Moments 17

0 Comments
Sakura Fujiwara



Pistol itu mengarah ke arahku. Tepatnya ke arah kepalaku. Aku menatap Prisil dengan tatapan bingung. Sejujurnya aku tidak terkejut mengetahui bahwa Prisil adalah adik Fabi dan merupakan bagian dari tim penculikan ini.
Sebelum ke tempat ini, aku berada di gedung tua itu. Aku berusaha memancing percakapan dengan Fabi mengenai kematian kakakku. Aku harap teman-teman yang lain melakukan perintahku sesuai yang kuberikan pada Badai. Yaitu untuk merekam percakapan itu dan meminta pertolongan kepada polisi.
Di gedung tua itu, saat aku menanyakan keberadaan Prisil, Fabi membawa seseorang yang membuatku terkejut. Ya, dia Prisil. Dengan gaya santainya dan kelihatannya dia hidup enak, dia datang dan tersenyum padaku.
Dan parahnya lagi, dia memeluk Fabi sambil memanggilnya ‘kakak’. Saat itu aku sangat terkejut. Tapi aku tidak bisa apa-apa selain menuruti perintah mereka. Karena Prisil akan menjambak rambutku saat aku melawan.
Kulihat tangan Prisil gemetaran memegang pistol itu. Aku tahu Prisil pasti tidak berani menembak. Tidak mungkin kan...
“Aku tidak tahu bahwa perempuan ini begitu berarti untukmu. Aku bahkan tak ada secuilpun dari perempuan ini.” Prisil memeringkan kepalanya. Kedua matanya menatapku seakan sedang tersenyum mengejek.
“Prisil... kamu tahu... aku sama sekali nggak punya perasaan yang sama dengan Ara.” Badai mendekati Prisil perlahan. “Aku hanya merasa bersalah dengan dia.”
Saat itu juga, aku merasakan setiap pisau yang menusuk ke dalam jantungku. Aku merasakan ngilu yang tak bisa kutahan lagi.
“LO BENER-BENER NGGAK PUNYA HATI!”
Aku melirik Zia yang berteriak marah. Aku tahu bahwa Zia pasti tidak menyukai kenyataan bahwa Badai memang seperti itu. Badai memang tidak menganggapku. Badai hanya menyukai Prisil.
“Zia, tenang...” Kulihat Atha menepuk-nepuk pundaknya. Tapi langsung ditepis oleh Zia dan Atha langsung mendapatkan tatapan sinis dari Zia.
Aku sebenarnya sangat senang mengetahui bahwa Zia mulai dekat dengan Atha, tapi sepertinya sekarang tidak lagi. Aku sadar bahwa Zia kecewa karena Atha tidak memberitahunya tentang Amboi. Aku juga terkejut tadi.
Tiba-tiba saja aku mendengar suara dari samping kananku. Oh tidak, apa itu? Aku menoleh dan mendapati Fabi sedang menggapai pisaunya yang terjatuh.
DUAR...
Aku tidak sempat berbuat apa-apa selain mendengar suara letusan dari luar dan melihat Fabi merangkak ke arahku untuk menusukku.
Rasanya aku ingin menangis karena aku tidak bisa bergerak sama sekali. Aku tidak bisa berteriak dan berbuat apa-apa sekarang. Sepertinya ini waktu yang tepat bagiku untuk menyusul Kak Yasumi.
DUAR...
Kembali kudengar suara letusan, kali ini berasal dari orang yang ada di depanku. Aku memejamkan mataku dan tidak bisa berbuat apa-apa. Aku mematung.
Satu detik... dua detik... tiga detik...
Aku tidak merasakan apa-apa. Sakipun tidak.
Aku membuka mataku. Lalu terbelalak lebar saat melihat Atha sedang berusaha merebut pistol dari tangan Prisil. Ternyata Atha membuat tembakan itu ke atas, sehingga Prisil gagal menembakku.
Tapi... mengapa tubuhku merasa berat. Ada sesuatu yang menarikku hingga aku tertunduk jatuh...
Badai...
BRUK...
Aku menoleh dan mendapati Zia sedang memukuli Fabi. Mataku menangkap pisau yang terjatuh di dekatnya. Sudah berdarah.
DEG
Jantungku terasa berhenti berdetak. Aku melihat orang yang berada di pangkuanku dengan gemetar. Badai sedang memegangi perutnya sambil meringis kesakitan.
