Moments 08 B

0 Comments


Sakura Fujiwara





Tadi adalah pertemuan terakhirku dengan Zia. Aku dengan sangat amat menyesal mengatakannya. Makanya aku bersikeras ke Bekasi untuk bertemu dengannya dan meminta maaf atas segala kesalahpahaman yang sudah terjadi.
Yaps. Aku menuruti apa yang orang itu mau. Aku memanggilnya dengan sebutan ‘M’. Karena aku yakin M adalah pemimpin dari orang-orang yang menculikku waktu itu.
Aku meminta padanya untuk membiarkan aku bertemu dengan orang-orang yang harus kujauhi. Mulai hari senin, aku akan pindah sekolah dan pindah rumah. Aku tidak akan lagi tinggal di Jakarta.
Baru saja aku mengirimi Atha sebuah pesan untuk menjaga Zia selamanya. Jangan membiarkan Zia tersakiti dan aku mendukung Atha untuk terus berusaha membuat Zia jatuh cinta padanya dan melupakan Awan.
Aku juga pergi ke makam Kak Yasumi dan mengucapkan selamat tinggal. Aku tidak mungkin bisa sering-sering ke makam Kak Yasumi lagi. Aku akan berada di tempat jauh, dan mungkin saja tidak kembali.
Walaupun aku tidak tahu seberapa besar kuatnya M, tapi aku yakin, dia tidak akan ragu-ragu menyakiti orang-orang yang ada di sampingku.
Dan orang terakhir yang akan kutemui adalah Badai. Ya, Badai.
Meskipun tidak yakin bahwa Badai akan datang ke sini, tapi aku akan menunggunya. Aku harus menyelesaikan semua ini dan pergi sejauh mungkin dari orang-orang yang kusayangi.
Waktuku untuk bertemu Badai tinggal hari ini. Karena besok aku sudah berangkat menuju Jepang dan meninggalkan Indonesia untuk waktu yang lama. Itu sudah menjadi keputusan bulatku dan keluargaku.
Di sebuah taman yang hanya diterangi lampu remang-remang, aku duduk sendiri menunggu Badai. Sepuluh menit... dua puluh menit... tiga puluh menit...
Baiklah. Badai sepertinya memang menjauhiku untuk kebaikanku, bukan? Ah! Lagi pula Badai sudah punya Prisil. Dan aku juga tidak yakin Badai masih memiliki perasaan yang sama denganku seperti dulu. Tapi... bisa jadi Badai memang tidak memiliki perasaan yang sama denganku.
Aku menunduk dan menatap jam berwarna perak di pergelangan tanganku. Sudah cukup lama. Sepertinya aku harus segera pulang dan beristirahat supaya besok aku bisa pergi dengan tenang ke Jepang.
Aku berdiri dan berjalan pelan menjauhi taman. Ini memang menyedihkan. Padahal aku hanya ingin mengucapkan kata-kata perpisahan.
“Ara?”
Suara itu. Suara yang kukenal baik satu tahun yang lalu dan berubah menjadi suara aneh yang tak kudengar lagi.
Aku membalikkan badanku dan melihat Badai berdiri dengan nafas terengah-engah. Sepertinya sangat sulit sekali memutuskan untuk bertemu denganku atau tidak.
“Aku kira kamu nggak datang.”
“Maaf...” Badai menunduk. “Ada apa?”
Aku menggeleng dan tersenyum. Kulihat Badai mendekat ke arahku. Jantungku kini berdebar-debar tak karuan. Sialan. Aku masih menyukai Badai sampai detik ini.
“Aku mau bicara sesuatu. Kamu cuma perlu mendengarkan dan nggak perlu menanggapi. Kamu hanya perlu berdiri di situ sampai aku selesai bicara.”
“Eh...?” Dia terlihat bingung, tapi tidak berbicara apa-apa.
“Pertama aku masuk SMA, aku pingin hidupku seperti di novel-novel. Tapi aku malah ketemu kamu. Dijailin, membuat aku marah, membuat aku pingin menutup semua mulut teman-teman sekelas dan membuat aku... jatuh cinta.”
