Moments 09

0 Comments


Gema Athaillah


Ini kejadian yang paling konyol yang pernah gue alami. Kenapa juga Zia bisa menghilang dalam sekejap mata? Padahal gue selalu memerhatikan Zia sesuai perintah Sakura, juga perintah hati gue yang terdalam.
Saat gue menyadari bahwa tidak ada satupun orang yang melihat keberadaan Zia dan setelah mengecek keberadaan Zia di kamar mandi, gue langsung mencari Sakura. Gue menuju kelasnya, kelas XI-IPA 2. Sialnya, gue mendapatkan kabar bahwa Sakura pindah sekolah hari itu. Gue langsung mencari nomor Sakura dan menghubunginya.
Dan sekarang gue berdiri bersama Ruth di depan Awan dan Badai yang ternyata mencari-cari keberadaan Prisil yang menghilang sejak semalam.
Kami berada di sebuah gang menuju arah keluar dari SMA Angkasa. Sama-sama terdiam cukup lama setelah sama-sama mengetahui bahwa kami menunggu orang yang sama. Sakura.
Dalam waktu tiga puluh menit, sebuah taksi meluncur di pojok gang. Seorang cewek bermata sipit dengan blus warna merah jambu, topi hitamnya dan jaket cowok keren keluaran terbaru.
Asemeleh! Gaya Sakura udah mirip sama preman cakep. Dia mendekati kami dengan tergesa-gesa.
“Lama banget sih,” gerutu Awan.
Rasanya gue pingin menonjok mulutnya. Kalau saja dia tahu Sakura membatalkan keberangkatannya ke Jepang dan pergi dari bandara untuk ke sini, dia mana mungkin bicara seperti itu. Mana kenyataan mengatakan bahwa Zia menyukai Awan. Sialan!!!
“Sori.” Sakura tersenyum menyesal. “Bisa gue liat surat yang diterima Prisil?”
Asemeleh! Peduli banget sih Sakura sama cewek itu? Apa hatinya terbuat dari baja?
Awan mengulurkan sebuah surat yang terdapat bercak darah di beberapa bagian. Gue memerhatikan kedua matanya yang sipit itu membaca tiap kalimat.
Beberapa detik kemudian Sakura merogoh ponsel di saku jaketnya dan mendekatkan ponsel itu ke telinganya. Gue melihat dia terdiam cukup lama. Sementara kami berempat menunggu reaksi dari Sakura.
Setelah mengatakan ‘baiklah’, Sakura meletakkan kembali ponsel itu ke dalam saku jaketnya. Kemudian menatap kami dengan tatapan menyesal.
“Kalian bisa balik ke sekolah.”
Gue dan yang lainnya tentu saja langsung terkejut. Bagaimana bisa Sakura mengatakannya dengan semudah itu?
“Apa maksud lo?” Ruth mengenyitkan keningnya. Nadanya juga terdengar nyolot.
Tapi Sakura malah membalasnya dengan senyuman tipis. “Maaf, tapi ini semua karena gue. Kalian bisa balik ke sekolah dan gue akan menyelesaikan masalah ini.”
“Bagaimana bisa!?” Awan melotot. “Lo tuh cewek! Dan yang diculik mereka ada dua orang. Mereka juga nggak cuma satu, mereka berkomplot!!!”
Biasanya gue mendengar Awan berbicara pelan dengan Sakura, juga penuh perhatian. Tapi yang gue lihat kali ini adalah bara api kemarahan yang tertuju pada Sakura.