Semuanya terlihat seperti bayang-bayang. Aku bahkan tidak dapat mendengar suara-suara orang di sekelilingku. Aku hanya bisa merasakan polisi datang bersama Ruth dan Awan. Mengejar Rado yang hampir kabur dan membantu Zia juga Atha untuk menangkap Prisil dan Fabi.
Aku mendongak. Mencari pertolongan. Zia melihatku dan langsung mendekat.
Ia melepaskan semua ikatan, di mulutku, di tangan dan juga ikatan longgar di kakiku.
Setelah semuanya lepas, aku langsung menatap Badai yang sedang memejamkan mata. Aku memegang tangannya yang menutupi perutnya. Aku melihat darah..
Tidak... tanganku sekarang penuh darah. Tanganku... darah... ini darah Badai?
***
“Operasinya sukses. Tidak ada organ yang terkena tusukan. Jadi, beberapa jam lagi dia akan sadar.”
Seorang dokter tua tersenyum manis dan menepuk pundakku. Dia pergi setelah menjelaskan bahwa operasi Badai sukses dan kondisi Badai baik-baik saja.
Orang tua Badai sangat terkejut saat menemukan anaknya tertusuk pisau. Meskipun tidak marah denganku, sebagai penyebab Badai terluka, aku tetap saja merasa bersalah.
Dari awal aku ingin mengatakan pada mereka bahwa seharusnya mereka memilih Prisil saja. Tapi tak ada satupun dari mereka yang mengerti tatapanku. Jika mereka memilih Prisil, tidak akan sesulit ini.
Aku tertunduk di lorong rumah sakit. Sekarang aku tidak berani mengunjungi Badai. Aku tidak punya nyali.
Ah... aku mendongak. Sejenak aku teringat tentang kedua orangtuaku. Mengapa mereka tidak menelfonku untuk menanyakan mengapa aku belum sampai? Aku mengganti nomorku sejak Zia berhasil diselamatkan saat penculikan lalu. Pasti orang tuaku sangat khawatir. Apakah mereka kembali ke Indonesia?
“Ara...?”
Aku menoleh ke belakang. Kedua mataku membelalak lebar saat mengetahui siapa orang yang memanggilku. Saat menyadari bahwa dirinya tidak salah orang, dia menghampiriku dengan langkah tergesa-gesa.
“Kamu ke mana aja selama ini?” tanyanya dengan raut wajah khawatir. “Aku nyariin kamu.”
Mulutku masih menganga lebar sangking kagetnya dan aku hanya bisa mengerjap-ngerjapkan mataku melihat sosok di depanku.
Namanya Davidio. Aku memanggilnya Davi. Kami kenal karena Kak Yasumi mengenalkannya sebagai muridnya yang pintar.
Mengetahui bahwa aku masih cukup terkejut dengan kehadirannya, Davi mengajakku untuk pergi ke taman rumah sakit dan duduk di sana untuk berbicara.
“Kapan kamu pulang ke Indonesia?” tanyaku masih terkejut.
Dia tersenyum. “Seminggu yang lalu.” Dia menatapku. “Wajahmu kenapa?”
Ah... ini pasti karena lebam-lebam yang disebabkan penculikan lalu deh. Uh, menyebalkan sekali.
“Nggak apa-apa. Cuma jatuh.” Aku beralasan.
“Aku bertemu kedua orangtuamu.”
DEG
Oh tidak. Davi bertemu kedua orangtuaku? Bukankah mereka pergi ke Jepang?
“Aku nggak tau apa yang sedang terjadi. Tapi waktu itu mereka hampir dicelakai seseorang.” Dia menatapku dalam. “Kamu bener nggak kenapa-kenapa, kan?”
Aku terdiam. “Orang tuaku... di mana?”
Dia tersenyum simpul. “Di rumahku. Di rumahmu terlalu berbahaya untuk mereka berdua. Sebenarnya apa yang terjadi?”
Sejenak aku ragu untuk menceritakannya pada Davi. Bukannya aku tidak percaya dengan Davi, aku tahu Davi orang baik, tapi aku tidak tahu apakah aku bisa membagi semuanya pada Davi.
Akhirnya kuputuskan untuk bercerita dengan Davi. Dimulai dari surat ancaman yang selalu ada di lokerku sampai bagaimana Badai menyelamatkan nyawaku.
Aku meliriknya saat ceritaku sudah selesai. Aku ingin melihat reaksinya. Apakah dia akan menjauh dariku? Sepertinya sekarang aku tahu mengapa Badai dulu menjauhiku. Dia pasti takut dengan surat ancaman itu. Dia tidak ingin terlibat denganku.
