Holaaa... part yang ini kayaknya agak-agak gimana gitu ya, soalnya part ini tentang past in painful. Jadi part inilah alasan kenapa Angga bisa benci sama Ari *versi gue kekekek* Oke, happy reading,, guys.
Sudah lama cewek itu mengagumi kakak kelasnya yang
mempunyai kemisteriusan tingkat tinggi. Cewek itu suka setiap gerakan yang
dilakukan kakak kelasnya itu. Dia suka caranya berbicara, menghibur
teman-temannya dan tertawa. Dia sangat suka semua hal yang ada pada diri cowok
itu. Namun tak ada sedikitpun keberanian untuk mendekati kakak kelasnya itu.
Sayangnya, ia tak mengetahui nama cowok itu. Dia hanya sering mendengar cowok
itu bernama Ari.
Cewek yang bernama Anggun itu tersenyum puas saat
mendapati kakak kelasnya itu masuk sekolah. Karena biasanya kakak kelasnya itu
paling males yang namanya masuk sekolah. Kerjaannya hanya bikin huru-hara
dimana-mana. Tapi prestasinya itu nggak bisa ada yang nyangka. Sebandel apapun
dia, dia tetap bisa meraih lima besar setiap kali ulangan semester.
“Lagi liat siapa?”
Anggun menoleh dan mendapati sosok Angga
dibelakangnya sedang mengikuti apa yang Anggun lalukan. Mengintip diam-diam.
“Dia,” telunjuk Anggun menunjuk cowok yang sedang
duduk di kantin bersama teman-temannya itu.
“Lo suka dia?” tanya Angga dengan kening berkerut.
“Sejak kapan?”
Rona merah di wajah Anggun langsung tampak. Ia
tersenyum malu pada Angga. Lalu ia mengangguk pelan.
“Ciee... sekarang udah jatuh cinta nih.”
Anggun tersenyum malu. “Dia itu spesial banget, Kak.
Beda deh sama cowok lain,” ucap Anggun sambil menegakkan tubuhnya.
Cewek ini terlalu polos. Terlalu membuat hati Angga
seakan tersenyum saat cewek ini juga tersenyum. Dia adalah bagian hidupnya. Dia
adalah satu orang yang mampu membuat hari-harinya tak harus bermasalah. Karena
cewek ini segalanya untuk Angga. Dunia Angga.
***
“Namanya Matahari Senja. Si Ari.”
“Serius?” mata Anggun langsung melebar seketika
ketika mengetahui Angga menyebutkan nama cowok yang sedang di taksirnya itu.
“Nama panjangnya bagus banget!” serunya.
Angga mengangguk, “Lo beneran naksir dia? Atau lo
hanya sekedar suka tampangnya doang? Dia kan anak bandel!”
“Aku tau kok,” Anggun mengangguk. “Tapi aku suka
dia. Dia orangnya bener-bener mampu bikin jantung aku mau lompat.”
Angga mengangguk lalu berdiri dari tempat duduknya.
“Nanti gue cari tau tentang dia,” ucap Angga lalu tersenyum tipis pada Anggun.
“Emm... jangan kasih tau orangnya ya!?”
“Mana mungkin gue kasih tau dia. Gue nggak sekelas
sama dia. Gue juga nggak kenal akrab sama dia.”
Anggun tersenyum malu. Lalu mengaduk-aduk minumannya
lagi. Angga hanya dapat melihatnya dengan senyum tipis yang mengembang
diwajahnya.
Dia ingin Anggun bahagia. Bila Ari-lah orangnya, dia
pasti akan mengabulkannya. Apapun caranya. Apapun hal itu, akan dilakukannya
demi Anggun. Demi cewek yang memiliki sifat polos dan lugu. Demi cewek yang
bisa tersenyum semanis madu.
***
Tangan Anggun memegang erat kotak berwarna oranye
yang berisi cokelat manis yang berasal dari toko cokelat termahal. Dia rela
menghabiskan uang tabungannya demi membeli cokelat ini. Hanya untuk Ari, kakak
kelas yang kini mulai membuat hatinya berbunga-bunga.
Kepala Anggun menoleh ke kanan juga ke kiri,
memeriksa area kelas sembilan itu. lalu ditemukannya orang yang ia cari. Ari
sedang menyender ke bangku sambil menatap buku-buku yang ada di hadapannya.
