Jingga Untuk Matahari 05 (FanFiction)

0 Comments


Seperti dugaan Ari, Angga mengikuti keduanya. Karena Angga takkan mungkin membiarkan Tari bersama Ari. Ini bukan masalah hati, tapi masalah dendam. Masalah dendam yang belum terbalaskan.
Sedangkan Tari nggak tahu mau di bawa kemana sama Ari, cowok ini terus saja melajukan motornya. Arahnya sama sekali bukan rumah Tari, melainkan arah danau yang pernah menenggelamkan air beningnya.
Ari menghentikan motornya, lalu menuntun Tari kearah pohon yang berada di pinggir danau. Sementara Fio, Oji dan Ridho masih di dalam mobil. Menunggu Angga datang.
Mata Angga langsung tertuju pada Ari yang duduk di bawah pohon, ia hampiri dua orang itu dengan luapan amarah yang membara. Diangkatnya Ari dengan cara mencengkram kerah seragamnya kuat-kuat.
Tari jadi takut. “Lo,” desis Angga di depan wajah Ari.
Ari membalas tatapan tajam itu dengan senyuman mencemooh, “Kenapa?”
Angga langsung menarik Tari, dan berusaha membawanya pergi. Tapi tangan Ari mencekalnya, “Lo nggak bisa bawa dia,” ucap Ari santai.
“Kenapa?” tatapan Angga menajam seketika.
Ari menarik Tari dari Angga, “Karena dia milik gue,”
Angga tarik lagi Tari dari tangan Ari, kini dua-duanya memegang tangan Tari. Tari yang ada di tengah-tengah mereka jadi takut. Kalau mainnya main mulut sih mending, coba kalau mereka berdua main otot. Wah Tari langsung ngibrit deh.
“Kata siapa?”
Ari tersenyum, “Lo tanya aja, dia.” Ari tunjuk Tari dengan dagunya yang mengangkat.
Angga menoleh kearah Tari. “Bener, Tar?” alisnya mengangkat.
Tari diam, nggak bisa jawab. Sorot mata itu menyuruhnya memilikinya bukan memiliki Ari. Tapi hati Tari nggak bisa bohong. Tari menoleh kearah Ari, cowok itu terlihat santai dan nggak terlalu takut dengan Angga. Lalu diliriknya Angga, cowok itu menatap Tari lurus-lurus, menunggu jawaban yang akan keluar dari mulut Tari.
Berkali-kali ia melirik kearah kanan dan kirinya. Dia harus menjawab apa yang harus ia jawab. Pertanyaan ini memang membuatnya pusing, ia terasa melayang. Bukan melayang karena senang di perebutin dua cowok, tapi melayang seakan dia ingin terjatuh.
Sementara di kejauhan Fio, Oji dan Ridho menonton di luar mobil. Menunggu jawaban Tari, juga. Nggak tahu deh , apa yang akan Tari jawab.
Kalau dia memilih Angga, berarti selesai sudah urusannya dengan Ari. Nggak ada kata Matahari lagi di kehidupan Tari. Nggak ada yang namanya Ari, sang pentolan sekolah yang selama ini mengejar-ngejar Tari. Nggak ada orang yang akan menjadi pelindungnya dari Ata. Pokoknya, cerita tamat deh!
Kalau ia pilih Ari, dia harus membuat Angga terluka. Satu hal, Tari kan pernah sempet suka sama Angga. Bahkan dulu, Tari terang-terangan milih Angga daripada milih Ari. jadi siapa dong yang harus Tari pilih!?
Tari memutar otaknya. Detak jantungnya tak menentu, pikirannya masih kalut. Apa yang harus ia jawab, sementara di hatinya berbeda jawaban dengan apa yang ada di otaknya.
Satu kata benar untuk di hatinya dan satu kata salah untuk di otaknya. Karena otaknya bekerja karena semata-mata rasa yang nggak mampu untuk menyakiti Angga. Kata benar yang berasal dari hati itulah yang membuat Tari bingung, apakah kini ia benar-benar mencintai Ari?
“Gue…”