“Cuma gue yang bisa menyelesaikan masalah ini.” Sakura berkata kelam. “Jadi kalian nggak perlu ikut campur. Atau kalian... yang akan jadi korbannya.” Sakura berbalik badan dan pergi menjauhi kami. “Balik ke sekolah. Jangan sampai ketahuan guru!” Dia melambaikan tangannya, tapi tetap dengan posisi membelakangi kami.
Gue mendengar Awan mendesah panjang. “Dia pikir, dia bisa apa? Nyesel banget gue udah maksa elo buat nelfon dia.”
“Kita bisa membantunya.” Badai tersenyum. “Biar dia pergi sendiri. Tapi tetap kita awasi.”
“Eng...” Ruth melirik gue dengan tanda meminta ijin. “Boleh kami ikut kalian?”
“Tentu. Tujuan kita kan satu.” Badai mengangguk.
Melihat Badai dan Awan, gue jadi muak. Masa bodolah dengan mereka juga Ruth yang ternyata mau berkomplot dengan kedua orang sinting itu.
Gue berlari mengejar Sakura yang belum jauh. Dari ujung mata gue, gue tahu bahwa mereka bertiga langsung memerhatikan gue dan Sakura.
“Ada apa?” Sakura terkejut saat mendapati gue sudah berdiri di sampingnya dengan nafas terengah-engah.
“Elo... kenapa pindah?”
Sakura menghentikkan langkahnya. Dia menatap gue dengan ekspersi wajah seakan gue memergokinya mencuri. “Elo... tau?”
Gue hanya mengangkat bahu. “Tadi gue ke kelas lo. Makanya bisa dapet nomor ponsel lo.” Gue terdiam sejenak. “Emm... trus gimana pernebangan lo?”
Sakura tersenyum. Tapi gue tahu, itu bukan senyum ceria dan senang. Itu senyum penuh luka yang pernah gue lihat saat melihat Zia.
“Rencananya gue ikut penerbangan kedua. Sekitar dua jam lagi. Tapi kondisinya nggak memungkinkan. Jadi gue akan ambil penerbangan besok.”
“Lo yakin bisa menyelesaikannya sendiri?”
Sakura berjalan lagi, tapi ia diam. Mungkin gue udah melunturkan semangat dia untuk menemukan Zia dan Prisil.
“Gue mau bantu lo.” Gue berkata pelan. “Tapi tetap dengan cara lo. Gue nggak akan mengganggu sedikit pun rencana lo.”
Sakura tersenyum. “Terimakasih.”
Setelah itu tidak ada satupun dari kita berdua yang berbicara. Gue tahu Sakura sedang menimbang-nimbang apakah gue boleh ikut. Dan gue juga memikirkan cara bagaimana gue bisa membujuk Sakura, sekaligus bertanya-tanya mengapa Sakura sangat yakin bahwa hanya dia yang bisa menyelamatkan Zia dan Prisil?
“Lo boleh ikut.”
Lalu gue bernafas lega.
***
Pukul lima sore, gue dan Sakura ke sebuah gedung tua. Gedung yang sudah lama tidak dipakai dan gue pastikan bahwa di dalamnya pasti banyak debu.
Sakura diam saja sejak tadi pagi. Dia hanya sesekali membaca pesan masuk di ponselnya. Dia juga sempat ijin ke kamar mandi. Tapi yang gue tahu, dia sepertinya sedang menyembunyikan sesuatu.
Gue memberikan senter berwarna merah pada Sakura. Sakura mengatakan bahwa orang yang disebutnya M itu akan datang dan menemui Sakura. Walaupun gue nggak yakin kenapa Sakura bisa mengenal M, gue nggak akan banyak tanya. Karena sejak tadi, Sakura hanya terdiam sambil menatap kosong ke arah tak tentu.