“Hmm... hai,” dengan suara yang ia keluarkan dengan
susah payah, akhirnya ia bisa menyapa kakak kelasnya ini.
Ari menengadah, lalu mendapati cewek dengan sekotak
cokelat di hapannya. Sedang berdiri menatapnya dengan mata yang berbinar.
“Hai,” balas Ari dengan tatapan datarnya. Ditatapnya
cewek yang memiliki rambut panjang bak artis shampo ini.
“Aku... Anggun,” Anggun mengulurkan tangan kanannya.
Ari menjabat tangannya, “Udah tau nama gue kan?”
keningnya berkerut dengan kepalanya yang agak miring ke kanan.
Anggun mengangguk malu, “Aku mau kasih ini sama
Kakak...” ia mengulurkan kotak yang ia pegang tadi pada Ari dengan senyum yang
mengembang diwajahnya.
“Oh, Thanks...”
Ari menerima cokelat itu dengan senyum.
“Aku permisi ya, Kak...,” pamitnya lalu pergi
meninggalkan kelas yang hanya berisi Ari saja.
Di luar, Anggun melihat dari kaca jendela kelas Ari.
Ia melihat Ari memakan cokelat itu sambil melihat buku-buku yang ada di
hadapannya tadi. Tanpa ia sadari, semburat merah menghiasi wajahnya. Lalu ia
sunggingkan senyum manis di wajahnya.
***
Besoknya Anggun memiliki rencana untuk pedekate lagi
sama kakak kelasnya itu. Ia membeli setangkai bunga mawar merah. Ditemani Angga
yang mengumpat di balik pintu, Anggun kembali memasuki ruangan kelas Ari. Kali
ini ada beberapa temannya yang ada disana.
Tegang. Anggun was-was bunganya itu takkan diterima
oleh Ari. Apalagi didepan teman-temannya. Degup jantungnya berdegup tak
menentu, berdetak dengan cepat.
Dari kejauhan Ari menatapnya dengan kening berkerut.
Kakinya ia taikkan satu keatas kursi.
“Kak... masih inget aku?” tanya Anggun ketika
dirinya sudah sampai dihadapan pentolan sekolah itu.
Ari mengangguk, “Elo yang kemaren itu kan!? Yang
namanya...”
“Anggun,” ucap Anggun ketika kakak kelasnya itu tak
jua mengingat namanya.
“Ya... Anggun. Ada apa?” tanyanya datar dengan raut
wajah yang sama datarnya.
Anggun menghela nafas panjangnya, lalu mengeluarkan
setangkai bunga mawar merah itu di
hadapan Ari. Kontan satu isi kelas bersorak riuh. Sering sih ada kejadian
seperti ini di kelas mereka, hanya yang kali ini lebih spesial. Karena cewek
itu satu-satunya cewek yang mendapat tanggapan dari Ari. Seperti cokelat yang
kemarin.
“Buat Kakak,” ucapnya pelan dan kalem.
“Oh... thanks
ya...” Ari tersenyum tipis sambil menerima bunga mawar itu. Lalu dengan
tangannya ia simpan bunga itu ke dalam tasnya. “Oh ya... lo kelas berapa?”
Anggun tersenyum malu, semburat merah tampak
disekitar wajahnya. “Masih kelas delapan, Kak. Saya pindahan,”Anggun
memundurkan langkahnya. “Saya permisi ya, Kak!” pamitnya lalu membalikkan
badannya.
Di luar kelas, Angga menyetop langkah Anggun. Anggun
yang menunduk langsung menengadah, menatap Angga.
“SUKSES!!!” serunya dengan senyuman yang mengembang
diwajah.
Dengan kedua tangannya, Angga memeluk Anggun.
Membiarkan rasa bahagia yang Anggun rasakan, juga ia rasakan. Membiarkan setiap
senyuman di wajah cewek ini terus terlihat. Karena saat Anggun bahagia, dia
juga bahagia. Di saat Anggun butuhkannya, ia akan selalu ada.
***
Dan hari-hari berikutnya. Anggun melakukan hal yang
sama. Memberikan cokelat atau mawar merah. Kadang ia memberikan kue buatannya
sendiri. Kadang juga ai memberikan kado boneka untuk Ari. Semuanya ia berikan
untuk Ari. Semua hal. Dari kesabarannya. Dai senyumnya. Dari perhatiannya. Dari
segala hal yang ada, ia berikan hanya untuk cowok yang menyandang nama matahari
itu.
