Moments #2: Ego (Manusia Badak)

0 Comments
Ardiyanti Zia


Sudah bertahun-tahun lamanya aku melewatkan masa SMA tanpa Sakura. Dia memang selalu mengirimi kabar melalui e-mail. Tapi siapa sih yang nggak kangen sama cewek ganteng itu? Apalagi dia satu-satunya tempat yang bersedia untuk menjadi tempat sampahku.
Hubunganku dengan si Manusia Badak juga berjalan baik. Berkat Sakura yang menyadarkannya bahwa masa lalu tetaplah masa lalu. Dan seharusnya Atha sadar bahwa akulah yang menjadi masa depannya.
Kedengarannya agak aneh ya? Aku terlalu agresif. Tapi begitulah aku sekarang. Aku cemburu jika ada cewek yang berani mendekati bahkan menggoda Atha. Awas saja... akan kugebok cewek-cewek ganjen itu.
Aku tidak masuk universitas yang sama dengan Atha. Padahal aku berharap dia bersedia satu universitas denganku.
Atha memilih untuk masuk akademi kepolisian sementara aku harus masuk universitas ekonomi terkemuka karena ayahku ngotot aku harus masuk sana. Katanya sih aku nggak pantas jadi polisi wanita, padahal aku pingin banget jadi polisi wanita.
Kata orang-orang, hubungan kami ini LDR, Long Distance Relationship. Tapi kami nggak semenderita orang-orang yang LDR lainnya kok. Kami tetap bertemu diam-diam saat aku libur. Ngomong-ngomong universitasku itu mewajibkan aku untuk berada di asrama selama satu tahun. Makanya aku agak menderita selama dua semester waktu itu. Tapi sekarang aku sudah berada di semester ke enam dan aku cukup berhasil menjalankan LDR.
"Sakura udah take off?"
Aku tersentak dari lamunanku. Aku menoleh dan menggeleng. "Belum sih. Tapi setengah jam lagi dia take off kok."
Atha mendesah panjang sambil melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah dua jam kami berada di sini. Aku yang ngotot supaya datang lebih awal agar bisa menyambut Sakura. Aku nggak begitu yakin kalau nanti aku dan Sakura masih bisa seakrab dulu.
Meskipun selalu mengirim kabarnya lewat e-mail, dia tidak pernah mengungkit-ungkit tentang Badai lagi. Aku tidak tahu kenapa, mungkin dia sudah melupakan Badai. Dia juga jarang mengungkit tentang Davi, cowok yang pergi bersamanya ke Jepang. Hal yang tak pernah dilakukan Sakura sebelumnya.
"Masih lama ya?" desah Atha tak sabaran.
Aku menyikut lengannya pelan. "Jangan gitu dong! Sakura pulang demi kita nih. Sebenernya dia kan nggak mau pulang." Oh tidak! Aku langsung menutup mulutku rapat-rapat. Aku keceplosan.
"Dia nggak mau pulang?" tanya Atha bingung.
"Eng.." Aku tergeragap. "Ya gitu deh..."
"Kenapa?" Kedua alisnya bertaut.
Sial banget. Aku nggak tahu harus menjelaskan seperti apa. Yang jelas Sakura selalu menolak saat kuminta untuk kembali ke Indonesia. Padahal dulu dia bilang akan pulang satu tahun sekali ke Indonesia, tapi karena orang tuanya menyusul ke sana, ia tak punya alasan kuat untuk kembali ke Indonesia.
"Mungkin... Dia belum bisa ngelupain kejadian lalu."
"Fabi!?" desis Atha. "Cowok itu bebas begitu aja. Aku kalo jadi Sakura juga nggak bakalan sudi balik ke Indonesia. Dia udah ngebunuh dua orang dan masih aja bisa berkeliaran bebas."
Aku mendesah panjang.
