ia melihatnya, begitu mirip. Nyaris tanpa perbedaan yang kasat mata. Angga lengah, Ata memukulnya lagi. Lebih keras dan kasar. Sementara itu, Ari masih tercengang menatapnya dengan pandangan tak percaya. Ata berbeda!
Tubuh Angga tersungkur jatuh menyentuh tanah. Ia luka parah, namun ketika Ari melihatnya, ia menghentikan tindakan Ata yang sudah kalap. Ia cekal tangannya. Lalu ia tatap saudara kembarnya itu, “Cukup!”
Terpaksa Ata menghentikan tindakannya. Ia tatap Angga dengan tatapan sinis dan senyum pahit. “Sekali lagi lo nyakitin dia, gue jamin lo nggak akan selamet!” tegasnya dengan mata yang menatap Angga tepat di manik mata milik Angga.
Ridho dan Oji datang terlambat, tadi di sekolah mereka menguntit Ata. Curiga dengan tingkahnya tang sedari radi menatap Ari dari kejauhan. Karena takut terjadi apa-apa dengan Ari, mereka memutuskan untuk mengikuti Ata hingga kini mereka mendapati Angga tersungkur jatuh.
Ridho mengulurkan tangannya pada Angga. Kasihan juga, satu lawan banyak. Pastilah nggak menang! “Ayo bangun!”
Angga menepis tangan Ridho dengan kasar, “Gue bisa bangun sendiri!” tegasnya seraya mencoba berusaha untuk bangun dari posisinya yang tersungkur jatuh. Tapi usahanya sia-sia, ia terjatuh lagi.
“Elo tuh ya, gua baik hati nih. Cepet bangun!”
Akhirnya dengan setengah ikhlas dan setengah nggak enak, Angga menerima bantuan uluran tangan Ridho. “Thanks,” lirihnya tepat di telinga Ridho lalu Angga berlalu pergi. Ia sempatkan menatap gadis yang kini wajahnya pucat sepucatnya. Putih bagaikan salju dan kapas.
“Sori, Ri…,” Kini Ata menatap Ari dengan pandangan memelas.
Thanks,” malah itu jawaban yang keluar dari bibir Ari untuk saudara kembarnya. Lalu ia peluk Ata, sebagai tanda, saudara sebenarnya tak harus bertikai. Saudara seharusnya bersatu meskipun banyak perselisihan terjadi.
Ata menghampiri Tari, “Sori, Tar.”
Tari masih membeku. Diam, membisu. Tak percaya dengan apa yang terjadi. Kini Ari menghampirinya, lalu dengan cepat kepala Tari jatuh tepat di dada Ari. “Tar,”
“Gue… gue syok,” ucapnya dengan pandangan yang masih kosong.
“Semua pasti membaik, Tar,” ucap Ari dengan seulas senyuman. Ia sentuh rambut Tari pelan.
“Lo… nggak apa-apa?” tanya Tari khawatir. Ia pandangi cowok yang kini ia peluk.
Di sudut bibir Ari terlihat darah segar mengalir ke bawah. Cukup parah lukanya. Apalagi ada beberapa luka lebam biru di setiap lekuk wajahnya. Namun, tak separah dengan apa yang terjadi pada Angga. Cowok itu mengalirkan lebih banyak darah dan keringat dari pada Ari. Lukanya, jelas lebih parah daripada yang Ari dapatkan.
Perlawanan Ata yang secara tiba-tiba itu membuat Angga lengah. Tersungkur jatuh ke tanah. Ata benar-benar melawannya dengan sekuat tenaga.
“Nggak apa-apa,” Ari menggeleng.
Kali ini Ata nggak akan membiarkan Ari merasakan apa yang ia rasakan. Ia telah sadar satu hal ini. Bahwa Ata dan Ari adalah satu. Satu benda, satu bayangan. Mereka tak terpisahkan. Jika yang satu terpuruk, yang lainnya akan merasakannya. Namun, yang satu akan berusaha agar yang lainnya tak merasakan hal yang sama. Karena dia terlalu berarti.
Saling mengerti, saling mengetahui, saling memahami, saling merasakan. Ata dan Ari. Ari dan Ata. Terbit dan juga tenggelam. Bersama-sama. Berbagi. Dan tak pernah terpisah. Kini akan dilindunginya Ari dari apapun. Akan ia bangkitkan lagi semangat yang runtuh. Jika yang satu hancur, yang satu akan membujuknya untuk kembali bangkit.
