Moments #2: Ego (Lost)

0 Comments
Ardiyanti Zia


Jalan sama Awan? Ya. Sekarang aku jalan sama Awan. Sadar nggak sih aku??? Ini Awan loh. Cowok yang pernah kutaksir dan bikin aku nangis kejer gara-gara tau dia sukanya sama Prisil.
Bukannya nggak mungkin aku jalan sama Awan, tapi yah... You know, aku udah punya Atha. Bisa mencak-mencak kalau dia tahu aku jalan sama cowok yang pernah kutaksir.
Tapi masa bodolah. Toh kita emang lagi berantem. Dia duluan sih yang nyulut api. Eh enggak deng.. Aku duluan. Gara-gara aku berpikiran sempit. Tapi serius deh... ini kan nggak semuanya salahku. Ini juga salah pak polisi dan Fabi. Yaaah you know what...
“Zia?”
“Hmmm?” Aku menoleh.
“Lo kenapa?”
“Gue?” Aku mengernyit. “Gue nggak kenapa-kenapa. Emangnya kenapa?”
Awan tersenyum simpul. “Dari tadi lo diem aja. Ada masalah?”
Ada sih. Masalahku sama Atha. Tapi nggak mungkin kan aku cerita-cerita sama Awan soal Atha? Mau ditaruh mana mukaku?
“Nggak ada kok.” Aku ikut tersenyum.
Drrttt.... drrtt...
Sial. Ponselku bunyi lagi. Ini pasti dari Atha.
Dengan malas, kurogoh tas kecil berwarna hijau di pangkuanku dan mengambil ponsel. Kulihat layar di ponselku. Tuh kan benar... dari Atha.
Aku lagi bete berat sama Atha gara-gara waktu terkahir kali dia mengantarkanku pulang, dia malah nyuekin aku. Aku tahu aku salah, makanya sehabis diantar Atha, aku langsung mengiriminya sms dan mengatakan bahwa aku menyesal, tapi tetap tidak bisa memberitahu Sakura soal Fabi. Bukannya dibalas, dia malah nyuekin aku. Makanya aku bete sekarang.
Sekali tekan, ponselku langsung begetar dan muncul gambar robot android berwarna hijau yang unyu banget. Lalu memasukkannya ke dalam tas lagi.
“Kenapa ponselnya dimatiin?”
Ups. Aku ketahuan. Aku nyengir dan melirik Awan dengan perasaan malu. “Eng... lagi nggak mau dihubungin orang aja.”
Awan langsung tertawa geli. “Ooooh.... ceritanya ini beneran kencan ya?” Awan menyeringai. “Akhirnya, kencan dari gue diterima juga.”
Mendengar itu, aku langsung menghela nafas panjang. Salah ngomong deh. Aku juga nggak bisa jujur soal Atha. Yah, biarin aja deh Awan menganggap bahwa ini kencan. Toh, nggak ada salahnya.
***
Setelah nonton film romantis-humor di bioskop, Awan malah menggiringku mengelilingi mall. Aku sih ikut saja, cewek mana yang nggak bersedia diajak mengelilingi mall untuk cuci mata?
Kami berhenti di sebuah toko pernak-pernik aksesoris. Awan menarikku ke deretan gelang. Lalu memilih-milih gelang dengan kening berkerut. Satu menit kemudian dia mengangkat tangannya dan menghela nafas panjang.
“Gue nyerah deh buat milihin gelang cewek. Semuanya bagus.” Awan menatapku. “Lo yang pilih, gue yang bayar.”
“Hah...?” Sesaat aku hanya bisa bengong.
Tapi tangan Awan langsung terulur padaku dan menyuruhku memilih ratusan gelang di depanku.
“Tapi...”
“Kenapa?” Awan menatapku bingung. “Nggak mau gelang? Apa mau kalung?”
“Nggak usah, Wan. Nggak usah dibeliin. Gue lagi nggak pingin beli aksesori kok.”
