Jingga Untuk Matahari 09 (FanFiction)

0 Comments


Hola, readers. I come back with Jingga Untuk Matahari. Part ini sedikit, saya juga baru menyadarinya wkwkwk... Selemat membaca. Jangan lupa komentarnya....


Setelah dua hari istirahat di rumah, rasanya tubuh Tari sudah enakan. Nggak terasa pegal-pegal lagi. Ia merasa fresh hari ini. Hari yang sebenarnya di sebelin sama murid-murid karena harus upacara dan terkena terik sinar matahari pagi. Tapi bagi Tari, inilah hari dimana ia mengingat sebuah kejadian, pertama kali ia bertemu dengan Ari.
Masih tetap sama dengan biasanya, ia masih memakai pernak-pernik yang serba oranyenya itu. Dari bandana sampai tasnya. Semua berwarna oranye.
Bahkan, sarapan hari ini terasa sangat enak meskipun hanya roti tawar dengan selainya. Sedang makan pun, Tari senyum-senyum sendiri. Dia ingat tadi malam, Ari menelponnya!
Di sebelahnya, Geo memandangi wajah kakaknya itu dengan kening berkerut. “Kak, lo nggak gila kan?” tanyanya ngaco.
Tari tersentak, lalu melirik Geo dengan kesal. “Ya enggaklah! Masa iya sih, gue gila. Nanti kalo gue gila, lo yang repot, tau.”
Geo tertawa geli, “Sori. Habis dari tadi lo senyum-senyum nggak jelas. Kenapa? Dapet doorprize?”
“Senyum kan ibadah, Yo. Masa gue nggak boleh senyum sih!?”
“Tapi nggak gitu juga kaleeee,” seru Geo. “Lo malah keliatan kayak depresi berat gitu, tau! Atau jangan-jangan lo mau di jemput Kakak ganteng itu ya?” terka Geo dengan senyum nakal.
Kening Tari berkerut, “Kakak yang mana nih?”
Geo tampak berfikir keras, “Yang mana ya?” jari telunjuknya mengetuk-ngetuk dagunya. “Yang… namanya sama kayak Kakak itu lho,” ucapnya.
“Siapa nih? Matahari Senja atau Matahari Jingga?” alis Tari terangkat.
Geo tampak berfikir lagi. Lama sekaliii. Sampai-sampai Tari merasa dirinya sudah lumutan, gara-gara Geo lama banget mikirnya.
Lalu dengan tiba-tiba, ia menjentikkan jarinya. “Ya… yang pernah nyium kening Kakak,”
Sontak, wajah Tari memerah. Jadi, Geo melihatnya di cium sama Ari? oh nooo… kalau Geo bilang sama Mamanya gimana ya? Bisa-bisa di gorok nanti!
“Enggak ada yang nyium kening gue!” seru Tari.
“Bohong lo! Gue liat sendiri,” Geo tetap saja ngotot kalau dia memang pernah melihat aksi anak remaja itu. “Yang itu siapa namanya?”
Tari langsung berdiri dari kursinya saat melihat jam di pergelangan tangannya. Hampir telat, kalau dia nggak buru-buru samapi sekarang. Dengan cepat, Tari meninggalkan rumahnya. Pamit sama Mamanya dan juga Geo yang sekarang melongo.
Ketika baru selangkah, Tari melangkah. Ia melihat satu orang cowok di atas motornya dengan kepala yang di lapisi helm. Tari mendekat perlahan.
“Lo kemana aja sih? Lama banget!” gerutunya dengan kesal.
“Lo nungguin gue, Kak?” tanya Tari, spechless.
“Ya iyalah! Ngapain aja sih? Dandan? Udah cantik kok, nggak usah dandan segala,” dengan tangannya, Ari memberikan kode agar Tari naik diatas motornya.
Tari memukul pundak Ari dengan pelan, “Yey… siapa yang dandan. Tadi tuh si Geo ngajak ngobrol, jadi lupa waktu.”
“Pantesan, kuping sebelah kanan gue panas. Ngomongin gue ya?”
Sontak wajah Tari memunculkan rona merah lagi. Ingat dengan apa yang Geo lihat. “Udah ah, nggak usah ge-er deh!” kilah Tari.
***
Dari pelajaran pertama sampai pelajaran akhir, Tari bebas dari gangguan Ata. Dari istirahat pertama sampai keduapun sama. Nggak ada tanda-tanda yang membuatnya parno. Sepertinya hidupnya akan terbebas dari cowok yang namanya Matahari Jingga itu.
Fio menatap teman sebangkunya itu dengan kening berkerut. Tari senyum-senyum sambil memasukkan semua alat tulisnya ke dalam tas.
“Lo kenapa, Tar? Jangan-jangan kemarin itu gejala lo mau gila kayak gini,”
“Enak aja,” Tari langsung cemberut. Kayaknya semua orang nggak ada yang senang ngeliat dia bahagia sedikit aja. Malah di katain orang gila lagi! Parah banget semua orang!
Mereka yang lagi asyik ngobrol, terganggu dengan kedatangan seseorang dengan tatapan sinisnya. Tari mendongak. Menyadari kehadiran orang itu. Mata tajamnya, senyum sinisnya dan juga caranya menyapa Tari. Dia Ata!
“Gue pinjem Tari sebentar!” ijin Ata dengan nada datarnya. Lalu menarik paksa Tari.
Ata berjalan dengan langkah cepat di sekitar koridor. Ia mencari tempat sepi agar tak satupun dari mereka mengetahui percakapan yang akan berlangsung.
