Moments 14

0 Comments
Gema Athaillah


Ini merupakan kejadian langka yang seru abis di dalam hidup gue. Ya, ya, ya, gue tau ini bukan saatnya untuk bercanda dan menikmati serunya kejadian ini. Karena sekarang Sakura ada di tangan Fabi. Oh-oh, Prisil juga. Gue sampai lupa kalau ternyata anak itu juga diculik.
Sekarang gue dan yang lainnya berusaha lari sekuat tenaga menghindari serangan-serangan dari benda yang berusaha menimpuk kami dengan seenak jidat. Tadi kayu balok yang besar, sekarang mereka menggunakan besi dengan duri-duri tajam yang siap menusuk tubuh kami kapan saja.
Untungnya Badai cekatan. Setiap kali dia melihat benda yang hendak menyerang kami, dia akan langsung berteriak untuk menunduk.
Gue melihat ke atas gedung. Di sana ada beberapa anak buah Fabi yang melemparkan benda itu ke arah kami. Memang sialan banget. Kami datang dengan tangan kosong, tapi mereka menyerang kami bertubi-tubi dengan benda-benda aneh.
“Kamu seharusnya tahu akibat dari permainan kamu, Ara.”
Oh-oh, itu suara M. Sepertinya dia tidak sadar sama sekali jika suaranya sudah terekspos ke seluruh ruangan.
“Aku janji kali ini aku akan ikut kamu.” Suara Sakura terdengar lirih. “Aku akan menuruti semua kemauan kamu.” Tiba-tiba Sakura menekankan kata ‘semua’. “Tapi tolong bebaskan mereka.”
“Itu tandanya! Itu tandanya!” seru Badai di tengah-tengah pelarian kami.
Gue dan yang lainnya langsung mengernyit.
“Kita harus merekam percakapan itu!!!” seru Badai dengan nafas terengah-engah.
“Jangan bego deh!” Awan mencibir. “Kita lagi diserang begini, gimana mau merekam? Yang ada suara kita yang teriak-teriak ini yang akan terekam!”
Benar juga kata Awan. Jadi kami harus bagaimana? Jika itu adalah tanda dari Sakura, berarti kami harus melakukannya. Jika tidak, kami akan kehilangan kesempatan untuk menyelamatkan Sakura.

“Ini pesan dari Sakura. Dia mengatakan ada satu cara agar kita bisa membebaskannya juga membebaskan Prisil.”
Gue menatap Badai tak yakin.
Badai yang tahu nggak ada yang percaya padanya langsung menunjukkan ponselnya. “Ini pesan dari Sakura sebelum dia meninggalkan sekolah bersama Fabi.”
Kami semua terbelalak lebar saat membacanya. Itu rencana yang Sakura susun dan dikirimkan pada kami setelah dia menaiki mobil Fabi. Cewek itu ternyata memikirkannya dengan matang-matang.
“Kita hanya perlu datang ke sana. Merekam semua yang akan dibicarakan Sakura dan Fabi.” Badai berkata pelan. “Sakura akan mengatur speaker yang ada di sana, sehingga kita bisa mendengarkan percakapan mereka di seluruh gedung.”
Ide yang cukup cemerlang. Tapi gue harus memastikan rencana ini nggak akan gagal. “Bagaimana kita bisa tahu kalau kita harus mulai merekam?”
“Di saat Sakura menekankan kata ‘semua’.”
“Lalu apa yang akan kita lakukan setelah itu? Bagaimana caranya kita bisa membebaskan Sakura dan Prisil?” Awan mengernyitkan keningnya.
“Kita hanya perlu memanggil polisi dengan bukti rekaman-rekaman tersebut. Polisi akan menyelesaikan semuanya.”
“Kalau...” Zia terdiam sejenak menatap kami. “Kita nggak bisa merekam apa yang Sakura dan Fabi bicarakan... apa yang akan terjadi?”
Seketika semuanya terdiam. Sama-sama bergelut dengan pikiran masing-masing. Pengandaian yang sama sekali nggak indah dan nggak menyenangkan. Jika kita gagal, maka tidak ada yang bisa kita lakukan.
“Kita akan menyelamatkan Sakura dengan tangan kita!” Ruth berkata tenang.
“Dan juga Prisil. Jangan lupa itu.” Awan menambahkan.
“Baiklah. Prisil juga.” Ruth mengangkat kedua alisnya. “Kita nggak boleh pesimis. Meskipun rencana yang Sakura susun akan gagal. Kita nggak boleh gagal menyelamatkan mereka berdua!”
Ini dia semangat perjuangan. Gue menyeringai senang. Baiklah. Kita akan melakukan apapun yang kita bisa untuk perjuangan terakhir ini.

