Gema Athaillah
Rasanya
gue mau menonjok muka M alias Fabi sekarang juga. Apa maksudnya berkata seperti
itu? Dia menyuruh kami memilih!? Mana mungkin!
Kami
datang dan bertindak sejauh ini untuk menyelamatkan keduanya. Mana mungkin kami
menyerahkan salah satu dari mereka berdua untuk dikorbankan!? Apa cowok ini
benar-benar psikopat?
“Apa-apaan
lo? Kita ke sini buat nyelametin Sakura dan Prisil!” Gue berkata ngotot.
Tapi
cowok psikopat itu malah tertawa. Seakan-akan apa yang gue katakan barusan
adalah hal lucu yang patut ditertawakan.
“Nggak
bisa. Kalian pikir kami semudah itu kalian permainkan?”
Gue
dan yang lainnya langsung menoleh ke sumber suara.
Gotcha! Ini
dia anak buah M yang membuat gue nggak habis fikir. Rado. Ya, dia memang teman
satu kelas gue waktu kelas sepuluh.
Sebenarnya
permasalahan yang terjadi antara Badai dan Rado tidak rumit. Bahkan cenderung
hal biasa. Tapi Rado menyimpan dendam sebegitu hebatnya sampai sekarang.
Dulu,
waktu kelas sepuluh, Badai dikenal dengan anak jail. Sakura juga merasakan
bagaimana rasanya dijailin sama Badai. Meskipun sering marah-marah, Sakura
tidak melampiaskan kemarahannya dalam bentuk dendam. Berbeda dengan Rado yang
menyimpannya sebagai dendam.
Waktu
itu Badai menempelkan kertas bertuliskan ‘GUE MAHO’ di belakang punggung Rado.
Perbuatan Badai membuat Rado malu setengah mati, karena hampir seisi sekolah
melihat Rado berjalan dengan kertas tersebut menempel di punggungnya.
Setelah
itu Rado mulai tidak menyukai Badai.
Kejadian-kejadian
berikutnya sebenarnya tidak sengaja dilakukan Badai. Tapi Rado menganggapnya
serius.
Seperti
saat Badai tidak sengaja menumpahkan es jeruk ke seragam Rado, tidak sadar
telah menginjak-injak lantai yang baru saja dipel oleh Rado, dan menghilangkan flashdisk yang berisi tugas penting.
Badai
juga pernah tak sengaja melempar contekan ke arah Rado, padahal tujuannya
adalah Reno. Akibatnya, Rado yang mendapatkan ceramah dari guru karena
mencontek.
Sebenarnya
Badai sudah menggantikan flashdisk yang
hilang, meminta maaf karena tidak sengaja menumpahkan es jeruk ke seragam Rado
dan meminta maaf karena telah membuat Rado diomeli guru. Tapi Rado tidak
menggubrisnya sama sekali.
“A-Amboi...?”
Suara
Zia membuat gue menoleh. Zia sedang menatap ke arah kanannya dengan kedua mata
membelalak lebar tak percaya. Gue ikut menoleh dan menemukan sosok gadis mungil
dengan kedua mata sendu.
Wajah
itu tidak asing bagi gue. Gue pernah berhadapan dengan wajah itu. Dengan mata
sendu itu. Gue bahkan merasakan dèja vu saat
melihat mata sendu itu.
“Mungkin bukan gue yang
harus mengatakan siapa pemilik gelang itu. Tapi elo, Tha.”
Tunggu!
Kata-kata Badai sebelumnya seharusnya membuat gue terasadar siapa cewek pemilik
gelang itu. Tapi siapa dia? Kenapa sekarang kepala gue terasa sangat pusing?
Kenapa bayangan hitam di otak gue terus berkelebat dan memukuli kepala gue
tanpa ampun!?
BUK.
Gue
merasakan tubuh gue meluruh ke lantai. Mata gue berubah buram dan bayang-bayang
Zia sedang menyentuh pundak gue menanyakan keadaan gue seakan mulai menghilang.
“Atha...
lo nggak apa-apa?”
Hari mulai sore dan gue
sebenarnya malas pulang ke rumah. Tapi kalau gue nggak pulang, gue mesti
tinggal di sekolah sampai besok pagi. Dan gue nggak mau satpam sekolah
menguncikan gue di sekolah.
Koridor sekolah
benar-benar sepi saat ini. Gue bukannya takut hantu, tapi gue merasa seperti
ada yang mengikuti gue. Perlahan, gue menoleh ke belakang. Berusaha untuk
mengetahui siapa yang ada di belakang gue.
“Amboi?” Gue
mengernyitkan kening saat melihatnya berjalan di belakang gue.
“Atha...” Dia bergumam
lirih. Matanya berkaca-kaca dan raut wajah sedihnya membuat gue merasa sedih.
