Jingga Untuk Matahari 08 (FanFiction)

0 Comments


Hello, happy reading!!! Jangan lupa buat komentar dan baca Moments juga ya :)

Hari ini di gudang, Tari menceritakan lagi pada Fio tentang apa yang terjadi kemarin antara dirinya dan Ata. Menurut Fio, Ata nggak akan berhenti membalaskan dendamnya sampai orang itu merasakan apa yang Ata rasakan. Ata punya sebuah dendam yang membara, dendam yang membuatnya lupa diri.
“Jadi, sekarang masalahnya, gimana caranya agar lo bisa bebas dari dia?”
“Nyakitin Kak Ari,” Tari menunduk lemah.
Fio menghembuskan nafas terberatnya, “Oh ya, gimana sama Angga?”
Tari menegak air mineralnya, “Enggak gimana-gimana,” Tari menggeleng.
“Maksud gue, gimana sama perasaan lo ke dia? Terus hubungan lo ke dia kayak apa?” Fio meralat kata-katanya.
“Kosong,” Tari memegangi kepalanya yang mulai pusing.
“Jadi, lo nggak punya perasaan sama dia nih? Terus hubungan lo sama dia?” mata Fio melebar. Kaget mendegar pernyataan temannya ini.
“Dia sahabat. Nggak lebih,” ucap Tari. “Perasaan gue berubah. Sama seperti keadaan ini.” Tambahnya dengan senyuman yang sangat terlihat di paksakan sekali.
Kali ini, ada dua pasang mata yang melihat mereka. Orang yang berbeda dengan orang yang kemarin. Orang yang kini mendengar seluruh percakapan dua cewek itu. Satu orang yang akan membongkar semua hal kepalsuan yang ada.
Mata itu terbelalak maksimal. Kaget dengan pernyataan yang di tuturkan dua cewek yang sedang bercerita itu.
“Jadi, lo bener-bener jatuh cinta sama Kak Ari?” suara Fio seperti tercekat.
May be yes, may be no.” Tari masih memegangi kepalanya yang semakin lama semakin pusing.
May be yes kali,” goda Fio. “Tuh kan Tar, kalo lo aja udah jatuh cinta sama Kak Ari, kenapa lo nggak pertahanin dan melawan Ata?”
Tari terdiam, tak tahu harus jawab apa. Saat ini yang ia rasakan adalah pening. Ia nggak memikirkan apapun, selain memegang kepalanya. “Aduh!” rintihnya.
Wajah Fio jadi tegang, “Tar, lo kenapa?” tanyanya seraya memegangi pundak Tari.
“Gue pusing!”
Pemilik kedua bola mata itu belum pergi. Dia masih melihat Tari dan Fio. Seketika ia jadi khawatir dengan keadaan Tari yang mengeluh pusing. Orang itu masih memerhatikan apa saja yang mereka lakukan di gudang itu. Memerhatikan setiap detail yang ada.
Hari ini Tari memang merasa lemah. Terlebih-lebih dari tadi ia nggak makan. Nggak juga sarapa. Dan pada saat waktu istirahat ini, ia menggunakan waktunya untuk bercerita dan menegak segelas air mineral. Nggak lebih. Dia merasa kepalanya tambah pening. Pandangannya kabur. Buram dan sekarang ia tak dapat melihat apa-apa. Hanya cahaya. Cahaya putih yang daritadi terus menghiasi penglihatannya.