Entah kenapa Fabi bisa berkeliaran di mana-mana sekarang. Kadang-kadang aku parno sendiri setelah mendengar Fabi sudah bebas berkeliaran ke mana-mana. Sakura tidak tahu sama sekali tentang Fabi karena Fabi baru saja dibebaskan minggu kemarin. Aku tidak memberitahunya karena aku benar-benar ingin bertemu dengan Sakura. Aku nggak rela Sakura membatalkan kepulangannya hanya karena si Fabi kurang asem itu.
“Soal Fabi... kamu... jangan kasih tau Sakura ya?”
Kedua bola mata Atha melebar. “Kamu nggak ngasih tau Sakura kalo Fabi bebas?”
Aku menggeleng pasrah. Mau bagaimana lagi? Aku kan kangen berat dengan Sakura. Aku juga nggak mau acara kangen-kangenanku diganggu hanya karena si Fabi nyebelin itu.
“Kamu egois banget, tau nggak!?”
Sejenak aku merasa jantungku tertohok. Aku tahu aku salah, tapi kenapa Atha malah mengataiku egois? Rasanya sakit banget mendengar dia menyebutkan salah satu kekuranganku. Dari dulu Atha selalu berprilaku baik padaku, nggak pernah marah-marah apalagi sampai mengataiku egois. Makanya aku syok banget saat mendengarnya berkata seperti itu.
“Kok kamu marah sih?”
“Jelas dong!” Suaranya meninggi. “Aku tau kamu kangen sama Sakura. Tapi kalau kamu nipu Sakura dengan cara ini supaya bisa ketemu Sakura, kamu salah!”
Aku rasa sekarang kami berdua menjadi pusat perhatian orang-orang. Ini bandara dan kami berdua bertengkar hanya karena masalah kecil. Tapi aku tetap tidak terima!
“Iya, aku tau aku salah! Aku mau ketemu Ara, tapi nggak ada cara lain! Aku emang egois. PUAS!?” Nafasku terengah-engah akibat emosi yang baru saja kukeluarkan.
Aku tidak peduli dengan puluhan tatapan orang yang memerhatikanku dan Atha bertengkar. Aku sakit hati jika Atha malah menyalahkanku. Atha tidak pernah begitu.
Dan... lima belas menit berlalu dengan keheningan antara aku dan Atha. Kami sama-sama diam dan menolak untuk berbicara. Untungnya Sakura datang saat aku mulai merasa gerah dan ingin berbicara.
“Maaf nunggu lama.” Sakura tersenyum dan aku langsung menghambur ke dalam pelukannya. Aku kangen dia banget.
“Nggak apa-apa.” Aku tersenyum. “Yuk langsung cabut!” Aku menggandeng tangan Sakura dan tak sengaja bertemu tatap dengan Atha. Cowok itu menatapku dengan tatapan datarnya. Sepertinya dia juga masih merasa marah.
***
Selama perjalanan aku dan Atha diam. Dan sepertinya Sakura mengetahui bahwa ada yang aneh antara aku dan Atha karena sedari tadi dia menanyakan hubungan kami tapi kami berdua selalu mengalihkan topik pembicaraan.
Jangan salahkan aku soal ini, ini semua salah si Manusia Badak itu. Salahnya memarahiku dan mengataiku egois. Aku kan tidak suka. Apa-apaan dia.
"Eng... Kalian kenapa sih?"
Sakura membuka pembicaraan lagi. Sepertinya dia gerah melihat atmosfir yabg tercipta antara aku dan Atha.
"Kalian lagi berantem?"
"Enggak kok!" jawab kami bersamaan. Aku dan dia langsung sama-sama melirik. Tatapan kami sama-sama tajam. Seakan kami adalah musuh bebuyutan yang sialnya duduk satu mobil.
Sakura kembali terdiam. Sepertinya dia enggan untuk menanyakan lebih lanjut. Padahal dulu Sakura sering ikut campur urusanku. Bukannya aku nggak suka, aku malah suka banget sama Sakura yang suka ikut campur urusanku. Itu berarti dia peduli padaku. Tapi kali ini Sakura benar-benar berbeda.