“Setelah gue masuk ke dalam, beberapa menit kemudian, Zia dan Prisil akan keluar.” Sakura berkata pelan. “Pastikan setelah mereka keluar, lo langsung bawa mereka pergi.”
Sejenak gue kebingungan dengan rencananya. “Segampang itu?”
Sakura hanya tersneyum simpul. “Gue berharap segampang itu.”
Gue terkejut. Sialan, cewek itu memang membuat gue berpikir semudah itu. Ternyata Sakura hanya berspekulasi kemungkinan yang terbaik.
“Lalu elo gimana?” Sejenak gue tersadar dari kalimatnya yang aneh.
“Lo bisa pergi duluan. Zia dan Prisil harus diutamakan. Gue bisa keluar sendiri kok.”
Gue terdiam sejenak. Menatap Sakura dengan tatapan tak yakin. “Elo menggantikan mereka untuk disandera?”
Sakura menunduk dan tertawa geli. “Enggak juga.”
“Lalu....?”
Tiba-tiba ponsel Sakura bergetar. Cewek itu mengambil ponsel dari saku jaketnya dan menempelkannya ke telinga. Dia hanya terdiam dan menggumam ‘hhmmm’ atau ‘baiklah’. Jadi gue nggak begitu bisa menebak apa yang dibicarakan Sakura dengan orang itu. Orang yang pasti M.
“Dia udah datang.” Gue melihat kedua mata Sakura mengelam. “Gue masuk. Lo tunggu di sini.”
Saat Sakura hendak pergi, gue langsung mencekal tangannya. “Tunggu! Gue harus ikut!”
Sakura menggeleng. “Perjanjiannya lo bakalan bantu gue. Dan yang gue perlukan cuma bantuan lo yang ini. Menunggu di sini sampai Zia dan Prisil keluar.”
“Kalau nggak ada satupun dari kalian yang keluar?” sentak gue dengan nada tinggi.
Gue melihat Sakura tertegun. Sepertinya dia tidak memikirkan kemungkinan terburuk. Sejenak gue merasakan tangan Sakura melemas dipegangan gue.
Lalu dia menggeleng-geleng dengan yakin dan tersenyum pada gue. “Nggak mungkin. Jangan pengaruhi gue lagi.”
Dan Sakura langsung berlari masuk ke dalam tanpa bisa gue tahan. Asemeleh! Apa sih yang ada di pikiran gue? Kenapa gue bisa membiarkan seorang cewek bertemu dengan seorang psikopat? Dan gue hanya bisa menunggu di sini?
Sial. Sial. Sial. Sekarang yang ada di pikiran gue adalah begitu banyak pertanyaan atas semua kejadian ini. Tentang psikopat bernama M yang membuat Sakura harus memberikan segalanya.
Tunggu! Kepergian Sakura ke Jepang bukan tanpa alasan, kan? Keputusan itu nggak akan mungkin diambilnya meskipun ia bertengkar dengan Zia dan juga harus sakit hati karena Badai. Tidak mungkin alasan sepele seperti itu.
Gue menghela nafas kesal. Psikopat itu bisa menghubungi Sakura dengan sesuka hati. Apa sebelumnya psikopat itu pernah menelfon Sakura?
Sial. Itu pasti pernah! Sakura nggak akan mungkin bisa menghubunginya jika psikopat itu tidak menghubunginya duluan!
Kenapa sekarang menjadi begitu rumit? Jadi psikopat itu menghubungi Sakura. Tapi apa alasannya? Jika untuk menjauhi Badai, hal itu pasti sudah terpenuhi. Karena Badai sendiri yang menjauhi Sakura. Lagi pula ini tidak ada hubungannya dengan Zia dan Prisil, kan?
AH! SURAT ANCAMAN ITU!!! SURAT ANCAMAN PADA ZIA!!!

