Moments 16

0 Comments
Gema Athaillah


Rasanya gue mau menonjok muka M alias Fabi sekarang juga. Apa maksudnya berkata seperti itu? Dia menyuruh kami memilih!? Mana mungkin!
Kami datang dan bertindak sejauh ini untuk menyelamatkan keduanya. Mana mungkin kami menyerahkan salah satu dari mereka berdua untuk dikorbankan!? Apa cowok ini benar-benar psikopat?
“Apa-apaan lo? Kita ke sini buat nyelametin Sakura dan Prisil!” Gue berkata ngotot.
Tapi cowok psikopat itu malah tertawa. Seakan-akan apa yang gue katakan barusan adalah hal lucu yang patut ditertawakan.
“Nggak bisa. Kalian pikir kami semudah itu kalian permainkan?”
Gue dan yang lainnya langsung menoleh ke sumber suara.
Gotcha! Ini dia anak buah M yang membuat gue nggak habis fikir. Rado. Ya, dia memang teman satu kelas gue waktu kelas sepuluh.
Sebenarnya permasalahan yang terjadi antara Badai dan Rado tidak rumit. Bahkan cenderung hal biasa. Tapi Rado menyimpan dendam sebegitu hebatnya sampai sekarang.
Dulu, waktu kelas sepuluh, Badai dikenal dengan anak jail. Sakura juga merasakan bagaimana rasanya dijailin sama Badai. Meskipun sering marah-marah, Sakura tidak melampiaskan kemarahannya dalam bentuk dendam. Berbeda dengan Rado yang menyimpannya sebagai dendam.
Waktu itu Badai menempelkan kertas bertuliskan ‘GUE MAHO’ di belakang punggung Rado. Perbuatan Badai membuat Rado malu setengah mati, karena hampir seisi sekolah melihat Rado berjalan dengan kertas tersebut menempel di punggungnya.
Setelah itu Rado mulai tidak menyukai Badai.
Kejadian-kejadian berikutnya sebenarnya tidak sengaja dilakukan Badai. Tapi Rado menganggapnya serius.
Seperti saat Badai tidak sengaja menumpahkan es jeruk ke seragam Rado, tidak sadar telah menginjak-injak lantai yang baru saja dipel oleh Rado, dan menghilangkan flashdisk yang berisi tugas penting.
Badai juga pernah tak sengaja melempar contekan ke arah Rado, padahal tujuannya adalah Reno. Akibatnya, Rado yang mendapatkan ceramah dari guru karena mencontek.
Sebenarnya Badai sudah menggantikan flashdisk yang hilang, meminta maaf karena tidak sengaja menumpahkan es jeruk ke seragam Rado dan meminta maaf karena telah membuat Rado diomeli guru. Tapi Rado tidak menggubrisnya sama sekali.
“A-Amboi...?”
Suara Zia membuat gue menoleh. Zia sedang menatap ke arah kanannya dengan kedua mata membelalak lebar tak percaya. Gue ikut menoleh dan menemukan sosok gadis mungil dengan kedua mata sendu.
Wajah itu tidak asing bagi gue. Gue pernah berhadapan dengan wajah itu. Dengan mata sendu itu. Gue bahkan merasakan dèja vu saat melihat mata sendu itu.
“Mungkin bukan gue yang harus mengatakan siapa pemilik gelang itu. Tapi elo, Tha.”
Tunggu! Kata-kata Badai sebelumnya seharusnya membuat gue terasadar siapa cewek pemilik gelang itu. Tapi siapa dia? Kenapa sekarang kepala gue terasa sangat pusing? Kenapa bayangan hitam di otak gue terus berkelebat dan memukuli kepala gue tanpa ampun!?
BUK.
Gue merasakan tubuh gue meluruh ke lantai. Mata gue berubah buram dan bayang-bayang Zia sedang menyentuh pundak gue menanyakan keadaan gue seakan mulai menghilang.
“Atha... lo nggak apa-apa?”