***
Setelah mengantar Sakura ke rumah lamanya, aku dan Atha pamit ijin pulang. Sebenarnya sih aku tidak mau pulang bareng sama Atha. Aku kan lagi bete-betean sama dia. Mana mungkin aku tahan duduk sebelahan sama Manusia Badak itu?
Mana gayanya sok keren gitu, lagi. Nggak biasanya Atha jadi pendiam. Biasanya dia cerewet dan juga nggak tahu malu. Apa mungkin pendidikannya di Akademi Polisi membuat kepribadiannya berubah ya?
“Seminggu lagi aku balik.” Atha berkata dengan nada datar.
Aku meliriknya. Wajahnya sama sekali nggak berekspresi dan aku tahu dia juga marah sama sepertiku. Tapi aku lebih marah lagi. Apa-apaan sih dia ngatain aku egois?
Ngomong-ngomong kami sedang liburan akhir tahun. Jadi Atha bisa pulang dan juga bisa bertemu aku.
“Masih marah?” tanyanya kali ini dengan nada lembut.
Aku langsung memasang wajah bete terbaikku. Biarin aja. Biar dia tau rasa karena sudah mengataiku egois. Memangnya aku nggak punya hati?
“Iya deh, aku minta maaf. Tapi kamu tau kan kalau kamu salah. Aku marah supaya kamu tuh nggak bertindak bodoh. Apalagi sampai nipu Sakura.”
“Aku kan udah bilang, aku itu kangen Sakura dan dari dulu, setiap kali aku minta Sakura balik ke Indonesia, Sakura nggak pernah mau. Kalau sampai Sakura tau Fabi bebas begitu aja, dia pasti nggak mau pulang.”
Atha tersenyum. “Iya, aku ngerti. Tapi lebih baik kamu jujur sama Sakura dari pada nanti Sakura marah sama kamu.”
Baiklah. Semua memang salahku. Seharusnya aku jujur dan berujung pada Sakura yang tidak sudi kembali ke Indonesia gara-gara Fabi yang nyebelin itu. Seandainya Fabi bisa lenyap dari dunia ini, mungkin aku lebih senang. Bahkan akan sangat sangat bahagia.
“Besok, kamu bilang sama Sakura yang sebenarnya.”
“Tapi...”
Atha menoleh. “Nggak ada tapi-tapian, atau aku marah sama kamu.”
Uh dasar Manusia Badak. Nyebelin banget sih.
***
“Lepasin!” Aku menjerit tak keruan saat seseorang berjubah hitam mengikatku dengan tali. Sementara ekor mataku mendapati Sakura yang berlumuran darah di kursinya. Matanya tertutup rapat dan bajunya compang-camping.
Rasanya aku ingin menangis sekencang-kencangnya dan menonjoki semua orang yang ada di sana.
Meskipun mereka semua memakai topeng, aku tahu itu mereka. Aku tahu mereka adalah Prisil, Fabi, Rado, Amboi, dan Cessa. Aku tahu itu pasti mereka. Gelang milik Prisil dan Amboi yang kukenali dipakai di pergelangan tangan kedua orang di antara mereka.
Tidak salah lagi. Itu memang mereka.
“Lo apain Sakura!? lo apain!?”
“Salah lo. Kenapa dulu lo bikin Atha nggak kembali pada gue?” Aku mendengar suara Amboi tertawa licik. “Lo kira saat kami masuk penjara, kami nggak bisa keluar?”
“Sialan!” desisku kesal. “Gue nggak pernah bikin Atha nggak kembali sama lo! Dia emang udah nggak suka sama lo!”
“Lagi pula Sakura pantas mendapatkannya.” Kali ini terdengar suara Prisil yang tajam. “Dia memang pantas mati. Dia merebut segalanya yang ada di kehidupan gue. Dia pantas mati!!!”
“ENGGAK! LO YANG PANTAS MATI!!!” Aku berteriak kalap.
Tiba-tiba saja terdengar suara gesekan antara kursi dan lantai. Aku menoleh. Sakura sudah membuka matanya. Dia menatapku tepat di manik mata. Raut wajahnya tak seperti biasanya.
“Zia, tega-teganya lo bohongin gue. Tega-teganya lo bikin gue masuk ke perangkap yang sama. Lo benci gue, hmmm?”
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Aku menangis sekencang-kencangnya. Aku tidak pernah berniat membohonginya. Aku tidak pernah berniat untuk membuat Sakura diculik lagi. Tidak...
“Enggak. Gue nggak begitu. Gue nggak berniat buat lo masuk ke perangkap yang sama.”
“Lo jahat, Zi. Lo jahat. Lo jahat sama gue.” Sakura tersenyum sinis. “Lebih baik gue mati aja dari pada gue harus berteman dengan lo lagi.”
Entah dari mana, Sakura memegang erat pisau tajam di tangan kanannya. Dia mengangkat tinggi-tinggi pisau itu. Aku membelalakkan mataku dan menangis sejadi-jadinya.
“Jangan....” isakku. “Jangan, Ara. Ara jangan, plis... maafin gue...”
“Selamat tinggal, Zia...” Sakura mengarahkan pisaunya ke jantung dan aku mendapati bajunya yang putih lusuh mulai memunculkan noda merah.
Kedua mata Sakura terpejam. Darahnya mengalir terus dan aku merasa bahwa aku akan mati saat itu juga. Karena yang dapat kulakukan hanyalah menatap tubuh Sakura yang melemah di kursi dengan kedua mata membelalak lebar. Aku terkejut bukan main.
“SAKURAAAAAAAA....” Aku berteriak sejadi-jadinya dan menangis sampai dadaku sesak.
Tidak. Ini tidak boleh terjadi. Sakura tidak boleh mati. Sakura tidak boleh mati. SAKURA TIDAK BOLEH MATI.
“Zia?”
Aku membuka kedua mataku yang terpejam rapat. Peluh mengalir di keningku dan aku merasakan hawa dingin di sekitar tubuhku.
Tadi itu mimpi. Iya, kan?
Mataku mengerjap-ngerjap melihat Sakura menatapku bingung. Tanpa sadar, aku langsung merengkuhnya ke dalam pelukanku. Aku takut kehilangannya. Aku takut. Benar-benar takut.
“Hei, elo kenapa?” Sakura melepas rengkuhanku. Dia masih menatapku bingung. “Lo sakit ya? Wajah lo pucet banget.”
“Ra, jangan tinggalin gue ya. Plis, jangan mati.”
Sakura melongo. “Mati?” Ia langsung tertawa terbahak-bahak. “Gue mati? Kenapa gue mati?”
“Gue serius. Lo nggak boleh mati.”
Sakura langsung berhenti tertawa. Tatapannya sendu dan kedua bola mata coklatnya menatapku dengan aneh.
“Kenapa?” tanyanya.
Aku hanya menggelengkan kepalaku. “Pokoknya, apapun yang terjadi, lo nggak boleh mati. Lo nggak boleh mati. Titik!”
Dan akhirnya, aku tetap tak berani menceritakan perihal Fabi sudah bebas dari penjara.
***
Untuk sejenak, aku berusaha melupakan mimpi buruk itu. Hari ini aku harus kelihatan ceria karena hari ini kami akhirnya berkumpul lagi. Setelah sekian tahun lamanya.
Biasanya kami sih suka ngumpul, tapi pasti nggak lengkap. Tidak ada Sakura karena dia di Jepang, tidak ada Atha karena harus mengikuti sekolah di akademi kepolisian dan Badai selalu saja menolak untuk ngumpul. Dia selalu memiliki alasan. Tapi dua tiga kali, dia pernah datang di acara ngumpul bareng sih.
“Akhirnya, sekian tahun lamanya kita bisa kumpul lagi.” Ruth tersenyum lebar.
Meskipun kami sangat berisik, suasana tegang antara Badai dan Sakura sangat terasa. Badai sedari tadi memerhatikan Sakura sementara Sakura malah melengos ke arah lain. Aku jadi aneh sendiri.
"Jangan urusin urusan orang deh." Atha berbisik di telingaku. "Biarin aja mereka begitu."
Aku mendengus. Aku ikut campur kan karena aku peduli. Aku juga peduli terhadap perasaan Sakura.
"Kamu udah bilang soal Fabi sama Sakura?"