Dia terdiam.dari raut wajahnya, aku tahu kalau dia kaget bukan main. Tapi sesuai dengan kemauanku, aku mau dia diam saja, jadi ia tetap memandangku tanpa mengeluarkan satu patah kata pun.
Aku tersenyum. “Aku udah bilang kan kalau kamu nggak usah memberikan reaksi apa-apa?” Salah satu alisku terangkat. “Jadi, walaupun aku mengatakan bahwa aku jatuh cinta sama kamu, kamu nggak perlu khawatir. Aku nggak akan ganggu kamu dan aku akan menghilang dari kehidupanmu seperti buih.”
Reaksi Badai kini tidak hanya kaget, melainkan bingung. Dia pasti sangat ingin berbicara. Menenangkanku dan meminta maaf misalnya.
“Jangan khawatir. Kamu nggak bersalah dan kamu nggak perlu minta maaf.” Sesuai dengan perkiraanku, raut wajah Badai berubah. Dan aku tidak bisa mengartikan arti dari raut wajah itu. “Sekarang aku lega karena udah bilang semuanya sama kamu. Terima  kasih udah mau medengar omong kosongku.”
Aku mendekat. Kuulurkan tanganku untuk menjabat tangannya. Tapi Badai tidak bereaksi sama sekali kecuali menatapku. Aku berinisiatif untuk menjabat tangannya langsung.
“Selamat malam, Badai.” Aku tersenyum simpul dan melepaskan jabatan tanganku di tangannya. Lalu aku berbalik badan, menjauhi Badai. Untuk selama-lamanya.
Selamat tinggal...
***
Pagi-pagi mamaku dan ayahku sudah cerewet karena aku masih setia dengan tempat tidurku. Aku juga merasakan tangan mamaku menyeretku untuk turun dari tempat tidur dan menyuruhku untuk cepat mandi.
Baiklah. Seharusnya aku berterimakasih karena pagi ini pasti murid-murid SMA Angkasa sedang melaksanakan upacara. Sementara aku tidak harus mengikuti upacara dan hanya perlu mandi kemudian pergi dengan santai dari negara ini. Lalu... menemui orang itu. M. Tinggal bersamanya untuk beberapa waktu sebagai jaminan.
Dalam waktu 30 menit aku sudah siap dalam balutan jins hitam panjang, blus panjang berwarna merah jambu dan topi bertuliskan ‘Now or Never’.
Aku melewatkan waktu sarapanku karena aku bangun terlambat. Mamaku tidak peduli aku mengeluh lapar bukan main, katanya itu semua karena kesalahanku. Untung saja mama dan ayahku tidak bertengkar lagi.
Sampai di bandara Soekarno-Hatta aku mendesah panjang. Tidak ada satu pun orang yang tahu kepergianku. Tentu saja, jika mereka tahu maka tamatlah riwayatku. M akan melukai orang-orang terdekatku. Aku hanya berharap mama dan ayahku tidak menjadi korban juga.
“Masih satu jam lagi sebelum waktu keberangkatan. Kamu lapar, kan!?” Mamaku melihat jam di pergelangan tangannya. Aku hanya mengangguk untuk menjawabnya. “Ayo kita ke restoran yang ada di sana.”
Aku mengintili mamaku dan segera masuk ke dalam restoran cepat saji. Sebenarnya makanan ini tidak baik untuk kesehatanku, tapi aku terpaksa memakannya karena tidak punya banyak waktu.
“Ara, ponselmu jangan lupa dimatikan.” Ayah memeringatkanku sambil duduk di depanku. “Ma, tidak ada barang yang ketinggalan, kan!?”
Mamaku menggeleng, sementara aku langsung merogoh saku jinsku mencari-cari di mana ponselku berada.
Setelah menemukannya aku melirik ponselku yang bergetar. Beberapa saat kemudian kau baru tersadar bahwa dari tadi ponselku bergetar memberitahu bahwa ada pesan masuk dan missed call dari nomor yang sama. Nomor milik Badai. Sejenak aku tertegun.
Badai menelponku lagi. Aku bingung harus melakukan apa. Jika aku mengangkatnya, apa yang harus kukatakan pada Badai? Lalu jika aku tidak mengangkatnya... apakah aku akan menyesal?