Hari mulai sore dan gue sebenarnya malas pulang ke rumah. Tapi kalau gue nggak pulang, gue mesti tinggal di sekolah sampai besok pagi. Dan gue nggak mau satpam sekolah menguncikan gue di sekolah.
Koridor sekolah benar-benar sepi saat ini. Gue bukannya takut hantu, tapi gue merasa seperti ada yang mengikuti gue. Perlahan, gue menoleh ke belakang. Berusaha untuk mengetahui siapa yang ada di belakang gue.
“Amboi?” Gue mengernyitkan kening saat melihatnya berjalan di belakang gue.
“Atha...” Dia bergumam lirih. Matanya berkaca-kaca dan raut wajah sedihnya membuat gue merasa sedih. “Apa kita...”
“Enggak.” Gue menggeleng.
“Aku mohon kasih aku satu kesempatan lagi.” Amboi menatap gue memohon.
Sial. Gue nggak akan bisa tahan untuk nggak memeluknya sekarang. Tapi rasa sakit di hati gue lebih dalam dari pada yang dia tahu.
Mata gue melirik cincin perak di jari manisnya. Gue tersenyum miris.
“Cincin kamu bagus. Sepertinya aku nggak perlu memberimu satu kesempatan lagi. Ini sudah berakhir.” Setelah berkata itu dengan nada yang menyakitkan, gue berbalik badan.
Sebisa mungkin gue harus menghindari tatapan sedihnya. Sebisa mungkin gue harus menjauh darinya agar gue nggak memeluknya. Sebisa mungkin, gue harus melupakannya...
“Aku cuma sayang sama kamu!” seru Amboi dengan isakan tangisnya.
Gue berhenti. Gue pejamkan kedua mata gue dan menghembuskan nafas terberat gue. Gue berbalik dan menatapnya tajam.
“LALU KENAPA KAMU HARUS MENGKHIANATI AKU!?” Gue membalasnya dengan berteriak. Gue udah nggak bisa menahan emosi yang ada di hati gue. “KENAPA KAMU BUAT AKU SEPERTI ORANG BODOH YANG SANGAT MENCINTAI KAMU!?”
Amboi menangis kencang. Tubuhnya meluruh dan tertunduk di lantai.
“Aku salah. Aku salah. Aku salah. Aku tau aku salah!” isaknya.
“Lebih baik kita nggak usah ketemu lagi.”
Gue tersenyum miris. Mendekatinya perlahan dan memberikannya sebuah gelang berwarna perak yang sebenarnya ingin gue berikan sebagai hadiah untuknya.
Gue menyentuh tangannya. Tangan yang begitu dingin. Lalu gue memakaikan gelang berwarna perak itu di pergelangan tangan Amboi.
“Sebagai ucapan perpisahan. Besok aku pindah sekolah ke Bandung.”
Setelah mengatakan itu, gue bangkit dan berjalan menjauh. Gue mendengar isakan tangis Amboi semakin mengeras, tapi gue harus mengabaikannya. Gue harus mengabaikannya agar gue bisa bertahan untuk kehidupan baru gue.
Gue berjalan terus semakin menjauh dan tiba-tiba saja gue melihat seseorang di ujung mata gue. Gue berhenti dan melirik. Badai sedang berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Tapi dia hanya menatap gue dengan tatapan datarnya.
Merasa Badai tidak akan mengatakan apa-apa, gue beranjak pergi dari tempat itu.
Gue mengendarai motor hitam gue dengan gila-gilaan. Nggak peduli dengan suara klakson yang terus meneriakkan agar gue berhati-hati.
Setelah itu yang gue sadari adalah gue mengambil jalur yang salah. Sebuah mobil berjalan ke arah yang berlawanan di depan mata gue. Dan gue enggan untuk menghindar meskipun si pemilik mobil sudah menyalakan klakson berkali-kali.
Dan semuanya berubah hitam...