“Apa kita...”
“Enggak.” Gue
menggeleng.
“Aku mohon kasih aku
satu kesempatan lagi.” Amboi menatap gue memohon.
Sial. Gue nggak akan
bisa tahan untuk nggak memeluknya sekarang. Tapi rasa sakit di hati gue lebih
dalam dari pada yang dia tahu.
Mata gue melirik cincin
perak di jari manisnya. Gue tersenyum miris.
“Cincin kamu bagus. Sepertinya
aku nggak perlu memberimu satu kesempatan lagi. Ini sudah berakhir.” Setelah
berkata itu dengan nada yang menyakitkan, gue berbalik badan.
Sebisa mungkin gue
harus menghindari tatapan sedihnya. Sebisa mungkin gue harus menjauh darinya
agar gue nggak memeluknya. Sebisa mungkin, gue harus melupakannya...
“Aku cuma sayang sama
kamu!” seru Amboi dengan isakan tangisnya.
Gue berhenti. Gue
pejamkan kedua mata gue dan menghembuskan nafas terberat gue. Gue berbalik dan
menatapnya tajam.
“LALU KENAPA KAMU HARUS
MENGKHIANATI AKU!?” Gue membalasnya dengan berteriak. Gue udah nggak bisa
menahan emosi yang ada di hati gue. “KENAPA KAMU BUAT AKU SEPERTI ORANG BODOH
YANG SANGAT MENCINTAI KAMU!?”
Amboi menangis kencang.
Tubuhnya meluruh dan tertunduk di lantai.
“Aku salah. Aku salah.
Aku salah. Aku tau aku salah!” isaknya.
“Lebih baik kita nggak
usah ketemu lagi.”
Gue tersenyum miris. Mendekatinya
perlahan dan memberikannya sebuah gelang berwarna perak yang sebenarnya ingin
gue berikan sebagai hadiah untuknya.
Gue menyentuh
tangannya. Tangan yang begitu dingin. Lalu gue memakaikan gelang berwarna perak
itu di pergelangan tangan Amboi.
“Sebagai ucapan
perpisahan. Besok aku pindah sekolah ke Bandung.”
Setelah mengatakan itu,
gue bangkit dan berjalan menjauh. Gue mendengar isakan tangis Amboi semakin
mengeras, tapi gue harus mengabaikannya. Gue harus mengabaikannya agar gue bisa
bertahan untuk kehidupan baru gue.
Gue berjalan terus
semakin menjauh dan tiba-tiba saja gue melihat seseorang di ujung mata gue. Gue
berhenti dan melirik. Badai sedang berdiri dengan kedua tangan terlipat di
depan dada. Tapi dia hanya menatap gue dengan tatapan datarnya.
Merasa Badai tidak akan
mengatakan apa-apa, gue beranjak pergi dari tempat itu.
Gue mengendarai motor
hitam gue dengan gila-gilaan. Nggak peduli dengan suara klakson yang terus
meneriakkan agar gue berhati-hati.
Setelah itu yang gue
sadari adalah gue mengambil jalur yang salah. Sebuah mobil berjalan ke arah
yang berlawanan di depan mata gue. Dan gue enggan untuk menghindar meskipun si
pemilik mobil sudah menyalakan klakson berkali-kali.
Dan semuanya berubah
hitam...
“Atha...”
Gue
mengerjap-ngerjapkan kedua mata gue. Berusaha untuk memfokuskan pandangan gue.
Seorang cewek mungil mendekat dengan senyum sendunya.
“Atha...
maaf...”
“Atha,
lo kenal Amboi?” Suara Zia membuat fokus mata gue teralih. Zia menatap dengan
tatapan tanyanya. “Atha...?”
“Bagaimana
dengan ingatanmu? Apakah sudah kembali?”
Gue
melirik tajam M yang tersenyum sinis ke arah gue. Kedua tangannya terlipat di
depan dada.
“Dia
sepupuku.” M menunjuk Amboi.
Mata
kami mebelalak lebar. Sialan. Kenapa begitu banyak kejutan yang dibuat oleh M
untuk kami? Mengapa semua ini membuat tali setiap kejadian menjadi berhubungan
dengan tali yang lain?
“Jika
kalian tidak ingin mereka berdua terluka, kalian hanya bisa memilih satu... di
antara Sakura dan Prisil.” M tersenyum miring. “Jadi... siapa yang kalian
pilih?”
Gue,
Zia dan Badai menoleh. Melihat Sakura dan Prisil dengan perasaan kacau balau.
Sakura terus menatap kami seakan ingin menangis sambil menggelengkan kepalanya.