Raut wajahnya berubah menjadi masam. “Ayo dong!” rajuknya. “Satuuuu aja. Hadiah dari gue.”
“Hadiah?” Alisku menyatu.
“Lo lupa ya kalo sebentar lagi lo ulang tahun?” Awan menatapku lekat.
Sedetik kemudian aku langsung terdiam. Aku benar-benar lupa. Lagian ulang tahunku nanti nggak bakalan spesial gara-gara Atha nggak ada. Mana sekarang kita lagi berantem, mana sempet dia ingat hari ulang tahunku?
“Lo beneran lupa?” Awan menatapku tak percaya, sementara aku hanya bisa nyengir saja.
“Lagian nggak penting-penting amat kok.” Aku berusaha menanggapinya dengan santai. Meskipun di dalam hatiku, aku merasa sakit.
Awan hanya bisa menghembuskan nafas beratnya sambil menggandeng tanganku. Dia mengambil salah satu gelang di sana yang memiliki liontin huruf Z dan ada liontin bintang di sana.
Setelah itu, kami menuju kasir. Awan meminta dibungkus dengan kotak berwarna hijau dengan pita manis di atasnya.
“Jangan anggap ulang tahun lo nggak penting.” Awan berkata dengan nada beratnya. “Lo tau, hari itu adalah hari spesial buat lo. Jadi nggak mungkin hari itu bukanlah hari penting buat lo.”
Aku tertegun. Sorot mata Awan yang pernah kulihat dulu kini kembali lagi. Sorot mata yang kusukai sebelum sorot itu berubah saat mengenal Prisil.
Ya Tuhan... ada apa denganku? Ini tidak benar. Kenapa rasanya Awan begitu sangat baik denganku?
“Ini buat lo. Kado pertama dari gue.” Awan memberikkan kotak yang dibawanya pada gue. Dia tersenyum.
“Kado pertama?” Aku mengernyit.
Jangan bilang kalau Awan berniat untuk memberikan kado berikutnya? Ya ampun! Ini Awan loh. Awan kan temen kamu sekarang, Zi. Jangan macam-macam deh! Kalau Atha tahu...
Kalau Atha tahu? Aku langsung bete berat. Bodo amat deh kalau dia tahu. Salah siapa marah-marah sama aku!
“Kado selanjutnya, tunggu ya...” Awan tersenyum misterius. “Makan yuk! Laper nih.” Lalu tangannya menggenggam tanganku dan menggiringku menuju tempat makan.
Kenapa rasanya aneh ya? Ini rasa... apa bersalah? Atau... yang lainnya?
***
Mataku menangkap sosok yang sedang bersedekap dan menatapku dengan tatapan tajamnya. Tidak diragukan lagi kalau orang itu pasti kesal bahkan marah padaku. Tentu saja.
Dengan malas, aku berjalan menuju gerbang rumahku dan mengabaikan keberadaannya. Masa bodo banget deh. Yang penting sekarang aku mau tidur, karena mataku rasanya berat banget.
Tapi aku merasakan tanganku ditarik olehnya, membuatku terpaksa untuk mengurungkan niatku untuk masuk ke dalam rumah.
“Dari mana?”
Aku mendesah panjang. “Kamu tau aku dari mana. Jadi nggak usah nanya.”
Genggaman tangannya di tangaku menguat. Dia pasti marah besar karena aku bersikap seperti itu.
“Kenapa kamu nggak angkat telfonku?” Suaranya mengeras. “Pake dimatiin segala, lagi!” desisnya kesal. “Seneng jalan sama Awan?”
Mataku menatapnya lekat. Seakan menantangnya. “Kalo aku seneng jalan sama Awan gimana!?” sentakku kesal.
Gerahamnya mengeras. Ia melepas genggamannya padaku dan menatapku dalam. “Kalo kamu lebih seneng sama Awan, kita putus aja.”
