Moments #2: Ego (Bad Situation)

0 Comments
Gema Athaillah


Marah. Tentu gue marah. Bisa-bisanya Zia punya pikiran sesempit itu dan juga seegois itu? Bagaimana bisa dia menipu sahabatnya sendiri yang sangat menyayanginya? Hanya karena keegoisannya semata?
Mungkin sikap gue udah keterlaluan, tapi mau bagaimana lagi? Gue paling nggak suka kebohongan. Bagaimana pun juga Sakura adalah teman gue. Gue juga nggak rela dong kalau teman gue ditipu begitu aja.
Argh masa bodo deh! Pusing mikirin begituan. Mending gue tidur aja.
***
Sialnya dua minggu lagi adalah hari ulang tahun Zia. Itu berarti gue nggak bisa nemenin Zia di hari ulang tahunnya. Bisa tambah kacau hubungan kita.
Dan gue juga bersikeras agar Zia jujur dulu, baru deh gue maafin dia. Masalahnya, kalau sampai sekarang Zia juga diemin gue, gue bisa apa?
“Atha?”
Gue terkejut dan langsung menoleh ke samping. Di samping gue ada Amboi. Wajah lugunya membuat gue tergelak. Sudah lama gue nggak ketemu dia dan sepertinya dia nggak berubah banyak.
“Eh, Amboi?”
Dia tersenyum. “Eng... soal yang lalu...”
Ah... Amboi selalu membahas soal yang lalu. Gue tahu Amboi pasti nggak punya pikiran sepicik itu. Amboi sebenarnya baik kok. Hanya saja sepupunya yang terobsesi sama Sakura itulah yang membuatnya jadi terjerumus pada hal yang tak benar.
“Jangan dibahas lagi deh. Lagian itu kan udah lalu. Udah bertahun-tahun lalu malah. Elo juga udah minta maaf sama yang lain, kan!?”
Amboi menunduk. Lalu menatapku dengan senyum manisnya. Masih sama seperti dulu. Senyum yang bisa meluluhkan hati seseorang.
“Kamu mau ke mana?” tanyanya.
“Oh gue?” Gue mencari-cari alasan. “Cuma mau menghirup udara segar aja.” Padahal gue pingin melihat keadaan Zia yang tak ada kabarnya. “Kalo lo?”
Amboi hanya tersenyum. “Aku mau ke toko buku. Kalau gitu aku dulu ya... daaaah Atha...” Dia melambaikan tangannya pada gue sambil berlalu.
Baru saja gue berniat untuk membalikkan badan, sosok cewek yang gue cari muncul seketika di depan gue dengan tatapan marahnya. Oh-oh... apa tadi dia liat gue sama Amboi ngobrol? Tapi kan gue cuma ngobrol aja.
Seulas senyum sinis tercetak di wajahnya. Kedua tangannya terlipat di depan dada. “Jadi... begini ya? Lo marah sama gue dengan alasan gue nggak jujur sama Sakura. Lo memanfaatkan kondisi dengan bagus ya.”
Gue mengernyit. Kebingungan. Zia sudah menggunakan panggilan ‘gue-elo’ dan itu pasti dia sedang marah. Kenapa dia marah? Seharusnya kan gue yang marah sama dia?
“Kalo lo udah nggak tahan sama gue, tinggal bilang aja. Cara lo yang kayak gini tuh pengecut banget, tau nggak!?”
“Kamu kenapa sih?” Gue semakin bingung. “Kok marah?”
Dia mendengus. “Jangan berlagak kayak malaikat. Gue juga udah nggak tahan kok sama sifat lo itu. Mending kita udahan aja di sini.”
“Kamu minta putus?” Gue membelalakan mata gue tak percaya.
“Dari awal lo emang nggak bisa mutusin yang mana yang akan lo pilih. Saat lo dapat ancaman dari masa lalu, lo malah berniat ninggalin gue. Kalo bukan karena Sakura, lo nggak bakalan jadi pacar gue.”
“Zia... kok kamu ngomongnya gitu sih? Zia?” Gue mendekat, tapi Zia malah menjauh. “Zia...” Dia semakin memundurkan langkahnya dan tau-tau saja sebuah truk besar melintas dan menghantam tubuh Zia yang berdiri di sana.
“ZIAAAA....”
Gue terbangun dari mimpi buruk gue. Sialan banget itu mimpi.
***
“Lo kacau banget. Ada apa sih?” Badai menyeruput jus jeruk di depannya sampai tiga perempat gelas.
Gue hanya bisa menatap kosong sejak dapat mimpi itu. Apa itu pertanda buruk? sebelumnya gue nggak pernah mimpi seburuk itu. Apalagi yang berkaitan dengan Zia.
“Keliatannya lo lagi ada masalah dengan Zia. Kenapa? Berantem? Bukannya kalian selalu berantem dan satu jam kemudian langsung baikan?”
Yes. Gue dan Zia emang nggak tahan marahan. Jadi kalau sekarang kami marahan sampai sehari penuh itu adalah hal luar biasa.
