Jingga Untuk Matahari 01 (FanFiction)

0 Comments

Hai guys, saya datang membawakan cerita lama (?). Kalian tahu banget kan saya suka sama yang berbau matahari dan jatuh cinta sama karya-karya Kak Esti!? Wkwk... Jadi cerita ini pernah saya post di jejaring sosial juga. Saya bikin lanjutan dari JDS Series karena ngebet banget sama buku ketiga yang belum keluar. (Peace Kak Esti ._.v) Nah ini dia versi saya.... Happy reading!!!


1

Sejak peristiwa Ata menghampiri Tari, dan mengatakan ia akan membuat hidup Tari di penuhi dengan tangisan, kini Tari menjadi khawatir. Ia nggak bisa membayangkan apa yang akan di lakukan Ata terhadapnya.
 Hanya satu yang kini tengah menyelinap di pikiran Tari, yaitu apa tujuan Ata menghancurkan kehidupan Tari? Tari nggak tahu jelas itu. Ata hanya mengatakan bahwa dirinya akan apes.
Setiap malam, yang ada di pikirannya hanya itu. Hanya perkataan Ata yang selalu muncul dalam pikirannya secara tiba-tiba. andai ia bisa menceritakannya pada Ari, ia pasti akan cerita. Hanya peringatan yang di buat Ata itu terlalu membuatnya jadi parno sendiri.
Kadang perkataan Ata itu masuk ke dalam mimpi-mimpi indahnya yang langsung berubah menjadi mimpi buruk. Ata benar-benar membuat Tari menjadi parno sendiri. Apalagi kalau Tari berangkat ke sekolah, seperti ada orang yang mnegikutinya di belakang.
Hari ini, Tari berangkat sekolah tanpa Fio. Kata Fio, Fio agak telat. So, Tari harus berangkat sendiri dan harus menikmati keparnoannya di sepanjang jalan.
Baru satu langkah kakinya ia langkahkan dari pintu, sudah terlihat seseorang menggunakan helm dan motor hitam di depan rumahnya. Seketika Tari ketakutan, Atakah? Atau Arikah?
“Kok bengong sih? Gue dateng pagi-pagi cuma buat jemput lo nih,” serunya.
Dengan satu kalimat itu, Tari langsung sadar bahwa orang itu bukanlah Ata, namun Ari. Dengan langkah cepat dan panjangnya, ia dekati Ari.
“Emang siapa sih yang minta jemput?”
“Terserah gue dong, kan gue penguasa sekolah. Lo bisa apa!?”
Telak, Tari diam. Baru sadar kalau orang yang ada di hadapannya ini memang orang yang rada-rada aneh. Memang Tarilah yang tak pernah mengakui kepenguasaan Ari dan hanya Tarilah yang dapat serta bisa melawan Ari.
“Buruan naik,” perintahnya, “pake ini,” Ari ulurkan jaket pada Tari.
Mau nggak mau, Tari menerimanya dengan nggak ikhlas. Lalu dengan bantuan Ari, ia naik ke atas motor Ari.

Di kelasnya, Tari benar-benar nggak fokus. Sementar tu guru ngomong dan berceramah segala macam, Tari tetep aja bengong. Sementara Fio, teman sebangkunya Cuma bisa ngeliatin apa yang di lakukan Tari dalam lamunannya itu.
“Tar, lo kenapa sih?” Fio menggoyang-goyangkan tubuh Tari.
“Soal Ata itu, Fi.” Tari menunduk.
“Udahlah, gue yakin kok, Kak Ari pasti lindungin lo.” ucap Fio mencoba menenangkan hati Tari yang sedang gelisah.
“Nggak ah, bukannya lindungin gue, adanya ntar tu orang malah bikin gue sengsara lagi.” Tari teringat dengan segala hal yang di lakukan Ari padanya, begitu menyakitkan. Apalagi gara-gara Ari, dia harus kehilangan gebetannya.
“Baru inget gue kalo Kak Ari selalu bikin lo sengsara, Tar.”
Mereka berdua terdiam dengan pikirannya masing-masing. Teror yang Ata buat memang memberikan efek yang sangat besar untuk Tari. Juga Fio, yang secara gitu dia kan temen sebangku Tari.
Belum lama mereka terdiam, suara yang berasal dari ponsel Tari bordering kencang. Segera Tari mencari ponselnya.
Satu pesan baru tertulis di layar ponselnya dengan nama Angga.