Badai sudah disingkirkan dengan aman. Tapi elo malah mengacau. Membuat dia sedih adalah kesalahan fatal yang lo buat! Elo akan mati, Zia. Mati! Mati! Mati! MATIIIII!!!

Badai sudah disingkirkan dengan aman.

Tidak mungkin rencana untuk membuat Sakura dan Badai terpisah, karena pada dasarnya mereka berdua sudah terpisah.
Tidak mungkin karena Badai. Badai sudah disingkirkan dengan baik. Benar.

Tapi elo malah mengacau.

Mengacau? Apa yang dilakukan Zia? Selama ini dia hanya melakukan aktifitasnya sehari-hari. Bahkan tanpa Sakura.

Membuat dia sedih adalah kesalahan fatal yang lo buat!

Tunggu! Apakah yang dimaksud dengan ‘dia’ itu adalah Sakura? Lalu kenapa Sakura waktu itu diculik bahkan dipukul kepalanya? Jika orang itu menginginkan Sakura... tapi untuk apa?
Ah sialan! Ini benar-benar memusingkan.
“Jangan bodoh! Mas nggak nyuruh buat ngebunuh lo.”
Kalimat yang diucapkan cowok itu.
Mas nggak nyuruh buat ngebunuh lo.
Itu berarti mereka tidak akan membunuh Sakura. Tapi waktu itu mereka ingin menyingkirkan Badai. Lalu...? Apa maksudnya?
Sial. Sial. Sial. Gue benar-benar nggak tahu harus menebak seperti apa.
***
“Atha?”
Gue menoleh dan menemukan Badai, Awan dan Ruth membungkuk seolah bersembunyi.
“Kalian?” Gue menghampiri mereka.
“Sakura mana?” tanya Ruth. Gue hanya bisa menunjuk gedung di samping gue dengan dagu. Sementara Ruth langsung terkejut. “Kok bego sih? Kenapa dibiarin masuk sendiri?”
Gue mengacuhkan Ruth. “By the way, boleh liat surat ancaman buat Prisil?” Gue melirik Badai dengan enggan.
Awan memberikannya dengan ogah-ogahan pada gue. Sebenarnya gue paling ogah kalau harus satu kelompok begini dengan Awan. Nggak apa-apa deh sama Badai, asalkan Awan musnah sekarang juga.
Sial. Gue cemburu banget sama Awan. Mengetahui kenyataan bahwa Awan orang yang disukai Zia, berikut dengan peran pasangan bersama Zia, membuat gue semakin marah. Apa bagusnya Awan?
Baiklah. Gue akan melupakan itu sejenak. Gue harus membaca surat ancaman untuk Prisil. Gue harus menemukan petunjuk!

Cewek nggak tahu diri! Apa bagusnya lo? Berani-beraninya lo deketin Badai dan pacaran sama Badai! Lo pikir lo siapa? Lo benar-benar memuakkan. Gue akan bunuh lo!!! Dan gue rasa... hanya Sakura yang bisa menyelamatkan lo!

Aneh! Surat ini berbeda dengan surat yang diterima oleh Zia. Mungkin hanya perasaan gue aja, tapi surat ini bukan ditulis oleh orang yang sama. Lalu... siapa yang menulisnya?
Oh ya, surat ancaman untuk Sakura sepertinya mirip dengan surat yang diterima oleh Prisil.

Sekarang waktu lo udah habis! Waktu lo pura-pura dengan muka busuk lo itu udah habis! Sore ini... gue akan menemukan lo di mana pun lo berada! Ingat, gue nggak main-main. CAMKAN ITU!

