Jingga Untuk Matahari 04 (FanFiction)

0 Comments


Hai guys, pemberitahuan aja ya... JUM versi saya ini dipost setiap hari Senin dan Kamis. Terimakasih :)
Happy reading...
 

“Tar, tadi lo ketemu Kak Vero nggak?” tanya Fio sambil menyendok makanannya. Cewek itu menatap Tari dengan wajah serius.
Alis Tari menyatu, “Kenapa?”
“Gila! Matanya sembab. Kayaknya dia habis nangis deh,” Fio mengambil segelas air mineral dari atas meja.
Tari meminum segelas air mineralnya, “Oh ya?” keningnya berkerut. “Emang dia kenapa?” tanya Tari.
Fio mendekatkan wajahnya, berbisik supaya ngagk di dengar orang-orang. “Katanya, dia di labrak Kak Ari!”
Tari terenyak. Kenapa Ari labrak pentolan The Scissors itu ya? Perasaan belakangan ini Ari malah nggak masuk sekolah gara-gara persoalannya dengan Tari. “Lo kata siapa?” mata Tari menyipit.
“Tadi pas gue di kamar mandi, salah satu anggota The Scissors ngomongin Kak Vero. Katanya dia di labrak abis-abisan. Di omel-omelin, di bentak, di ancem. Pokoknya sampe-sampe wajah Kak Vero jadi pucet begitu.”
Tiba-tiba mata Fio melebar, lalu ia berdiri meninggalkan Tari.
“Fi, Fi. Mau kemana?” seru Tari.
“Gue ke kelas duluan ya, Tar.” Fio langsung ngibrit entah kenapa.
Tari menepuk keningnya kuat-kuat, setelah melihat kearah makanan-makanan yang Fio tinggal sia-sia. “Aduh, dia pake belom bayar nih makanan lagi.”
“Biar gue aja yang bayar,”
Tari kontan menoleh, suara itu benar-benar mengangetkannya.         Ari! Ada di belakangnya pas. Cowok itu langsung berpindah tempat di depan Tari. Menatap Tari sejenak, melihat kekagetan Tari yang ia ciptakan.
“Kok Kakak ada disini?” Tari seperti tercekat. Tadi kan yang di omongin Fio, Ari sama Vero. Eh, tiba-tiba Ari muncul tiba-tiba kayak jin. Kan bikin Tari jadi takut, nanti kalau di omelin sama Ari gimana? Kan gawat.
“Emang lo nggak kangen sama gue?” tanyanya dengan nada percaya diri yang banget-bangetan.
Mata Tari menyipit. Ni cowok emang keren dan ganteng abis. Cuma narsisnya bener-bener deh! “Sejak kapan gue kangen sama lo, Kak?”
“Kemaren, emang lo nggak inget? Lupa atau malu ngakuin!?” goda Ari.
Kontan Tari menepuk keningnya kuat-kuat. Sumpah deh, demi apa, dia malu. Keki banget. Dia kemarin bilang sama Ari kalau dia kangen Ari dan dia lupa itu! Habis kalau kemarin dia nggak ngaku kangen sama Ari, bisa-bisa Ari nyuekin dia lagi. Bahkan mungkin bisa lebih dari seminggu.
“Udah deh, jangan ngeledek gitu!” kilahnya. Pura-pura ngambek memang jalan yang terbaik untuk pergi jauh-jauh dari godaan Ari.
Ari tertawa geli. Matahari yang satu ini emang lucu kalau lagi ngambek. Jadi mendingan dia godain aja tuh sampai Tari nyerah. “Ah… berarti sekarang udah mau jadi cewek gue dong?” serunya dengan tatapan genit yang terarah pada Tari.
Mata Tari melotot, enak aja! Mentang-mentang dia kangen sama Ari kemarin, Ari nangkepnya dia udah bersedia jadi ceweknya Ari. Yah, walaupun tak dapat ia pungkiri, saat Ari mengatakan itu, ia sangat-sangat senang. Matanya berbinar, namun ia ubah dalam bentu kepalsuan. Supaya nggak di bilang ge-er sama Ari.
“Kenapa melotot? Serem tau!” ucapnya memunculkan wajah ketakutan.
Tari mencibir, nih cowok jail tapi bikin hati dia cenat-cenut kayak lagu SM*SH. Rasanya pengen banget nyubit Ari, tapi nanti Ari malah ngira dia genit lagi! Dia kan harus jaim di depan Ari. Biar terkesan cool gitu.
“Nanti jalan, yuk!” ajaknya dengan seulas senyum yang manis seperti gulali.
“Kemana?”
“Jalan-jalan aja. Mau kan?”