Tari menggantungkan kalimatnya. Mencoba berpikir keras. Dan memikirkan akibat yang akan terjadi jikalau ia memilih salah satu jawaban.
Lagi-lagi Tari kembali diam. Bingung harus mengatakan apa pada kedua orang ini. Antara isi hati dan isi pikirannya.
Mata Angga menatapa Tari dengan tak sabar, “Tar, ayo jawab!” sentak Angga tak sabaran. Tangannya menggenggam Tari kuat, ia sangat berharap Tari menjawab bahwa semua itu nggak benar.
“Gue… gue nggak tau harus jawab apa,” lirih Tari seraya menundukkan kepalanya.
Kontan Ari meliriknya dengan kesal, apa yang Tari katakan adalah sesuatu yang pasti membuat Angga menyungingkan senyum kemenangannya. “Tar…”
Tiba-tiba Angga menggerakan tangannya, melepasnya dari genggaman yang ia lakukan untuk Tari dan mengarahkannya ke kerah kemeja Ari. Di tatapnya Ari dengan pandangan tajam, “Lo jangan berusaha mempengaruhi Tari, usaha lo percuma,” potongnya dengan sinis.
Tangan Ari memegang Tangan Angga yang menarik kerah bajunya, “Gue nggak mempengaruhi dia, gue hanya ingetin dia akan satu janji.”
“Janji apa?” nada Angga menajam, “Lo pikir gue bisa ketipu? Lo salah besar, Ri. Gue tau kok, kalo lo mau ngingetin tentang ‘ancaman’ lo sama dia bukan ‘janji’.” Angga meralat kata-kata Ari.
“Gue nggak pernah ngancem dia,” nada Ari ikut menajam. Di tatapnya Angga dengan pandangan tak suka.
“Oh ya?” alis Angga naik keatas. “Gue nggak yakin,” ucapnya seraya menggelengkan kepalanya. “Lo kan banci!” gertaknya tapat di depan wajah Ari.
Ari naik darah, api bara di dalam hatinya meledak. Ganti tangannya menarik kerah kemeja Angga, lalu ia dekatkan ke depan wajahnya. Ia tatap dengan pandangan tajam, dan tanpa Angga sadari dan ketahui, Ari melayangkan satu pukulan keras tepat di perutnya. Lalu memukul Angga di wajahnya.
Angga oleng, ia tak dapat membuat tubuhnya berdiri tegak. Ia tak dapat menjaga keseimbangan. Tubuhnya terjatuh dan tersungkur di bawah tanah. Dari kejatuhannya ia tatap Ari.
Dengan cepat, Angga membalasnya dengan pukulan yang tak kalah kuat dan keras. Ini bukanlah peperangan biasa, namun ini adalah peperangan berdarah! Tari yang melihatnya sontak kaget dan memundurkan tubuhnya selangkah demi selangkah hingga punggungnya membentur batang pohon yang besar. Tubuhnya dingin, wajahnya pucat pasi layaknya kaps bersih. Keringat dingin mulai keluar dari dahinya. Peluh itu terjatuh setetes demi setetes.
Oji dan Ridho yang melihat itu, kontan berlari dan mencoba menghentikan peperangan yang sedang terjadi ini. Oji memegang Ari, sedangkan Ridho mencekal tangan Angga yang hendak ia layangkan kearah Ari.
“Lo emang banci!” pancing Angga, “Gue pikir lo berani satu lawan satu, tapi nyatanya enggak!” bentaknya keras.
Ridho langsung menatap Angga dengan tajam, “Dia bukan banci! Tapi elo yang banci! Kita kesini bukan atas perintah dia, kita cuma takut elo ‘mati’ sama dia.”
Sedetik kemudian Angga menatap Ridho dengan pandangan kesal, lalu melangkahkan kakinya pergi dari tempat itu.
Sementara Fio kini sedang berusaha menenangkan Tari yang tengah dalam ketakutan. Ia temani teman sebangkunya itu agar tak khawatir terhadap masalah ini.
“Lo nggak pa-pa, Bos?” Oji meneliti setiap lekuk tubuh Ari dengan khawatir. Lalu memberikan satu lembar tisu untuk mengelap darah yang menetes di ujung bibir Ari.
