Moments 05

0 Comments


Sakura Fujiwara


Aku tertidur cukup lama setelah sesuatu menghantam kepalaku. Bukan sesuatu, tapi aku melihat tongkat besi yang diacungkan oleh cewek yang mukanya ditutup oleh topeng itu mengayun ke arahku. Dan sialnya, aku sedang diikat dan tak mungkin bagiku menghindar.
Suara sirine polisi membuatku tersadar, meskipun tidak sadar sepenuhnya, tapi aku masih bisa melihat orang-orang di sekelilingku. Aku melihat Zia menatapku dengan raut wajah khawatir. Dan aku melihat bayangan... Badai.
Setelah beberapa menit membuka sedikit mataku, aku langsung tertidur. Di dalam tidurku, aku bermimpi. Melihat Badai dan Zia datang ke arahku. Zia berlari mendekatiku dan memelukku. Tapi kulihat Badai mendekat perlahan dengan pisau di tangannya. Lalu... tiba-tiba aku melihat semuanya menjadi gelap.
***
“Pagi...”
Aku menyipitkan kedua mataku yang sudah sipit. “Ekh..” Aku merasakan suaraku berubah serak. “Mama...?”
“Sayang...” Mamaku langsung memelukku dengan erat. Ia mengusap-usap kepalaku dengan sayang, lalu melepaskan pelukannya. Beliau menatapku dengan tatapan teduhnya. “Kamu udah baikan? Ada yang sakit?”
“Aku...” Aku langsung berdeham. Gila, suaraku serak banget. “Aku udah merasa baikan kok, Ma.”
“Selamat pagi Sakura...”
Aku dan Mama langsung menoleh ke arah pintu. Zia masuk dengan sekeranjang buah di tangannya. Cewek itu tersenyum lebar dan langsung duduk di samping kiriku.
“Pagi, Zia. Terima kasih buahnya.” Mamaku tersenyum melihat Zia. Lalu tatapannya beralih padaku. “Tadi temanmu sudah minta maaf sama Mama. Mama tau dia orang yang cukup bertanggung jawab, tapi Mama tetap melarang kamu untuk sering-sering bergaul sama dia.” Mamaku memeringatkanku. “Zia, Tante harus pulang. Mau ambil baju ganti untuk Sakura. Kamu jagain Sakura di sini ya.”
Zia mengangguk dengan patuh.
“Dan jangan biarkan temannya menjenguk dia.”
Aku melihat wajah Zia yang berubah menjadi aneh. Tapi dia tetap mengangguk untuk mematuhi perintah mamaku.
Setelah mencium keningku dan mengucapkan selamat tinggal, Mama langsung pergi meninggalkan aku dengan Zia. Hanya berdua.
Aku tidak bisa tidak kepo dengan kalimat mamaku barusan. Aku benar-benar tidak mengerti dengan apa yang Mama katakan. Tidak mungkin penculik itu tiba-tiba meminta maaf karena menculikku, kan? Dan menjelaskan pada mamaku bahwa aku diculik karena tidak mau jauh-jauh dari cowok yang dia sukai? Impossible.
“Tadi maksudnya apa, Zi?”
Zia langsung gelagapan saat kutanya begitu. Dia pasti merahasiakan sesuatu dariku.
“Mmm...” Zia menggaruk-garuk kepalanya. “Itu...”
“Zia, elo sahabat gue dari kecil. Kita nggak pernah punya rahasia. Apapun itu pasti gue cerita sama lo, dan lo juga begitu. Kenapa sekarang lo diem aja? Apalagi ini menyangkut gue.”
“Badai...”
Mendengar nama itu untuk pertama kalinya setelah aku bangun, membuat aku menjadi bertanya-tanya. Apakah Badai tahu kalau aku masuk rumah sakit? Apa Badai tahu bahwa aku diculik karena tidak mau jauh darinya?
“Dia bilang sama Tante kalo elo masuk rumah sakit karena jatoh dari motor.”
Hanya satu kalimat itu saja membuatku langsung menyadari semuanya.