Sepertinya Zia juga enggan untuk mengaku pada Sakura soal Fabi. Makanya dia juga nggak mau menghubungi gue, karena dia tahu gue nggak akan maafin dia sebelum dia ngasih tau semuanya sama Sakura.
Kenapa jadi begini sih?
“Dai, lo kasih tau Sakura soal Fabi?” Tiba-tiba mulut gue sudah mengeluarkan pertanyaan aneh itu.
“Bukannya dia udah tau?” Badai mengernyit. Lalu kedua bola matanya melebar kaget. “Zia nggak ngasih tau dia?”
Ah sial. Gue hanya menggeleng untuk menjawab pertanyaannya.
“Gila! Lo kira Sakura akan diem aja kalau nanti dia tau Fabi udah bebas dengan jaminan!?” sentak Badai kesal. Badai selalu terlihat emosi jika mengungkit soal Fabi dan Sakura.
“Lo yang kasih tau dia deh. Gue nggak berani.” Gue hanya bisa mendesah panjang. “Gue nggak ikut campur urusan ini. Gue tau watak Sakura. Dia nggak bakalan sudi balik ke Indonesia kalau tau Fabi bebas begitu aja.”
“Gue?” Badai menunjuk dirinya sendiri. “Lo mau ngumpanin gue?”
“Mau gimana lagi? Zia nggak mau ngomong. Dia nggak mau Sakura balik begitu aja ke Jepang dan membatalkan liburan dalam sebulannya di sini.”
“Giliran ada masalah kayak gini, yang lo umpanin selalu gue,” cibir Badai. “Gue sih nggak masalah, tapi kalo berhubungan dengan...”
“Sakura?” terka gue tepat sasaran. Raut wajahnya berubah total. Selama ini gue udah curiga dengan gelagatnya yang aneh. Apa lagi semenjak ditinggal Sakura. “Kenapa? Lo nggak mau berhubungan dengan Sakura karena takut nyakitin dia?”
Sepertinya gue udah berhasil memojokkan dia. Buktinya Badai hanya bisa terdiam dengan mulut terkatup rapat.
“Dari awal lo udah nyakitin dia. Kenapa sekarang lo malah pura-pura peduli sama dia?”
Sial. Kelepasan deh gue.
Hening sejenak. Lalu Badai tersenyum miring. “Ya. Dari awal gue udah nyakitin dia. Jadi buat apa juga gue peduli sama dia!?”
Setelah berkata seperti itu, Badai berdiri dan pergi begitu saja meninggalkan gue sendiri.
Ah. Bego juga sih gue. Kenapa malah mancing-mancing kemarahan Badai? Mancing-mancing kesalahannya yang dulu, lagi! Kalau udah begini, siapa dong yang mau ngasih tau Sakura soal Fabi? Trus bagaimana hubungan gue dengan Zia kalau begini terus?
***
Gue mengeluh kesal untuk kesekian kalinya. Zia kayaknya ikutan marah. Buktinya, gue telfon dan sms, nggak ada satupun yang diangkat juga dibales. Gue kirim WhatsApp, cuma dibaca doang! Sakitnya tuh ya... di sini nih...
Dengan sabar dan juga gaya keren, gue berniat untuk mengunjungi rumahnya. Dia pasti di rumah.
Sampai di depan gerbang rumahnya, gue menghentikan laju mobil gue. Gue memilih posisi di kanan rumahnya, jadi orang lain bisa ngira gue tamu tetangganya, bukanya tamunya.
Gue turun dari mobil gue. Lalu berjalan dengan santai ke arah rumahnya. Tapi sesaat gue menyadari sesuatu yang aneh. Mata gue menangkap sebuah mobil berwarna hitam... tunggu dulu! Ini bukannya mobil.... Awan? Ngapain Awan ke rumah Zia segala?
“Iya, Ma, aku berangkat dulu ya.”
“Hati-hati. Awan, pulangnya jangan malam-malam ya.”
Saat mendengar itu, tubuh gue refleks langsung menyingkir kembali ke arah mobil gue. Bersembunyi di antara tiang dan belakang mobil gue. Dan di saat itu juga gue melihat Zia keluar bersama dengan Awan.
Gue nggak pernah melihat Zia senyum secerah ini untuk cowok lain. Di depan mata gue, lagi!
Eits... eits... itu si kampret kenapa pake gandeng-gandeng tangan Zia? Minta dihajar ya?
Hati gue langsung membara karena marah. Mata gue membelalak maksimal dan gue yakin, tangan gue siap banget buat mukul orang. Tapi... dibalik semua itu, hanya satu pertanyaan gue.

Jadi Zia lebih milih jalan bareng Awan dari pada ngangkat telfon gue?


You may also like

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Ao Haru Ride

Ao Haru Ride

Daftar Blog Saya

Advertisement

Facebook

Instagram