DEG.
Pu-putus? Apa dia bilang? Putus? Dia kira segampang itu mengatakan putus?
Aku yakin mataku sudah memerah. Rasanya aku pingin nangis sekarang juga. Tapi aku malu harus nangis di depan Atha. Apalagi gara-gara Atha bilang putus.
“Putus? Kamu kira ini salah siapa?” Aku memiringkan kepalaku.
“Kamu tau kamu salah.” Atha berkata datar.
“Iya, aku emang salah. Tapi kenapa kamu marah? Aku bohong sama Sakura, bukan sama kamu!” ucapku dengan nada gemetar. “Kamu suka sama Sakura?”
Itu adalah pertanyaan sebenarnya dari dalam lubuk hatiku. Aku terus bertanya-tanya perihal kemarahan Atha padaku. Aku memang salah, tapi dia sangat berlebihan. Jadi entah bagaimana, pikiranku langsung tertuju pada pemikiran bahwa Atha sebenarnya menyukai Sakura.
Itu tidak salah. Bahkan tidak mengherankan. Apalagi Sakura adalah teman sekelas Atha dulu. Sedekat apa mereka dulu, mungkin aku nggak tahu. Karena Sakura juga nggak pernah cerita soal Atha.
“Kamu ngomong apa sih!?” Atha mengernyit. “Aku suka Sakura? kamu gila ya?”
“Kalo emang kamu nggak suka sama Sakura, kenapa sih kamu selalu lebih mentingin perasaan dia dari pada perasaanku!?” cecarku frustasi.
“Aku nggak pernah mentingin perasaan siapa pun! Yang aku mau, kamu jujur!”
Sial. Aku malah menangis. Aku benar-benar tak bisa mengendalikan emosiku sekarang.
Kuhapus setiap air yang berlinang di pipiku sambil sesenggukan. Kurasakan sebuah tangan terulur dan mendekapku ke dalam pelukan. Aku kembali menangis.
Aku nggak mau putus. Aku nggak mau putus sama Atha. Aku sayang banget sama Atha. Sayang banget....
“Maafin aku kalau aku terlalu keras sama kamu,” bisiknya di telingaku. “Tapi cukup nyuekin aku aja, tolong jangan kamu kasih perhatianmu itu ke Awan. Aku benci.”
Kedua tanganku langsung melingkari pinggangnya. Aku yakin sekarang kemejanya basah karena air mataku.
“Tapi aku belum siap bilang sama Sakura.”
“Aku tunggu...”
***
Tin... tin...
Ah! Itu klakson mobil Atha.
Hari ini kami dan yang lainnya janjian untuk jalan bareng ke ragunan. Entah mau apa. Yang jelas kami rasa kami perlu menghabiskan sedikit waktu yang kami punya untuk bersama.
Sambil berlari kecil, aku memakai jaket warna hijau lumutku dan tas kecil dari kulit kesukaanku.
Sampai di depan gerbang, kulihat Atha sudah siap dengan kemeja hitam rapinya. Rambutnya yang agak ikal disisir dengan rapi dan sebuah senyum tercetak di wajah manisnya. Uh! Atha ganteng banget sih.
“Hai.” Aku melambaikan tangan.
Atha langsung mencium pipiku seenak jidatnya. Menciptakan semburat merah di kedua pipiku.
“Ih, pake cium-cium, lagi!” desisku keki.
“Tapi suka, kan!?” gerlingnya nakal. “Yuk, pergi. Anak-anak udah kumpul di rumahnya Ruth.”
Aku mengangguk sambil menyambut Atha yang membukakan pintu untukku. Romantis banget sih dia pagi-pagi gini. Jadi pingin mukul, eh pingin meluk maksudnya.
“Sakura?” Kedua alisku menyatu.
“Sakura udah di rumah Ruth.” Atha menjawabnya dengan senyuman.