“Badai bilang, dia yang ngebonceng elo.”
Aku langsung tersenyum perih. “Trus elo percaya?”
Kulihat Zia terdiam. Matanya menatapku dengan tatapan nelangsa. “Gue ada di tempat kejadian, Ra.”
Seketika aku tersentak. Oke. Seharusnya aku menyadari bahwa Zia yang menemukanku saat aku pingsan dengan darah mengucur dari kepalaku. Lalu... apakah Badai juga ada di sana? Apakah Badai dan Zia tahu kalau aku diculik karena tidak mau jauh dari Badai? Apakah mereka bertemu dengan penculik itu.
“Gue tau. Otak lo pasti bertanya-tanya.” Zia berkata maklum. Dia tersenyum simpul. “Gue akan jelasin secara singkat.”
“Apa yang terjadi?”
Zia menceritakan semuanya. Dari awal hingga akhir. Detil tanpa cacat dan kini aku menyadari bahwa beberapa temanku mengetahui bahwa aku diculik. Tapi kemungkinan besar mereka tidak mengetahui bahwa aku diculik karena aku tidak mau menjauh dari Badai.
Itu dibuktikan dari cerita Zia yang masih kebingungan mengapa aku mendapatkan surat ancaman di lokerku. Bahkan surat itu diselingi dengan boneka susan yang seram banget.
Ketika Zia selesai bercerita, ia menatapku dengan curiga. Sepertinya ia menyadari sesuatu.
“Kenapa elo nggak kaget pas tau kalo elo dapet surat ancaman?”
Aku hanya terdiam, menatap balik ke kedua matanya yang besar.
Zia melebarkan matanya. “Jadi elo udah tau?”
Sekarang aku jadi merasa bersalah. Tadi aku menggembor-gemborkan bahwa seharusnya tidak ada yang dirahasiakan di antara kami. Tapi aku sudah merahasiakan sejak lama perihal surat ancaman juga boneka susan itu.
“Kenapa lo nggak cerita?” Aku melihat raut wajah Zia berubah kecewa. “Lo nggak percaya sama gue?”
Aku langsung menggeleng. “Bukan.” Lalu aku mencoba tersenyum. “Selama ini gue selalu mendapatkan surat seperti itu.”
“Sejak kapan?”
“Sejak...” Aku mengingat-ingat kapan aku menemukan surat itu. “Ah! Lo tau saat gue sakit dan nggak masuk sekolah?” Zia mengangguk. “Sehari sebelum sakit, gue dapet surat itu. Karena kaget dan kepikiran, gue jadi sakit.”
Mulut Zia menganga lebar. “Selama itu?”
Aku hanya mengangguk pasrah.
“Apa yang sebenernya mereka mau?”
Aku tersenyum. “Hal nggak penting. Karena nggak akan gue lakukan meskipun gue diculik lagi.”
“Ra, jangan main-maian!” sentaknya. “Ini menyangkut nyawa lo! Kalo kemaren aja kepala lo sampe bercucuran darah, besok-besok apa lagi?”
“Gue baik-baik aja kok, Zi.”
“Apa yang mereka mau?”
Aku terdiam sejenak. Gelisah, antara ingin menceritakan juga enggan menceritakannya. Aku tidak tahu apakah Zia akan sepemikiran denganku.
“Gue harus ngejauhin Badai.”
Dan saat itu juga, aku melihat kedua mata Zia meredup. Emosinya menghilang dan kini ia hanya bisa menatapku dengan tatapan nelangsa.
***
Seminggu setelah aku dirawat di rumah sakit, akhirnya aku bisa keluar juga. Menghirup segarnya udara luar rumah sakit memang hal yang paling aku inginkan sejak merasakan bagaimana rasanya menginap di rumah sakit.
Kepalaku masih diperban, tapi dokter mengatakan bahwa aku tidak apa-apa. Meskipun besi yang membentur kepalaku itu cukup menyakitkan, aku tidak sampai lupa ingatan atau gegar otak.