Tar, gue mo ktmu lo. Plng sklh gue jmpt lo.

Sms yang membuat Tari dan Fio mengerutkan keningnya bersamaan. Satu pertanyaan di kepala mereka berdua, bukannya Angga udah mundur?
***
Gawat! Satu kata itu emang pas banget buat Tari yang bener-bener dilanda sebuah kebingungan. Disisi lain, Angga udah jemput dia dan sekarang Angga ada di pintu gerbang! Disisi lain lagi, Ari lagi berdiri di deket motornya, menunggu Tari.
Sementara Tari sedang mnegatur rencana untuk berbohong pada Ari, Fio mengawasi kalau-kalau Ari datang tiba-tiba saat ide itu belum sama sekali nongol ataupun mampir di kepala Tari.
Ting… Tari mendapatkan ide. “Fi,” panggilnya.
“Apa?”
“Gimana kalo…” Tari membisikan rencananya pada Fio dengan pelan. Fio ngangguk-ngangguk mengerti.
“Oke, gue setuju.”
Mereka berdua melewati Ari tanpa menyapa, melirik, bahkan tanpa bilang ‘permisi’ yang seharusnya mereka lakukan di depan kakak kelas. Apalagi kakak kelas seperti Ari.
Ari menghadang kepergian Tari dengan merentangkan tangan lebar-lebar di depan Tari. “Mau kemana?”
“Pulang,” jawab Tari santai, padahal di dalam hatinya detak jantungnya tak dapat ia atur. Ia sangat amat menginginkan Ari pergi dari hadapannya dengan segera. Kalau dia tahu Angga ke sini, bisa mampuslah dia.
“Gue anter,”
“Gue mau bareng Fio,”
Mata Ari teralih kearah Fio, “Fio pulang,” Perintahnya tegas.
“Enggak,” jawab Fio sesingkat mungkin.
Mata Ari menajam, “Fio,” desisnya, kesal. “Lo berani nantang gue?” ucapnya galak.
“Kakak, saya nggak nantang kakak kok. Tari kan mau nonton film Korea sama saya, jadi pulangnya sekalian.” ucap Fio pelan.
“Oke, tapi kalo sampe lo berdua bohong sama gue, liat aja akibatnya.” Peringat Ari seraya pergi meninggalkan Tari dan Fio.
Keduanya menghembuskan nafas lega. Kalau sampai Ari tahu Tari akan menemui Angga, pasti akan terjadi perang dunia lagi! Atau Ari akan melakukan hal yang sama seperti di kantin waktu itu!?
“Fi, lo nggak apa-apa kan kalo pulang sendiri?” tanya Tari.
Fio menggeleng, “Nggak apa-apa kok, Tar. Udah sana… di tungguin tuh sama Angga,” ucap Fio. “Ya udah kalo gitu, good luck ya, Tar.”
Tari tersenyum melihat kepergian temannya itu. Kini ia harus bertemu Angga.
Kakinya langsung melangkah cepat keluar SMA Airlangga, kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari sosok Angga yang sudah lama menunggunya. Matanya langsung terhenti dan terkunci saat ia melihat Angga sedang duduk di atas motornya, di seberang jalan.
Tari melambaikan tangannya pada Angga. Angga menoleh, “Sini,” panggil Tari.
Angga mengendarai motornya dan mendekati Tari, “Kok lama?” tanyanya.
“Sori, tadi ada Kak Ari. Gue cuma nggak mau bikin lo berdua berantem lagi di depan umum,”
Angga mengangguk, “Yuk, naik.” Perintahnya, “Ikut gue, gue mau ngomong sama lo,”
Dengan bantuannya, Tari pun menaiki motornya. Angga kendarai motornya dengan pelan dan nggak terlalu buru-buru. Ia bawa Tari ke tempat yang sepi dan jauh dari hiruk pikuk kota.
Satu kelalaian yang dilakukan Tari dan Angga, membuat seseorang kini marah. Apa yang di lakukan Tari adalah sesuatu yang membuat seseorang itu terpaksa harus menyakitinya lagi. Karena sesusah apapun usahanya untuk mendapatkan Tari, Tari tetap tak berpaling dari Angga.
Angga pegang pergelangan Tari dengan lembut, membawanya ke suatu tempat, lalu mengajaknya duduk di bawah pohon yang rimbun di dekat danau.
Mereka berdua belum memulai pembicaraan, mereka masih terdiam dalam pikiran mereka. Karena sebelum Angga memulai pembicaraan, Taripun nggak akan memulai pembicaraan itu.
Setelah lama terdiam, akhirnya mulut Angga mengeluarkan suara, “Jadi sekarang yang menggantikan posisi gue itu sodara kembar Ari?” tanyanya getir.