“Atha...”
Gue mengerjap-ngerjapkan kedua mata gue. Berusaha untuk memfokuskan pandangan gue. Seorang cewek mungil mendekat dengan senyum sendunya.
“Atha... maaf...”
“Atha, lo kenal Amboi?” Suara Zia membuat fokus mata gue teralih. Zia menatap dengan tatapan tanyanya. “Atha...?”
“Bagaimana dengan ingatanmu? Apakah sudah kembali?”
Gue melirik tajam M yang tersenyum sinis ke arah gue. Kedua tangannya terlipat di depan dada.
“Dia sepupuku.” M menunjuk Amboi.
Mata kami mebelalak lebar. Sialan. Kenapa begitu banyak kejutan yang dibuat oleh M untuk kami? Mengapa semua ini membuat tali setiap kejadian menjadi berhubungan dengan tali yang lain?
“Jika kalian tidak ingin mereka berdua terluka, kalian hanya bisa memilih satu... di antara Sakura dan Prisil.” M tersenyum miring. “Jadi... siapa yang kalian pilih?”
Gue, Zia dan Badai menoleh. Melihat Sakura dan Prisil dengan perasaan kacau balau. Sakura terus menatap kami seakan ingin menangis sambil menggelengkan kepalanya. Sementara Prisil sudah menangis keras sejak tadi.`````
“Ada tiga syarat yang harus kalian penuhi jika kalian ingin memilih Sakura.” M berkata santai. “Jika kalian memilih Prisil, kalian hanya perlu memenuhi satu syarat.”
“Apa syaratnya?” Gue melihat geraham Badai mengeras menahan emosi.
“Jika kalian memilih Prisil... Atha hanya perlu...” M menggantungkan kalimatnya. Menatap gue dengan senyum sinis di matanya. “Kembali pada Amboi.”
Itu tidak mungkin! Itu tidak akan mungkin gue lakukan.
“Jika kami memilih Sakura!?” Zia bertanya dengan nada emosi.
“Pertama, kalian akan dikeluarkan dari sekolah.” M mendekati Sakura. menarik Sakura untuk berdiri. “Kecuali... Atha.”
“Kenapa gue nggak dikeluarkan?”
M tersenyum licik. “Karena syarat kedua tetap sama. Atha harus kembali menjadi milik Amboi.”
“Kenapa harus Atha!?” seru Zia kesal. “Atha nggak menyukai Amboi. Kenal juga enggak! Kenapa Atha dipaksa untuk menyukai Amboi!?”
M tertawa lebar seperti psikopat. “Ah... Zia, kamu nggak tau bahwa Amboi adalah mantan pacar Atha saat SMP?” M menyeringai saat melihat Zia membelalakkan kedua matanya.
Zia menatap gue dengan tatapan yang terlihat begitu terluka. Gue tertegun. Zia pasti begitu terkejut dengan kenyataan-kenyataan yang bermunculan.
“Syarat ketiga... Prisil akan mati.”
Setelah syarat ketiga diucapkan, kami langsung mengetahui kemungkinan besar orang yang akan kami pilih.
“Cessa, Amboi, kalian bisa pergi dari ruangan ini...” M melirik ke arah Cessa dan Amboi.
Setelah keduanya pergi, Rado menggiring Sakura dan Prisil ke depan mata kami. Tangannya memegang sebilah pisau tajam, yang gue yakin, kalau mengenai kulit pasti akan tersobek dengan mudah.
“Apa... Sakura akan baik-baik saja jika kami memilih Prisil?” tanya Badai.
“BADAI!” Zia berteriak marah. Dia menangis sekarang. “Lo akan mati di tangan gue kalo lo membiarkan Sakura bersama cowok sialan itu!”
“Tentu saja Sakura akan baik-baik saja.” M membelai pipi Sakura sementara Sakura langsung meliriknya dengan sinis. “Karena aku sangat mencintainya...” ucapnya pelan. “Ah... tambahan, jika kalian ingin memilih Sakura, Badai harus sujud di kaki Rado.”
Ini benar-benar tidak adil. Gue menatap M dengan marah. Rasanya gue ingin menonjoknya sekarang. Tapi tidak ada cara lain selain memilih Prisil. Pilihan yang paling aman adalah Prisil.
Gue memegang pundak Zia pelan. “Zi, Prisil...”
Dia langsung menepis tangan gue di pundaknya. Dia menatap sinis. “Jangan sekali-kali lo nyaranin gue untuk milih Prisil!” teriaknya dengan isak tangis. “Gue... nggak akan biarin kalian memilih Prisil!”
“Tapi Zi...”
PLAK...
Dia langsung menampar gue.
“Berhenti mengatakan omong kosong!”
“DIAM DI TEMPAT! LOKASI KALIAN SUDAH KAMI KEPUNG! DUA ORANG ANGGOTA KALIAN SUDAH KAMI TANGKAP. KALIAN TIDAK AKAN BISA KE MANA-MANA.”
Gue tersenyum lega.

“Iya deh. Emang kita mau pergi ke mana sih?”
Gue melihat Ruth langsung tersenyum misterius.
“Ke kantor polisi.” Ruth berkata enteng.
Kami berempat terkejut bukan main.
“Kita nggak bisa melaporkannya tanpa bukti!” ucapku bingung.
Ruth mengangkat ponselnya tinggi-tinggi dan memutar sebuah rekaman. Percakapan Sakura dan M tentang kematian kakak Sakura. Wah... dari mana Ruth bisa mendapatkannya?
“Kita punya dua bukti. Satu bukti percakapan Badai dan Cessa, satu bukti lagi percakapan Sakura dan Fabi. Polisi akan percaya.” Ruth berkata senang.
Kami menatapnya penuh tanda tanya dan Ruth langsung menunjukkan wajahnya yang sok.
“Gue menyelinap masuk ke dalam saat anak buah Fabi berurusan dengan kalian. Yah... anggap aja gue lagi beruntung, gue bisa masuk dan merekam percakapan itu.”
“Kita akan terpisah, bagaimana kalian akan menemukan lokasi Sakura dan Prisil sekarang?” tanya Zia bingung.
Ruth mengangkat bahu. “Kami pasti akan menemukannya. Hanya saja, perjalanan ke sana akan memakan waktu banyak.”
“Kalian berdoa aja, gue dan Ruth datang bersama polisi tepat waktu.”