Tari diam. Menimbang-imbang ajakan Ari tersebut. Mau sih, tapi takutnya jantung dia keburu loncat waktu berduaan sama Ari dan nggak tahan sama pesonanya itu loh.
“Atau mau sama Angga?” mata Ari menyipit.
Kontan Tari menjawabnya dengan gelengan, “Enggak! Enggak!” serunya menolak.
Tawa Ari meledak! “Wah, ketauan.” Serunya kenceng banget! Sumpah deh.
Tari menyatukan kedua alisnya. Ari tuh bener-bener bikin ia geregetan! Apa coba yang dia ketawain? Perasaan nggak ada yang lucu deh.
“Lo suka kan sama gue?” terkanya seraya menunjuk Tari.
Wajah Tari menimbulkan rona-rona merah. Malu! Sumpah deh. Ari sepertinya tau pikiran Tari seperti apa. Hatinya memang sedang berbunga-bunga. Tari menunduk, menahan senyuman yang akan merekah di wajahnya.
Ari pindah duduk, kini ia duduk tepat di sebelah Tari. Tari jadi makin nervous. Lalu tangan Ari mengacak-acak rambut Tari. “Lo lucu deh,” ucapnya.
Tari mengangkat wajahnya, “Emangnya gue badut!?” gerutunya.
Cowok itu menggeleng, “Enggak. Lo tuh kayak boneka teddy bear,”
“Teddy bear?” Alis Tari bertaut.
Ari mengangguk, lalu ia jatuhkan cewek itu ke dalam pelukannya. “Karena lo akan selalu bisa gue peluk,” bisik Ari tepat di telinga Tari. Membuat rona merah itu kembali menghiasi wajahnya.
Pengen deh Tari balas meluk Ari. Hanya dia malu. Nanti bener-bener ketahuan lagi kalau dia suka sama kakak kelas yang satu ini. Sang pentolan sekolah dan sang penyandang sederet kelakuan buruk dan pelanggar sekolah terbaik di SMA Airlangga.
***
Pulang sekolah!
Mata Vero bergerak kearah Tari yang sedang menunggu Ari di parkiran sekolah. Matanya jelas menyiratkan sebuah kebencian abadi. Begitu menyeramkan dan tatapan itu penuh dengan kebencian. Sedangkan orang yang di lihat Vero itu menjadi ketakutan.
Kedua tangan Vero terlipat di dada. Menunjukkan bahwa dia benar-benar nggak habis pikir sama Tari, siswa biasa yang setelah di uber-uber Ari itu jadi terkenal bak selebritis dan artis, bisa-bisanya dia nggak matuhin perintah Vero yang selama ini sudah menegaskan pada Tari untuk ngagk deket-deket sama Ari. Karena Ari hanya milik Vero seorang.
Keadaan yang kini malah menyudutkan Tari, apapun hal itu. Dari peristiwanya dengan Ata yang belum di ketahui jelas mengapa Ata berbuat seperti itu padanya. Angga yang tiba-tiba kembali disaat benih-benhi cinta itu mulai tumbuh antara Tari dan Ari. Dan kini Vero takkan membuat kehidupan Tari tenang begitu saja.
Vero cepat-cepat pergi setelah melihat Ari datang menghampiri Tari.
“Udah lama?” tanya Ari.
Huh, selamet dah gue. Tari bersyukur dalam hati seraya mengelus-elus dadanya. “Enggak kok.” Tari menggeleng.
Ari mengulurkan tangannya untuk membantu Tari menaiki motornya yang hitam itu. Setelah siap, Ari menggas motornya, membelah lalu lintas kota Jakarta dan mencoba menyeruak diantara keramaian ibu kota.
Tak ada sejam, Ari dan Tari sampai di sebuah tempat yang asri dan sejuk. Tempat yang penuh dengan keindahan alam. Udaranya segar, membuat Tari merasakan keindahan di salah satu tempat yang berada di Indonesia ini.
Ari menggenggam tangan Tari, membawanya kearah tempat duduk yang di sediakan disana. Ia ajak cewek itu duduk di sebelahnya. Tangan kanannya langsung merangkul pundak Tari.
Tari terenyuh, saat menoleh. Tangan itu membuatnya jadi deg-degan. Membuat rona merah yang ada di wajah Tari seperti abadi. Karena berulang kali Ari membuat cewek yang ada di sampingnya ini, dag dig dug.
“Lo tetep nggak mau cerita tentang Ata?” Ari menoleh kearah Tari.
