Jingga Untuk Matahari 13 (FanFiction)

2 Comments
Holaaa... part yang ini kayaknya agak-agak gimana gitu ya, soalnya part ini tentang past in painful. Jadi part inilah alasan kenapa Angga bisa benci sama Ari *versi gue kekekek* Oke, happy reading,, guys.


Sudah lama cewek itu mengagumi kakak kelasnya yang mempunyai kemisteriusan tingkat tinggi. Cewek itu suka setiap gerakan yang dilakukan kakak kelasnya itu. Dia suka caranya berbicara, menghibur teman-temannya dan tertawa. Dia sangat suka semua hal yang ada pada diri cowok itu. Namun tak ada sedikitpun keberanian untuk mendekati kakak kelasnya itu. Sayangnya, ia tak mengetahui nama cowok itu. Dia hanya sering mendengar cowok itu bernama Ari.
Cewek yang bernama Anggun itu tersenyum puas saat mendapati kakak kelasnya itu masuk sekolah. Karena biasanya kakak kelasnya itu paling males yang namanya masuk sekolah. Kerjaannya hanya bikin huru-hara dimana-mana. Tapi prestasinya itu nggak bisa ada yang nyangka. Sebandel apapun dia, dia tetap bisa meraih lima besar setiap kali ulangan semester.
“Lagi liat siapa?”                
Anggun menoleh dan mendapati sosok Angga dibelakangnya sedang mengikuti apa yang Anggun lalukan. Mengintip diam-diam.
“Dia,” telunjuk Anggun menunjuk cowok yang sedang duduk di kantin bersama teman-temannya itu.
“Lo suka dia?” tanya Angga dengan kening berkerut. “Sejak kapan?”
Rona merah di wajah Anggun langsung tampak. Ia tersenyum malu pada Angga. Lalu ia mengangguk pelan.
“Ciee... sekarang udah jatuh cinta nih.”
Anggun tersenyum malu. “Dia itu spesial banget, Kak. Beda deh sama cowok lain,” ucap Anggun sambil menegakkan tubuhnya.
Cewek ini terlalu polos. Terlalu membuat hati Angga seakan tersenyum saat cewek ini juga tersenyum. Dia adalah bagian hidupnya. Dia adalah satu orang yang mampu membuat hari-harinya tak harus bermasalah. Karena cewek ini segalanya untuk Angga. Dunia Angga.
***
“Namanya Matahari Senja. Si Ari.”
“Serius?” mata Anggun langsung melebar seketika ketika mengetahui Angga menyebutkan nama cowok yang sedang di taksirnya itu. “Nama panjangnya bagus banget!” serunya.
Angga mengangguk, “Lo beneran naksir dia? Atau lo hanya sekedar suka tampangnya doang? Dia kan anak bandel!”
“Aku tau kok,” Anggun mengangguk. “Tapi aku suka dia. Dia orangnya bener-bener mampu bikin jantung aku mau lompat.”
Angga mengangguk lalu berdiri dari tempat duduknya. “Nanti gue cari tau tentang dia,” ucap Angga lalu tersenyum tipis pada Anggun.
“Emm... jangan kasih tau orangnya ya!?”
“Mana mungkin gue kasih tau dia. Gue nggak sekelas sama dia. Gue juga nggak kenal akrab sama dia.”
Anggun tersenyum malu. Lalu mengaduk-aduk minumannya lagi. Angga hanya dapat melihatnya dengan senyum tipis yang mengembang diwajahnya.
Dia ingin Anggun bahagia. Bila Ari-lah orangnya, dia pasti akan mengabulkannya. Apapun caranya. Apapun hal itu, akan dilakukannya demi Anggun. Demi cewek yang memiliki sifat polos dan lugu. Demi cewek yang bisa tersenyum semanis madu.
***
Tangan Anggun memegang erat kotak berwarna oranye yang berisi cokelat manis yang berasal dari toko cokelat termahal. Dia rela menghabiskan uang tabungannya demi membeli cokelat ini. Hanya untuk Ari, kakak kelas yang kini mulai membuat hatinya berbunga-bunga.
Kepala Anggun menoleh ke kanan juga ke kiri, memeriksa area kelas sembilan itu. lalu ditemukannya orang yang ia cari. Ari sedang menyender ke bangku sambil menatap buku-buku yang ada di hadapannya.