Baiklah. Rasanya kemarin aku berlebihan. Sampai membawa Sakura ke dalam permasalahanku. Padahal Sakura tak tahu apa-apa. Aku memang sahabat yang kurang baik.
Kami berenam memutuskan untuk memakai mobil Atha untuk pergi jalan-jalan. Entah ide siapa, yang jelas jadinya sih begitu. Meskipun Badai dan yang lainnya juga membawa mobil, tapi mobil mereka terpaksa diparkir di garasi Ruth yang lebar banget.
***
“Gue duduk di tengah bareng Sakura!” ucap Ruth saat kami sedang mendiskusikan tentang tempat duduk. “Anak cowok di belakang aja sana.”
Awan mendengus. “Nggak mau. Di belakang panas!”
“Lo kira mobil gue ini angkot!?” Atha mengomel. “Enak aja bilang mobil gue panas.”
“Maksud gue, kalo di belakang, gue nggak kebagian AC.” Awan menjelaskan dengan bibir mengerucut. “Elo sih enak. Duduk di depan. Bareng Zia, lagi.”
Waduh. Kenapa aku dibawa-bawa? Padahal kan dari tadi aku diam saja. Aku tak berniat mengganggu mereka mendiskusikan tempat duduk. Pokoknya hal yang sudah tertera jelas adalah aku duduk di depan bareng Atha. Titik.
Sakura menguap. “Lama-lama gue duduk di spion juga nih!” gerutunya.
“Ide bagus, Ra!” Aku langsung menjentikkan jari. “Sana gih duduk di spion. Biar Awan sama Ruth di tengah. Badai di belakang sendiri.”
“Duduk di belakang aja, Wan. Nggak usah permasalahin AC deh. Kayak lo bakalan mati aja kalo nggak dapet AC.” Badai berkata santai. Dia malah langsung nyelonong masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi paling belakang.
Dari tadi tingkah Badai memang aneh. Seakan pura-pura nggak peduli dengan yang ada di sekitarnya. Padahal dia jelas-jelas peduli.
“Nggak. Enak aja gue duduk di belakang!” Awan protes.
“Tapi gue nggak mau duduk bareng lo! Gue maunya duduk bareng Sakura!” Gantian Ruth yang protes.
Ruth memang rada-rada sebal dengan Awan saat kejadian lalu. Awan memang sinis banget sih waktu itu. Mana pake belain Prisil segala. Padahal Prisil kan pelaku kejahatan yang sebenarnya.
Setelah berdebat cukup lama dan panjang, akhirnya sebuah keputusan dipilih oleh kami serempak. Meskipun agak-agak aneh, tapi kami harus menerimanya dengan lapang dada.
Awan duduk bersama Atha di bagian depan. Aku dan Ruth di tengah. Tentu saja, Sakura dan Badai akhirnya di belakang.
Bukan apa-apa, sebenarnya tadi aku mau duduk bareng Badai di belakang, tapi si Manusia Badak malah ngomel-ngomel dan berkata aku tidak boleh duduk dengan cowok lain selain dirinya. Otomatis aku hanya punya dua pilihan, duduk bareng Sakura atau bareng Ruth.
Sementara itu, Ruth nggak mau duduk di belakang. Alasannya sama kayak Awan. Yah, meskipun mereka berantem terus, ternyata mereka tipikal yang sama. Takut nggak dapat AC.
Kalau Awan, udah tau sendiri dia nggak mau duduk di belakang dan nggak dapat AC. Ruth juga nggak bersedia duduk bareng dia. Otomatis Atha harus mengalah dengan membiarkan Awan duduk di sampingnya. Meskipun rada lucu, Atha tetap menjaga emosinya agar tidak terlihat cemburu-cemburu banget sama Awan.
Aku melirik ke belakang dengan ujung mataku. Sakura dan Badai sama-sama terdiam. Mereka terlihat canggung. Duh... aku jadi kasian sama Sakura.
"Badai?"
