Moment #2: Ego (Bad Day)

0 Comments
Gema Athaillah


Gue terpisah. Gue tersesat. Dan gue sendirian. Itu namanya sial pake banget.
Gara-gara ada rombongan ibu-ibu, bapak-bapak beserta anak-anaknya yang tiba-tiba aja mengepung kami. Sialnya pegangan tangan gue pada Zia malah terlepas begitu aja. Gue kehilangan dia di tengah jalan.
Bayangin aja, gue harus keliling Ragunan sendirian. Emangnya gue ke sini mau nyamain muka!? Sama badak loh ya bukan sama monyet. Soalnya spesies gue ya spesies badak. Kalo spesies monyet macamnya kayak gue, cewek-cewek pasti kelepek-kelepek setiap mampir ke Ragunan. Oke, gue mulai ngelantur.
Yang jelas sekarang gue bete berat dan nggak berniat untuk pergi ke mana pun selain duduk di kursi panjang yang disediain di sana.
"Atha?"
Gue mendongak dan mendapati sosok yang gue kenal tersenyum ke arah gue.
"Ngapain di sini sendirian?"
Gue tersenyum membalas sapaannya. "Jalan-jalan dong, Am. Masa iya mau nyamain muka."
Dia tertawa geli. "Boleh aku duduk di sini?" tanyanya.
"Oh boleh... boleh."
Amboi duduk di sebelah gue dengan anggun. Dia memakai gaun berwarna kuning cerah selutut dengan topi pikniknya yang unyu banget. Ah Amboi masih sama seperti dulu. Masih anggun, feminin dan manis.
"Am, kamu sendiri ke sini?"
"Tadi sih bareng sama Prisil. Tapi dia ngilang di tengah jalan."
Prisil? Di sini? Waduh! Gawat banget dong.
"Kenapa nggak nyoba hubungin aja?"
"Udah. Tapi nggak diangkat. Padahal udah aku telfon, sms, whatsApp, bahkan LINE, tetep aja nggak dibales ataupun baca." Dia menyodorkan ponselnya pada gue. "Liat deh."
Gue mengangguk-angguk. Amboi jujur. Lagi pula, Amboi sebenarnya baik kok. Nggak kayak saudara-saudaranya yang freak itu. Yang bikin gue bonyok-bonyok.
"Kamu sendiri di sini?"
"Enggak. Tadi sih bareng sama anak-anak. Tapi tadi aku kepisah gara-gara ada rombongan gitu." Gue bercerita.
Ngomong-ngomong gue dan Amboi masih bicara dengan aku-kamu karena kebiasaan. Dulu waktu kita masih temenan juga ngomongnya aku-kamu. Jadi agak aneh aja kalau tiba-tiba gue ngomong pake gue-elo.
“Zia ada di sini juga?” tanyanya.
Gue mengangguk untuk menjawabnya.
Dia hanya ber-oh ria dan tiba-tiba bangkit dari kursi. “Eng... Atha, aku kayaknya harus nyari Prisil lagi deh. Aku pergi dulu ya.”
Gue jadi ikutan berdiri. “Kenapa nggak cari bareng aja?” tawar gue.
Bukannya modus, tapi emang mending begitu kan? Yah, dari pada gue sendirian di sini kayak kambing conge, mending gue nemenin dia nyari Prisil.
“Nggak usah deh, Tha. Biar aku cari sendiri. Nggak enak kalau Zia liat dan salah paham.”
Ya ampun ni cewek bikin gue gemes. Masih aja mikirin perasaan orang lain? Amboi emang cewek baik deh. Kalau bukan karena saudaranya yang rada sinting, mungkin gue masih mempertimbangkan kembali untuk kembali sama Amboi. Eh, kok gue ngomongnya gitu? Gue kan udah punya Zia.
“Am, Zia nggak bakalan salah paham kok.” Gue menjelaskan. “Lagian aku kan bantuin kamu nyari Prisil. Bukannya kencan sama kamu.”
Amboi terdiam sejenak. “Mmm... iya deh.”
***
Ini bener-bener gila! Ini bukan gue yang gila. Tapi apa yang gue lihat bikin gue gila. Eh... sama aja ya?
“Dasar cewek murahan!” Prisil menjambak rambut Sakura dengan sekali tarik. Sakura meringis. Gue ikutan meringis. Pasti sakit banget tuh.
Sementara itu, di sebelah gue, Amboi menatap dengan mulut menganga. Cewek itu pasti syok banget terhadap perlakuan sepupunya yang kayak narapidana kelaperan. Eh, dia sih emang mantan narapidana.
Badai ke mana lagi? Kenapa cowok itu nggak ada? Ruth? Sial. Geu harus turun tangan.
Dengan langkah panjang, gue berlari ke arah mereka. Mendorong paksa cewek gila bernama Prisil itu dan langsung melindungi Sakura sebelum Prisil melukainya. Sakura berdiri di belakang punggung gue dengan wajah pucatnya. Gue jadi kasihan.
“Apa-apaan sih lo!? Nggak punya malu ya?” sentak gue marah.