Semua hal. Tak ada yang tak Anggun suka. Dia suka
Ari, sayang Ari bahkan kini cinta sama Ari. Dia nggak peduli sama tingkah
bandel Ari di sekolah. Dia nggak peduli sama prilaku cuek Ari belakangan ini
sama dia. Karena Ari pasti bosan dengan segala hal yang Anggun berikan. Cowok
itu jenuh.
Tapi Anggun tak pernah menyerah. Karena kesabarannya
masih ada hanya untuk cowok itu. untuk kakak kelas yang ia cintai setengah
mati.
Hingga suatu saat, Anggun akan memberikan cokelatnya
yang ke-seratus. Angga memperingatkan Anggun akan satu hal.
“Kemaren aja dia nggak makan cokelat lo. Dia kasih
sama temen-temennya! Lo ngeliat sendiri kan!? Lo masih yakin mau ngasih ini
cokelat sama dia?” Angga menatap Anggun tak yakin.
Anggun malah tersenyum manis, “Anggun yakin kok,
Kak. Meskipun dia nggak makan atau nyimpen apa yang Anggun kasih, yang penting
dia nerima semuanya. Dia nggak nolak,” ucapnya kalem.
Lalu ia langkahkan kakinya menuju kelas Ari. Disana
ramai. Tak seperti biasanya. Sepertinya semua orang di kelas Ari sudah datang
semua. Kali ini ia bisa mengatur detak jantung yang berdegup kencang di
hatinya. Ia menarik nafas panjang, lalu mendekati Ari.
“Hai, Kak...,” sapanya dengan senyum yang sama.
Senyum yang manis, semanis gula.
“Hai...,” jawab Ari dengan nada malasnya.
Semua terdiam. Mata mereka menatap Anggun yang kini
memegang satu otak cokelat. Ada yang menatapnya dengan tatapan ngeri. Ada juga
yang mengerutkan keningnya. Ada yang langsung mau ngabur dari tempat itu.
“Aku bawa ini buat kakak...,” Anggun memberikan
cokelat pada Ari.
Ari berdiri. Ia tatap cewek itu dengan tatapan
tajam. Seketika Anggun tersadar. Hari ini, detik ini juga ia melakukan
kesalahan. Ari sedang marah dan dia lagi-lagi membuatnya bosan.
Ari mendekat, kontan cewek itu memundurkan
langkahnya hingga punggungnya menyentuh tembok. Kedua tangan Ari terbuka,
mengurung cewek ini didalamnya.
“Lo kira gue nggak punya kesabaran?” desis Ari tepat
di depan wajah cewek ini
Seketika Anggun tertegun mendengar kalimat Ari.
Cowok itu terlalu bosan menghadapi sikap Anggun. Cowok itu telah menelah semua
kesabarannya yang tercurah untuk cewek yang kini berada di dalam kurungannya
itu.
Tangan Anggun meremas jari-jemarinya. Dingin. Ia
rasakan peluh mulai keluar dari keningnya. Matanya tak berani untuk menatap
mata Ari yang tajam. Ia menunduk dalam-dalam dalam kebisuan. Tak mampu dirinya
untuk mengatakan satu kalimat saja. Bahkan satu kata pun tak dapat ia ucapkan.
Suasana menjadi tegang. Semua orang terdiam dari
kesibukan mereka. Semua mata menatap kearah Ari yang mengurung cewek itu.
“Gue harus ngomong apa sama lo agar lo ngerti? Hmm?”
“Ma... af... Kak,” ucapnya terbata-bata. Seketika
tenggorokannya mengering, membuat dua kata yang ia keluarkan dengan susah payah
itu seakan membunuhnya.
“Cokelat? Lo kira gue suka sama pemberian lo tiap
hari itu? Ck... sama sekali enggak!” tegasnya dengan nada yang meninggi. “Sadar
dong! Gue bukan anak kecil yang tiap hari mempan di beliin cokelat!!!”
sentaknya kasar.
Ari semakin mendekatkan wajahnya dengan wajah
Anggun, membuat Anggun terpaksa menyenderkan kepalanya pada dinding sekolahnya.
“Jangan pernah lo kasih gue apa-apa lagi! Gue muak!”
ucapnya sengit.
Lalu dijauhkannya tubuhnya dengan tubuh Anggun.