"Ya...?"
"Bisa geser sedikit?"
Lalu kudengar suara Badai menggeser posisinya.
"Badai...?"
"Ya...?"
"Maaf tapi sepatu lo nginjek sepatu gue."
"Ups. Sori."
Hening sebentar sampai aku tak mendengar suara dari belakang. Kufokuskan untuk melihat ke depan. Tapi fokusku hancur seketika saat Sakura mulai berbicara lagi.
"Badai...?"
Aku mendesah panjang. Gerah juga sama kecanggungan yang ada.
"Ra, coba nggak usah panggil-panggil nama Badai seolah lo baru kenal dia...," gerutuku kesal. "Kalo kenapa-kenapa, lo langsung jitak aja kepalanya."
"Hah?" Sakura malah melongo.
"Kamu tuh ya... feminin dikit kek kayak Sakura. Apa-apa langsung nyiksa orang."
Huh.. lagi-lagi si Manusia Badak membahas soal feminin. Baiklah, aku emang petakilan atau pecicilan, nggak ada femininya. Tapi Sakura nggak jauh beda kok sama aku.
Emang sih sifat dan sikap Sakura belakangan ini aneh banget. Yaaah... Sakura agak pendiam dan nggak bawel seperti dulu. Dia malah lebih suka diam di tempat padahal dulu dia nggak bisa berhenti bergerak bahkan dalam tidur.
"Iya deh. Kenapa kamu nggak pacarin Sakura aja?"
Hening seketika.
Aku keceplosan lagi deh. Abis kalau dibanding-bandingin kayak gitu siapa yang nggak risih dan kesel? Aku juga kan punya hati.
"Kalo gitu boleh dong gue pedekate sama lo?" Awan nyeletuk.
Atha langsung menggeram. "Lo berani pedekate sama cewek gue, gue bikin perkedel lo!" ancamnya.
"Kalian ini... udah tau ada cewek cantik nganggur di sini, malah godain yang udah punya pacar." Ruth mengerucutkan bibirnya. Kami menyambutnya dengan ekspresi mau muntah.
"Lagian Ara kan sukanya sama gue."
"Idih pede gila lo!" sembur Ruth pada Badai.
"Bener kok, Ruth." Sakura malah membela Badai. "Tapi dulu."
Lalu kami tertawa terbahak-bahak.
Badai malah terdiam. "Serius?" tanyanya dengan ekspresi serius.
Kami jadi terdiam karena reaksi Badai.
"Serius cuma dulu? Sekarang udah enggak?"
"Hmmm..." Sakura menggumam.
Aku tahu meskipun gumamman itu terdengar sederhana tapi luka yang durasakan Badai pasti besar kan? Ah aku ini ngomong apa. Badai kan sukanya sama Prisil. Tapi... belakangan ini Badai memang lebij perhatian sama Sakura. Apalagi sebelum perpisahan waktu itu. Apa itu cuma perasaanku saja ya?

***
Lucu.
Aku terjebak di keramaian dan terpisah dengan rombongan lain. Sekarang aku malah berduaan dengan Awan.
Sedari tadi Awan menggenggam tanganku. Katanya sih takut aku hilang juga. Padahal kalau aku hilang aku tinggal menghubungi yang lainnya. Nggak mungkin banget deh aku hilang di tengah-tengah perjalanan asik begini.
"Haus nggak?"
Aku hanya mengangguk lemah saat ditanya begitu. Sudah pasti aku haus, pake banget malah. Bayangin aja aku dari tadi mencari rombongan yang lain tapi nggak ketemu juga. Mana matahari sedang terik-teriknya, lagi.
"Eh di situ ada tukang es. Mau?"
"Mau!" jawabku dengan lantang.
Awan tertawa dan menggiringku ke tempat si tukang jualan es berada.