Ari memasuki ruang PMR yang kosong. Hanya satu murid disana. Sedang tertidur pulas dengan selimut yang menutupi tubuhnya. Ari tertegun, orang itu terlalu lelah dengan segala hal yang ada.
Pelan, ia dekati cewek itu. Lalu duduk di samping ranjangnya. Ia tatap cewek yang wajahnya pucat pasi itu. Wajahnya tirus. Tiba-tiba tangan kanannya terkulai jatuh, menimpa tangan Ari yang memegangi sisi tempat tidur itu.
Hangat. Hangat sekali. Bahkan ini bisa di katakan panas. Tubuhnya terlalu hangat. Hingga tanpa Ari sadari, tangannya bergerak menyentuh kening cewek itu. Keningnya panas sekali. Keringat mengalir di dahi cewek itu.
Tubuhnya mulai bergerak, mungkin cewek itu merasa tubuhnya terasa nggak enak. Sehingga tidurnya terganggu. Matanya mulai mengerjap, Ari langsung sadar, cewek itu sebentar lagi akan melihatnya disini. Padahal ia sudah berjanji nggak akan mengganggu Tari lagi. Cepat-cepat yang berdiri dan membalikkan badannya.
Namun terlambat, cewek itu menyadari kedatangan seseorang.
“Kak A…”
Ari menoleh, melihat cewek itu kini memegangi dadanya. Tangan kanannya memegangi kepalanya. Kontan Ari kembali ke posisi semula. Ia langsung tegang. Benar-benar khawatir.
“Lo nggak apa-apa, Tar? Mana yang sakit?”
Tari berhenti memegangi kepalanya dan juga dadanya. Ia tatap cowok yang ada di hadapnnya lekat-lekat. “Gue nggak pa-pa,” Tari menggeleng lemah.
“Serius? Yakin nih?” mata Ari menyipit. Tangannya memegangi kening Tari lagi, “Masih panas, Tar. Pulang aja!”
Senyum merekah di wajah Tari, ia mengamit tangan Ari yang memegangi keningnya. Lalu ia simpan didadanya, “Nggak akan panas lagi, kalo ada yang bikin panas itu hilang.”
Ari menghembuskan nafas beratnya, lalu berdiri. Ia tarik tangannya dari genggaman Tari. “Gue mau kasih tau sama orang itu,” ucapnya sambil membuka pintu ruang PMR. “Gue bukan Ata!” tegasnya lalu pergi.
Mata Tari masih melihat kearah dimana cowok itu pergi. Cowok itu salah paham, bukan Ata yang ia butuhkan, tapi Ari. Nanar. Tari menatapnya terus, hingga rasa pusing itu kembali menyergapnya. Hingga cahaya putih itu mulai terlihat lagi di penglihatannya. Saat semuanya buram dan tak terlihat normal lagi seperti biasanya.
***
Untuk pertama kalinya, Ata melihat Ari terjatuh. Terjatuh sangat dalam. Tapi Ari tetap tegar. Ia tak mengeluarkan setetespun air bening itu. Ata melihatnya dari kejauhan. Terlihat Ari sedang memegangi kepalanya, duduk tertunduk di toilet sekolah. Dia memang sudah lelah, tapi dia tetap membangun benteng pertahanannya itu.
“Hebat!” desis Ata.
Ata benar-benar tak menyangka bahwa Ari benar-benar berubah. Dia adalah sosok yang tegar sekarang. Sosok yang mampu melawan seribu halauan yang ada. Saudara yang mampu menepis semua air mata yang akan terjatuh. Saudaranya yang telah berhasil melewati sebuah rintangan tanpa dendam.
Sangat berbeda dengannya, dia bukanlah sosok yang seperti itu. Dia adalah sosok yang tegar dengan sebuah dendam yang terus bekelebat di dalam hatinya. Dia nggak akan pernah bisa melewati semuanya tanpa ada satu kata dendam itu. Dia lemah. Tak ada apa-apanya. Bahkan hanya karena dendam itulah ia lupa terhadap siapa Ari. Siapa orang yang ia sakiti itu.
Dalam seribu pertanyaan, yang terjawab hanya satu. Mengapa ia melakukan ini? Karena dendam. Ya, hanya itu. Dia hanya ingin Ari merasakan apa yang ia rasakan selama ini. Tercampakkan. Dan tak ada satupun orang yang peduli terhadap dirinya. Hidupnya yang gelap tanpa ada sebuah cahaya. Berbeda jelas dengan kehidupan Ari yang gelap tapi masih ada sinar di dalamnya.
“Ari!”
Dengan setengah sadar, Ari mendongak. Mencari asal suara tersebut. Terlihat Oji dan Ridho menghampiri Ari dengan langkah yang terburu-buru.
Ari tegakkan badannya. Lalu ia tatap kedua kawan karibnya itu dengan pandangan tanya.
“Dari tadi lo disini?” tanya Ridho dengan nafas yang terengah-engah.
Sedangkan di jarak yang tak terlalu jauh, Ata memutuskan untuk pergi. Meninggalkan Ari dengan kedua kawannya itu.
“Kenapa?” tanya Ari dengan kening berkerut.
“Lo udah jenguk Tari?” tanya Oji dengan wajah yang cemas.
“Udah,” Ari mengangguk.
“Terus apa kata Tari? Dia udah sadar kan?” kini Ridho yang kembali angakt suara.
Alis Ari terangkat sebelah, heran melihat teman-temannya ini. “Ada apa sih? Tinggal ngomong aja ribet!” kejar Ari nggak sabaran.
Oji dan Ridho saling tatap.
***
Tari terbangun dari tidurnya, ia tatap ponselnya yang dari tadi terus saja berdering. Tampak nama Angga di layar ponsel.
“Halo,” nada suara Tari sangat lemah, hingga mungkin Angga nggak dengar apa yang Tari ucapkan.
“Tar, lo kenapa?” tanya Angga. Dia sepertinya khawatir dengan keadaan Tari yang ia dengar dari Gita.
“Nggak kenapa-kenapa kok,”
“Serius nih? Suara lo serak gitu. Lo sakit apa? Udah minum obat? Atau udah berobat?” berondongan pertanyaan keluar dari mulut Angga.
Tari menghela nafas, “Ya ampun! Lo tuh ya, nanyanya bisa satu-satu nggak sih? Gue bingung mau jawab yang mana,” omel Tari dengan suara lemahnya.
“Sori,” lirih Angga. “Gue khawatir aja sama keadaan lo. Lo pasti di apa-apain ya sama Ari?”
“Enggak kok,” jawab Tari. “Ada apa nelfon?”
“Besok jalan yuk!” ajaknya dengan suara manis.
Tari memegangi keningnya yang masih terasa pusing, “Sori, gue nggak bisa. Kapan-kapan bisa kan? Nggak harus besok,”
“Oh,” terdengar Angga menghela nafas panjang di seberang. “Oke deh! Yang penting, lo istirahat aja dulu, gue takut lo kenapa-kenapa lagi.”
“Ya udah,”
“Ya, bye, Tar. Jangan lupa minum obat dan istirahat,”
“Ya,” Tari menutup percakapan antara dirinya dan juga Angga.
Ia tatap layar ponselnya, berharap seseorang itu menelponnya atau menyapanya, meskipun hanya sebentarrr sajaa. Yang penting orang itu mau ngobrol atau ngomong sama Tari.
Dengan pelan, ia rebahkan dirinya lagi di kasurnya yang empuk. Ia menatap ke langit-langit, lalu menutup matanya, berusaha bisa tidur. Namun, bayang-bayang Ari kembali menghampiri ingatannya. Disaat cowok itu tertawa, disaat cowok itu tersenyum bahkan disaat cowok itu marah sama Tari. Bayangan itu berarti. Sangat berarti.
Hampir setengah jam ia menatap langit-langit kamarnya, tapi ia tak kunjung bisa menutup matanya. Bayangannya tak bisa pergi dari ingatan Tari.
***
“Hai, Tar.”
Tari menoleh kebelakang. Dan mendapati sosok Ata menghampirinya. Ia menghela nafas sabarnya. Moga-moga tu cowok nggak ngajak ribut! Doa Tari dalam hati.
Cowok itu merangkul Tari, “Masih sakit kok sekolah?” tanyanya lembut. Tatapan hangatnya menusuk ke dalam mata Tari.
Seketika Tari tersadar, tatapan itu, suara itu, semuanya, berbeda. Jelas. Dia bukan Ata. Melainkan Ari. matanya melebar.
“Kak Ari?” suara tercekat.
“Kenapa?” alis Ari terangkat sebelah, ia tatap cewek itu dengan pandangan nanar.
Tari terdiam. Ia tak menjawab pertanyaan Ari. di tatapnya Ari dengan pandangan bertanya namun juga pandangan bahagia. Tubuhnya seakan tak lemah lagi, ia seperti memiliki energy untuk menjalani hari ini.
“Kok sekolah?” tanya Ari. tangannya menyentuh kening Tari pelan, “Masih panas, lagi.”
Tari menjawabnya dengan seulas senyum yang mengembang. Dari hatinya yang paling dalam. Hangatnya tubuh Tari tak ia rasakan, namun kini yang ia rasakan adalah kehangatan hatinya. Dari seseorang yang ada di hadapannya untuk Tari. Sebuah energy yang Tari nggak tahu itu apa.