Davi mengangguk-angguk dan tersenyum lagi. “Sepertinya orang tuamu hampir celaka karena orang itu juga.”
Aku mengangguk setuju. “Kamu... nggak takut?”
Davi menatapku bingung. “Takut kenapa?” tanyanya.
“Aku... banyak orang yang mengincarku. Banyak orang yang membenciku.” Aku menahan air beningku keluar dari mataku. “Aku... nggak bisa hidup dengan orang yang aku sayangi. Termasuk orang tuaku...”
“Maksudmu...!?”
“Tolong bilang sama orang tuaku, aku akan pergi dari kehidupan mereka. Sehingga mereka nggak akan terluka.”
Setelah berkata itu, aku berdiri. Bersiap-siap untuk meninggalkan Davi. Tapi ia mencegahku pergi dengan memegang tanganku.
“Ayo kita mulai kehidupan baru di Jepang!” Davi tersenyum sementara aku menatapnya bingung. “Aku akan membujuk orang tuaku untuk pindah ke Jepang.”
“Tapi aku... nggak akan mau membuat orang-orang masuk ke dalam kehidupanku lagi. Kamu juga akan celaka.”
Davi menggeleng. Dia menggenggam tanganku erat. “Kalau begitu, kita hadapi bersama.”
***
“Kita perlu bicara.” Zia menatap sinis Atha yang berdiri tepat di depannya.
Atha hanya mengangguk dan mengikuti Zia.
Diam-diam aku mengikuti mereka berdua. Aku khawatir nanti Zia akan patah hati. Kalau Atha sampai membuatnya menangis, aku akan menghajarnya dengan gebokanku.
Zia sedang berdiri menghadap Atha. Matanya menatap tajam mata Atha. Tapi Atha hanya menatapnya dengan tatapan merasa bersalahnya. Aku jadi kasihan melihat Atha.
“Kenapa lo nggak pernah bilang sama gue kalo lo mantan pacarnya Amboi?”
Atha terdiam sejenak. “Kenapa gue harus bilang?”
Aku terkejut. Apa-apaan si Atha? Mengapa dia mengatakan hal seperti itu? Zia pasti sangat terkejut dengan kata-kata Atha barusan.
“Oke... gue emang bukan siapa-siapa.” Zia menggepal tangannya kuat-kuat dan masih menatap Atha dengan tatapan tajamnya. “Kalo gitu... lo seharusnya pergi jauh-jauh dari hidup gue! Jangan lagi mengganggu hidup gue!”
“Benar.” Atha mengangguk. “Seharusnya gue nggak mengganggu kehidupan lo.” Dia tersenyum simpul. “Maaf.”
Omigat! Barusan dia bilang apa? Dia benar-benar mau kugebok ya?
Tangan Atha bergerak merogoh saku jaketnya. Lalu mengeluarkan sebuah kalung cantik berwarna perak berbentuk kepala Mickey Mouse. Ada inisial ‘A’ di sana. Kalung cantik itu pasti dipesan khusus, tidak mungkin kan dia beli di sembarang tempat?
Kulihat Atha mengalungkan kalung tersebut ke leher Zia. Membuat tatapan tajam Zia meluruh dan kedua matanya menatap bingung ke arah Atha. Tapi Atha tidak menggubrisnya.
Atha tersenyum simpul setelah mengalungkan kalung tersebut. “Terimakasih telah mengisi hari-hari gue.” Atha berbalik dan berjalan menjauh.
Omigat! Omigat! Apa yang terjadi? Mengapa Atha meninggalkan Zia sendiri? Apa Atha menyerah untuk mendapatkan hati Zia?
Air bening itu mengalir dari kedua mata bulat Zia. Cewek itu memegang kalung itu dengan raut wajah sedih. Aku  tak tega membiarkannya sedih seperti itu. Sepertinya Zia memang sudah jatuh cinta pada Atha.
Baiklah. Ini saatnya aku menggebok Atha dan memberikan pelajaran untuknya! Enak saja dia mempermainkan Zia begitu saja.
“LO BILANG LO SUKA SAMA GUE!”
Langkahku terhenti saat mendengar Zia berteriak. Aku tertegun. Sepertinya untuk masalah ini kau tidak berhak ikut campur. Dan aku melihat langkah kaki Atha juga terhenti, tapi cowok itu tidak membalikkan badannya.
“LO BILANG GUE INI TUAN PUTRI LO!” Zia menghapus air matanya. “TAPI KENAPA LO MALAH LARI? KENAPA LO NGGAK TANGGUNG JAWAB!?” Zia menangis lagi. “KENAPA LO NGGAK TANGGUNG JAWAB SETELAH NGEBUAT GUE JATUH CINTA SAMA LO!? KENAPA?”