“Hmm... hai,” dengan suara yang ia keluarkan dengan susah payah, akhirnya ia bisa menyapa kakak kelasnya ini.
Ari menengadah, lalu mendapati cewek dengan sekotak cokelat di hapannya. Sedang berdiri menatapnya dengan mata yang berbinar.
“Hai,” balas Ari dengan tatapan datarnya. Ditatapnya cewek yang memiliki rambut panjang bak artis shampo ini.
“Aku... Anggun,” Anggun mengulurkan tangan kanannya.
Ari menjabat tangannya, “Udah tau nama gue kan?” keningnya berkerut dengan kepalanya yang agak miring ke kanan.
Anggun mengangguk malu, “Aku mau kasih ini sama Kakak...” ia mengulurkan kotak yang ia pegang tadi pada Ari dengan senyum yang mengembang diwajahnya.
“Oh, Thanks...” Ari menerima cokelat itu dengan senyum.
“Aku permisi ya, Kak...,” pamitnya lalu pergi meninggalkan kelas yang hanya berisi Ari saja.
Di luar, Anggun melihat dari kaca jendela kelas Ari. Ia melihat Ari memakan cokelat itu sambil melihat buku-buku yang ada di hadapannya tadi. Tanpa ia sadari, semburat merah menghiasi wajahnya. Lalu ia sunggingkan senyum manis di wajahnya.
***
Besoknya Anggun memiliki rencana untuk pedekate lagi sama kakak kelasnya itu. Ia membeli setangkai bunga mawar merah. Ditemani Angga yang mengumpat di balik pintu, Anggun kembali memasuki ruangan kelas Ari. Kali ini ada beberapa temannya yang ada disana.
Tegang. Anggun was-was bunganya itu takkan diterima oleh Ari. Apalagi didepan teman-temannya. Degup jantungnya berdegup tak menentu, berdetak dengan cepat.
Dari kejauhan Ari menatapnya dengan kening berkerut. Kakinya ia taikkan satu keatas kursi.
“Kak... masih inget aku?” tanya Anggun ketika dirinya sudah sampai dihadapan pentolan sekolah itu.
Ari mengangguk, “Elo yang kemaren itu kan!? Yang namanya...”
“Anggun,” ucap Anggun ketika kakak kelasnya itu tak jua mengingat namanya.
“Ya... Anggun. Ada apa?” tanyanya datar dengan raut wajah yang sama datarnya.
Anggun menghela nafas panjangnya, lalu mengeluarkan setangkai bunga mawar  merah itu di hadapan Ari. Kontan satu isi kelas bersorak riuh. Sering sih ada kejadian seperti ini di kelas mereka, hanya yang kali ini lebih spesial. Karena cewek itu satu-satunya cewek yang mendapat tanggapan dari Ari. Seperti cokelat yang kemarin.
“Buat Kakak,” ucapnya pelan dan kalem.
“Oh... thanks ya...” Ari tersenyum tipis sambil menerima bunga mawar itu. Lalu dengan tangannya ia simpan bunga itu ke dalam tasnya. “Oh ya... lo kelas berapa?”
Anggun tersenyum malu, semburat merah tampak disekitar wajahnya. “Masih kelas delapan, Kak. Saya pindahan,”Anggun memundurkan langkahnya. “Saya permisi ya, Kak!” pamitnya lalu membalikkan badannya.
Di luar kelas, Angga menyetop langkah Anggun. Anggun yang menunduk langsung menengadah, menatap Angga.
“SUKSES!!!” serunya dengan senyuman yang mengembang diwajah.
Dengan kedua tangannya, Angga memeluk Anggun. Membiarkan rasa bahagia yang Anggun rasakan, juga ia rasakan. Membiarkan setiap senyuman di wajah cewek ini terus terlihat. Karena saat Anggun bahagia, dia juga bahagia. Di saat Anggun butuhkannya, ia akan selalu ada.
***
Dan hari-hari berikutnya. Anggun melakukan hal yang sama. Memberikan cokelat atau mawar merah. Kadang ia memberikan kue buatannya sendiri. Kadang juga ai memberikan kado boneka untuk Ari. Semuanya ia berikan untuk Ari. Semua hal. Dari kesabarannya. Dai senyumnya. Dari perhatiannya. Dari segala hal yang ada, ia berikan hanya untuk cowok yang menyandang nama matahari itu.