Cewek itu tampak masih syok, dia masih diam mematung sementara Ari sudah pergi
keluar kelas.
***
Air bening itu berjatuhan, seiring isakan yang
dirasakannya menyesakkan dadanya. Tangis itu ia tumpahkan di pundak Angga. Di
pundak seseorang yang selama ini mendukungnya. Seseorang yang mengerti akan
perasaannya.
Sakitnya menyayat hati. Menggoreskan setiap luka di
tempat yang paling dalam. Di tempat dimana ia menyimpan perasaannya itu.
Perasaan yang dalam bahkan teramat dalam untuk seseorang itu, namun orang itu
pula yang menghancurkannya. Menghancurkan tempat yang paling dalam itu.
tempatnya menyimpan perasaan itu.
Angga menatap Anggun dengan iba, “Gue hajar tu
anak!” desisnya kesal.
Dengan sigap, Anggun langsung menarik tangan Angga.
“Jangan, Kak! Ini emang salah Anggun,” ucapnya lirih. Selirih hembusan angin
yang baru saja lewat dihadapannya.
“Dia udah bikin lo nangis kayak gini! Mana mungkin
gue bisa diem aja,” ucapnya kesal dan penuh kebencian.
“Kak... ini salah aku. Tadi, Kakak sendiri yang udah
meringatin aku. Akunya aja yang bandel,” senyum tampak diwajahnya. Meskipun
sangat diketahuinya, senyum itu penuh luka dan paksaan.
Angga tertegun. Cewek ini masih bisa mengusahakan
untuk tersenyum, meskipun harapannya hancur. Meskipun setiap lekuk hatinya
telah tersobek oleh kata-kata yang dikeluarkan Ari untuknya. Muak?
Tangannya menggepal. Menahan amarah. Dia hanya ingat
pada sosok perempuan dihadapannya ini. Hatinya seputih salju dan sebaaik peri.
Takkan ia biarkan Ari menyakiti cewek ini lagi. Ia akan berikan perhitungan.
Tidak sekarang, namun nanti. Disaat waktu yang tepat.
“Jangan simpan dendam itu dalam-dalam, Kak. Aku
nggak mau Kakak nyakitin dia,”
Angga menoleh, “Lo masih bisa belain dia?” desisnya
tajam.
“Kak... kalo Kakak masih sayang sama aku. Tolong...
jangan pernah dendam sama dia. Mungkin tadi dia lagi emosi dan aku malah bikin
dia tambah emosi,”
Helaan nafas panjang Angga terdengar jelas.
Melelahkan. Cewek ini terlalu tabah, sangat berbeda dengannya yang lebih suka
bertindak frontal. Dia tak setabah cewek yang ada di hadapannya ini.
Dengan kedua tangannya, ia peluk Anggun erat. Ia
tenggelamkan kepala Anggun di dadanya. Ia biarkan tangis itu membasahi seragam
putihnya. Yang ia rasakan adalah sakit. Karena cewek ini menyimpan rasa sakit
itu, sehingga Angga dapat merasakannya.
“Jangan bertindak bodoh!”
Angga mengurai pelukannya. Di tatapnya Anggun dengan
tatapan nanar. “Apa yang lo lakuin sekarang aja udah bodoh! Kenapa elo
ngelarang gue?” alisnya terangkat satu.
Cewek itu tersenyum manis. Manis seperti madu.
Senyum yang mampu membuat hati Angga tenang dan terasa hangat.
***
Dengan kedua tangannya, Anggun membawa dua gelas es
jeruk. Di hampirinya Angga yang duduk dipojok kantin. Tapi, dengan satu kecerobohan.
Kakinya menyandung sesuatu, hingga akhirnya kedua es itu tumpah.
Anggun tidak terjatuh bahkan dirinya sama sekali
tidak lecet. Namun, yang Anggun khawatirkan adalah keadaan orang yang tengah
berdiri di hadapannya dengan seragam yang basah akibat tumpahan air es
tersebut.
“Ma... af,” ucap Anggun terbata-bata saat di
ketahuinya bahwa orang itu adalah Ari!
Ari mengatupkan gerahamnya kuat-kuat. BRAKKK... ia
pukul meja kantin dengan tangan kanannya. Matanya menatap Anggun, marah.
Seketika Anggun tertegun.
Semua mata kini tertuju pada kedua orang itu.