“Elo nggak usah ikut campur. Ini urusan gue sama dia!” teriaknya kesal.
Sekumpulan orang mulai berbaris mengelilingi kami. Prisil emang jago banget nyari perhatian orang. Sekarang kita jadi tontonan banyak orang yang lewat sana.
“Gue perlu ikut campur. Dasar cewek gila!”
Masa bodoh deh dengan kenyataan bahwa dia itu cewek dan gue ini cowok. Yang jelas gue nggak bisa membiarkan tu cewek gila melukai Sakura seenak jidatnya. Emangnya Sakura salah apa sama dia?
“Prisil, udah dong. Malu diliatin orang...,” ucap Amboi dengan nada berbisik.
Prisil menepis tangan Amboi yang berusaha memegangnya. Cewek itu menatap tajam sepupunya, lalu menatap gue dengan tatapan yang sama.
“Tu cewek milik gue! Siniin nggak!?” Dia berteriak kalap.
“Gila ya lo!?” Gue mengernyit.
“Dia udah ngambil Badai dari gue!!!” teriaknya. “Dia bikin gue dan kakak gue dipenjara. Dia cewek murahan yang nggak tahu diri!!! Dia pantes mati!” Tiba-tiba Prisil mengambil pisau dari saku jaketnya.
Gila. Cewek ini kayaknya kesurupan jin apa gitu sampai-sampai bawa pisau ke tempat rekreasi kayak gini. Pisau buat ngiris buah sih nggak masalah, lah kalau pisau buat bunuh orang?
“Dia pacar gue sekarang. Jangan pernah salahin dia karna lo putus sama Badai. Itu bukan salah dia. Dia juga nggak ngerebut Badai dari lo. Badai yang nggak mau deket-deket sama lo.”
Ngomong apa gue tadi? Yah, dari pada Sakura kena jambak lagi.
“Dia pacar lo?” desis Prisil.
Ia maju mendekati gue. Otomatis gue mundur selangkah. Gila. Serem juga ya tu cewek.
“Tolong, jagain pacar lo biar nggak keganjenan lagi sama cowok orang!”
“Prisil?”
Kami menoleh bersamaan ke sumber suara. Badai. Akhirnya tu cowok muncul juga. Gue hampir kena serangan jantung gara-gara muka psiko-nya Prisil sambil bawa-bawa pisau begitu.
“Badai?” Prisil tergeragap. Ia langsung menyembunyikan pisau itu di punggungnya. “Badai...”
“Atha benar. Ara pacarnya. Ara juga bukan alasan gue buat ninggalin lo.” Badai menjelaskan tanpa diminta. Raut wajah cowok itu kelihatan murung. Ah... sejak di mobil tadi wajahnya emang begitu.
“Badai.... tapi Sakura...”
“Ara nggak salah apa-apa. Tolong jangan salahin dia.” Badai memotong ucapan Prisil. “Gue sama dia... cuma temen.”
***
Gara-gara ngaku jadi pacarnya Sakura, sekarang gue harus berakting di depan Prisil sebagai pacarnya Sakura. Tu cewek gila nggak mau pergi sebelum bener-bener yakin kalau gue ini pacarnya Sakura.
Gue juga jadi nggak enak sama Badai. Mukanya yang udah murung tambah murung lagi. Kayak ada badai di hatinya. Udah cocok banget tuh nama dia sama suasana hatinya.
Dan yang gue bisa lakukan sekarang adalah mengelus-ngelus puncak kepala Sakura dengan pelan, supaya cewek itu segera tersadar dari syoknya. Mukanya masih pucat banget dan dia nggak berani untuk mengangkat wajahnya.
Kalau gue tanya, dia cuma bisa ngangguk sama menggelengkan kepalanya. Gue jadi kasian. Ketemu sama Prisil aja kejadiannya udah begini, gimana nanti kalau dia ketemu sama Fabi? Eh... gila. Mana Sakura nggak tahu keberadaan Fabi yang sudah bebas, lagi. Gawat deh.
“Ra, mau minum lagi?”
Sakura menggeleng.
Tuh kan. Trus sekarang gue harus akting apa lagi nih kalau Sakuranya aja kayak begitu? Kalau begini, Prisil juga nggak akan pergi-pergi sebelum yakin gue sama Sakura beneran pacaran.
“Athaaaaaa....”
Ah. Suara Zia. Dan seketika sebuah tangan merangkul gue dengan mesra. Waduh, waktunya nggak tepat banget sih.
“Eh, Zia...” Gue menyapa balik dengan raut wajah kaku. Perlahan, tangan gue menurunkan tangannya dari pundak gue.
Reaksi Zia? Jelas dia terkejut. Dia bingung. Dan kayaknya dia bakalan marah besar sama gue. Tapi ini taruhannya rambut Sakura bakalan dijambak lagi loh. Bahkan mungkin tubuhnya Sakura bakalan ditusuk-tusuk. Zia juga nggak bakalan mau kalau Sakura digituin, kan!?
“Sil, sampe kapan mau di sini?” tanya Amboi dengan nada pelan.