Untungnya seminggu kemarin adalah waktu liburan sebelum masuk ke kelas sebelas. Jadi, aku benar-benar menggunakan liburanku dengan sangat baik. Di tempat yang sehat juga steril. Rumah sakit.
Oh ya, aku mendengar dari Zia bahwa orang-orang yang menculikku tidak dapat ditemukan. Kecuali satu orang yang mendapat pukulan dari Awan dan sengaja dikurung di ruang CCTV. Zia tidak mengenalnya, sepertinya dia orang bayaran.
Entah bagaimana berita tentang penculikkanku tidak sampai ke telinga kepala sekolah. Sehingga sekolah pun tidak membesar-besarkan masalah ini. Padahal polisi sempat mampir ke sekolah untuk menanyakan bagaimana sistem keamanan sekolah bisa dibobol begitu saja. Aku tidak tahu apa-apa lagi setelah itu. Yang aku tahu, kasusku ditutup dan sekolah tidak memberitahu kedua orang tuaku.
Hal pertama yang ingin kulakukan di sekolah adalah bertemu dengan Badai.
Meskipun sudah berkali-kali Zia menasehatiku agar lebih berhati-hati dan sedikit menjaga jarak dengan Badai, aku tetap tidak mungkin membatasi jarak yang sudah kami buat satu tahun yang lalu.
Setelah mendapat wanti-wanti dari mama, akhirnya aku bisa berangkat sekolah juga. Kali ini aku janjian bertemu dengan Zia di perempatan jalan menuju sekolahku. Katanya, Zia takut banget kalau tiba-tiba aku diculik lagi.
***
Tidak ada yang menyenangkan.
Itulah gambaranku saat memasuki 11-IPA 2. Kumpulan murid-murid pintar. Sekarang aku nyaris kelihatan seperti orang tolol yang tidak mengerti apa-apa di sini.
Kulihat mereka semua membaca buku. Waktu istirahat mereka gunakan untuk makan sambil membaca buku.
Rasanya aku ingin bunuh diri saat ini juga. Siapa sih guru yang tega-teganya memasukkan aku ke kelas menyeramkan ini?
Karena bosan setengah mati, kuputuskan untuk keluar dari kelas sebelum aku berubah menjadi jamur busuk yang tak kasat mata.
Tanpa sengaja, mataku melihat Badai sedang berjalan di koridor sendirian. Diam-diam aku tersenyum.
“BA...” Aku sudah mengangkat tanganku tinggi-tinggi, tapi panggilanku tak selesai.
Mataku melihat Badai menoleh ke belakang dan tersenyum pada seorang cewek manis yang memanggilnya lebih dulu dari aku.
BRAKK
Tiba-tiba aku terjatuh. Sungguh, itu bukan karena aku syok melihat Badai dengan cewek lain. Tapi karena ada yang menyenggolku dengan sangat kasar dan membuatku terjatuh. Untung saja aku jatuh di lantai. Bayangkan jika aku jatuh di tanah?
Aku menengadah, tapi tak sempat melihat wajah orang yang menabrakku. Yang aku tahu, orang itu adalah cewek.
***
“Ada apa sih, Ra? Senyum dong!”
Aku melihat Zia tersenyum lebar. Tapi aku sama sekali tidak berniat untuk tersenyum.
“Gimana rasanya sekelas dengan Awan dan Atha?” Aku langsung mengalihkan pembicaraan.
Zia terlihat berfikir. Lalu memonyongkan bibirnya. “Gue sih nggak masalah kalo sekelas sama Awan. Tapi... Atha itu loh.... minta digebok banget!”
“Gebok keahlian gue. Gue sih bersedia bantuin lo buat gebok tu anak, tapi badannya lebih gede dari gue. Jadi sori, gue nggak bisa bantu lo.”
Zia menatapku dengan bingung.
“Serius amat! Gue kan nggak minta lo buat gebok dia.” Zia mencibir. Lalu dia terdiam sejenak, menatapku dengan tatapan bertanya. “Lo kenapa sih?”