Tubuh Zia meluruh ke tanah. Tangan kanannya masih memegang erat kalung yang baru saja diberikan oleh Atha.
“Jangan pergi...,” lirih Zia. “Jangan tinggalin gue...”
Lalu aku melihat Atha membalikkan badannya. Menatap Zia dengan nanar dan melangkah secepat yang ia bisa. Mendekati Zia dan membantu Zia berdiri.
Atha menghembuskan nafas beratnya dan menatap Zia lekat. “Gue nggak mau nyakitin lo.” Tangannya menghapus air mata yang mengalir di pipi Zia. “Ingatan gue... gue nggak tau apa yang akan terjadi nanti setelah gue mengingat ini semua.”
Dengan satu gerakan tak terduga, Atha merengkuh Zia ke dalam pelukannya. Lalu mengelus-elus kepalanya dengan sayang.
Zia membalas pelukan itu. Dia mulai berhenti menangis. “Gue akan menunggu.”
Atha melepas pelukannya. Ia menatap Zia dan menggeleng. “Jangan menunggu.”
“Kenapa?” tanyanya bingung.
“Karena gue nggak tau apakah gue akan kembali.”
Melihat itu semua membuatku kesal. Ini sudah keterlaluan dan mau tak mau, aku harus ikut campur. Jadi kuputuskan untuk mendekati mereka berdua dan menyelesaikan ini dengan cepat.
BUK
Aku langsung menggebok Atha sehingga Atha terjerembab ke tanah dan meringis kesakitan. Tapi Zia malah menghampirinya.
“Hei Manusia Badak! Lo tau nggak, gue udah lama nggak nonjokin orang?” Aku melotot ke arahnya. “Sekarang lo pilih untuk tinggal atau pergi!”
“Ara...” Zia menatapku memohon.
Aku menggeleng. “Kalo lo pergi, gue akan matahin kaki lo!” Aku berkata keras. “Kalo lo tinggal dan bikin Zia nangis, gue bunuh lo!”
Atha berdiri dibantu oleh Zia. Cowok itu menyeringai seperti biasanya.
“Jangan nyengir!” Gue melotot.
“Ra, gue cuma nggak mau nyakitin Zia. Sekarang... gue bahkan nggak tahu harus apa untuk membuat Zia nggak tersakiti.” Raut wajah Atha berubah serius. “Apapun yang gue lakukan, pasti akan menyakiti Zia. Jadi gue nggak mau dia menunggu.”
Aku terpaku untuk setiap kalimatnya. Mengapa dia harus memilih sesuatu yang memberatkan keduanya?
Aku menarik kerah kemeja yang dipakai Atha dengan kesar. Aku menatapnya tepat di manik mata.
“Kalo lo cuma bisa berakhiran menjadi pencundang, seharusnya dari awal lo jangan memulai!” Aku membentaknya. “Hanya karena lo mengingat masa lalu lo dan mengetahui kebenaran bahwa pemilik gelang itu adalah Amboi, nggak seharusnya lo egois!”
Dan saat itu juga aku melihat raut wajah Zia maupun Atha langsung terkejut. Mereka sama-sama menatapku, membuat aku sedikit risih karena sepertinya aku mengeluarkan kalimat yang salah. Tapi... aku merasa benar kok.
“Lo seharusnya memikirkan perasaan Zia juga. Sebahaya apapun kondisi Zia... jangan tinggalin Zia sendiri.” Nadaku merendah. Aku mendorong Atha kuat-kuat dan pergi dari tempat itu secepatnya.
Baiklah. Ini agak aneh. Mengapa aku merasa bahwa barusan aku sedang curhat? Omigat! Seharusnya dari awal aku tidak ikut campur. Tapi aku hanya ingin melihat Zia tersenyum lagi.
“Sakura!”
Aku menoleh dan mendapati Zia sedang berpelukan dengan Atha. Omigat! Mereka mau pamer atau apa?
“Sepertinya lo harus ngomong sama Badai. Chemistry kalian masih cocok.” Atha menyeringai lebar ke arahku. Oh sialan! Apa katanya? Bicara pada Badai? Tidak mungkin.
***
Setelah mendengar dari polisi bahwa Fabi, Rado, Cessa, Amboi dan Prisil dipenjara, kami cukup tenang. Fabi mendapatkan masa hukuman yang paling panjang. Dia telah membunuh kakakku juga kakaknya sendiri.