“Rencana B!” Gue berseru dan mereka semua langsung mengangguk.
Kita memang harus menggunakan rencana B. Kita sama sekali nggak punya kesempatan untuk merekam dalam keadaan seperti ini. Jadi, kami harus bisa menemukan pintu itu. Pintu yang mengarah ke ruangan M.
Gue menoleh ke belakang. Tangan Zia mendingin dan wajahnya sudah pucat pasi. Dia pasti kaget dengan serangan-serangan mendadak yang dibuat oleh M.
Melihatnya seperti ini, membuat gue merasa sakit. Gue nggak akan membiarkan siapapun membuat Zia ketakutan lagi. Nggak akan.
Zia menatap gue saat gue mengeratkan genggaman gue.
“It’s okay.”
Mendengar gue berkata seperti itu, Zia tersenyum simpul dan mengangguk.
***
“Ke kanan!” Awan berseru sambil membelokkan arah.
Kami masih tetap berada di posisi semula. Badai memimpin, diikuti Awan, gue dan Zia yang paling belakang.
Entah sampai kapan kami akan terus seperti ini. Menghindar memang nggak menyenangkan. Dalam keadaan kejar-kejaran seperti ini saja kami harus tetap mencari pintu yang menuju ke ruang M.
“Badai, apa pintu-pintu yang barusan kita lewati nggak ada satupun yang menuju ke ruangan M?” Gue berteriak sekuat mungkin agar Badai mendengar.
“Jangan berisik, Manusia Badak!” Gue menoleh dan melihat Zia memelototiku. “Kita harus saling percaya dalam keadaan seperti ini. Biarin Badai yang memimpin.”
Baiklah. Gue mengalah. Gue selalu menuruti apa yang dikatakan Tuan Putri. Asal dia bisa tenang dan merasa aman, gue akan melakukannya.
Sampai di sebuah lorong yang tidak berdebu bahkan terlihat sangat rapi, kami mulai memperlambat langkah kami. Lorong di sini sangat sepi dan juga sangat terawat. Gue bertanya-tanya mengapa di gedung tua ini masih ada lorong yang ternyata masih kelihatan hidup.
Ah! Sepertinya kita sudah sampai di tempat tujuan. Buktinya sekarang kami sedang berjalan mengendap-endap.
“Kita nggak akan bisa masuk ke ruangan itu tanpa melawan.” Badai berbisik dengan suara rendahnya. “Siapa yang akan menyelinap masuk ke ruangan Fabi?”
“GUE!” Zia langsung mengangkat tangannya. “Kalian lawan semua anak buah Fabi, gue akan menyelamatkan Sakura.”
Gue langsung menghentikkan langkah Zia. “Lo yakin? Fabi bukan orang biasa.”
“Benar.” Awan mengangguk. “Fabi aja mampu membunuh kakaknya Sakura, bagaimana kalau dia berusaha membunuh lo karena berusaha menyelamatkan Sakura?”
Zia tertegun.
Walaupun perkataan Awan sangat amat menyeramkan, kali ini gue setuju dengan dia. Kemungkinan terburuklah yang harus kami pikirkan sekarang.
“Kita menyerang bersama, dan kita masuk bersama. Itu keputusan akhir.” Badai berkata pelan sambil membalikkan badannya.
Lagi-lagi gue harus mengakui bahwa gue menyukai gaya Badai. Dan keputusan itu yang telah kami buat. Menyerang bersama dan masuk bersama. Karena kita juga harus selamat bersama!
Perlahan tapi pasti, kami menyusuri lorong itu dengan menyiapkan mental kami. Bagaimanapun malam ini, Sakura harus diselamatkan sehingga tak ada korban! Ah... Prisil juga deh. Gue suka melupakan dia.
***
Kami memilih untuk belok ke kanan dan tiba-tiba saja anak buah M mulai menyerang kami dengan tongkat besi yang sama.
SIALAN. Mereka lebih dari dua puluh orang!
Kalau kami terus diserang dengan jumlah yang tidak seimbang seperti ini, gue nggak yakin akan selamat tanpa bonyok-bonyok lagi. Yah, minimal pasti di antara kami akan ada yang tumbang duluan.
Gue dan yang lainnya sama-sama berusaha berkelit. Menghindari setiap serangan tongkat besi tersebut. Tapi rasanya susah banget. Beberapa kali gue mendapatkan pukulan di punggung saat mereka nggak berhasil memukul kepala gue.
Keadaan Awan masih mending dibanding keadaan Badai. Sepertinya M menyuruh anak buahnya untuk lebih sering menyerang Badai. Karena saat ini, sekitar sepuluh orang mengelilingi Badai. Sementara tujuh orang berhadapan dengan gue dan lima orang lagi berhadapan dengan Awan.
Saat ini gue nggak bisa menemukan Zia di manapun. Sejak terkejut akibat penyerangan bertubi-tubi dari anak buah M dan berencana masuk bersama, gue nggak fokus dengan keberadaan Zia. Gue sibuk menghindari serangan anak buah M.
Sialan. Di mana sekarang Zia berada? Dia nggak dibawa anak buah M yang lain, kan?
Kalau sudah begini, gue harus melawan. Nggak peduli kalau gue sekarang udah babak belur, yang penting gue harus memusnahkan anak buah M ini dulu.
Karena beberapa sudah tumbang, tinggal dua puluh dua orang yang tersisa. Baiklah, gue akan menonjoki mereka tanpa ampun.
Tiba-tiba seseorang memukul gue dari belakang. Gue geram dan menoleh. Mata gue melotot dan tanpa aba-aba gue langsung menendang dia sampai tersungkur jatuh. Lalu berbalik badan untuk menghadapi yang lainnya. Sisa enam orang.
Oh tidak. Barusan gue melihat Badai tumbang. Baiklah, itu sesuatu yang wajar karena Badai melawan sepuluh orang sekaligus. Meskipun lawannya tersisa tujuh orang.
Melihat teman gue berada di keadaan kritis, gue langsung menonjok, menendang, memukul bahkan sampai menyikut enam orang yang ada di depan gue tanpa ampun. Gue menyerang gila-gilaan dan nggak peduli lagi dengan norma kemanusiaan.
Awan sudah berhasil melawan tiga orang. Sisa dua orang lagi. Sepertinya nggak perlu gue bantu. Jadi setelah gue berhasil menumbangkan enam orang di depan gue, gue langsung berlari ke arah Badai yang sudah tersungkur di lantai dengan darah di mana-mana.
“BANGSAT!”
Gue berteriak kata yang sebenarnya nggak bagus sama sekali. Tapi gue sekarang emosi. Gue nggak bisa membiarkan teman gue seperti ini begitu aja.
Tujuh orang di depan gue langsung menyerang gue. Mereka mulai memukul, menendang dan menonjoki gue. Tapi mereka kalah cepat karena gue adalah atlit yang membanggakan kecepatan gue dalam permainan. Dan saat ini mereka kewalahan dalam menghadapi gue yang cepat menghindari semua serangan mereka.
“ARGH!”
Gue dan Awan menoleh. Mata gue terbelalak lebar saat mengetahui bahwa Zia berada di tangan anak buah M. Sialan. Pantas saja dari tadi Zia nggak kelihatan.
“LEPASIN DIA!”
Ups. Gue dan Awan berteriak bersamaan. Kami sama-sama menoleh dan melirik dengan tatapan tanya.
Tapi gue langsung menyadarkan diri akan situasi. Gue harus menumbangkan semua anak M untuk menyelamatkan Zia.
Gue melihat Awan selesai duluan dan berusaha menjangkau Zia. Ah sial! Gue telat. Anak buah M masih tersisa lima di depan gue. Baiklah, gue akan menyerahkan Zia pada Awan kali ini. Asalkan Zia selamat, gue masih ikhlas menerima kenyataan bahwa Awan yang menyelamatkan Zia.
Tanpa banyak bacot, gue langsung menyerang lagi kelima orang di depan gue. Tapi salah satu dari mereka langsung beralih ke tempat lain.
Penasaran. Gue melawan yang lain sambil melirik ke samping. Oh-oh ternyata Zia sudah lepas dan sekarang anak buah M yang menangkap Zia sedang berurusan dengan Awan. Tapi... apa yang dilakukan anak buah M yang satu itu...?
TUNGGU!
Mata gue langsung terbelalak lebar saat mengetahui bahwa anak buah M yang itu sedang mengangkat tinggi-tinggi tongkat besinya ke arah Zia.
Tanpa pikir panjang, gue langsung meninggalkan arena dan menghampiri Zia. Menerobos dan langsung memeluk Zia.
BUK.
Argh... rasanya sakit banget. Kepala gue terasa pening dan kedua mata gue mulai meluhat semuanya menjadi berwarna kuning.
“Manusia Badak? Lo nggak apa-apa, kan!?” Zia menatap gue dengan tatapan khawatirnya.
Gue menggeleng.
“Tunggu sebentar!”
Zia berdiri dan meninggalkan gue sendirian. Duh... kenapa Zia malah meninggalkan gue? Padahal gue lagi asik-asik tiduran di pangkuannya.
Sayup-sayup gue mendengar suara Zia yang berteriak marah dan menghampiri anak buah M yang tersisa.
Gue berusaha berdiri dengan susah payah, tapi hanya bisa duduk dengan punggung menyender ke dinding.
Zia sedang melawan anak buah M. Tunggu! Apa gue nggak salah liat? Sekarang Zia membawa dua tongkat besi di tangannya. Menghampiri anak buah M satu persatu dan melawannya dengan muka memerah.
“Lo berani-beraninya bikin si Manusia Badak jadi begitu!? Lo harus mati di tangan gue!!!” Dia langsung memukuli anak buah M yang terakhir yang ada di hadapannya. Setelah tumbang, dia menginjak tubuh anak buah M tanpa ragu-ragu. “Rasakan ini!”
“Dia jago juga ya.”
Gue menoleh dan menatap datar ke arah Awan yang ikut duduk di samping gue.
“Ngomong-ngomong, kepala lo kayaknya berdarah.” Awan menyeringai
Mata gue langsung melotot dan memegangi kening gue. Ah! Sialan. Ini beneran darah. Kalau begini terus, gue akan kehabisan darah.
“Lo nggak apa-apa?” Zia menghampiri gue. Kedua tangannya memegang wajah gue dan memerhatikannya dengan seksama. “Kepala lo berdarah. Gue akan hubungi Ruth untuk bawa lo ke rumah sakit.” Zia menggerakkan tangannya dan mengambil ponsel dari saku celana jinsnya.
Gue langsung menahannya. “Nggak usah.” Gue tersenyum simpul. “Lagian kondisi Badai jauh lebih mengerikan dibanding kondisi gue.”
Awan dan Zia langsung melirik ke arah Badai yang sudah tergeletak lemas di atas lantai. Dia memang mengeluarkan banyak darah. Nggak heran dia sekarang pingsan di tempat.
“Kita harus masuk ke dalam dan menemukan Sakura.” Gue berkata yakin.

Kami mengangguk dan berdiri. Bersiap-siap untuk menangkap si penjahat kunyuk itu. M atau Fabi atau mantan Sakura. Ya... kita akan menangkapnya.


You may also like

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Ao Haru Ride

Ao Haru Ride

Daftar Blog Saya

Advertisement

Facebook

Instagram