“Enggak kenapa-kenapa.” Aku menggeleng. Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak menunjukkan bahwa aku berada dalam ujung jurang. “Kenapa lo suka sekelas sama Awan?”
“Emang gue bilang begitu?” Salah satu alis Zia terangkat ke atas. “Gue kan cuma bilang kalo gue nggak masalah sekelas sama dia. Gitu loh...”
“Gue nangkepnya beda.” Aku berkata jujur.
Omigat! Kenapa sekarang aku jadi serius begini? Ada apa sih denganku? Apa pukulan di kepalaku itu membuatku menjadi seperti robot? Dingin dan tak berprasaan? Tak biasanya aku seperti ini.
Zia terlihat diam. Aku tahu dia sedang salting. Matanya melirik ke kanan dan ke kiri. Pergerakkan bibirnya juga tak menentu. Aku kenal banget sifat Zia yang seperti ini. Jangan-jangan...
“Gue cuma... aneh aja sama dia...”
“Apa yang aneh?”
Zia diam. Lalu menghembuskan nafas beratnya. “Sifatnya dingin dan kadang nggak terduga.”
“Awan memang begitu. Jadi menurut gue itu nggak aneh.”
Omigat! Aku benar-benar jago banget membuat Zia jadi terpojok. Aku kan tidak berniat membuat Zia mengakui kebenarannya.
“Gue mau mastiin sekali lagi.”
“Untuk?” Aku memiringkan kepalaku ke kanan.
“Lo tau untuk apa.” Zia berkata pelan.
Dan aku tahu jawabannya, Zia.
Aku tidak menyuruhnya untuk melakukan itu, tapi aku hanya berdiam diri saja. Zia yang paling tahu tentang isi hatinya. Seheran apapun aku tentang hal ini, satu kebenaran yang tertera jelas di kedua mataku menjawab semuanya.
“Kenapa lo pingin ngegebok Atha?”
Zia langsung mencibir. Aku berhasil membuat suasana canggung tadi berubah menjadi kilauan menyebalkan.
“Dia tuh suka godain gue. Suka ngatain gue dan jail banget. Minta digebok banget. Mana dia sok kenal gitu sama gue.”
“Atha emang begitu.” Aku hanya tersenyum. “Suaranya cetar membahana. Siap-siap tutup telinga lo pas ngobrol sama dia.”
“Gue udah tau seperti apa suaranya.” Zia mendengus kesal.
***
Aku berbelok ke kanan kompleks perumahanku. Tak lama kemudian aku menemukan bendera kuning yang terpasang di sana.
Tanpa memerdulikan hal itu, aku terus berjalan. Pikiranku berputar-putar. Aku tidak sedang PMS dan aku tahu jelas bahwa tadi aku sangat-sangat serius saat mengobrol dengan Zia.
Baiklah, aku mengaku. Pemandangan Badai, suasana kelas baruku juga cewek yang menabrakku dengan sengaja itu membuat pikiranku kacau seketika. Dan aku tidak tahu jelas perasaan macam apa ini. Tapi aku merasa bahwa aku sedang dilanda sesuatu.
Beberapa belok lagi, aku sudah akan sampai rumah. Tapi sesaat aku baru menyadari bahwa aku melihat bendera kuning itu terpasang lagi di sekitarku.
Perasaanku berubah tidak enak. Ini bukan pertanda buruk yang harusku hadapi lagi, kan? Setelah semua kejadian hari ini? Hari pertama masuk sekolah yang sangat mengesalkanku?
Aku berbelok dan melihat bendera kuning itu terpasang persis di atas kepalaku. Degup jantungku seakan berhenti. Mataku yang sudah sipit kini seakan memaksakan diri untuk melebar.
Tubuhku melemas dan jantungku memburu. Lidahku sangat kelu dan aku yakin bahwa sebentar lagi aku akan tergeletak di tanah. Tapi sebuah tangan besar langsung menahanku. Aku melihat ayahku menatapku dengan tatapan sedih.