Semua hal. Tak ada yang tak Anggun suka. Dia suka Ari, sayang Ari bahkan kini cinta sama Ari. Dia nggak peduli sama tingkah bandel Ari di sekolah. Dia nggak peduli sama prilaku cuek Ari belakangan ini sama dia. Karena Ari pasti bosan dengan segala hal yang Anggun berikan. Cowok itu jenuh.
Tapi Anggun tak pernah menyerah. Karena kesabarannya masih ada hanya untuk cowok itu. untuk kakak kelas yang ia cintai setengah mati.
Hingga suatu saat, Anggun akan memberikan cokelatnya yang ke-seratus. Angga memperingatkan Anggun akan satu hal.
“Kemaren aja dia nggak makan cokelat lo. Dia kasih sama temen-temennya! Lo ngeliat sendiri kan!? Lo masih yakin mau ngasih ini cokelat sama dia?” Angga menatap Anggun tak yakin.
Anggun malah tersenyum manis, “Anggun yakin kok, Kak. Meskipun dia nggak makan atau nyimpen apa yang Anggun kasih, yang penting dia nerima semuanya. Dia nggak nolak,” ucapnya kalem.
Lalu ia langkahkan kakinya menuju kelas Ari. Disana ramai. Tak seperti biasanya. Sepertinya semua orang di kelas Ari sudah datang semua. Kali ini ia bisa mengatur detak jantung yang berdegup kencang di hatinya. Ia menarik nafas panjang, lalu mendekati Ari.
“Hai, Kak...,” sapanya dengan senyum yang sama. Senyum yang manis, semanis gula.
“Hai...,” jawab Ari dengan nada malasnya.
Semua terdiam. Mata mereka menatap Anggun yang kini memegang satu otak cokelat. Ada yang menatapnya dengan tatapan ngeri. Ada juga yang mengerutkan keningnya. Ada yang langsung mau ngabur dari tempat itu.
“Aku bawa ini buat kakak...,” Anggun memberikan cokelat pada Ari.
Ari berdiri. Ia tatap cewek itu dengan tatapan tajam. Seketika Anggun tersadar. Hari ini, detik ini juga ia melakukan kesalahan. Ari sedang marah dan dia lagi-lagi membuatnya bosan.
Ari mendekat, kontan cewek itu memundurkan langkahnya hingga punggungnya menyentuh tembok. Kedua tangan Ari terbuka, mengurung cewek ini didalamnya.
“Lo kira gue nggak punya kesabaran?” desis Ari tepat di depan wajah cewek ini
Seketika Anggun tertegun mendengar kalimat Ari. Cowok itu terlalu bosan menghadapi sikap Anggun. Cowok itu telah menelah semua kesabarannya yang tercurah untuk cewek yang kini berada di dalam kurungannya itu.
Tangan Anggun meremas jari-jemarinya. Dingin. Ia rasakan peluh mulai keluar dari keningnya. Matanya tak berani untuk menatap mata Ari yang tajam. Ia menunduk dalam-dalam dalam kebisuan. Tak mampu dirinya untuk mengatakan satu kalimat saja. Bahkan satu kata pun tak dapat ia ucapkan.
Suasana menjadi tegang. Semua orang terdiam dari kesibukan mereka. Semua mata menatap kearah Ari yang mengurung cewek itu.
“Gue harus ngomong apa sama lo agar lo ngerti? Hmm?”
“Ma... af... Kak,” ucapnya terbata-bata. Seketika tenggorokannya mengering, membuat dua kata yang ia keluarkan dengan susah payah itu seakan membunuhnya.
“Cokelat? Lo kira gue suka sama pemberian lo tiap hari itu? Ck... sama sekali enggak!” tegasnya dengan nada yang meninggi. “Sadar dong! Gue bukan anak kecil yang tiap hari mempan di beliin cokelat!!!” sentaknya kasar.
Ari semakin mendekatkan wajahnya dengan wajah Anggun, membuat Anggun terpaksa menyenderkan kepalanya pada dinding sekolahnya.
“Jangan pernah lo kasih gue apa-apa lagi! Gue muak!” ucapnya sengit.
Lalu dijauhkannya tubuhnya dengan tubuh Anggun. Cewek itu tampak masih syok, dia masih diam mematung sementara Ari sudah pergi keluar kelas.