Tari jadi menunduk, mau jawab apa juga nggak tahu. Padahal ini waktunya buat dia romantis-romantisan sama Ari, tapi Ari mmembuatnya jadi menegangkan. Pertanyaan itu lagi-lagi di lontarkan Ari, entah utnuk keberapa kalinya.
“Gue nggak maksa. Cuma gue perlu banget tau. Karena sebenarnya masalah gue menyangkut Ata,” ucapnya kalem.
Lalu dengan garis besar yang Ari ceritakan tentang masalahnya dengan Ata. Tari mengerti. Kasihan sih, Ayah Ari nggak mau bayarin Ata sekolah di sekolahan yang sama dengan Ari lantaran ayahnya menganggap itu sudah termasuk tanggung jawab Mama Ari. Jelaslah Ata marah! Dia kan nggak di anggap, bahkan dalam kata lain, Ayah Ari lebih memilih Ari daripada Ata.
Ata sempet kelihatan sakit hati banget. Tapi setelah mendengar itu, cukup bagi Ata mengambil keputusan. Dan kini apa yang Ata putuskan adalah membalas ketidak adilan itu dengan menyakiti Ari lewat cewek yang menyandang nama Matahari ini.
“Kasian Kak Ata,” ucap Tari dengan nada sedihnya.
“Masih nggak mau cerita?” tanya Ari dengan alis terangkat satu.
Tari nyengir kuda, lalu menceritakan apa yang di katakan Ata padanya saat Ari menjemputnya di rumah. Dia menceritakan pertemuannya di mall dan peristiwa Ata mengurung Tari hingga Tari pingsan di tempat.
Semuanya. Secara detail, lengkap, tak ada cacat. Sehingga Ari mengerti perasaan Ata yang selama ini menyimpan sebuah keirian. Ketidak adilan sejak kecil yang mengharuskan Ata bekerja. Sangat berbeda jauh dengan kehidupan Ari yang di limpahi harta walaupun tanpa kasih sayang.
Kehidupan ini memang sulit untuk di jalani bahkan untuk di mengerti, tapi bagaimanapun juga, sesusah apapun juga, semuanya memnag harus di jalani. Nggak peduli itu apa, yang jelas kita harus menjalani kehidupan ini terus. Ata yang hidup tanpa harta tetapi di limpahi kasih sayang dari orang-orang di sekitarnya. Sedangkan Ari, hidup penuh dengan harta, kemewahan dan segalanya yang berbentuk materi tetapi tanpa kebahagiaan dan kasih sayang yang sebenarnya ia inginkan.
“Tar…” panggil Ari. Tangannya masih merangkul pundak Tari.
Tari menoleh, dan seketika itu juga, wajahnya sangat amat dekat dengan wajah Ari. Mungkin hanya beberapa centi meter. Wajahnya semakin lama semakin mendekat, dekat, dekat, dekatttt sekaliiii. Mata Tari mulai tertutup. Ari yang melihat itu kontan menahan tawa geli, emangnya Tari pikir dia mau ngapain!?
Tapi Ari tetap mendekatkan wajahnya, semakin dekat, hingga nggak ada batas diantara mereka. dan nggak terjadi apa-apa!
Tari membuka matanya. Matanya kontan melebar saat tahu yang Ari lakukan hanyalah mengambil bulu mata Tari yang terjatuh. Nggak ngapa-ngapain Tari!? Bikin Tari jadi deg-degan aja. Tari kan jadi keki! Padahal dia sudah menutup matanya rapat-rapat.
Wajahnya langsung cemberut, apalagi saat tawa Ari meledak, bagai bom atom di kota Nagasaki. “Wajah lo kok merah, Tar? Kepanasan ya!?” goda Ari dengan kedipan matanya.
“Tau ah,” Tari langsung ngambek.
Dan dalam tingkat waktu yang singkat, bahkan nggak bisa Tari cerna sebelumnya dengan benar. Ari mencium pipi Tari! Kontan Tari langsung melongo. Nggak bisa apa-apa. Sumpah deh, demi apa, Tari mau senyum selebar mungkin. Cuma dia keinget sama gengsinya itu.
Rona merah seperti warna bunga mawar merah itu kini muncul lagi di wajah Tari. Rona merah yang lebih merah daripada sebelumnya. Bahkan Ari yang melihat itu langsung senyum sendiri. Cewek ini semakin lama semakin lucu dimatanya.