Dengan tatapan sinisnya, ia tatap Tari tepat di kedua manik mata milik Tari. “Kemarin-kemarin gue nggak tega nyakitin lo, karena lo lagi sakit! Tapi untuk sekarang, jangan harap gue biarin lo!” tegasnya dengan rahang yang mengatup rapat.
Tari meremas kesepuluh jarinya. Keringat dingin mulai mengucur di pelipisnya. Nggak tahu harus apa. Padahal sejak tadi, Tari merasa hidupnya akan mulai membaik dan semua ancaman Ata akan hilang dengan seketika. Namun, apa yang terlihat sama sekali berbeda dengan apa yang terjadi. Cowok itu tetap bertahan.
Wajah Ata terlalu dekat dengan wajah Tari. Hanya menyisakan beberapa senti meter. Matanya tajam. Senyum sinisnya. Dan juga hembusan nafas kesabarannya itu tlah Tari rasakan. Begitu menusuk. Membuat Tari yakin, teramat yakin bahwa dendam ini di balaskan dengan cara yang pasti lebih sadis. Dan pastinya dendam ini memainkan permainan berdarah juga!
“Gue tau, dia emang sodara kembar gue! Tapi kita punya satu perbedaan yang membuat gue teramat sakit, Tar! Sakit! Dan lo nggak tau rasanya,” pandangan itu semakin menajam. “Konfrontasi ini akan terus berjalan sebelum dia merasakan apa yang gue rasakan!” tandasnya.
Tari menatap Ata, nanar. Tari masih bingung apakah ini benar-benar konteks dengan dirinya. Kenapa ia harus di libatkan. Bahkan Tari, sekarang melibatkan hatinya.
“Jadi, lo!” tunjuknya pada Tari. “Jangan main-main sama gue! Berani lo deketin dia bahkan jadi deket lagi, gue nggak segan-segan bikin hidup lo lebih menderita!” ucapnya sengit.
“Gue nggak ngerti dengan cara lo mengkonstatirkan (menyimpulkan.red) dendam lo. Gue rasa lo salah dalam hal itu. Gue yakin, apa yang di derita lo pasti di derita Kak Ari juga. Dan lo, main seenaknya aja bikin dia, yang nggak tau apa-apa jadi sakit!”
Sorot mata Ata semakin menajam, “Gue rasa sengketa ini nggak akan pernah selesai kalo lo selalu ngelawan gue!”
Kali ini, Tari terenyak. Sengketa tak usai, berarti dia harus terus seperti ini? Dan dia nggak mungkin bisa bertahan lama. Tak menuruti Ata, sama saja dengan memperpanjang semuanya. Kali ini Tari diam. Menunggu ucapan-ucapan yang akan keluar dari mulut Ata.
“Sekalipun lo lari, tetep aja lo nggak bisa! Karena lo udah masuk, lo nggak bisa keluar!” tandasnya dengan nada sengit.
Kedua tangannya mengurung Tari yang ada di dalamnya. Cowok itu tetap menatap Tari. Tari sadari, persoalan ini begitu sukar untuk ia atasi. Ata nggak mungkin main-main. Sorot matanya memberitahu Tari, satu saja pelanggaran. Tari di pastikan akan terluka! Bahkan Ari juga.
Hening. Tak ada suara. Hingga terdengar langkah kaki seseorang mengarah kearah Tari dan juga Ata. Ata terkesiap, dia langsung membenarkan posisinya. Ia berdiri di sebelah Tari, merangkulnya dengan tangan kanannya. Lalu mengubah senyumnya menjadi senyum palsu.
Keduanya langsung tercekat. Orang yang datang adalah Ari! dengan tatapan datar. Nggak sinis. Hanya saja tatapan itu, tatapan khas kalau lagi marah. Gunung es abadi itu kembali menyelimuti diri Ari. dari sorot matanya, sangat jelas. Dia sedang menahan amarah yang membara.
Cowok itu mengatupkan gerahamnya kuat-kuat. Lalu dengan tatapannya itu, ia hampiri Ata yang tengah merangkul Tari dari sebelah kanan. Tangannya menggepal. Menahan emosi yang kini meluap-luap.
“Gue udah tau, Ta. Bahkan dari dulu! Tapi gue diemin, karena gue dulu nggak tau. Kalo lo picik banget! Gue kira, lo udah puas dengan apa yang lo lakuin ke gue! Tapi lo minta lebih. Dan gue nggak bisa ngasih toleransi lagi sama lo! Cukup.”
Mata Ata terbelalak lebar. Ia tatap Ari dengan pandangan tak percaya. Lalu diliriknya Tari dengan pandangan curiga. Mungkin saja Tari yang mengatakan semuanya pada Ari.
“Dia nggak salah! Gue tau, karena gue nyari tau! Dan lo tau satu hal, gue nggak nyangka. Sodara kembar gue, melakukan hal yang murahan seperti ini! Sengketa ini antara gue dan lo. Tari nggak tau apa-apa. Dan kesengsaraan Tari harus berakhir sekarang!” tegasnya.
Ari menarik tangan Tari. Lalu dengan langkah panjangnya, ia tinggalkan Ata dalam sebuah kebisuan.


You may also like

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Ao Haru Ride

Ao Haru Ride

Daftar Blog Saya

Advertisement

Facebook

Instagram