Sementara Prisil sudah menangis keras sejak tadi.`````
“Ada
tiga syarat yang harus kalian penuhi jika kalian ingin memilih Sakura.” M
berkata santai. “Jika kalian memilih Prisil, kalian hanya perlu memenuhi satu
syarat.”
“Apa
syaratnya?” Gue melihat geraham Badai mengeras menahan emosi.
“Jika
kalian memilih Prisil... Atha hanya perlu...” M menggantungkan kalimatnya.
Menatap gue dengan senyum sinis di matanya. “Kembali pada Amboi.”
Itu
tidak mungkin! Itu tidak akan mungkin gue lakukan.
“Jika
kami memilih Sakura!?” Zia bertanya dengan nada emosi.
“Pertama,
kalian akan dikeluarkan dari sekolah.” M mendekati Sakura. menarik Sakura untuk
berdiri. “Kecuali... Atha.”
“Kenapa
gue nggak dikeluarkan?”
M
tersenyum licik. “Karena syarat kedua tetap sama. Atha harus kembali menjadi
milik Amboi.”
“Kenapa
harus Atha!?” seru Zia kesal. “Atha nggak menyukai Amboi. Kenal juga enggak!
Kenapa Atha dipaksa untuk menyukai Amboi!?”
M
tertawa lebar seperti psikopat. “Ah... Zia, kamu nggak tau bahwa Amboi adalah
mantan pacar Atha saat SMP?” M menyeringai saat melihat Zia membelalakkan kedua
matanya.
Zia
menatap gue dengan tatapan yang terlihat begitu terluka. Gue tertegun. Zia
pasti begitu terkejut dengan kenyataan-kenyataan yang bermunculan.
“Syarat
ketiga... Prisil akan mati.”
Setelah
syarat ketiga diucapkan, kami langsung mengetahui kemungkinan besar orang yang
akan kami pilih.
“Cessa,
Amboi, kalian bisa pergi dari ruangan ini...” M melirik ke arah Cessa dan
Amboi.
Setelah
keduanya pergi, Rado menggiring Sakura dan Prisil ke depan mata kami. Tangannya
memegang sebilah pisau tajam, yang gue yakin, kalau mengenai kulit pasti akan
tersobek dengan mudah.
“Apa...
Sakura akan baik-baik saja jika kami memilih Prisil?” tanya Badai.
“BADAI!”
Zia berteriak marah. Dia menangis sekarang. “Lo akan mati di tangan gue kalo lo
membiarkan Sakura bersama cowok sialan itu!”
“Tentu
saja Sakura akan baik-baik saja.” M membelai pipi Sakura sementara Sakura
langsung meliriknya dengan sinis. “Karena aku sangat mencintainya...” ucapnya
pelan. “Ah... tambahan, jika kalian ingin memilih Sakura, Badai harus sujud di
kaki Rado.”
Ini
benar-benar tidak adil. Gue menatap M dengan marah. Rasanya gue ingin
menonjoknya sekarang. Tapi tidak ada cara lain selain memilih Prisil. Pilihan
yang paling aman adalah Prisil.
Gue
memegang pundak Zia pelan. “Zi, Prisil...”
Dia
langsung menepis tangan gue di pundaknya. Dia menatap sinis. “Jangan
sekali-kali lo nyaranin gue untuk milih Prisil!” teriaknya dengan isak tangis.
“Gue... nggak akan biarin kalian memilih Prisil!”
“Tapi
Zi...”
PLAK...
Dia
langsung menampar gue.
“Berhenti
mengatakan omong kosong!”
“DIAM
DI TEMPAT! LOKASI KALIAN SUDAH KAMI KEPUNG! DUA ORANG ANGGOTA KALIAN SUDAH KAMI
TANGKAP. KALIAN TIDAK AKAN BISA KE MANA-MANA.”
Gue
tersenyum lega.
“Iya deh. Emang kita
mau pergi ke mana sih?”
Gue melihat Ruth
langsung tersenyum misterius.
“Ke kantor polisi.”
Ruth berkata enteng.
Kami berempat terkejut
bukan main.
“Kita nggak bisa
melaporkannya tanpa bukti!” ucapku bingung.
Ruth mengangkat
ponselnya tinggi-tinggi dan memutar sebuah rekaman. Percakapan Sakura dan M
tentang kematian kakak Sakura. Wah... dari mana Ruth bisa mendapatkannya?
“Kita punya dua bukti.
Satu bukti percakapan Badai dan Cessa, satu bukti lagi percakapan Sakura dan
Fabi. Polisi akan percaya.” Ruth berkata senang.
Kami menatapnya penuh
tanda tanya dan Ruth langsung menunjukkan wajahnya yang sok.