Aku tergeragap. Aduh! Kenapa sih Atha ingat saja soal itu?
"Kok diem? Kenapa?" tanyanya pelan agar tak seorangpun mendengar percakapan kami. "Kamu belum bilang ya?" Kedua matanya melotot dan nadanya mengeras.
Otomatis yang lain langsung menoleh ke arah kami. Uh! Sial banget deh.
"Ada apaan sih? Kok kalian bisik-bisik gitu!?" tanya Ruth penasaran.
"Udahlah. Orang pacaran sih beda. Ngomongnya bisik-bisik gitu kan sebenernya modusnya si Atha aja biar deket-deket Zia." Awan seperti biasa bersikap angkuh dan sok.
Atha melotot. "Modus! Modus! Elo tuh modus sama Zia."
"Gue? Kenapa? Nggak suka gue modusin Zia?"
Atha makin naik darah. "Kampret! Tuan Putri tuh milik gue. Selamanya milik gue."
Duh! Aku jadi terharu begini diperebutkan oleh dua cowok.
Sebenarnya gara-gara perkumpulan dulu kami memainkan Truth or Dare dan sialnya rahasia tentang perasaanku pada Awan terkuak begitu saja.
Semenjak itulah Awan jadi care sama aku. Hahahaha karma. Tapi tetap dong hatiku hanya untuk Atha bukan untuk Awan lagi.
"Awan kenapa?" tanya Sakura padaku.
Aku hanya nyengir saja untuk menjawabnya
***
Aku menegakkan tubuhku saat Atha mendekat dan memasangkan seatbeltku. Sesaat aku menahan nafas karena tindakannya itu. Jujur, aku masih deg-degan setiap Atha berada sedekat ini denganku.
Atha menegakkan badannya. Matanya menatap lurus ke depan dan tangannya mulai memasukkan gigi mobil. Tak seperti biasanya.
Dia tidak bicara apa-apa dan tidak berbuat apa-apa selain mengendarai mobil. Aku menatapnya terus dari samping dan dia pasti sadar sudah kuperhatikan sejak tadi. Tapi kenapa dia masih diam saja?
"Kamu kenapa?" tanyaku hati-hati.
"Kamu tau aku kenapa." Dia menjawabnya dengan ketus.
Oh tidak! Dia marah padaku. Apa salahku? Perasaan tadi dia masih baik-baik saja tuh. Masih ceria malah. Tapi kenapa tiba-tiba dia marah padaku? Memangnya apa salahku?
"Kamu marah? Kenapa?" tanyaku masih dengan nada bingung.
"Kamu tau alasannya."
Uh rasanya aku pingin gantung dia di pohon toge deh. Sikapnya tuh nyebelin banget, jawabannya juga nyebelin banget tapi sayangnya dia ngangenin banget.
"Aku nggak ngerti kenapa kamu marah sama aku."
"Aku nggak minta kamu ngerti, cuma kamu tau aja."
Tuh kan nyebelin banget. Kalau aku nggak sayang dia dan kalau aja mukanya Atha itu jelek banget kayak pantat panci, aku pasti langsung marah dan ngamuk-ngamuk. Abis dia songong banget sih.
Setelah itu kami sama-sama terdiam. Dia nggak mau kasih tau alasannya marah padaku dan aku juga malas bertanya lagi. Karena dia pasti nggak akan menjawabnya.
Dasar cowok! Bisanya bikin orang sebel aja.
Sampai di depan gerbang rumahku, Atha menghentikan mobilnya. Dia membiarkanku keluar sendiri dan dia tetap di dalam mobil. Tidak seperti biasanya.
Biasanya dia mengantarku sampai depan rumah. Menyapa mama dan ayahku jika mereka ada di rumah. Atau mengulur-ngulur waktu agar bisa lebih lama denganku.
Aku membanting pintu mobilnya dengan kesal dan setelah mengetahui pintu mobilnya tertutup, dia langsung pergi begitu saja.

Dasar Manusia Badak!!!


You may also like

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Ao Haru Ride

Ao Haru Ride

Daftar Blog Saya

Advertisement

Facebook

Instagram