Surat yang diterima Sakura dan Prisil adalah surat ancaman karena mereka berdua dekat dengan Badai. Tapi surat yang diterima oleh Zia berbeda. Surat karena Zia telah membuat ‘dia’ sedih. ‘Dia’ yang menurut gue adalah Sakura.
“Badai...?” Gue memanggil Badai yang terlihat sedang melamun. “Apa lo menyadari sesuatu?”
Gue bertanya seperti itu karena gue pernah menunjukkan surat ancaman untuk Zia. Yes, setidaknya Badai adalah orang yang tepat. Gue kan nggak mungkin memberitahunya pada Awan. Cowok kampret yang bikin Zia nangis.
Badai tersentak kaget. Sementara gue, Ruth dan Awan menatapnya dengan tatapan tanya, Badai hanya menatap kami dengan ragu.
“Hanya spekulasi gue aja. Gue nggak tau bener atau enggak.” Badai melipat kedua tangannya di depan dada.
Gue langsung tersenyum senang. “Gila! Otak kita isinya sama. Tapi menurut gue, spekulasi ini adalah kebenaran!”
“Kalian ngomongin apa sih?” Ruth bertanya penasaran.
“Penulis surat untuk Sakura dan Prisil adalah orang yang sama, tapi penulis surat untuk Zia adalah orang yang berbeda.”
“Argh!”
Kami bertiga serempat menoleh ke sumber suara. Gue langsung menyalakan senter dan memerhatikan siapa yang barusan mengeluh keras. Dan saat itu juga kami bertiga terbelalak lebar.
“Zia...,” desis kami bersamaan.
***
Gue benar-benar marah dan nggak bisa mengampuni M. Atau siapapun yang telah melakukan ini pada Zia. Sialaaaaaaaannnn!!!
Wajah Zia sebenarnya tidak luka parah, tidak separah Sakura waktu itu. Hanya sudut bibirnya yang berdarah juga keningnya yang sedikit terluka. Tangannya memerah, sepertinya kedua tangannya diikat sangat kencang.
“Lo nggak apa-apa?” tanya gue dengan nada khawatir.
Zia meneguk minumannya dan memberikannya pada gue. Dia menghela nafasnya sejenak sebelum berbicara.
“Sakura mana?”
“Di dalam...”
Kedua bola mata Zia membelalak lebar. “Kenapa kalian biarin dia masuk sendiri!? Kalian ini bodoh atau apa sih!?” Dia marah.
“Zi, Prisil mana?” Awan bertanya dengan nada khawatirnya.
Sialan banget cowok ini. Apa dia nggak tau kalau barusan Zia marah karena Sakura masuk ke dalam sendirian? Dan sekarang yang ia tanyakan hanya si Prisil itu aja?
“Mana gue tau!” Zia berkata sinis. Dia melirik Badai dan Awan dengan kesal.
“Sakura...”
Zia langsung menatap sinis Badai tepat di manik mata. “Urusin aja Prisil lo itu! Sakura nggak akan bisa bantu kalian menemukan Prisil!”
“Loh... ke-kenapa?” tanya Ruth dengan bingung.
“Karena penculik gue bukanlah orang yang sama dengan orang yang menculik Prisil. Puas!?” Nafas Zia terlihat memburu. Sepertinya dia sangat marah. “Tapi gue tau, Sakura pasti mengusahakan untuk menemukan Prisil.” Nadanya melemah.
“Argh! Dugaan gue benar, Sakura emang nggak akan bisa bantu kita.” Awan mengeluh.
Gue dan Zia langsung meliriknya sinis. Awan ini benar-benar minta dibunuh! Kalau aja gue bersedia untuk membuat keributan, gue akan langsung menonjok mukanya.
“Zia, bisa lo jelasin maksud dari kalimat lo? Bukannya penculik lo dan Prisil berbeda? Kenapa Sakura masih mengusahakan untuk menemukan Prisil?”
Walaupun pertanyaannya banyak banget, gue tahu bahwa Badai nggak hanya mengkhawatirkan keberadaan Prisil, tapi juga Sakura. Ah, mendengar Badai amarah gue jadi mereda. Untung Badai nggak kayak Awan.
“Sa-Sakura...” Gue mendengar suara Zia berubah serak. Air matanya menggantung di kedua kelopak matanya. “Sakura kalau dia masuk ke dalam... itu... berarti...”