“Gue menyelinap masuk
ke dalam saat anak buah Fabi berurusan dengan kalian. Yah... anggap aja gue
lagi beruntung, gue bisa masuk dan merekam percakapan itu.”
“Kita akan terpisah,
bagaimana kalian akan menemukan lokasi Sakura dan Prisil sekarang?” tanya Zia
bingung.
Ruth mengangkat bahu.
“Kami pasti akan menemukannya. Hanya saja, perjalanan ke sana akan memakan
waktu banyak.”
“Kalian berdoa aja, gue
dan Ruth datang bersama polisi tepat waktu.”
“Kalian
menghubungi polisi!?” M menggeram marah. “Rado!” M menatap Rado memberi tanda.
Rado
mengangguk.
Mereka
langsung berlari ke ruang bawah tanah.
Kami
terkejut dan langsung mengejarnya. Sialan. Kami tidak mengetahui bahwa ada
jalan ke ruang bawah tanah.
Sesaat
setelah memasuki ruang bawah tanah, kami terkejut bukan main. Sakura berada di
tangan M. Cowok sialan itu memegang pisau dan mengarahkannya ke leher Sakura.
sementara Rado mengambil alih Prisil yang kini berhenti menangis. Oh-oh, dari
mana Rado mendapatkan pistol itu?
“Kalian
akan melihat kematian Sakura sekarang juga!” geramnya marah. “Salahkan diri
kalian. Mengapa kalian menghubungi polisi dan membuat hal ini semakin sulit!?”
Badai
mendekat perlahan. “Bisa kita berbicara baik-baik?” tanyanya pelan. “Ini belum
terlambat untuk mengakui kesalahan lo.”
“Jangan
mendekat!” larangnya. “Kalian tidak tahu kalau aku bisa membunuh Sakura
meskipun aku mencintainya?” Dia tersenyum licik. “Aku saja bisa membunuh
kakaknya! Aku bahkan membunuh kakakku sendiri!”
“Kak
Fabi...?”
Gue
melihat Prisil melepaskan kurungan Rado. Rado hanya menurut saja saat Prisil
melakukan itu. Prisil juga melepas ikatan di mulutnya juga di tangannya dengan
bantuan Rado.
Dan
apa barusan gue nggak salah dengar? Kenapa Prisil memanggil Fabi alias M itu
dengan sebutan ‘Kak’?
“Kakak
membunuh Kak Ferdi!?”
“Prisil...”
Pegangan Fabi pada Sakura mengendur. Dia memerhatikan Prisil dengan raut wajah
bersalah. “Nggak. Kakak nggak bunuh Kak Ferdi. Nggak, itu salah. Kamu salah
dengar.”
Prisil
menatapnya tajam. “KENAPA? KENAPA KAKAK BUNUH KAK FERDI!?” bentaknya. “Apa...
karena posisi ketua yayasan?”
Oh-oh...
adegan macam apa ini? Prisil adiknya Fabi? Lalu...?
BUK...
Tanpa
kami sadari, Badai sudah maju dan menerjang Fabi. Membuat Fabi tersungkur
jatuh. Badai langsung menarik Sakura menjauh.
Lalu
dengan gerakan cepat, Prisil mengambil pistol dari tangan Rado. Mengarahkannya
pada Fabi. Cewek itu menangis.
“Kakak
membunuh Kak Ferdi karena posisi yayasan!? Jawab aku!!!” Prisil berteriak. “Aku
bisa membunuh Kakak kapan aja!”
Fabi
menggeleng-gelengkan kepalanya. “Prisil... Kakak nggak bermaksud seperti itu.
Kakak nggak berniat untuk membunuh Kak Ferdi...”
“Bohong!”
Prisil menodongkan pistolnya ke arah Fabi.
“Tidak...
Kakak hanya ingin... hanya ingin Ara melihat ke arah Kakak. Jika Kakak
mempunyai segalanya, dia pasti akan melihat Kakak. Bukan Badai...”
Lalu
pistol itu terarah pada kepala Sakura. Gila! Kalau cewek itu tidak dihentikan,
maka akan ada korban.
“Lagi-lagi
kamu!” Prisil menatap marah ke arah Sakura. “Kamu tidak hanya merebut hati
Badai, kamu juga membuat Kakakku membunuh Kak Ferdi!?”
“Prisil...
kamu...” Badai mendekati Prisil. Tapi Prisil malah menjauh. “Kamu...”
“Ya...
kenapa? Aku bagian dari mereka! Aku tidak diculik dan aku merencanakan ini agar
aku tahu apakah kamu benar-benar mencintaiku!” Prisil menatap Badai kesal.
“Tapi kamu malah memilih untuk menyelamatkan perempuan menyebalkan itu!”
Oh
tidak... jadi... usaha kami untuk menyelamatkan Prisil... sia-sia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar