Moments 13

0 Comments
Ardiyanti Zia


Butuh waktu lama untukku mencerna setiap kata yang keluar dari bibir Badai. Rasanya aku ingin membunuhnya sekarang juga. Bagaimana bisa Badai membiarkan Sakura melawan Fabi sendiri?
Sebelumnya aku juga tidak tahu bahwa Fabi bisa senekat ini. Dia membunuh dua orang yang tidak bersalah. Lalu dia masih menginginkan Sakura berada di sisinya. Apa cowok itu masih waras?
Setelah menjelaskan panjang lebar dengan suara seraknya, akhirnya aku tahu bahwa ini semua adalah ide Sakura.
“Jadi lo ngasih tau Sakura kalo kakaknya mati karena Fabi!?” Aku membentak Badai tanpa ampun. “Lo bego atau tolol!?”
Sebuah tangan terulur ke arahku. Menahanku untuk bertindak lebih dari ini. Aku menoleh dan menyadari bahwa Atha mencoba menenangkanku lagi.
Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, satu-satunya yang bisa menenangkanku sekarang hanyalah Atha. Mungkin kedengaran aneh, karena manusia badak itu yang biasanya membuat hari-hariku hancur. Tapi entahlah, hatiku merasa tenang jika ia ada di sebelahku.
“Kalau Sakura sudah mengetahui hal itu, Sakura pasti mengambil tindakan bodoh tanpa berfikir dulu.” Ruth berkata pelan. “Lo tau konsekuensi yang itu, kan?” Ditatapnya Badai dengan pasrah.
“Aaaahhhh!” Awan mendesah panjang. “Ide merekam percakapan tadi juga ide dari Sakura. Dia bilang kalo dia akan mencari tahu lokasi Prisil dan menyerahkan tugas tentang kematian kakaknya pada Badai. Sepertinya idenya nggak buruk juga.”
“Maksud lo?” tanya Atha bingung.
Awan melipat kedua tangannya di depan dada. “Seorang dokter aja akan kesulitan untuk menangani operasi keluarganya sendiri. Begitupun dengan Sakura. Keluarga korban pasti akan kesulitan menangani kematian keluarganya sendiri.”
“Lalu?” tanya Ruth penasaran.
“Sakura masih berfikir jernih saat menyuruh Badai melakukan percapakannya dengan Prisil. Dia menyerahkan kasus kakaknya ke tangan Badai karena dia tahu bahwa dia nggak akan bisa menahan emosi.” Awan menjelaskan lagi.
“Tapi...” Atha angkat suara. “Apa Sakura masih bisa menahan emosi di depan pembunuh kakaknya?”
Ajigile! Aku nggak tahu harus ngomong apa lagi. Yang kuinginkan adalah kebebasan Sakura dan membiarkan Fabi brengsek itu masuk ke dalam penjara. Mengapa sesulit ini?
“Gue akan jemput Sakura.” Tiba-tiba saja dia berkata seperti itu setelah memasukkan ponselnya ke dalam saku.
Semua mata, termasuk aku, menoleh ke arah Badai menatapnya tak percaya. Lalu kami berseru bersama. “LO GILA!?”
Badai hanya menggeleng pelan. Lalu dengan suara setenang air mengalir, dia mengucapkannya dengan nada rendah. “Gue punya rencana.”
***
Bagus sekali. Kurasa ide Badai merupakan bom bunuh diri. Bagaimana bisa kami menerobos masuk ke dalam gedung tua itu? Di sana ada puluhan penjaga yang harus kami lawan!
Kami hanya sekumpulan anak SMA yang belajar saja masih ogah-ogahan. Bagaimana caranya kami masuk ke dalam dan berantem?
Tapi karena semuanya menyetujui ide ini, aku hanya bisa pasrah. Bagaimanapun ini satu-satunya dan juga jalan terakhir untuk menyelamatkan Sakura.
Baiklah. Tidak peduli apapun yang akan kami hadapi nanti, aku berharap aku masih bisa bersahabat dengan Sakura lagi. Aku berharap bahwa kami akan bersama-sama seperti dulu.
Aku memakai baju serba hitam, begitupun dengan yang lain. Gayaku lebih mirip detektif, sementara yang lain lebih mirip maling. Oke-oke, aku melebih-lebihkan penampilanku kali ini.
Ruth bertugas di luar gedung. Memantau jika ada sesuatu yang terjadi, dia akan segera menghubungi kami melalui LINE Group.
Aku mengintili Atha ke manapun. Itu karena sebenarnya aku dilarang masuk ke dalam gedung tua, kata mereka, aku ini seorang cewek yang melihat cowok seram saja langsung lari terbirit-birit apalagi menghadapi puluhan penjahat.
Tapi aku tetap bersikeras untuk masuk ke dalam dan membiarkan Ruth berjaga di luar sendirian. Ide itu memang tidak bagus. Tapi mau bagaimana lagi? Aku kan juga mau ikut momen-momen menyelamatkan Sakura!
Awan memimpin kami untuk memasuki gedung itu melalui sisi yang tidak dijaga oleh anak buah Fabi. Di belakang Awan ada Badai, diikuti aku dan Atha berada di paling belakang.
Kami saling bergandengan tangan untuk mencegah kami terpisah. Bergandengan tangan dengan Badai sih biasa saja, tapi.... bergandengan tangan dengan manusia badak di belakangku ini kok bikin deg-degan ya? Mana dari tadi dia memasang wajah serius.
“Zia, lo nggak apa-apa?” Manusia badak itu berbisik di telingaku.
Aduh! Apa sih yang manusia badak ini lakukan kepadaku? Membuatku mati jantungan di tempat? Kenapa dia begitu dekat denganku? Pakai perhatian segala, lagi!
“E-Enggak kenapa-kenapa kok.” Aku menggeleng-gelengkan kepala. Sekarang aku yakin seratus persen bahwa mukaku sudah merona merah. Udara di sekitarku juga jadi terasa panas.
“Lo yakin?”
Tiba-tiba saja tangan manusia badak itu berada di keningku. Membuat kedua bola mataku langsung terbelalak lebar.
Astaga! Bunyi apa ini?
Dag... dig... dug... dag... dig... dug...
Aku langsung memegang dadaku. Merasakan debaran jantungku yang tiba-tiba berdebar tak menentu. Ajigile! Ini serius suara jantungku?
Atha melepas tangannya dari keningku dan memandangiku dengan aneh. “Kalo lo merasa nggak enak, gue anterin lo ke Ruth. Atau... gue gendong, mau?”
GENDONG!????
Ajigile! Aku merasa syok banget. Apa sih yang ada di pikiranku sekarang? Manusia badak itu kan hanya menawarkan bantuan? Kenapa sekarang jantungku makin berdebar nggak karuan?
“Kalian bisa tenang sedikit nggak sih!?” Kudengar Awan mengomel. “Kalo kayak gini terus, kita bisa ketauan!” desisnya kesal.
Uh dasar cowok nyebelin! Bisa-bisanya dia ganggu momen-momen indahku bersama manusia badak ini. Ups... barusan aku ngomong apa?
“Santai dong, Bos!” Atha menatap sinis Awan. “Tuan Putri gue lagi nggak enak badan nih. Jangan mikirin diri sendiri dong!”
“Lo sakit, Zi?” Gantian Badai yang memerhatikanku. “Kalo lo sakit lo bisa...”
“Nggak!”
Aku langsung memotong ucapan Badai. Rasa kesalku masih belum hilang karena cowok itu. Enak saja dia membuat Sakura ikut campur tangan atas penculikan Prisil yang bukan siapa-siapanya Sakura!
“Gue baik-baik aja kok!” ketusku.
Perjalanan mengendap-endapun dilanjutkan. Aku meminta manusia badak ini untuk diam, tapi yang kulakukan hanya melotot ke arahnya tanpa mengucapkan satu kalimat pun. Untungnya manusia badak itu mengerti.
***
“MEREKA SUDAH DATANG, BOS!!!”
Aku dan yang lainnya langsung terkesiap. Apa-apaan itu? Mengapa mereka semua tahu bahwa kami pergi ke gedung tua ini? Padahal kami baru saja berniat untuk membuka pintu belakang.
“Sial!” desis Awan. “Kita ketauan! Cepat lari!!!”
Kami berempat lari secepat mungkin. Mencoba mencari jalan masuk yang lain agar tidak ketahuan anak buah Fabi.
Tapi kami telat...
Di belakang kami terdapat sepuluh anak buah Fabi yang mengejar kami dengan tongkat besi di tangan mereka. Aku bergidik ngeri. Jika itu sampai mengenai kami, sudah pasti kami akan berdarah-darah seperti yang terjadi pada Sakura waktu itu.
Karena yang paling belakang adalah manusia badak, dia otomatis tidak bisa mengelak dari kejaran orang-orang itu. Dia melepas peganganku dan tiba-tiba saja aku merasa kehilangan.
Aku berlari sambil sesekali menoleh ke belakang. Memerhatikan apakah Atha baik-baik saja. Kulihat dia sedang berusaha melawan anak buah Fabi dengan pukulan-pukulannya. Dan tiba-tiba saja...
BRUK...
Aku menabrak tubuh Badai. Belum sempat kumengomel, aku melihat jelas di depan kami terdapat lima anak buah Fabi yang lain.
Oh sial. Sial. Sial. Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku kan tidak jago berantem.
Pegangan Badai pada tanganku terlepas. Kini aku hanya bisa melihat ketiga teman cowokku sedang bertarung menghadapi anak buah Fabi. Aku berada di tengah-tengah mereka. Aku jadi merasa bersalah karena memaksa ikut dan kini aku tidak bisa apa-apa.
Awan bergerak dari tempatnya menuju tempat Atha setelah membuat dua orang terkapar. Membantu Atha yang melawan lebih banyak anak buah Fabi dari pada yang dihadapinya dengan Badai.
Atha masih berjuang untuk bertahan karena tidak ada satupun dari anak buah Fabi yang tumbang. Atha kalah jumlah. Untung saja Awan segera datang membantu. Meskipun sempat saling melirik sinis, mereka akhirnya bahu membahu.
Badai juga sudah membuat dua orang lainnya terkapar. Dia sedang sibuk dengan satu anak buah Fabi yang memiliki ukuran tubuh sangat besar.
Tanganku. Oh tidak! Ada yang menarik tanganku. Aku menoleh dan mendapati salah satu anak buah Fabi yang dilawan Awan dan Atha menarikku.
Aku memberontak. Peluh mengalir di keningku dan aku yakin sekali wajahku sudah berubah sangat pucat. Jantungku berdebar tak menentu. Apa yang harus kulakukan?
Anak buah Fabi ini sangat kuat. Aku kalah dalam hal gender. Dia cowok dan aku cewek. Kekuatan kami tidak seimbang. Dia terus memaksaku untuk ikut bersamanya, sementara aku mulai melayangkan tinju-tinju ala cewek yang melabrak adik kelas yang merebut pacarnya.
Tapi itu adalah perlawan tak seberapa. Dia dengan cepat menangkis setiap tinju-tinjuku. Jadi aku berusaha untuk mencakarnya juga. Mencakar wajahnya!
“RASAKAN INI!!!”
Aku berteriak dan langsung mencakar wajarnya dengan ganas. Masa bodo sekarang aku terlihat seperti cewek gila yang baru diputusin pacarnya. Yang penting aku harus bisa melawan anak buah Fabi ini.
Tiba-tiba saja Aku melihatnya mengambil tongkat besi yang terjatuh di sekitar kakinya. Dia menatapku marah dan dengan cepat aku langsung menutup mata saat melihatnya mengayunkan tongkat besi itu padaku.
Oh tidak. Tubuhku seperti melayang dan.... terjatuh.
BUK...
Aku membuka mataku. Manusia badak sedang memelukku dan kulihat Badai sedang menendang anak buah Fabi yang barusan.
Aku bernafas lega. Untung saja benda mengerikan itu tidak mengenai tubuhku ataupun tubuh si manusia badak.
“Argh!”
Terdengar suara bising yang memekakan telinga kami. Ah! Itu suara yang berasal dari speaker di dekat kami. Itu... suara Sakura?
“Ka-Kalian pergi sekarang juga!” Terdengar suara Sakura yang terbata-bata. “Argh!” Sakura berteriak kesakitan.
SIALAAAAAAN... Apakah sekarang Fabi berniat untuk menyiksa Sakura?
“PERGI SEKARANG JUGA!!!”
“Pergi?” Atha mendengus. Dia melepaskan pelukannya padaku dan membantuku berdiri. “Kami akan pergi setelah mengambil lo kembali, Ra!”
Dan saat itu juga pertarungan kembali dimulai. Sementara speaker itu terus menyuarakan jeritan Sakura yang meminta kami untuk pergi dari tempat itu. Tentu saja ku tak terima.
Jadi, karena aku sudah sangat marah atas semua yang terjadi. Aku mengambil tongkat besi yang tergeletak di dekat anak buah Fabi yang sudah teler dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
Aku membantu Badai, Awan dan Atha yang sedang bertarung dengan delapan anak buah yang tersisa. Kuangkat tinggi-tinggi tongkat besi itu dan aku mulai berlari ke arah musuh.
Kutekankan perasaan takutku dan terus mendengar suara jeritan Sakura membuat amarahku semakin membara. Jadi kupukul semua yang berani menindasku dan kubuat kepala mereka mengalirkan darah segar.
Aku berhasil membuat satu anak buah Fabi jatuh ke tanah dan sedang menyerang orang kedua. Sementara yang lain sudah hampir menyelesaikan pekerjaan mereka dengan menendang-nendang semua yang masih berusaha melawan mereka.
BUK...
Aku menoleh dan melihat Atha menendang korbanku. Aku melotot.
“Ini bagian gue.”
“Sori, Tuan Putri. Tapi sekarang, bukan waktunya untuk gaya-gayaan.”
“Maksud lo?” Aku melotot. Dia hanya melirik ke kanannya dan aku menemukan anak buah Fabi berdatangan untuk menyerang kami. Oh siaaaaal...
“One... two... three...” Badai langsung menarik Awan yang menarik Atha dan Atha yang menarikku.
Kami berlari sekuat tenaga mencoba menghindari anak buah Fabi yang ternyata banyak banget itu.
Aku menggenggam tangan Atha sekuat mungkin. Aku tidak ingin terlepas lagi dari tangannya dan karena sekarang aku yang paling belakang, aku jadi takut kalau tiba-tiba aku dikeroyok sama mereka.
“Kenapa kita nggal lawan lagi aja kayak tadi?” tanyaku sambil mengambil nafas.
“Jangan bego deh!” Awan mencibir. “Lo kira kami masih kuat berantem? Mana anak buahnya lebih dari dua puluh! Kita bakalan kalah!”
Baiklah wajah mereka bertiga memang sangat menyedihkan sekarang. Beberapa memar biru dan juga beberapa darah segar keluar dari sudut bibir dan kening mereka.
Tiba-tiba saja Atha melirik Awan sinis. “Lo ngatain Tuan Putri bego lagi?”
Hahaha... aku jadi ingin tertawa. Ada yang membelaku ternyata mengasyikan juga. Aku jadi merasa melambung tinggi di langit.
“Sensi banget sih!” Awan mencibir lagi.
“MENUNDUK SEMUA!!!” Badai teriak tiba-tiba dan aku terkejut saat melihat balok yang mengayun-ayun sendiri ke arah kami.
Jantungku berdegup kencang. Nafasku juga terengah-engah. Pikiranku mulai menganggap bahwa ini semua adalah mimpi. Tidak mungkin aku bisa mengalahkan semuanya. Tapi di dalam mimpiku ini... aku berharap aku bisa menemukan Sakura secepatnya.
Karena di mimpi ini aku akan menjadi seseorang yang berbeda. Aku akan mengorbankan segalanya dan melawan si Beto jelek itu.

Sakura... tunggu kami sebentar lagi sampai... jangan pergi...

Hai, saya kembali lagi membawakan Moments. Huhuhu... Terimakasih yang udah baca dan setia menunggu :) 


You may also like

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Ao Haru Ride

Ao Haru Ride

Daftar Blog Saya

Advertisement

Facebook

Instagram