Uh... melihat warna merah dengab tetesan air di sekelilingnya membuatku jadi tambah haus bukan main. Rasanya aku ingin menyomotnya dari tukang es itu. Sayangnya itu punya orang lain. Anak kecil pula. Nggak mungkin kan aku berantem merebutin es itu sama anak kecil???
"Ini Neng esnya."
Saat tukang es itu menyodorkan segelas es aku langsung mengamitnya. Lalu menyedotnya hingga setengah gelas.
Lagi-lagi kudengar Awan tertawa geli melihat kelakuanku.
"Lucu banget sih."
Aku tersipu.
"Lo mau nambah minum lagi?"
Kontan aku menggeleng. Gila aja kalau aku nambah lagi. Bisa-bisa perutku kembung!
"Ya udah kalo gitu. Cari makan yuk!" ajaknya. "Kayaknya kita nggak bakalan ketemu sama anak-anak deh."
Duh... makan berdua sama Awan? Aku sih nggak menolak. Soalnya perutku emang lapar banget. Tapi kalo ketahuan Atha, gimana jadinya?
"Enggak ah. Kita nunggu anak-anak aja dulu."
Kriuk...
Sialan! Perut kurang ajar dan nggak tau diri! Bisa-bisanya di saat kayak gini malah membunyikan diri!? Malu, tau!
"Yakin?" gerling Awan menggodaku. "Kayaknya cacing di perut lo bentar lagi demo tuh."
"Tapi..." Aku menunduk pasrah.
"Elo takut sama Atha?" Awan terkejut. Sepertinya dia bisa membaca isi pikiranku.
"Dia bisa marah kalo..."
"Trus kalo lo nggak makan nanti lo pingsan, gimana!? Trus pingsannya lama banget dan otomatis tubuh lo nggak dapet asupan gizi yang cukup, trus organ tubuh lo berhenti kerja. Trus elo..."
"Awan!" Aku melotot. "Bisa nggak sih nggak bikin statement menakutkan kayak tadi!? Gue juga masih pingin hidup!"
"Makanya makan..."
"Tapi..."
"Aduh. Cium juga nih." Dia berkata keki lalu menarikku ke deretan tukang yang menjual makanan.
"Ketoprak atau gado-gado?" gumam Awan.
Aku melirik deretan tukang jualan di depan mataku. Gila! Ini sih dijamin enak banget deh.
"Gado-gado!" seru kami bersamaan. Kami saling memandang dan tertawa.
"Yuk masuk!" ajaknya. "Atha biar gue yang urusin."
Nggak pernah aku melihat Awan perhatian begini. Iya sih dulu kan perhatiannya cuma buat Prisil, tapi sekarang setelah mengetahui Prisil begitu kejam, pasti dong Awan nggak suka lagi sama Prisil. Lagian kan aku teman dekatnya, Awan harus baik-baik dong denganku.
"Bu es jeruknya dua ya!" seru Awan setelah kami memutuskan apa yang akan kami minum.
Lalu seorang bapak-bapak setengah baya, yang merupakan suami ibu tadi, datang menghampiri kami.
"Duh maaf Mbak, Mas, gado-gadonya tinggal buat satu orang."
Duh... ada aja ya cobaan kayak begini!?
Aku memandang Awan dengan raut wajah bingung. Lalu cowok itu tersenyum padaku.
"Ya udah, nggak apa-apa, Pak. Satu buat Mbak ini..."
"Wan?" Aku menatapnya dengab perasaan tak enak. "Masa kamu nggak makan sih!?"
Dia hanya mengangkat bahunya. "Perempuan itu harus diutamakan. Lagian lo kan lagi laper banget."
Lagi-lagi aku harus tersipu gara-gara perlakuan Awan yang kelewat lembut. Jadi inget sama Atha. Di mana dia sekarang? Kalau dia tau soal ini, marah nggak ya?  


You may also like

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Ao Haru Ride

Ao Haru Ride

Daftar Blog Saya

Advertisement

Facebook

Instagram