***
Dan semuanya terungkap. Kemarahan dan keirian yang dirasakan Ata pada Ari. benar, seperti apa kata Tari, Ata salah mengkonstatirkan dendamnya pada Ari. Ia lupa diri, Ari adalah saudara kembarnya dan dia malah buta akan hal itu.
Rasa iri dan amarah. Lelah, letih dan juga capek menghadapi kepahitan arti sebuah kehidupan. Ata harus bekerja apa saja, serabutan, yang penting dia bisa membantu Mamanya dalam kesulitan. Dia harus hidup semenderita mungkin. Kehidupan Mamanya selama ini hanya untuk mencari keberadaan Ari, bahkan ia tak memikirkan Ata. Sama sekali.
Perjuangan Mamanya itu malah membuat Ata semakin terlantar. Mulai dari Ayahnya, saat bercerai dengan Mamanya, Ayahnya malah memilih tinggal bersama Ari dan otomatis itu tandanya, Ari adalah orang yang disayang Ayahnya, bukan Ata. Bahkan, Mamanya rela mencari kemanapun Ari, agar bisa bertemu dengan Ari, hingga ia terlantar. Ata merasa, ia tak berarti, tak satupun orang di dekatnya mencarinya, menyayanginya sepenuh hati. Mereka semua hanya memikirkan Ari!
Apalagi, kehidupan Ari dan Ata jelas berbeda. Ari hidup di rumah mewah dengan segala hal material yang melimpah. Sedangkan ia harus kerja, ia tak dapat menikmati masa musanya seperti Ari. maka dari pada itu, Ata ingin Ari merasakan apa yang Ata rasakan.
Sebuah ketersiksaan akibat semua orang yang di sekitarnya mencampakkannya. Ata jelas merasa ketidak adilan yang nyata! Dia tidak seperti Ari. Dia hidup menderita. Lebih menderita daripada yang terlihat. Luka batin yang mendalan dan juga luka fisik. Namun ia sadari, ia benar-benar salah mengkonstatirkan dendamnya.
Di sampingnya, Ayah dari kedua saudara kembar itu menunduk. Tersenyum pahit kepada anak-anaknya, lalu menatap Ata dengan pandangan bersalah. Ia rangkul anaknya itu dengan kasih sayang.
“Maafin Ayah, Ta. Ayah selama ini nggak adil sama kamu, padahal kamu adalah anak Ayah juga,” lirihnya seraya tersenyum.
Ata menggeleng, “Nggak apa-apa kok, Yah. Ata memang tersiksa, tapi seharusnya Ata nggak melibatkan Ari. Ari nggak perlu merasakan apa yang Ata rasakan. Karena dia…” Ata menatap Ari. “Udah tersiksa selama ini. Bukan Ata aja, Yah.” Ata kembali menatap Ayahnya lagi.
Di sebelahnya, Ari menyunggingkan seulas senyum. Baginya, untuk orang yang pernah berbagi rahim dengannya ini, Ata begitu berarti. Meskipun waktu itu Ari marah-marah sama Ata. Itu semua merupakan tindakan bahwa Ari ingin Ata sadar, bahwa prilakunya benar-benar sudah kelewatan. Dia melibatkan seseorang yang sama sekali nggak tahu apa-apa.
***
Bagaimanapun caranya, dan bagaimanapun susahnya. Vero tetap akan membuat hidup Tari tak lagi bahagia. Cukup. Dia sudah cukup muak melihat sebuah kebahagian di depan matanya. Sama sekali tak membuatnya tersenyum, malah membuatnya sakit mata!
Mengambil Ari dan juga Ata, bahkan masih sempat-sempatnya melirik kearah pentolan SMA Brawijaya itu. Kali ini, Vero nggak mungkin tinggal diam saja. Semuanya, ia lakukan karena ia memang tak tahan dengan apa yang ia lihat. Satu tersiksa, satu bahagia. Nggak adil banget! Semuanya memang tak adil bagi Vero.
Dengan susah payah, ia berusaha mendapatkan Ari. Hingga pertahanannya hancur, ujung-ujungnya yang dapetin Ari si Tari. Kali ini, ia menyerah. Jadi, dia memutuskan untuk mengejar Ata. Dan hasilnya… jelas nihil! Total semua perjuangannya di ambil dengan seenaknya oleh Tari.