Tari menunduk, tak menjawab, karena kini Ata yang sebenarnya bukan menggantikan posisi Angga tapi malah menggantikan posisi Ari. Sedangkan Ari kini malah menggantikan posisi Angga. Posisi pelindung Tari.
Cowok itu berdiri, “Gue nggak akan pernah biarin sodara kembar Ari yang gantiin gue, karena dia sama aja kayak Ari.”
“Tapi…”
“Gue akan atasi masalah Gita, lo tenang aja. Dia nggak akan kenapa-kenapa,” potong Angga cepat.
Tari hembuskan nafas beratnya. Kini apa yang harus ia lakukan? Ata membuatnya ketakutan dengan mengatakan akan membuatnya terus menangis. Ari berubah dan itu sangat berefek besar pada hati Tari yang kini telah melihat seperti apa Ari sebenarnya. Sedangkan Angga, dia kembali lahi di kehidupan Tari dan akan mengatakan bahwa dia akan melindungi Tari lagi. Menjadi heronya seperti dulu.
Hanya satu perasaan itu kembali datang lagi saat hatinya kini memberi kesempatan untuk Ari yang mengisinya. Hanya karena Angga datang lagi, datang sebagai pelindung Tari. Namun, mungkin kini bukan sabagai pelindung Tari dari Ari, tetapi pelindung Tari dari Ata.
Satu hal yang kini dirasakan Tari, yaitu ia terjebak diantara tiga cowok. Terjebak diantara permainan yang mereka mainkan dan Tari disini hanya sebagai penengah.
***
“Gimana kemaren?” tanya Fio saat bel istirahat berbunyi.
Tari menarik nafasnya dalam-dalam, lalu ia keluarkan perlahan. Seperti apa yang akan di bicarakannya ini sungguh suatu beban berat yang dia rasakan. “Dia kembali,”
Mata Fio melebar, “Serius lo?”
Tari mengangguk lemah.
“Gawat banget nih,” ucap Fio.
“Bukan gawat lagi, Fi. Ini udah jadi awal perang dunia ketiga,” ucap Tari, lemas. Nggak ada tenaga, sumpah deh, gimana dia punya tenaga kalau yang sebentar lagi akan terjadi adalah perang dunia ketiga? Dan dia mau tak mau harus ikut didalamnya.
Fio mendesah, ikut prihatin dengan keadaan temannya yang kini lagi dalam keadaan nggak baik. Apalagi dalam hal ini, biasanya dia ikut campur tangan, karena Tari nggak mungkin bisa menghadapi tiga orang itu dengan sendiri.
Tiba-tiba Fio merasa tercekat, kaget ketika matanya tiba-tiba terhenti dan terkunci pada satu arah. Ia senggol lengan Tari pelan, “Tar, Kak Ari…”
Tari menoleh, dan mendapati Ari sedang berada di ambang pintu. Menatapnya tajam. Mata Tari melebar, membuat bulatan seperti bakso. Ari benar-benar membuat dirinya kaget, karena kedatangannya yang tiba-tiba.
Tari nggak tau, apa Ari sudah berdiri disana sejak tadi atau belum. Yang Tari tahu adalah, Ari dalam keadaan marah. Karena tatapan Ari benar-benar tepat mengarah pada manik matanya yang kecokelatan.
Dengan langkah pelan dan santai, Ari mendekati Tari yang kini sedang melongo menatapnya. Ari bungkukkan badannya sedikit, “Kalo ngajak main, bilang sama gue. Supaya gue tau, permainan apa yang sedang lo mainin,” ucapnya pelan tapi sengit.
Tersentak dan tercengang, itulah yang Tari rasakan. Kalimat yang di lontarkan Ari tadi memang tak mampu ia cerna dengan baik. Namun, dibalik kalimat dan ketenangan yang Ari suguhkan pada Tari, disana ada api yang membara dan kemarahan jiwa yang tak kasat mata.
“Gue bisa hancurin lo kapan aja, Tar. Karena satu hal yang lo lakuin ini adalah kesalahan fatal,” desisnya tepat di depan wajah Tari.
Tari tertegun, mendengar kalimat Ari yang terakhir. Tari nggak tahu jelas pokok permasalahan yang Ari maksud dan Ari anggap sebagai awal dari kesalahan fatal itu. Ari sudah pergi meninggalkan Tari yang masih saja berusaha mencerna setiap kata yang terlontar dari mulut Ari. Berusaha mengetahui apa yang Ari maksud.
Sedangkan Fio terpaku dengan apa yang dilakukan Ari ternyata sangat berefek pada Tari. Fio hanya dapat menatap teman sebangkunya ini dengan tatapan prihatin.