 Keadaan Ari memang tak lebih parah daripada keadaan Angga yang jelas-jelas lebih bonyok. Apalagi Ari member perlawanan yang nggak tanggung-tanggung kerasnya.
Mata Ari melirik Tari yang tengah berdiri di bawah pohon bersama Fio. Lalu ia lirik Ridho, seraya melemparkan kunci motornya pada Ridho. “Bawa tu cewek pulang!” perintahnya.
“Elo pulang gimana?” tanyanya dengan kening berkerut.
Bukannya menjawab, Ari malah menatap Oji. “Ji, bawa tu cewek lo pergi! Kalo pacaran jangan di depan gue!” sentaknya kasar.
Kontan Oji ngangguk, kaget. Kaget banget. Jelaslah, Ari lagi ngamuk gini pasti ngorbanin siapa aja yang ada di hadapannya. Nggak pandang bulu deh.
Sebelum Tari pergi dengan Ridho, di tatapnya Ari dengan pandangan bertanya dan bersalah. Dia memang tak menepati janjinya, tapi apakah harus Ari memerlakukan ia seperti ini!?
***
Kali ini Ari serius, nggak ada toleransi untuk Tari atas sikapnya. Ari benar-benar jauh dengan Tari, begitu jauh sehingga Tari merasa dirinya punya segundang salah sama Ari. berulang kali Ari memintanya untuk berjanji, berkali-kali pula Tari tak mematuhinya.
Memang seharusnya ia ungkapkan bahwa dia telah menjadi milik Ari dan takkan menoleh kearah siapapun, meskipun dia pernah menjadi seseorang di masa lalu Tari. Tetap saja Tari nggak tega melihat Angga tersakiti, karena rasa itu masih menyelinap di hatinya, walaupun sedikit dan tak sebesar dari dirinya untuk Ari.
Masalah ini berimbas juga untuk teman-teman terdekat Ari, yang paling parah sih Oji. karena Oji di larang ngedeketin Fio. Kasihan banget kan tu anak!? Kata Ari, Fio itu masih berkaitan dengan Tari dan Ari mengancam Oji, jika dia masih saja dekat-dekat dengan Fio, nggak ada kata ‘bos’ darinya untuk Ari, nggak ada kata uang rokok dan traktir, pokoknya nothing word from Ari. Intinya sih, mereka musuhan.
Satu orang yang paling bahagia mendengar berita besar tentang perginya Ari dari Tari, Vero! Ya jelaslah, dia kan, Ari’s lovers. Dia nggak perlu turun tangan untuk membuat Tari lebih menderita dari sebelumnya dan membuat Tari jauh-jauh dari pangeran impiannya itu.
“Sabar, Tar,” ucap Fio seraya memegang pundaknya. Ia ikutan sedih kalau Tari sedih. Temang sabangkunya ini dari awal masuk sekolah hingga akhir jam pelajaran, masih saja setia dengan wajah murung terbaiknya itu. Fio jadi ikutan sedih.
Tari menghembuskan nafasnya, “Gue emang bego, Fi.” Tari menyalahkan dirinya sendiri.
“Lo jangan ngomong gitu,” Fio jadi tambah kasihan sama keadaan Tari.
“Gue udah janji, tapi gue malah ngingkarin! Dia udah jadi milik gue, tapi gue lepas. Dia itu sebenernya baik, tapi gue jahatin. Apa coba yang nggak bikin gue tambah bego!?”
Fio tertegun, ucapan Tari itu benar-benar dari hatinya. Dan Fio merasakan betapa menyesalnya Tari sekarang. Mungkin Tari takkan bisa meminta pertolongan siapapun, saat Ata berbuat jahat padanya lagi.
“Gue yakin, masalah ini pasti ada jalan keluarnya dan Kak Ari pasti maafin lo,” Fio berusaha menabahkan hati Tari.


You may also like

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Ao Haru Ride

Ao Haru Ride

Daftar Blog Saya

Advertisement

Facebook

Instagram