Dengan ragu, kugeser warna hijau di layar ponselku. Lalu kudekatkan ponselku ke telinga.
“Halo.”
“Ara, kamu di mana?”
Aku tersentak. Badai tahu aku tidak masuk sekolah?
“A-Aku... di rumah, kenapa?”
Sejenak hening di seberang. Lalu kudengar Badai mendesah panjang. “Aku mau ngomong sesuatu...”
“Ya...?”
“Tapi... Prisilia... kamu tahu, pacarku...”
Prisil? Mengapa Badai membicarakan pacarnya denganku? Apakah tidak ada bahasan lain? Tidakkah dia tahu bahwa aku harus pergi jauh untuk selama-lamanya? Aku menahan rasa sesak di dadaku agar air mataku tidak menetes.
“Kenapa?” Aku bertanya dengan nada getir.
“Dia... dia diculik setelah mendapatkan boneka susan dengan surat ancaman yang berisi bahwa Prisil... telah mengganggu kamu.”
APA!?
“Bi-Bisa aku ketemu kamu sekarang?”
“Sekarang?” Aku mengenyitkan keningku. Kedua orang tuaku menatapku bingung. “Kamu... kamu kan lagi sekolah.” Aku bersuara dengan nada rendah.
“Aku kabur. Sekarang aku dan Awan lagi melacak keberadaannya.”
“Trus?” Aku mendnegar suaraku yang berubah menjadi suara penuh luka. “Apa hubungannya denganku?”
Badai terdiam sejenak sebelum berbicara. “Aku rasa, kamu bisa membantu kami. Aku mohon...”
Suara itu membuatku langsung jatuh ke titik paling bawah dan membuatku tidak bisa menahan diri. Setelah mengatakan bahwa aku akan ke sana dengan nada terpaksa, aku menatap kedua orang tuaku yang sedang menunggu.
“Ayah, Mama, aku mau ngomong...” Aku berdeham. “Bisa aku berangkat di penerbangan kedua?”
“Ada apa?”
“Sepertinya aku lupa bahwa pagi ini aku harus mengucapkan selamat tinggal pada Kak Yasumi.”
“Kamu bisa melakukannya nanti, Sayang. Kamu bisa terbang ke Indonesia satu bulan lagi, atau tahun depan. Lalu kunjungi Yasumi. Dia tidak akan marah.” Ayahku mengelus-elus puncak kepalaku.
Aku menggeleng. “Aku juga lupa mengucapkan selamat tinggal pada Zia. Aku mohon...”
“Baiklah. Tapi janji penerbangan kedua kamu langsung naik pesawat ya?” Mama menatapku dengan tatapan lembut. Aku mengangguk.
Setelah mendapat ijin dari orang tuaku, aku langsung berlari keluar dan mencari taksi untuk bertemu Badai.
Namun saat aku baru saja menghempaskan pantatku di kursi taksi, ponselku bergetar.
“Sakura...”
“Ada apa, Tha?”
“Zia diculik, Ra. Dia menghilang setelah pergi ke kamar mandi!!!”
Aku tersentak kaget luar biasa. Lalu ponselku berdering tanda ada pesan masuk. Aku membukanya dengan tangan gemetar.

See? Saat kamu tidak menepati janji kamu, orang-orang yang ada di sekitarmu akan tetap berada dalam bahaya. Kamu sudah berjanji akan menjadi milikku. Maka kamu harus melupakan apapun dan siapapun yang ada di masa lalumu, Sayang.

Aku terkejut bukan main. M benar-benar cerdik dan sangat memperhitungkan waktu. Dalam beberapa menit, dia sudah mengetahui bahwa aku meninggalkan bandara dan menuju tempat pertemuanku dengan Badai.
Sial. Aku menyesal melakukan ini. Zia menjadi taruhannya. Seandainya perasaanku pada Badai tidak seegois ini... aku memang bodoh! Jelas-jelas Badai meminta bantuan untuk menyelamatkan pacarnya. Yang secara tidak langsung, telah menyakiti hatiku dan membunuhku secara perlahan.
Zia, I’ll find you...


You may also like

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Ao Haru Ride

Ao Haru Ride

Daftar Blog Saya

Advertisement

Facebook

Instagram