Kali ini, Vero nggak mungkin memakai cara kasar. Lantaran, disisi kanan Tari ada Ari dan disisi kirinya ada Ata. Dia nggak bisa gegabah. Caranya menyiksa Tari malah akan membuat Ari ataupun Ata memperkuat penjagaannya terhadap Tari. Perhatian mereka, jelas akan tercurah untuk cewek satu itu.
Dengan gengnya, Vero menyusun rencana utnuk memusnahkan satu cewek yang sudah kelewatan itu. Sudah mengganggu dan masuk ke dalam urusannya secara tidak langsung. Bagaimanapun caranya, Vero harus bisa memusnahkan Jingga Matahari itu.
Belum saatnya melawan, karena Ari memiliki satu kartu pass untuk mengancam Vero kapan saja. Cara picik takkan di terima, maka akan di gunakannya cara halus tapi menyakitkan. Pelan tapi pasti. Baik tapi jahat. Licik dan juga picik.
Sementara itu di tempat lain, Angga justru sedang memikirkan satu cara untuk menarik dan mengambil Tari paksa. Cewek itu sudah jatuh ke dalam pelukan Ari dan dia gagal mempertahankan satu rasa yang ada di dalam hati Tari. Maka akan ia coba bagaimanapun caranya, perasaan itu tak boleh hilang. Takkan ia biarkan. Karena dendam ini sama sekali belum terbalaskan.
Oji merapatkan tubuhnya dengan tubuh Fio. Fio yang di perlakukan seperti itu menjadi terganggu acara makannya. Dengan mata tajam, ia tatap Oji garang.
“Lo nggak bisa diem dikit apa!?” sentaknya. “Tempat disana tuh lega! Kenapa lo deket-deket gue!” tambahnya dengan nada galak.
Wajah Oji berbinar-binar, “Ternyata kalo lo lagi marah, tambah cakep yah!?” gumamnya sambil menatap kearah Fio.
Fio bertolak pinggang, “Kakak tuh nggak denger apa yak!? Minggir sono!” usirnya.
Di depannya, ada Ridho dan Ata. Mereka melihat drama antara Oji dan Fio. Mereka melihat lurus-lurus kearah Oji dan Fio sambil tersenyum geli. Ridho bahkan sampai geleng-geleng.
Sementara Ari dan Tari duduk di meja yang berbeda. Ceritanya sih, romantis-romantisan. Ari sudah melarang keras, siapapun untuk duduk bersama mereka berdua. Katanya sih mengganggu. Padahal hubungan mereka belum di nyatakan sebagai seorang pasangan. Kalau Tari sih diam-diam saja, menanggapi nanti di kira naksir berat sama Ari. Kalau marah-marah, nanti di bentak-bentak Ari lagi. Jadi, dia lebih memilih untuk diam.
“Angga telfon lo?” Ari menatap wajah Tari.
Tari menggeleng, “Kenapa?” tanyanya dengan kening berkerut.
“Gue khawatir aja kalo dia nekat mau ngerebut lo,”
“Oh,” Tari mengangguk.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ia tatap layar ponselnya. Matanya terbelalak maksimal ketika mengetahui orang yang menelponnya. Ari yang melihat itu langsung menyadari siapa yang menelpon Tari. Di rebutnya ponsel Tari dari tangan kanannya. Lalu ia dekatkan dengan telingannya.
“Tar, gimana keadaan lo?” suara di seberang sana terlihat khawatir.
Ari menghembuskan nafas sabarnya, ia tahan emosinya agar tak meledak. “Tari ada sama gue!” tegasnya. Lalu mematikan sambungannya.
Di seberang sana, Angga berdecak kesal. Ari lebih dulu dan unggul dalam hal ini, ia tak boleh kalah dan diam saja.
Ari mengembalikkan ponsel Tari. Kening Tari berkerut.
“Dia pasti akan bertindak lebih lanjut,” ucap Ari sambil berdiri. Ia balikkan badannya, lalu pergi meninggalkan Tari dan juga teman-temannya yang lain.
***
Ari tahu bahwa Angga nggak sebodoh itu membiarkan Ari berada di samping Tari terus-menerus. Maka akan Ari buat Tari memilihnya tanpa satu paksaan dan juga ancaman. Akan ia buat Tari memilihnya dengan hati bukan dengan janji.