Kedua orang tuaku sudah mengetahui tentang hal ini dan sangat marah besar pada Fabi. Mereka berniat akan menutut Fabi terus agar mendapatkan hukuman lebih berat lagi. Ah... mereka juga menceritakan tentang kecelakaan yang hampir terjadi jikalau tidak ada Davi. Dan aku sudah membicarakan dengan mereka bahwa kami akan pergi ke Jepang secepat mungkin.
Dua hari yang lalu Badai sadar, tapi aku belum menjenguknya. Aku sama sekali tidak punya nyali. Jadi kuputuskan hari ini untuk datang dengan yang lain sambil membawa sekeranjang buah.
Zia dan Atha yang diam-diam sudah jadian malah menyuruhku duduk di samping Badai, sementara mereka berdiri bersama Awan dan juga Ruth. Oh ya, Awan cukup terkejut dengan kenyataan bahwa Prisil juga komplotan dari mereka. Awan begitu menyukai Prisil sampai-sampai sempat membenci Badai.
Tapi... pasti perasaan Badai yang lebih kacau balau di antara kami, bukan? Dia sepertinya sangat menyayangi Prisil.
“Hai...” Aku tersenyum canggung ke arah Badai. “Mmmm... Badai...” Aku jadi bingung bagaimana harus mengucapkannya. Dan tiba-tiba saja Zia mendorongku memberikan tanda agar tidak ragu-ragu.
“Maaf karena membuat lo jadi begini dan... terimakasih karena telah menyelamatkan gue.”
Badai langsung mengacak-acak rambutku. Aku tertegun. Hal yang pernah dilakukannya dulu padaku. Hal yang tak pernah kulupakan sampai sekarang.
“Heh... itu kan gunanya teman?” Dia tersenyum tipis. Memamerkan lesung pipinya.
Ruth melipat kedua tangannya di depan dada dan menatap Badai serius. “Lo nggak apa-apa?” tanyanya.
“Untuk apa?” tanya Badai. “Kalau untuk Prisil... gue nggak apa-apa. Gue malah khawatir dengan Awan.” Dia melirik Awan dan tersenyum. “Kalo untuk kondisi, kayaknya gue perlu perawatan intensif.”
“Hah? Serius?” Aku langsung terkejut. “Masih sakitkah?”
Badai mengangguk dengan yakin. “Lo harus tanggung jawab buat ngurusin gue sampai gue sembuh!” peringatnya.
“Sampai lo sembuh?” Aku mengernyit.
Zia berdeham. “Mmmm... kalo gitu penerbangan lo ke Jepang akan diundur sampai Badai sembuh.”
“Penerbangan ke Jepang?” Badai mengernyit bingung. “Ara?”
Aku tersenyum. “Mmm, iya, sori gue belum sempet ngasih tau kalian kalau... satu minggu lagi gue akan pergi ke Jepang.”
“Oh sesuai dengan rencana awal lo dengan Fabi ya?” Atha mengangguk-angguk. “Tapi kan Fabi dipenjara.”
“Dia nggak pergi sama Fabi.” Zia melarat. “Tapi sama Davi.” Lalu raut wajah Zia berubah ceria.
“Lo berencana tinggal di sana?” tanya Awan terlihat cukup terkejut.
Aku mengangguk. “Tapi satu tahun sekali, gue pulang kok ke Indonesia. Jadi kalian nggak bakalan menderita karena kangen gue.”
Awan langsung mengerucut bibirnya. “Pede banget sih, Ra.”
“Kalo gitu... kesepakatan telah dibuat.” Ruth tersenyum senang. “Sakura pergi setelah Badai sembuh. Dan setelah itu, kita buat acara perpisahan untuk Sakura dan perayaan kesembuhan Badai.”
“Ide bagus tuh.” Atha langsung setuju. “Di mana? Di mana?”
“Gue punya rekomendasi restoran yang bagus.” Awan menyombongkan diri.
“Nggak... Nggak... gimana kalo kita bikin pesta di taman?” Zia mengajukan idenya.
“Zia, jangan irit-irit gitu deh.” Ruth tertawa.
“Gue nggak irit. Gue cuma mau nunjukin kalo gue itu pinter masak.”

Sementara yang lain berbicara sesuka hatinya, aku hanya terdiam terpaku dengan senyuman yang terpaksa. Bagaimanapun ini bukan ide yang cukup menyenangkan hatiku. Karena aku.. tidak akan bersedia untuk pergi.


You may also like

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Ao Haru Ride

Ao Haru Ride

Daftar Blog Saya

Advertisement

Facebook

Instagram