Dering suara bel pulang sekolah memekakan telinga setiap murid yang ada, namun itu adalah tanda yang sangat membuat mereka merasa bahagia. Lautan murid SMA Airlangga pulang dengan berbondong-bondong. Sementara Tari dan Fio pulang dengan pelan dan dengan perasaan lelah, letih dan juga lesu.
Kaki Tari terasa lemas dan nggak kuat untuk berjalan pulang. Nggak tau kenapa dan nggak tau arahnya darimana, tiba-tiba Oji menghentikan langkah kedua cewek itu. Tari langsung me-rem langkahnya sebelum menabrak Oji.
“Mau pulang, Tar?” tanya Oji dengan polos.
“Udah tau mau pulang, masih aja nanya,” gerutu Tari, kesal.
Ini nih antek-antek atau jongosnya Ari yang paling dia sebelin. Nggak tahu kenapa, Oji seperti membuat kehidupan Tari tambah kacau. Kalau Ridho sih mendingan, nggak terlalu stress kayak Oji yang selalu ngikutin perintah Ari.
“Weist dah, galak amat,” Oji menganggap seakan Tari itu lebih galak daripada macan yang ada di taman safari, “Di tunggu bos gue tuh,” ucapnya memberitahu.
“Mau ngapain tuh bos elo?” tanya Tari seakan bos tersebut bukanlah seorang Ari yang mempunyai kekuasaan di sekolah.
“Nganter elo lah,”
“Kalo gue nggak mau?” tanya Tari.
“Udah deh, nggak usah pake nolak-nolak bos gue, bos gue ganteng gitu juga masih aja lo tolak,”
“Idih, lo aja gih. Gue sih nggak berminat sama bos lo itu.” Kilah Tari.
Sementara dua orang itu adu mulut, Fio menguap setiap kali ada kesempatan. Ngantuk. Ya iyalah, gimana enggak? Dia kan satu-satunya orang yang di cuekin dan nggak di anggap di percakapan ini.
“Eh, gue tuh udah ikhlasin bos gue buat lo. So, ayo ikut gue,” paksa Oji.
“Nggak,” Tari menggeleng.
Oji menarik tangan Tari dengan paksa, Tari berusaha menariknya kembali. Oji balik narik tangan Tari lagi dan akhirnya, setelah susah payah Tari menarik tangannya kembali dari genggaman Oji, yang menang adalah Oji. Gimana enggak? Oji kan tenaganya cowok, beda sama tenaga Tari, tenaga cewek.
Sebelum pergi, Oji mengucapkan kata-kata perpisahan pada Fio yang kini melongo, “Fi, lo pulang sendiri ya. Tari pulang sama Ari,” pamit Oji mewakili kepergian Tari.
Lalu dengan susah payah, Oji menarik Tari sampai ke tempat parkir sekolah. Ternyata Ari sudah menunggu sejak tadi di atas motor hitamnya.
“Nih bos,” Oji menyerahkan Tari pada Ari.
“Lama banget sih lo,” cetus Ari galak. Matanya melotot kearah Oji.
Oji nyengir kuda, “Sori bos, perlu strategi buat narik dia ke hadapan lo,” ucapnya.
Pandangan Ari berpindah kearah Tari, “Lo ikut gue,” tunjuknya pada Tari.
Tari malah membalas tatapan Ari dengan tajam. Menandakan penolakan. Tap Ari malah membalasnya dengan tatapan yang lebih tajam lagi, membuat nyali Tari jadi ciut untuk melawan kemauan Ari.
Akhirnya Tari pulang diantar Ari, sementara Tari dan Ari sedang melewati pintu gerbang. Ada dua orang yang menatap tajam kearah mereka. Lewat arah yang berbeda dan dengan orang yang berbeda.
Yang satu lebih mengarah pada Ari yang sedang mengandarai motornya. Sedangkan yang satu lagi, lebih kearah Tari yang kini sedang memegang pinggang Ari erat-erat lantaran Ari mengendarai motornya dengan cepat.