Aktifitas semua murid terhenti seketika. Membuat sebuah keheningan yang mulai
merambat di dalam pikiran Anggun, sebelum Ari mengucapkan kata-katanya.
“Kenapa elo selalu bikin gue marah? Ha!?”
Cewek itu terdiam, ia menunduk dalam-dalam. Dalam
dirinya sama sekali ia tak berniat untuk melawan. Ia terlalu mencintai cowok
yang berada dihadapannya ini. Lalu Anggun menengadah, bukan untuk menatap mata
garang Ari. namun, untuk melihat Angga yang berada dipojok kantin. Mata Angga
menatap Ari dari belakang, tajam. Cowok itu berdiri dari kursinya, menggepal
kedua tangannya.
Dengan matanya, Anggun mentgisyaratkan Angga agar
tak berbuat apa-apa. Agar Angga tetap diam, walaupun Ari marah-marah lagi pada
dirinya. Karena Anggun sama sekali tak ingin Ari malah tersakiti nantinya.
Angga terdiam, namun masih berdiri di tempat
awalnya. Ia tatap Anggun dari kejauhan dengan tatapan tak mengerti. Cewek ini
terlalu baik. Terlalu baik sehingga ia malah jatuh sendiri akibat kebaikannya.
Angga masih saja tak percaya, cewek itu benar-benar mencintai Ari. Namun Ari
sama sekali tak melihatnya. Ari buta akan hal itu.
“Jangan pernah elo berani deket gue!” desis Ari
tajam. Lalu meninggalkan Anggun yang kini tertunduk lemas.
Setelah kepergian Ari. Semua kembali normal. Seakan
tak pernah ada kejadian yang baru saja terjadi itu. Tubuh Anggun lemas, lalu
tubuhnya terhempas disalah satu kursi yang berada di kantin itu.
Angga mendekatinya perlahan. Lalu duduk disebelah
Anggun. Di pegangnya pundak cewek yang selama ini menjadi penyemangat hidupnya
itu.
“Kenapa lo larang gue?” tanyanya dengan nada yang
tak mengerti. “Dia udah keterlaluan. Dia nyakitin elo. Kenapa sih elo malah
bertindak bego kayak gini!?”
Kepala Anggun menyender ke bahu Angga. Air matanya
mulai menetes turun kepipinya. Membasahi wajahnya yang pucat pasi akibat
bentakan Ari.
“Aku sayang dia, Kak. Aku sayang sama dia. Aku nggak
bisa bohong sama perasaan aku sendiri. Dia terlalu berharga untuk disakiti.
Kalau dia sakit, aku juga.”
Lagi-lagi Angga harus menghela nafas kesabaran yang
luar biasa. Ia tak ingin cewek ini tersakiti hanya karena satu orang cowok yang
menurutnya sama sekali tak penting itu. Menyayanginya sama saja menyakiti hati
cewek ini.
Dengan kedua tangannya, ia rengkuh cewek ini jatuh
ke dalam pelukan dalam yang bermakna seribu arti.
***
Ari berjalan bersama teman-temannya disekitar
sekolah. Suasananya ramai akibat waktu yang menunjukkan waktu untuk para murid
pulang. Bersama teman-temannya, ia tertawa lepas. Berhaha-hihi bersama.
Saat Ari terpisah dengan yang lainnya. Ia berjalan
sendiri. Menyusuri trotoar jalan yang lenggang. Dengan rokok yang terselip di
mulutnya.
Namun, satu hal yang tak ia sadari. Saat ia hendak
menyebrang jalan aspal yang ia kira lenggang itu. Satu buah mobil besar akan
melintas disana. Mobil itu melaju dengan cepat. Kekuatan maksimal yang tak
mungkin lagi di kurangi dalam waktu singkat.
Dan… BRAKKK… mobil itu menabrak satu orang yang tak
bersalah. Tulangnya bersentuhan dengan jalan kasar yang terbuat dari semen itu.
Ari terhuyung jatuh. Bukan. Bukan dia yang tertabrak. Namun, cewek yang
menyelamatkannya dari maut yang menjemput itu. Cewek itu mendorongnya dan
membiarkan tubuhnya yang terhentak jatuh.
Kepala Ari membentur batu yang berada di dekat pinggir
jalan. Berdarah. Cukup banyak. Namun tak sebanyak darah yang dikeluarkan cewek
itu. Mata Ari terpejam akibat pening yang iba-tiba menyergapnya akibat benturan
hebat tadi.