Dengan senyum itu, ia tunjukan bahwa dirinya kini kembali kuat.
Tangan Ari mengamit jari-jemari Tari, menuntunnya ke kelas Tari. “Gue gandeng, biar nanti kalo pingsan lo bisa langsung jatoh di pelukan gue,”
Tari menyikut lengan Ari, lalu tertawa geli. “Maunya!”
“Emang lo nggak mau?” alis Ari terangkat lagi.
Kontan wajah Tari memunculkan rona-rona merah di kedua pipinya. Lalu dengan tangan kirinya, ia tutup wajahnya agar Ari tak menyadari warna merah di pipinya itu.
***
Istirahat pertama, Tari nggak keluar karena kepalanya masih pusing. Begitu juga dengan Fio, dia setia menemani teman sebangkunya ini. Kasihan juga kalau lagi sakit di tinggalin sendiri. Nanti kalau ada yang ngapa-ngapain atau terjadi apa-apa kan gawat.
Jadi, Fio memutuskan untuk membeli dua gelas air mineral dan satu roti untuknya, karena Tari nggak nafsu makan sama sekali meskipun udah di paksa sampai mampus. Tetap saja, Tari akan menolak dengan senyum lebar dan senang hati.
Tari menegak minumannya. Sementara Fio menatap Tari dengan nelangsa.
“Sori ya, kemarin gue nggak bisa nemenin lo di ruang PMR. Soalnya yang ngajar Pak Isman, ngeri gue kalo sama dia. Lo pasti sendirian ya?” wajah Fio memelas.
Tari menggeleng, “Enggak apa-apa kok,” ucapnya pelan. “Udah ada yang nemenin, meskipun sebentar.”
Mata Fio melebar, “Ada? Siapa, Tar?”
Senyum terlihat di wajah Tari, pelan ia sebutkan nama orang itu. Agar tak ada yang mendengarnya, ia dekatkan wajahnya dengan wajah Fio. “Kak Ari!”
“Serius? Dia ngapain aja sama lo? Ngobrol gitu?”
Kembali wajah Tari menjadi muram. Ia teringat dengan kejadian kemarin, Ari menganggap bahwa Tari membutuhkan Ata bukan Ari. “Nggak ada,”
“Yang bener? Masa lo di temenin tapi nggak ngobrol? Aneh banget!” Fio jadi penasaran.
“Udahlah, Fi. Gue terlalu capek untuk mikirin itu,” Tari menunduk. Menatap lantai kelas yang putih.
Fio memegangi pundak Tari dengan pelan, “Sabar ya, Tar. Yang penting Kak Ari udah nggak jauh dari lo. Tadi pagi aja lo di anter dia sampe kelas kan!?” Fio berusaha menyemangati Tari lagi.
***
Bunyi bel pulang sekolah memekakan telinga murid-murid SMA Airlangga. Tari dan Fio berjalan perlahan supaya nggak perebutan sama anak yang lain. Dengan langkah pelan, Fio menuntun Tari perlahan. Menyusuri koridor yang semakin lama semakin sepi akibat lautan manusia di dalamnya kebanyakan sudah pulang.
Sampai sekarang, Tari masih saja merasakan pening di kepalanya. Seharusnya Tari ijin, tapi karena alasan Tari nggak mau ketinggalan banyak pelajaran dan juga tugas yang pasti akan menumpuk banyak. Ia memutuskan lebih baik sekolah, meskipun ujung-ujungnya, semua pelajaran yang di ajarkan nggak akan masuk otak Tari sama sekali.
Bahkan, catatannya tadi saja, nggak jelas. Asal tulis. Pokoknya yang penting dia nyatet, walaupun catetannya itu nggak ada yang benar sama sekali. Daripada di omelin guru dan juga di suruh pulang paksa.
Sementara, Fio tetap jadi teman sebangku yang setia kawan. Kalau Tari butuh apa-apa, pasti di bantuin. Misalnya haus, pasti Fio langsung melesat keaeah koperasi untuk membelikannya minuman. Yang penting Tari nggak pingsan dan juga keadaannya tambah parah.
“Ayo, Tar. Nanti busnya keburu dateng!” ucap Fio.
“Tar, pulang sama gue aja ya? Kasihan, lo pasti capek,” ucap Ari yang kepalanya berada di luar kaca mobil everestnya. Ia sunggingkan seulas senyum manis pada Tari.
Keduanya kontan melongo, ternganga lebar melihat Ari. Cepat-cepat Fio menyikut lengan Tari untuk menyadarkan cewek itu.