***
Hari ini Tari berangkat sekolah diantar Angga, hanya nggak sampai gerbang. Tari Cuma takut, kalau-kalau Ari tiba-tiba muncul di hadapannya dan ngajak Angga berantem.
Nggak tahu, angin apa yang membawa Angga tiba-tiba datang ke rumah Tari pagi-pagi buta, bahkan lebih pagi dari biasanya Ari menjemputnya dengan paksa.
Baru selangkah ia masuk ke gerbang sekolah, matanya tertuju pada Ridho yang sedang asyik ngobrol sama Oji. Di sebelah mereka, ada Ari yang duduk di atas motor dengan tampang wajah kusut. Nggak tahu kenapa, Tari merasa kasihan pada Ari dengan tampilan kusutnya itu. Pasti ada masalah yang menimpanya sekarang.
Sebelum Tari melangkahkan kakinya untuk masuk, ada seseorang yang memanggilnya di kejauhan, “TARI,”
Tari  menoleh dengan cepat kearah suara tersebut, tapi yang ia temukan adalah seseorang yang sama persis dengan orang yang di lihatnya di atas motor. Hanya yang ini berbeda. Dia lebih terlihat sangat ‘kasual’, beda banget dengan orang yang sedang duduk diatas motor dengan segala hal yang menempel di tubuhnya. Dan seketika itu juga Tari menyadri bahwa itu adalah Ata.
Ata mendekati Tari yang kini berdiri di dekat pintu gerbang, “Lama nggak ketemu,” ucapnya pelan.
Tari diam, nggak berani menjawab ataupun menimpali omongan Ata.
“Kenapa diem?” tanyanya dengan mata yang mulai menatap Tari dengan tajam.
“Kok kakak disini?” nadanya seperti tercekat. Tari benar-benar nggak bisa ngapa-ngapain, cowok ini begitu membuat dirinya ketakutan sendiri.
“Kenapa?” tanyanya, “Nggak boleh? Gue juga seharusnya punya hak disini buat sekolah,” tambahnya.
“Maksud kakak?” tanya Tari dengan alis yang menyatu.
“Seharusnya sih, cuma gue nggak bisa. Lo tau alasannya, karena lo punya nama yang sama kayak gue,”
Tari menunduk dalam-dalam, mencoba mengartikan kalimat Ata barusan.
Tapi apa daya, Tari malah semakin tak mengerti dengan alur pembicaraan Ata, maksudnya apa coba!? Hak apa!? Oke, dia emang punya hak buat sekolah, tapi apa dia akan sekolah disini? Mengganggu hidup Tari, gitu!? Dengan kata lain sih, berubah menjadi pendamping Ari yang serempak untuk membuat Tari sengsara.
Langkah sepatu terdengar dari arah pintu gerbang, dan ketika Tari menoleh, Ari sudah berdiri di dekat gerbang sekolah, “Kenapa, Tar? Kayaknya lo kaget banget ngeliat gue?” tanya dengan santai.
“Kak, kok Kak A…” belum sempat ia melanjutkan kalimatnya, Tari menoleh kearah Ata, namun seketika itu juga, Ata menghilang! Dia nggak ada di depan Tari, nggak ada di sekelilingnya.
Tari mengusap-usap kedua matanya, seraya mencari sosok orang yang tadi berbicara dengannya, namun tak kujung ia temukan dimana Ata berada. Ata telah pergi!
“Lo mau ngomong apa sih, Tar? Malah bengong lagi,” sentak Ari.
Tari menoleh, “Eng… nggak.” Ia menggeleng, “Gue nggak mau ngomong apa-apa kok,” ucapnya.
Alis Ari terangkat, “Terus kenapa lo malah berdiri di luar? Kenapa nggak masuk? Sebentar lagi kan bel,” ucapnya dengan nada heran.
“Duh… gue telat…” ucap Tari sambil ngeloyor pergi tanpa permisi.
Dengan pandangannya yang masih tersirat keheranan, Ari pergi kembali kearah Oji dan Ridho yang kini juga sedang mengerutkan kening mereka.