Saat itu juga Zia baru menyadari kehadiran Amboi dan Prisil di sana. Kedua matanya terkejut.
“Prisil?”
Gue mendengar Awan menyebutkan nama prisil dengan kaku. Di sebelahnya muncul Ruth yang sedang minum es kelapa.
“Sampe gue yakin.” Katanya tegas.
Badai menunduk pasrah. Lalu dia melirik gue, memberikan tanda supaya gue menyelesaikan ini semua dengan cepat. Lah kenapa gue? Gue kan niat bantuin doang. Ini terjadi kan gara-gara si Badai juga.
“Ra, balik yuk ke mobil. Kamu istirahat di sana biar enakan. Di sini kan panas,” ucap gue sambil mengelus-elus rambut Sakura dengan sayang. Lalu setelah melihatnya mengangguk, gue membantunya berjalan sampai parkiran.
Tuhan. Sekarang Zia pasti cemburu banget. Meskipun Sakura adalah sahabatnya, Zia paling nggak suka ngeliat gue deket sama cewek lain, apalagi sampai perhatian kayak begini. Trus gue harus gimana dong?
***
Keadaan di dalam mobil sunyi kayak di kuburan. Bahkan kayaknya kuburan lebih menyenangkan dari pada suasana mobil ini. Badai diam. Zia diam. Sakura diam. Awan diam. Dan gue juga diam. Satu-satunya manusia yang nggak kena masalah hari ini ya cuma Ruth. Dia sih enak, nyanyi-nyanyi sambil makan keripik. Lah gue?
Gue menghembuskan nafas aja kayaknya udah berisik banget. Apalagi ikut makan keripik bareng sama Ruth? Lagian itu nggak mungkin sih. Kan gue nyetir nih. Udah gitu keripiknya ada di Ruth yang duduk di belakang. Tangan gue mana nyampe ke belakang buat ngambil keripik.
Mana pake macet segala, lagi. Kan tambah lama nyampenya.
Awan sibuk dengan lamunannya dan tangannya yang bergerak mengganti channel radio di mobil. Gue menengok ke belakang. Ruth dan Zia juga ketiduran. Tapi yang di belakang luar biasa sekali. Mata gue sampe membulat seperti bakso. Enak banget itu Badai. Si Sakura tidur juga, tapi tidur di pundaknya Badai. Udah gitu tangan si Badai pake ngelus-ngelus rambut Sakura, lagi.
Badai sendiri nggak sadar gue liatin. Soalnya dia lagi ngeliat ke luar jendela dengan pandangan kosong.
Di luar memang rintik-rintik tanda mau hujan. Jadi posisi paling enak adalah Badai. Dan posisi paling nggak enak adalah gue. Udah disuruh nyetir, dicuekin Zia, kelaperan nggak dapet makan, dan malah duduk sebelahan sama monster nyebelin kayak si Awan.
Duh... nasib... nasib...
***
Setelah sampai di rumah Ruth, semuanya turun. Kecuali gue, Zia dan Sakura. Tadinya Badai niat nganterin Sakura pulang, tapi kondisi kayak begini, mana mungkin Sakura mau. Awan rumahnya nggak searah sama Sakura. Jadi gue adalah satu-satunya orang yang bisa nganterin Sakura pulang.
Setelah Sakura turun dan mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya pada gue, suasana mobil kayak di kuburan lagi.
Setiap kali gue ajak ngobrol, Zia cuma bisa menggumam atau nggak ngangguk doang. Gue yakin seratus persen kalau dia lagi marah sama gue. Mukanya udah bete berat dan berada di dalam satu mobil yang sama dengan gue bikin dia tambah bete lagi.
“Zi...”
“Hmmm?”
“Kamu marah?”
“Enggak.”
“Trus kok diem aja sih?” tanya gue dengan kening mengerut.
“Hmmm...”
Gila. Nggak niat banget jawabnya. Gini ya cewek, kalau ditanyain kenapa malah nggak jawab. Kalau nggak ditanyain makin ngambek. Pingin bunuh diri rasanya kalau begini.
“Zi...”
“Hmmm?”
“Kamu nggak jawab pertanyaan aku. Kenapa kamu diem aja?”
“Nggak kenapa-kenapa.”
“Beneran? Muka kamu udah kusut banget kayak jemuran belom digosok.”
“Hmmm...”
Kampret. Diem aja deh gue. Ngomong lagi juga salah.
Sampai di depan rumah Zia, dia langsung turun begitu aja. Kalau masih baikan sih ya cipika-cipiki dulu lah ya. Kalau sekarang? Jangankan cipika-cipiki, senyum aja nggak dikasih. Mana pintunya dibanting, lagi.

Nasib hari ini sial banget kayaknya.


You may also like

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Ao Haru Ride

Ao Haru Ride

Daftar Blog Saya

Advertisement

Facebook

Instagram