Akan di lakukannya berbagai cara agar hati Tari menyadari bahwa Arilah yang harus ia pilih bukan Angga. Akan ia buat Tari menyadari bahwa mereka berdua takkan bisa terpisah. Karena mereka adalah satu bayangan dan satu benda yang sama. Yang akan tetap bersatu meskipun begitu banyak halauan yang akan menerjang mereka nantinya.
Saat Tari dan Fio menuruni undakan tangga dengan cepat dan menyusuri setiap lekuk koridor sekolah, tawa mereka berhenti ketika melihat sosok pentolan SMA Brawijaya itu tengah menunggu Tari di kejauhan di atas motor hitamnya.
Fio melirik Tari, “Ssstt.. Angga!” bisiknya pelan di telinga Tari.
Tari mengangguk mengerti, “Iya gue udah tau!” balasnya dengan bisikan yang sama.
“Lo mau samperin dia?” tanya Fio.
“Ya iyalah,” Tari mengangguk mantap. “Gue mau bilangin sama dia agar nggak jemput gue kayak gitu!”
“Yakin lo?” Fio menatap tak percaya.
“Iyalah. Kalo nggak gitu, bisa-bisa dia bonyok lagi kayak kemaren!”
“Hati-hati ya, Tar!” pesan Fio.
Tari mengangguk, lalu ia tatap Fio sebentar. Menandakan agar tak mengatakan apapun tentang dirinya dan Angga pada Ari kalau Ari menanyakannya pada Fio. Lalu dengan langkah panjang, ia sebrangi jalan aspal itu dengan cepat. Ia hampiri Angga yang tadi menatap jalanan aspal dengan tatapan kosong.
“Ngapain?”
“Jemput lo,” jawabnya dengan alis yang terangkat satu. Lalu ia sunggikan seulas senyum pahit untuk Tari.
“Jangan!” Tari menggeleng kuat-kuat. “Nanti kalo Kak Ari dan anak-anak liat lo disini dan tau kalo lo tu anak Brawijaya. Bisa-bisa mereka ngamuk masal.”
 “Biarin aja. Gue nggak peduli. Mau mereka mukulin gue rame-rame pun gue nggak peduli. Asal lo nggak sama Ari dan deket-deket sama Ari. Gue nggak rela! Nggak akan pernah rela!” tegasnya tandas.
“Aduh… udah deh. Jangan cari ribut sama Kak Ari. Kemaren aja lo bonyok gitu!” ucapnya. “Dia nggak sendiri, Ga. Sekarang ada Kak Ata. Jadi, Kak Ata nggak akan biarin sodara kembarnya lo bikin terluka!”
Konfrontasi ini bukan hanya antara Ari dan Angga sekarang. Ada Ata yang perlu ikut campur dalam masalah ini. Angga tahu jelas, dia pasti akan kalah jika melawan dengan cara yang gegabah seperti kemarin. Maka akan ia susun rencana baru yang mungkin membuat keduanya malah lebih tersiksa.
Angga tak menggubris kata-kata Tari, ia ulurkan tangan kanannya pada Tari. Memintanya untuk menaiki motornya. Akhirnya dengan terpaksa, ia taiki motor hitam itu. Angga menjalankan motornya, membelah hiruk pikuk kota Jakarta. Menyeruak di antara keramaian kota akibat kendaraan yang berlalu-lalang.
Dia tak menginginkan Tari, namun ia mau luka pada diri Tari. Ia mau cewek yang kini duduk di belakangnya merasakan apa yang dirasakan orang yang berada di masa lalunya. Ia mau cewek ini menyerahkan segalanya pada dirinya. Ia mau cewek ini memilihnya bukan memilih Ari. akan ia buat cewek ini menyerahkan segala yang ada tanpa paksaan.

Angga menginginkan cewek ini melakukan hal yang sama seperti seseorang yang berada di masa lalunya. Seseorang yang menjadi alasan mengapa ia membenci Ari sampai sekarang. Ia mau Tari jatuh bangun untuknya, ia mau Tari melakukan segala hal hanya untuknya, ia mau Tari menangis hanya untuknya. Semua ini hanya demi orang yang pernah menangis di hadapannya.


You may also like

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Ao Haru Ride

Ao Haru Ride

Daftar Blog Saya

Advertisement

Facebook

Instagram