“Tar,” panggil Ari lembut. Tapi Tari nggak menoleh, dia masih kaget dengan apa yang di lakukan Ari padanya. Lalu tangan kanan Ari kini meraih tangan Tari, membantunya berdiri. Tari sih nurut aja, masih kaget gitu loh!
Di ajaknya cewek itu ke tempat yang lebih sepi daripada sebelumnya. Mereka berdiri di bawah pohon yang rimbun, sejuk dan besar. Ari peluk Tari disana. Erat, namun penuh kasih sayang. Erat, namun penuh kelembutan. Pokoknya, Tari nggak bisa ngapa-ngapain deh sekarang. Tubuhnya hanya mengikuti setiap gerakan yang Ari lakukan. Bahkan di saat Ari memeluknya, kini ia hanya bisa diam. Nggak membalasnya.
Jantungnya berdegup kencang, tak teratur. Sumpah, tubuh Ari wangi banget! Tari merasakan parfum mahal yang di pakai cowok ini. Membuatnya semakin kelepek-kelepek tak berdaya karena pesona Ari yang memabukkan.
Pesona yang selama ini di gilai para cewek-cewek. Tari terjatuh ke dalam pelukannya, ke dalam rengkuhan seorang Matahari.
“Tar,” bisiknya pelan. “Gue mau lo melihat gue, hanya gue. Jangan pernah lagi lo liat arah lain,” pintanya.
Tari mengangguk pelan. “Lo tau? Selama ini, rasa ini selalu gue tahan. Gue pingin banget meluk lo kayak gini,” bisiknya. “Dan gue berharap, gue bisa meluk lo seperti ini, selamanya.”
Setiap kalimat yang Ari keluarkan, keluar dari hatinya yang terdalam. Menyiratkan ketulusan yang dalam. Pelukan penuh kehangatan kasih sayang. Matahari ini bersatu! Takkan ada yang dapat memisahkannya sekarang. Karena mereka terlalu dekat, sehingga tak ada batas diantara mereka untuk di pisahkan. Mereka adalah dua orang yang terjatuh dalam sebuah perasaan.
***
Satu jam pelajaran lagi, bel istirahat akan berbunyi nyaring. Perut Tari keroncongan, dari tadi pagi dia belum makan. Gimana enggak!? Tu kakak kelasnya jemput dia pagi banget! Alasannya sih biar Tari nggak di jemput duluan sama musuh bebuyutannya.
Soal kemarin, tentang Ari memeluk dia. Udah pasti jadi rahasianya sendiri, dia kan nggak mungkin cerita sama Fio. Bisa-bisa nyebar luas kemana-mana. Bukannya nggak percaya sama Fio, Tari cuma takut pas dia cerita ada yang denger secara sengaja maupun tak di sengaja. Apalagi kalau pendengarnya itu melapor secara jelas tanpa cacat sama Vero, matilah dia!
Kringgg… suara bel istirahat memekakan telinga, tapi Tari nggak peduli. Dia udah terlanjur laper sih, mau di gimanain lagi dong!?
“Tar, kemarin lo di jemput Angga!” seru Fio dengan suara tercekatnya.
Mata Tari melebar, sendoknya jatuh ke piringnya lagi. “Apa!?” suara Tari ikut tercekat. “Kapan?” tanyanya histeris.
“Pas, Kak Ari dan lo pergi. Dia dateng, terus pas liat gue, dia samperin gue. Dia nanyain lo, gue bilang aja udah pulang duluan.”
“Lo bilang nggak? Kalo gue sama Kak Ari?”
Fio menggeleng, “Enggaklah. Kalo gitu sama aja gue ngumpanin Kak Ari!”
“Terus lo bilang apa sama dia?” Tari jadi penasaran sendiri.
“Gue bilang aja, lo sakit perut terus ijin pulang duluan. Dia sih respons-nya Cuma ngangguk-ngangguk aja. Nggak tau deh, abis itu dia ngapain.” Fio menggelengkan kepalanya.
Tari mendekatkan wajahnya ke wajah Fio, supaya nggak ada yang denger percakapan mereka. “Masalahnya, Fi, gue tuh udah janji sama Kak Ari.”
Alis Fio bertaut, “Janji apaan lo?”
“Gue janji nggak bakal yang namanya di anter-jemput Angga apalagi bareng sama Angga,” ceritanya.
Mata Fio melebar, “Terus gimana dong? Angga kemarin bilang sama gue, katanya mau jemput lo lagi!”
Tari menepuk keningnya kuat-kuat, “Aduh! Gila!” pekiknya.