***
Air bening itu berjatuhan, seiring isakan yang dirasakannya menyesakkan dadanya. Tangis itu ia tumpahkan di pundak Angga. Di pundak seseorang yang selama ini mendukungnya. Seseorang yang mengerti akan perasaannya.
Sakitnya menyayat hati. Menggoreskan setiap luka di tempat yang paling dalam. Di tempat dimana ia menyimpan perasaannya itu. Perasaan yang dalam bahkan teramat dalam untuk seseorang itu, namun orang itu pula yang menghancurkannya. Menghancurkan tempat yang paling dalam itu. tempatnya menyimpan perasaan itu.
Angga menatap Anggun dengan iba, “Gue hajar tu anak!” desisnya kesal.
Dengan sigap, Anggun langsung menarik tangan Angga. “Jangan, Kak! Ini emang salah Anggun,” ucapnya lirih. Selirih hembusan angin yang baru saja lewat dihadapannya.
“Dia udah bikin lo nangis kayak gini! Mana mungkin gue bisa diem aja,” ucapnya kesal dan penuh kebencian.
“Kak... ini salah aku. Tadi, Kakak sendiri yang udah meringatin aku. Akunya aja yang bandel,” senyum tampak diwajahnya. Meskipun sangat diketahuinya, senyum itu penuh luka dan paksaan.
Angga tertegun. Cewek ini masih bisa mengusahakan untuk tersenyum, meskipun harapannya hancur. Meskipun setiap lekuk hatinya telah tersobek oleh kata-kata yang dikeluarkan Ari untuknya. Muak?
Tangannya menggepal. Menahan amarah. Dia hanya ingat pada sosok perempuan dihadapannya ini. Hatinya seputih salju dan sebaaik peri. Takkan ia biarkan Ari menyakiti cewek ini lagi. Ia akan berikan perhitungan. Tidak sekarang, namun nanti. Disaat waktu yang tepat.
“Jangan simpan dendam itu dalam-dalam, Kak. Aku nggak mau Kakak nyakitin dia,”
Angga menoleh, “Lo masih bisa belain dia?” desisnya tajam.
“Kak... kalo Kakak masih sayang sama aku. Tolong... jangan pernah dendam sama dia. Mungkin tadi dia lagi emosi dan aku malah bikin dia tambah emosi,”
Helaan nafas panjang Angga terdengar jelas. Melelahkan. Cewek ini terlalu tabah, sangat berbeda dengannya yang lebih suka bertindak frontal. Dia tak setabah cewek yang ada di hadapannya ini.
Dengan kedua tangannya, ia peluk Anggun erat. Ia tenggelamkan kepala Anggun di dadanya. Ia biarkan tangis itu membasahi seragam putihnya. Yang ia rasakan adalah sakit. Karena cewek ini menyimpan rasa sakit itu, sehingga Angga dapat merasakannya.
“Jangan bertindak bodoh!”
Angga mengurai pelukannya. Di tatapnya Anggun dengan tatapan nanar. “Apa yang lo lakuin sekarang aja udah bodoh! Kenapa elo ngelarang gue?” alisnya terangkat satu.
Cewek itu tersenyum manis. Manis seperti madu. Senyum yang mampu membuat hati Angga tenang dan terasa hangat.
***
Dengan kedua tangannya, Anggun membawa dua gelas es jeruk. Di hampirinya Angga yang duduk dipojok kantin. Tapi, dengan satu kecerobohan. Kakinya menyandung sesuatu, hingga akhirnya kedua es itu tumpah.
Anggun tidak terjatuh bahkan dirinya sama sekali tidak lecet. Namun, yang Anggun khawatirkan adalah keadaan orang yang tengah berdiri di hadapannya dengan seragam yang basah akibat tumpahan air es tersebut.
“Ma... af,” ucap Anggun terbata-bata saat di ketahuinya bahwa orang itu adalah Ari!
Ari mengatupkan gerahamnya kuat-kuat. BRAKKK... ia pukul meja kantin dengan tangan kanannya. Matanya menatap Anggun, marah. Seketika Anggun tertegun.
Semua mata kini tertuju pada kedua orang itu. Aktifitas semua murid terhenti seketika. Membuat sebuah keheningan yang mulai merambat di dalam pikiran Anggun, sebelum Ari mengucapkan kata-katanya.
“Kenapa elo selalu bikin gue marah? Ha!?”
Cewek itu terdiam, ia menunduk dalam-dalam. Dalam dirinya sama sekali ia tak berniat untuk melawan. Ia terlalu mencintai cowok yang berada dihadapannya ini. Lalu Anggun menengadah, bukan untuk menatap mata garang Ari. namun, untuk melihat Angga yang berada dipojok kantin. Mata Angga menatap Ari dari belakang, tajam. Cowok itu berdiri dari kursinya, menggepal kedua tangannya.
Dengan matanya, Anggun mentgisyaratkan Angga agar tak berbuat apa-apa. Agar Angga tetap diam, walaupun Ari marah-marah lagi pada dirinya. Karena Anggun sama sekali tak ingin Ari malah tersakiti nantinya.
Angga terdiam, namun masih berdiri di tempat awalnya. Ia tatap Anggun dari kejauhan dengan tatapan tak mengerti. Cewek ini terlalu baik. Terlalu baik sehingga ia malah jatuh sendiri akibat kebaikannya. Angga masih saja tak percaya, cewek itu benar-benar mencintai Ari. Namun Ari sama sekali tak melihatnya. Ari buta akan hal itu.
“Jangan pernah elo berani deket gue!” desis Ari tajam. Lalu meninggalkan Anggun yang kini tertunduk lemas.
Setelah kepergian Ari. Semua kembali normal. Seakan tak pernah ada kejadian yang baru saja terjadi itu. Tubuh Anggun lemas, lalu tubuhnya terhempas disalah satu kursi yang berada di kantin itu.
Angga mendekatinya perlahan. Lalu duduk disebelah Anggun. Di pegangnya pundak cewek yang selama ini menjadi penyemangat hidupnya itu.
“Kenapa lo larang gue?” tanyanya dengan nada yang tak mengerti. “Dia udah keterlaluan. Dia nyakitin elo. Kenapa sih elo malah bertindak bego kayak gini!?”
Kepala Anggun menyender ke bahu Angga. Air matanya mulai menetes turun kepipinya. Membasahi wajahnya yang pucat pasi akibat bentakan Ari.
“Aku sayang dia, Kak. Aku sayang sama dia. Aku nggak bisa bohong sama perasaan aku sendiri. Dia terlalu berharga untuk disakiti. Kalau dia sakit, aku juga.”
Lagi-lagi Angga harus menghela nafas kesabaran yang luar biasa. Ia tak ingin cewek ini tersakiti hanya karena satu orang cowok yang menurutnya sama sekali tak penting itu. Menyayanginya sama saja menyakiti hati cewek ini.
Dengan kedua tangannya, ia rengkuh cewek ini jatuh ke dalam pelukan dalam yang bermakna seribu arti.
***
Ari berjalan bersama teman-temannya disekitar sekolah. Suasananya ramai akibat waktu yang menunjukkan waktu untuk para murid pulang. Bersama teman-temannya, ia tertawa lepas. Berhaha-hihi bersama.
Saat Ari terpisah dengan yang lainnya. Ia berjalan sendiri. Menyusuri trotoar jalan yang lenggang. Dengan rokok yang terselip di mulutnya.
Namun, satu hal yang tak ia sadari. Saat ia hendak menyebrang jalan aspal yang ia kira lenggang itu. Satu buah mobil besar akan melintas disana. Mobil itu melaju dengan cepat. Kekuatan maksimal yang tak mungkin lagi di kurangi dalam waktu singkat.
Dan… BRAKKK… mobil itu menabrak satu orang yang tak bersalah. Tulangnya bersentuhan dengan jalan kasar yang terbuat dari semen itu. Ari terhuyung jatuh. Bukan. Bukan dia yang tertabrak. Namun, cewek yang menyelamatkannya dari maut yang menjemput itu. Cewek itu mendorongnya dan membiarkan tubuhnya yang terhentak jatuh.
Kepala Ari membentur batu yang berada di dekat pinggir jalan. Berdarah. Cukup banyak. Namun tak sebanyak darah yang dikeluarkan cewek itu. Mata Ari terpejam akibat pening yang iba-tiba menyergapnya akibat benturan hebat tadi.