“Udah sana!” bisik Fio di telinga Tari.
“Ayo, Tar!” seru Ari sambil keluar dari pintu kanan mobil dan membukakan pintu kiri mobil untuk Tari. Ia tarik Tari yang masih saja terbengong-bengong.
Lalu ia tatap Fio, “Duluan ya, Fi.”
Fio balas mengangguk dan memberikan seulas senyuman manis pada kakak kelas dan Tari. “Hati-hati ya,” pesannya.
Mobil itu langsung melaju dengan cepat. Setelah mereka berdua pergi, Fio menoleh ke belakang dan ia langsung tercengang melihat sosok di belakangnya. Dengan cepat Fio mengelus dadanya.
“Kenapa, Fi?” tanyanya, heran.
“Lo ngapain sih, Kak? Ngagetin gue aja! Berdirinya nggak usah deket gini bisa kan!?” gerutunya kesal.
Oji tertawa geli, “Sori, Fi. Kan gue pingin deket-deket sama lo. Masa nggak boleh,”
“Nggak!” jawab Fio jutek.
Di dekat Oji, Ridho tertawa ngakak. “Kasian deh lo, Ji. Di tolak terang-terangan!” serunya.
Oji langsung menoleh kearah Ridho, menatapnya dengan jengkel. “Ganggu aja lo, Dho.” Oji kembali menatap Fio dengan wajah –yang menurutnya– paling manis sedunia. “Fi, pulang sama gue yuk!” ajaknya.
“Jangan mau, Fi. Dia aja nebeng sama gue. Nanti kalo lo pulang sama dia pake apa? Jalan kaki,” seru Ridho lagi dengan tawa yang kencang.
Kembali Oji tatap Ridho dengan jengkel, ia balikan tubuhnya menghadap Ridho. “Dho, sekali lagi lo gangguin, gue bunuh lo besok!” ancamnya dengan tatapan jengkelnya.
Jelas. Kata-kata yang di lontarkan Ridho adalah kata-kata yang menjelek-jelekkan Oji dan mampu membuat cewek di hadapannya pasti menggeleng dan menolaknya terang-terangan. Mana mau dia pulang bareng Oji sambil jalan kaki?
Oji membalikkan tubuhnya, menghadap Fio lagi. “Jangan dengerin dia, Fi.”
“Tau ah,” Fio membalikan badannya lalu dengan cepat ia tinggalkan Oji.”
Dengan kakinya, Oji mencak-mencak, ia dekati Ridho dengan tatapn kesal bin jengkel. “Elo!” tunjuknya pada Ridho. “Gue bilangin, Bos!” Oji langsung manyun dan hampir menangis.
Tawa Ridho meledak lagi, bahkan kali ini seperti bom atom. Ngerjain Oji memang suatu aktifitas yang sangat amat menyenangkan.
***
“Halo, Tar,” sapa seseorang diseberang sana.
Tari tertegun mendengar suaranya, “Iya, Kak?” jawabnya.
“Udah makan?” suara itu terdengar sangat lembut, penuh perhatian dan seketika membuat dada Tari terasa hangat.
“Udah,” balasnya dengan senyuman yang mengembang diwajahnya.
“Udah baikan?”
“Udah,” ucapnya. “Oh ya, ada apa? Kok tumben nelfon?” tanya Tari dengan kening berkerut.
Terdengar helaan nafas di seberang sana, “Gue khawatir aja sama keadaan lo yang akhir-akhir ini memburuk. Lo keliatan capek banget. Kayaknya ada masalah yang nimpa lo. Mau cerita?”
Tari terdiam, ponselnya masih menempel di telinganya. Ia tetap diam. Bingung harus jawab apa. “Kurang istirahat aja kok, Kak.” Tari akhirnya mengungkapkan kebenaran dan juga kebohongan.
Di satu sisi, dia nggak bohong kalau ia memang kurang istirahat. Tapi di sisi lain, Tari bohong, karena masalah utamanya bukanlah itu. Tapi mengenai ketidak sanggupannya menghadapi semua permainan Ata. Permainan yang sama sekali belum berakhir.
“Oh,” di seberang sana, Ari menghela nafasnya lagi. “Ya udah, yang penting sekarang lo baikan nggak kayak kemarin-kemarin. Pucet banget, panas lagi! Gue khawatir banget sama keadaan lo.”
Nggak tahu karena kangen atau karena ngobrolnya asyik. Tari dan Ari keterusan ngobrol. Semuanya membuat rasa tegang dan lelah di dalam diri Tari menghilang. Kini ia dapat mendengar canda dan tawa Ari lagi.


You may also like

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Ao Haru Ride

Ao Haru Ride

Daftar Blog Saya

Advertisement

Facebook

Instagram