“Siapa?” Suaraku berubah serak.
“Kak Yasumi...”
Mataku terpejam dan aku merasakan kegelapan menyergapku.
***
Kakak angkatku... Yasumi Fujiwara. Dia diadopsi oleh keluargaku saat mereka masih tinggal di Jepang. Kedua orang tuaku tidak memeliki anak, jadi mereka mengadopsi Kak Yasumi. Setelah itu, beberapa tahun kemudian aku lahir.
Satu-satunya orang yang mendengarkan semua keluh kesahku. Satu-satunya orang pertama yang menyemangatiku saat aku sedang dalam keterpurukan.
Kini... aku sedang dalam keterpurukan. Mengapa ia tidak menjadi orang pertama yang menghiburku? Mengapa dia yang menjadi orang pertama yang meninggalkanku?
“Sakura?”
Aku hanya menggumam saat orang yang berada di seberang memanggilku.
“Kamu nggak apa-apa?”
“I’m okay.”
And I’m lying to you.
“Tidak ada yang perlu disesali. Semua orang punya hal yang tak bisa mereka sampaikan bahkan mereka wujudkan tapi hal tertentu sudah merubah hidup mereka. Sama sepertimu. Meskipun kamu merasa belum bisa membalas semua kebaikan kakakmu, sebenarnya apa yang kamu lakukan sudah cukup berarti baginya. Karena itu merubah sebagian kehidupannya.”
Aku hanya menunduk. Ponsel di telingaku memanas. Sial. Air mataku tumpah untuk kesekian kalinya.
“I just...” Aku menahan suaraku agar tak terdengar sedang menangis.
“Just crying... don’t hold it.”
Lalu aku benar-benar menyuarakan tangisanku. Aku pasti sudah membasahi ponsel di telingaku. Dan saat itu juga aku lega.
“Janji ini untuk terakhir kalinya kamu menangis. Kamu harus melepas dia pergi. Jangan biarkan dia harus tinggal karena kamu enggak melepasnya.”
“I’m not ready enough...”
“Ra, siap nggak siap, kamu harus mencobanya. Try it or you’ll regret it.”
Aku menepuk dadaku berulang kali. Berusaha menghilangkan sesak di dada juga kenjanggalan di hati.
“Jangan menangis lagi. Kamu harus kuat kalau kamu diterjang sama ribuan ombak. Kamu harus bisa bertahan meskipun kamu merasa sendirian. Karena sebenarnya kamu nggak pernah sendirian. Meskipun orang-orang meninggalkanmu, kamu harus tau pasti, mereka nggak berniat meninggalkanmu. Tapi itulah waktu mereka untuk pergi.”
Baiklah. Kalimatnya membuatku agak tenang juga sedikit bingung. Aku menghapus air mataku yang tersisa di pipi dan aku berhenti menangis.
Aku menarik nafasku dan menghembuskannya perlahan. Aku berusaha tersenyum. “Thank you for everything, Badai...”
Aku mendengar Badai menghela nafasnya. “Sekarang kamu tidur. Jangan tidur malem-malem. Besok sekolah. Oke?”
“Oke.”
***
Birunya langit juga segarnya udara pagi ini membuatku sedikit merasa tenang. Dari semuanya kekacauan yang ada di hidupku, kini aku tak tahu harus percaya pada siapa lagi. Bahkan pada Zia. Aku tidak tahu apakah aku harus memercayainya lagi. Hanya Zia-lah yang mengetahui kebenarannya.
Karena... semenjak malam itu, Badai tidak lagi menyapaku seperti dulu. Tidak menjahiliku seperti dulu.
Saat kami berpapasan, dia hanya melirikku dan langsung berbalik badan menjauhiku.
I’ll die slowly...


You may also like

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Ao Haru Ride

Ao Haru Ride

Daftar Blog Saya

Advertisement

Facebook

Instagram