Mata Angga menatap ke ruas jalan tak percaya. Matanya sama sekali tak berkedip. Terus menatap kearah orang yang bersimbah darah. Luka parah. Lebih parah. Cewek itu tergeletak lemah begitu saja disana. Tanpa dosa. Tanpa sama sekali rasa pamrih. Tanpa rasa benci. Namun dengan rasa sayang yang tulus dan sebuah keikhlasan.
Dengan cepat, ia hampiri Anggun. Adik satu-satunya yang ia miliki. Adik yang sudah menjadi dunia untuknya. Adik yang selama ini membantu Angga untuk tersenyum secerah sinar mentari pagi. Kini, senyum itu lenyap. Hilang. Entah kemana. Mungkin pergi bersamanya.
Ia guncang tubuh kecil itu, yang penuh dengan darah segar. Air mata Angga terjatuh. Membasahi bagian tangan Anggun.
“Gue janji! Gue nggak akan bikin lo sedih lagi! Tapi, please. Jangan tinggalin gue,” ucapnya serak. Ia benar-benar tercekat. Dipeluknya manusia yang kini tak lagi mampu bernafas. Dan tak mampu lagi bergerak.
Jika ini memang kelalaian, jika ini memanglah sebuah takdir buruk yang harus diterima semua orang yang kenal dengannya. Jika ini memang jalan terbaik untuk mereka pulang. Jika ini memanglah satu kebaikan untuk masa yang akan datang. Seharusnya, ia melepas semua dengan satu kata. Keikhlasan.
Dari ujung matanya, dapat ia ketahui. Tubuh Ari sedang di gotong menuju rumah sakit.
“Gue janji! Gue nggak akan biarin dia! Dia udah bikin lo harus menyerahkan segalanya! Air mata lo, kesabaran lo, kebaikan lo, kepasrahan lo dan kini… darah lo bahkan nyawa lo!” tegasnya dengan mata yang sudah memerah akibat tangis luar biasa.
Tak lama. Tubuh lemah itu di bawa oleh orang-orang yang ada disekitarnya. Mereka biarkan Angga tetap ditempat. Membiarkan Kakak dari cewek ini menangis dengan segala rasa pedih terpendamnya. Rasa kecewa dan juga amarahnya.
“Gue… bener-bener harus terpaksa bikin cowok lo itu terluka! Karena gue nggak mau elo yang tersiksa sendirian. Kalo perlu… gue bawa dia ketempat lo,”
***
Hilang. Lenyap.
Tak terlihat. Tak bernyawa.
Air mata. Darah.
Luka. Pedih. Perih. Sakit.
Angga memandang kesana. Kearah makam yang telah dihiasi berbagai macam bunga. Disana. Tepat disana. Terletak satu tubuh yang tak bernyawa dengan semua kenangan yang ada. Pemakaman ini mematikan untuk Angga. Matanya melirik kedua orang tuanya yang menampilakn raut wajah kesedihan yang dalam.
Kering. Tak dapat lagi ia menangis. Rasanya belum cukup ia menangis semalaman tadi. Ia butuh air mata lagi. Ia ingin luapkan emosi yang menyesakkan dada dan jiwa itu. Ingin ia bawa Ari kedepan makam ini. Lalu membawanya bersama Anggun. Adiknya. Disana.
Namun, Ari masih luka parah. Dia masih dirawat di rumah sakit yang sama dengan rumah sakit yang menjadi tempat Anggun “pergi”.
Tubuh Angga terjatuh. Lututnya menyentuh tanah merah yang masih basah itu. Dengan kedua tangannya, ia ambil sebagian tanah merah itu, lalu ia cengkram dengan kuat. Sekuat tenaganya. Hingga akhirnya, ia tanah itu berjatuhan dengan kejatuhan yang ia rasakan.
“AAARRRGGGHHH…” teriaknya sesak.

Nyata namun tak dipercaya. Pergi namun terasa ada. Cinta, sayang, suka, rindu, bercampur menjadi satu. Dari seorang Kakak untuk adiknya. Untuk dirinya… untuk Anggun.


You may also like

2 komentar:

  1. Wow, keren banget deh.. Part selanjutnya lebih banyak yaa,,

    BalasHapus
  2. Makasih komentarnya :D tunggu aja part selanjutnya yaaa...

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Ao Haru Ride

Ao Haru Ride

Daftar Blog Saya

Advertisement

Facebook

Instagram