“Kalian menghubungi polisi!?” M menggeram marah. “Rado!” M menatap Rado memberi tanda.
Rado mengangguk.
Mereka langsung berlari ke ruang bawah tanah.
Kami terkejut dan langsung mengejarnya. Sialan. Kami tidak mengetahui bahwa ada jalan ke ruang bawah tanah.
Sesaat setelah memasuki ruang bawah tanah, kami terkejut bukan main. Sakura berada di tangan M. Cowok sialan itu memegang pisau dan mengarahkannya ke leher Sakura. sementara Rado mengambil alih Prisil yang kini berhenti menangis. Oh-oh, dari mana Rado mendapatkan pistol itu?
“Kalian akan melihat kematian Sakura sekarang juga!” geramnya marah. “Salahkan diri kalian. Mengapa kalian menghubungi polisi dan membuat hal ini semakin sulit!?”
Badai mendekat perlahan. “Bisa kita berbicara baik-baik?” tanyanya pelan. “Ini belum terlambat untuk mengakui kesalahan lo.”
“Jangan mendekat!” larangnya. “Kalian tidak tahu kalau aku bisa membunuh Sakura meskipun aku mencintainya?” Dia tersenyum licik. “Aku saja bisa membunuh kakaknya! Aku bahkan membunuh kakakku sendiri!”
“Kak Fabi...?”
Gue melihat Prisil melepaskan kurungan Rado. Rado hanya menurut saja saat Prisil melakukan itu. Prisil juga melepas ikatan di mulutnya juga di tangannya dengan bantuan Rado.
Dan apa barusan gue nggak salah dengar? Kenapa Prisil memanggil Fabi alias M itu dengan sebutan ‘Kak’?
“Kakak membunuh Kak Ferdi!?”
“Prisil...” Pegangan Fabi pada Sakura mengendur. Dia memerhatikan Prisil dengan raut wajah bersalah. “Nggak. Kakak nggak bunuh Kak Ferdi. Nggak, itu salah. Kamu salah dengar.”
Prisil menatapnya tajam. “KENAPA? KENAPA KAKAK BUNUH KAK FERDI!?” bentaknya. “Apa... karena posisi ketua yayasan?”
Oh-oh... adegan macam apa ini? Prisil adiknya Fabi? Lalu...?
BUK...
Tanpa kami sadari, Badai sudah maju dan menerjang Fabi. Membuat Fabi tersungkur jatuh. Badai langsung menarik Sakura menjauh.
Lalu dengan gerakan cepat, Prisil mengambil pistol dari tangan Rado. Mengarahkannya pada Fabi. Cewek itu menangis.
“Kakak membunuh Kak Ferdi karena posisi yayasan!? Jawab aku!!!” Prisil berteriak. “Aku bisa membunuh Kakak kapan aja!”
Fabi menggeleng-gelengkan kepalanya. “Prisil... Kakak nggak bermaksud seperti itu. Kakak nggak berniat untuk membunuh Kak Ferdi...”
“Bohong!” Prisil menodongkan pistolnya ke arah Fabi.
“Tidak... Kakak hanya ingin... hanya ingin Ara melihat ke arah Kakak. Jika Kakak mempunyai segalanya, dia pasti akan melihat Kakak. Bukan Badai...”
Lalu pistol itu terarah pada kepala Sakura. Gila! Kalau cewek itu tidak dihentikan, maka akan ada korban.
“Lagi-lagi kamu!” Prisil menatap marah ke arah Sakura. “Kamu tidak hanya merebut hati Badai, kamu juga membuat Kakakku membunuh Kak Ferdi!?”
“Prisil... kamu...” Badai mendekati Prisil. Tapi Prisil malah menjauh. “Kamu...”
“Ya... kenapa? Aku bagian dari mereka! Aku tidak diculik dan aku merencanakan ini agar aku tahu apakah kamu benar-benar mencintaiku!” Prisil menatap Badai kesal. “Tapi kamu malah memilih untuk menyelamatkan perempuan menyebalkan itu!”

Oh tidak... jadi... usaha kami untuk menyelamatkan Prisil... sia-sia?




You may also like

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Ao Haru Ride

Ao Haru Ride

Daftar Blog Saya

Advertisement

Facebook

Instagram