Mata Angga menatap ke ruas jalan tak percaya.
Matanya sama sekali tak berkedip. Terus menatap kearah orang yang bersimbah
darah. Luka parah. Lebih parah. Cewek itu tergeletak lemah begitu saja disana.
Tanpa dosa. Tanpa sama sekali rasa pamrih. Tanpa rasa benci. Namun dengan rasa
sayang yang tulus dan sebuah keikhlasan.
Dengan cepat, ia hampiri Anggun. Adik satu-satunya
yang ia miliki. Adik yang sudah menjadi dunia untuknya. Adik yang selama ini
membantu Angga untuk tersenyum secerah sinar mentari pagi. Kini, senyum itu
lenyap. Hilang. Entah kemana. Mungkin pergi bersamanya.
Ia guncang tubuh kecil itu, yang penuh dengan darah
segar. Air mata Angga terjatuh. Membasahi bagian tangan Anggun.
“Gue janji! Gue nggak akan bikin lo sedih lagi!
Tapi, please. Jangan tinggalin gue,”
ucapnya serak. Ia benar-benar tercekat. Dipeluknya manusia yang kini tak lagi
mampu bernafas. Dan tak mampu lagi bergerak.
Jika ini memang kelalaian, jika ini memanglah sebuah
takdir buruk yang harus diterima semua orang yang kenal dengannya. Jika ini
memang jalan terbaik untuk mereka pulang. Jika ini memanglah satu kebaikan
untuk masa yang akan datang. Seharusnya, ia melepas semua dengan satu kata.
Keikhlasan.
Dari ujung matanya, dapat ia ketahui. Tubuh Ari
sedang di gotong menuju rumah sakit.
“Gue janji! Gue nggak akan biarin dia! Dia udah
bikin lo harus menyerahkan segalanya! Air mata lo, kesabaran lo, kebaikan lo,
kepasrahan lo dan kini… darah lo bahkan nyawa lo!” tegasnya dengan mata yang
sudah memerah akibat tangis luar biasa.
Tak lama. Tubuh lemah itu di bawa oleh orang-orang
yang ada disekitarnya. Mereka biarkan Angga tetap ditempat. Membiarkan Kakak
dari cewek ini menangis dengan segala rasa pedih terpendamnya. Rasa kecewa dan
juga amarahnya.
“Gue… bener-bener harus terpaksa bikin cowok lo itu
terluka! Karena gue nggak mau elo yang tersiksa sendirian. Kalo perlu… gue bawa
dia ketempat lo,”
***
Hilang. Lenyap.
Tak terlihat. Tak bernyawa.
Air mata. Darah.
Luka. Pedih. Perih. Sakit.
Angga memandang kesana. Kearah makam yang telah
dihiasi berbagai macam bunga. Disana. Tepat disana. Terletak satu tubuh yang
tak bernyawa dengan semua kenangan yang ada. Pemakaman ini mematikan untuk
Angga. Matanya melirik kedua orang tuanya yang menampilakn raut wajah kesedihan
yang dalam.
Kering. Tak dapat lagi ia menangis. Rasanya belum
cukup ia menangis semalaman tadi. Ia butuh air mata lagi. Ia ingin luapkan
emosi yang menyesakkan dada dan jiwa itu. Ingin ia bawa Ari kedepan makam ini.
Lalu membawanya bersama Anggun. Adiknya. Disana.
Namun, Ari masih luka parah. Dia masih dirawat di
rumah sakit yang sama dengan rumah sakit yang menjadi tempat Anggun “pergi”.
Tubuh Angga terjatuh. Lututnya menyentuh tanah merah
yang masih basah itu. Dengan kedua tangannya, ia ambil sebagian tanah merah
itu, lalu ia cengkram dengan kuat. Sekuat tenaganya. Hingga akhirnya, ia tanah
itu berjatuhan dengan kejatuhan yang ia rasakan.
“AAARRRGGGHHH…” teriaknya sesak.
Nyata namun tak dipercaya. Pergi namun terasa ada.
Cinta, sayang, suka, rindu, bercampur menjadi satu. Dari seorang Kakak untuk
adiknya. Untuk dirinya… untuk Anggun.
Wow, keren banget deh.. Part selanjutnya lebih banyak yaa,,
BalasHapusMakasih komentarnya :D tunggu aja part selanjutnya yaaa...
BalasHapus