Satu kesalahan yang di buat Tari hanya karena Angga, Ari pasti nagmuk berat! Nggak akan yang namanya manis-manis sama Tari lagi. Tari memegang kepalanya dengan kedua tangannya kuat-kuat. Bingung harus apa.
“Tar… ada Kak Ari sama jongos-jongosnya tuh,” bisik Fio cepat sebelum mereka sampai pada tempat tujuan.
Tari menoleh, di lihatnya Ari datang dengan wajah tanpa ekspresi. Ridho dengan wajah biasa-biasa aja. Sementara Oji dengan wajah sumringahnya. Senyum-senyum ngagk jelas, kayaknya Oji habis dapat doorprize deh. Kayaknya seneng banget dia hari ini.
Ari duduk di sebelah Tari. Oji di sebelah Fio. Dan Ridho… nggak tahu harus duduk dimana. Baru aja dia mau menjatuhkan diri di sebelah kiri Tari, Ari alngsung melotot dengan tanda, “duduk di situ, gue cekek lo”. Dia kontan langsung berpindah tempat di sebelah kanan Fio, tapi Oji langsung menyahut, “Dho, kalo lo duduk di situ, lo harus trktir gue seminggu!”
Ridho langsung melongo, “Tega amat ya lo berdua! Gue enggak dapet tempat duduk gini,” ucap Ridho memelas. Wajahnya memunculkan tampang orang sedih.
“Ji, biarin si Ridho duduk di sebelah lo,” ucap Ari.
Oji nurut, gimana enggak!? Tu mata Ari serem banget ngeliatin dianya. Dia kan jadi takut di apa-apain sama Ari. “Sini lo,” ucap Oji bête. “Duduk di sebelah gue, jangan di sebelah Fio!”
Fio melirik kearah Oji dengan tatapan kesal. Apa-apaan coba dia!? Emangnya dia siapa gitu? Merintah-merintah nggak jelas kayak gitu!
***
Fio mengikuti Tari dari belakang, menuju pintu gerbang. Mau mencek apakah Angga sudah datang atau belum. Takutnya malah ada keributan di sini, dan itu pasti gara-gara Tari. Tari menengok ke kana dan ke kiri mencari sosok Angga, dan tepat di sana, di dekat sebuah warung, Angga sedang duduk di atas motornya.
Keringat dingin mulai keluar dari dahi Tari. Nggak tahu harus apa, yang jelas saat ini benar-benar gawat!
Sedangkan Ari sedang berada di parkiran mengambil motornya bersama Ridho dan Oji. Niatnya mereka sih, Oji nganter Fio pulang bersama Ridho yang pastinya harus ikut, karena Oji nganternya pakai mobil Ridho.
Ridho menghampiri Tari, “Tar, Ari udah nungguin tuh.”
Tari menoleh dan tangannya langsung di tarik oleh Ridho. Sementara Fio hanya dapat mengikutinya di belakang.
“Tapi, Kak…”
“Kenapa?” potong Ari cepat. Nadanya menajam. Ari yakin ada yang nggak beres disini.
“Ada…”
“Angga?” potong Ari lagi.
Tari menunduk, kaget sih, tapi dia lebih baik menunduk daripada menatap mata Ari sekarang. Sementara Fio kini benar-benar khawatir aka nada peperangan diantara mereka. Oji dan Ridho sontak mengernyitkan keningnya masing-masing. Ada apa gerangan, Angga datang ke SMA Airlangga!? Nggak mungkin deh kalau dia mau nyari ribut sama Ari di sini.
“Biarin aja,” ucap Ari tenang. Tari langsung menengadah, di lihatnya Ari. Wajah cowok itu tak menunjukkan kemarahan, tapi sebuah ketenangan. “Kalo dia mau ikutin lo juga nggak apa-apa,”
Mata Oji dan Ridho melebar, begitu juga Tari dan Fio. Apa yang kini di rencanakan Ari!? Nggak mungkin dia mengalah sama Angga dengan mudah.
“Yuk, Tar. Ari mengulurkan tangannya pada cewek yang ada di hadapannya itu. Tari mengamitnya, lalu menaiki motor Ari.
Sementara yang lain, berjaga-jaga di belakang motor Ari. walaupun Ari nggak nyuruh mereka berbuat seperti itu, mereka takut Ari di apa-apain sama Angga. Bukannya ngeremehin kemampuan Ari berantem, tapi ada Tari bersama Ari.


You may also like

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Ao Haru Ride

Ao Haru Ride

Daftar Blog Saya

Advertisement

Facebook

Instagram