“Hah!? Serius lo?” mata Fio melebar seketika.
Tari mengangguk.
“Kak Ari sih udah mendingan, nggak kayak kemaren. Tapi ini nih sodaranya, bikin gue takut aja. Bahkan dia bisa ngilang secepat mungkin waktu Kak Ari mau dateng,” ucap Tari.
Mereka sih nggak terlalu khawatir lagi dengan kedatangan Angga yang kembali lagi ke kehidupan Tari. Tapi satu hal yang mereka takuti, apa lagi Tari, Ata. Ya, Ata. Cuma dia, satu orang yang bikin Tari selalu bertanya-tanya di dalam hatinya, apakah maksud Ata selama ini?
Yang bikin Tari masih lega sih, karena Ata belum ngapa-ngapain dia. Coba bayangin kalau Tari harus benar-benar menangis sesuai dengan perkataan Ata saat itu, Tari nggak yakin ada orang yang akan ngelundungin dia dari Ata.
Ponsel Tari berdering, cepat-cepat Tari dekatkan ke telinganya.
“Tar, ntar gue jemput lo,” ucap seseorang di seberang.
Mata Tari melebar, “Hah!? Jangan,” sergahnya, “Kalo Kak Ari liat lo, nanti dia bisa ngamuk. Apalagi kalo tau lo udah kembali lagi,” ucap Tari.
“Gue nggak peduli, Tar. Yang penting lo nggak deket-deket sama tu orang,” ucapnya dengan tegas.
Tari jadi khawatir, gimana kalau Ari dan Angga benar-benar berantem!? Apalagi kalau jongos Ari ada di sebelahnya, Angga kan sendiri nggak bawa temen.
Tiba-tiba, tanpa Tari sadari, Angga sudah menutup sambungan itu sebelum Tari melarangnya lagi. Sepertinya Angga benar-benar serius dengan hal ini. Tapi masa iya sih, Tari harus ada di tengah-tengah mereka lagi!? Terus siapa dong yang akan Tari pilih, saat mereka menanyakan hal-hal yang nggak ingin Tari dengar dari mulut mereka berdua.
“Tar,”panggil Fio seraya menggonyang-goyangkan tubuh Tari, tapi Tari nggak juga membalas panggilan itu, “Tar,” panggil Fio lagi, respon Tari tetap sama. “TARIIIII,” teriaknya tepat di telinga Tari.
Tari tersentak dalam guncangan yang hebat. Gimana enggak!? Secara gitu Fio teriak pas di telinga Tari pake toak! Bahkan suaranya nggak kira-kira pula dan nggak nanggung-nanggung.
Fio sih terpaksa melakukan itu, kalau enggak, Tari nggak bakal menyahutnya dan akan terus bengong sampai besok pagi.
“Apa sih, Fi?” tanya Tari sambil mengusap-usap kedua telinganya yang kini mungkin udah kena penyakit budeg.
“Siapa yang nelpon lo?” tanyanya dengan antusias.
“Angga,” lirih Tari. Kepalnya menunduk, mencoba sabar menghadapi kehidupannya yang rumit ini.
Mata Fio melebar, membentuk bulatan seperti bakso, “Terus dia ngomong apa?” tanyanya lagi.
“Mau jemput gue,” bisiknya dengan suara perlahan saat guru mereka sudah memasuki pintu ruang kelas.
“APA!?” kontan Fio teriak dengan suara yang keras. Kaget! Gimana enggak!? Nanti pasti ada peperangan lagi yang pastinya akan mengorbankan Tari.
“Fio, kamu kenapa?” sentak Pak Isman.
Semua mata kini etertuju pada Fio. Sedangkan Tari kini menunduk, menandakan arti, ‘gue nggak ikut-ikutan lho, Fi.’
Fio tergagap, emang sih, teriakannya ini memang sungguh membuat orang kagum, karena teriakannya merupakan teriakan terdahsyat di kelas. “Maaf, Pak. Tadi saya kaget aja, actor dari Korea yang saya sukain mau nikah,” kilah Fio dengan cengiran khas kuda.
“Oh,” Pak Isman mengangguk, anggukkan yang dalam arti sebenarnya, ‘ya udah’. “Tapi tolong jangan teriak-teriak lagi! Ini kelas, bukan ruangan untuk jumpa pers. Mengerti?”
Fio mengangguk. Lalu melepaskan nafas leganya.


You may also like

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Ao Haru Ride

Ao Haru Ride

Daftar Blog Saya

Advertisement

Facebook

Instagram