Zia menyenderkan kepalanya di pundak gue. Sejenak gue tersentak. Dengan ragu, gue mengelus-elus rambutnya agar dia tenang. Cewek itu terisak. Sepertinya dia mengetahui kenyataan terburuk yang akan terjadi pada Sakura.
“M... dia...”
“Sssttt...” Gue menepuk-nepuk kepalanya pelan. “Tenangin diri lo dulu, baru ngomong.”
Gue mendengar Awan mendesah panjang. Ruth hanya bisa menepuk-nepuk punggung Zia untuk menyabarkan. Sementara Badai terdiam cukup lama. Sepertinya dia sedang berpikir.
“Kenapa gue bisa bilang penculik gue dan Prisil adalah orang yang beda karena... saat gue bebas, gue nggak menemukan siapapun di sana.”
“Kalau ternyata Prisil ditempatkan di ruangan yang berbeda bagaimana!?” Awan menatap Zia dengan bingung
Zia membalas tatapan Awan dengan tatapan sinis. Diam-diam gue senang sekarang Zia pasti mulai melupakan perasaannya pada Awan.
“Dan gue... mendengar percakapan anak buah M. Mereka bilang bahwa salah satu anak buah M menculik Prisil tanpa sepengetahuan M. Karena obsesi...”
Kami bertiga langsung terdiam. Obsesi apa yang dimaksud Zia? Jadi... yang menculik Prisil adalah anak buah M, bukan pemimpinnya langsung. Secara tidak langsung, sebenarnya M tidak pernah menyuruh anak buahnya untuk menculik Prisil.
“Obsesi pada Badai.”
Gue yakin raut wajah Badai berubah jadi syok sekarang. Itu berarti orang yang menculik Sakura waktu itu adalah anak buah M yang itu. Seorang cewek.
“Zia... apa anak buah M ada yang cowok?”
Waktu penculikan Sakura gue mengingat bahwa ada suara cowok yang ikut berbicara. Suara cowok yang gue kenal, tapi gue belum bisa menebak siapakah orang itu.
Zia mengangguk. “Mereka memanggil satu sama lain dengan inisial.”
“Menarik!” Gue berkomentar pendek.
“Apa lo bisa menebak siapa anak buah M?” tanya Ruth penasaran.
Zia hanya mengangkat bahunya. “Suara ceweknya sepertinya familiar, tapi suara cowoknya gue nggak tau.”
“Inisial apa yang mereka pakai?” tanya Badai mendekat.
“Si cowok dipanggil R dan si cewek dipanggil A.”
“Ruth itu bukan lo, kan?” Gue nyengir. Ruth langsung menjitak kepala gue.
“Sialan. Gue cewek! Bukan cowok.”
Sekarang gue udah menemukan beberapa fakta. Pemimpin mereka adalah M. Dulu gue pernah mendengar bahwa dia dipanggil dengan panggilan ‘Mas’, itu berarti pemimpin mereka lebih tua dari mereka.
Penculik Sakura dan Prisil adalah orang yang sama. Pengirim surat ancaman yang sama. Cewek itu. Cewek yang terobsesi pada Badai.
“Padahal gue sayang sama Badai. Tapi dia harus kita singkirkan juga. Itu perintah Mas.”
Ah! Gue inget sekarang. Itu berarti cewek yang waktu itu. Tapi sepertinya penculikan Sakura diketahui oleh M. Karena cewek itu tidak sendiri, dia bersama anak buah M yang lain. Sementara sekarang... penculikan Prisil pasti dilakukannya sendiri.
“Tapi, itu bukanlah yang terpenting.” Zia membuka suaranya yang berubah serak lagi.
“Apa maksudnya?” Gue bertanya bingung.
“M adalah orang... yang membunuh Yasumi Fujiwara.”
“APA!?” Serentak kami menatap Zia dengan kedua mata membelalak lebar. Ini benar-benar gila dan tak bisa dipercaya.
“Dengan kata lain, Sakura berada di tangan orang yang membunuh kakaknya sendiri.” Zia menunduk. Nada bicaranya berubah aneh. “Sakura... menyerahkan dirinya untuk menyelamatkan gue dan Prisil.”
Saat itu juga gue melihat Badai menggepal tangannya dan sedetik kemudian, Badai langsung berlari menuju gedung tua yang tadi.


You may also like

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Ao Haru Ride

Ao Haru Ride

Daftar Blog Saya

Advertisement

Facebook

Instagram