Dia
adalah cowok teriseng yang pernah Vivi kenal. Dia adalah cowok berbadan besar
yang takut sama binatang yang pernah Vivi kenal. Dia adalah cowok berambut ikal
dengan wajah tampan yang sanggup membuat jantung Vivi berdebar-debar tak keruan
karena keisengannya membuat Vivi jadi keki sendiri.
Selama
hidupnya, ia tidak pernah membayangkan akan jatuh cinta pada sosok itu. Sosok
tampan yang digilai oleh cewek-cewek ganjen di sekolah.
Setiap
sholat, Vivi akan berdoa dengan khusyuk agar perasaannya pada cowok itu
hanyalah untuk sementara. Tapi lama kelamaan perasaan itu tetap ada dan malah
membesar. Apalagi di saat-saat mendekati Ujian Nasional. Dia makin ketar-ketir
dengan sikap cowok itu kepadanya.
Meskipun
jail, cowok itu perhatian padanya. Di setiap ada tugas, cowok itu pasti
bertanya padanya. Setiap kali mau nyari kunci jawaban, cowok itu akan
mencarinya.
Namanya
Vaji.
Cita-citanya
sama dengan Vivi. Sama-sama ingin masuk akademi kepolisian. Sama-sama punya
suara berat. Pokoknya mereka seperti takdir.
“Lo
bawa jaket nggak?”
“Enggak.
Buat apa emangnya?” tanya Bevla, teman dekatnya.
“Gue
mau ngajuin berkas nih ke kepolisian. Tapi lupa bawa jaket. Mana jauh banget,
lagi.” Vivi mendesah panjang.
BLASH.
Tiba-tiba
saja sebuah jaket menutupi wajahnya. Ia menarik jaket itu dengan kesal. lalu
dilihatnya orang yang berani-beraninya melemparkan jaket lusuh itu ke wajahnya.
Vaji.
“Pake
gih! Nanti lo masuk angin.”
Vivi
langsung mencibir. “Minjemin sih minjemin, tapi nggak usah dilempar juga, kali!
Bau, tau!”
Vaji
melotot. “Kok songong? Balikin sini. Masih mending gue pinjemin, bukannya
terimakasih malah ngatain jaket gue bau, lagi. Mau gue sate lo?”
Dalam
hati Vivi berteriak senang karena Vaji perhatian padanya. Tapi Vivi nggak mau
kegeeran dulu. Siapa tahu ternyata Vaji hanya menganggapnya sebagai teman dekat
yang perlu dibantu.
“Iya
deh, iya, maaf. Maakasih ya.”
“Nah
gitu dong!”
“Kalian
ini. Berantem mulu kayak orang pacaran!” komen Bevla sambil geleng-geleng. Lalu
meninggalkan keduanya begitu saja.
“Eh...
trus lo gimana? Lo nggak ngumpulin berkas ke kepolisian?”
Vaji
nyengir. “Sekalian ya. Gue lagi ada perlu nih jadi nggak bisa ke sana. Gue
nitip berkasnya sama elo yak.”
Vivi
melengos. Pantas saja cowok itu mau meminjamkan jaketnya. Ternyata ada niat
terselubung juga.
“Pantes
ya lo jadi baik gitu sama gue.”
“Gue
biasanya juga baik kok sama lo.” Vaji menyeringai lebar. “Gue baik. Setiap kali
lo makan, gue bantuin abisin. Setiap kali buku tugas lo nganggur, pasti gue
contekin. Baik, kan?”
Mendengar
itu Vivi jadi naik darah. Apanya yang baik kalau begitu? Ia melotot dan
bertolak pinggang. Sementara Vaji masih dengan seringai lebarnya.
Emang
dasar cowok nyebelin yang sialnya ganteng banget!
***
“Ji,
lo putus sama pacar lo? Yang anak kelas sepuluh itu?”
Bukannya
menjawab, Vaji malah memalingkan wajah. Dari reaksinya, semua orang langsung
tahu bahwa Vaji mengiyakan pertanyaan itu.
Vivi
tahu ini bukan saatnya untuk bersenang-senang karena Vaji baru saja putus dari
ceweknya. Tapi bagaimanapun juga Vivi merasa lega akhirnya Vaji bisa putus dari
cewek ganjen yang masih kelas sepuluh itu.
“Kenapa
putus?” Reno masih saja menyemburkan pertanyaan-pertanyaan yang pastinya akan
membuka luka untuk Vaji.
“Ya
gitulah. Dianya over protective tapi
masih suka tebar pesona dengan cowok lain.”
Dasar
cewek ganjen! Kasian kan Vaji disakitin kayak gitu, batin Vivi sambil memandang
Vaji.
“Eh,
Vi, gue denger-denger lo pernah suka sama Vaji ya?” Reno, si cowok nyebelin
yang mulutnya nggak bisa berhenti ngomong itu, bertanya.
Seketika
Vivi tersentak. Bagaimana bisa Reno tahu bahwa ia pernah menyukai Vaji. Tidak,
ralat. Vivi menyukai Vaji, bukannya pernah. Dulu sekali dia tak pernah
memikirkan tentang Vaji, dia malah memikirkan perasaannya dengan cowok lain
yang ternyata satu kelas dengannya. Namanya Eros.
Gara-gara
Eros berubah dan jadi nyebelin banget, Vivi jadi ogah naksir sama cowok itu
lagi. Masalahnya, Eros itu selalu tebar pesona dengan cewek lain dan selalu
saja bersikap sok keren. Berbeda dengan Eros yang dulu yang bisa membuatnya
senyum-senyum sendiri.
Kalau
untuk Vaji sendiri, gara-gara cowok itu selalu di dekatnya, selalu meminta
bantuannya, selalu menjahilinya, lama-lama perasaan yang tak disangkanya
muncul.
Vaji
itu... meskipun kelihatan bandel, sebenarnya dia nggak bandel kok. Meskipun
cowok itu punya perawakan preman, dia nggak seperti preman. Nyatanya dia cowok
manis yang nggak pernah tega nyaikitin hati cewek. Kecuali hati Vivi, tentunya.
Kalau
Vaji tahu perasaan Vivi kepadanya, apakah Vaji tidak akan menyakiti perasaan
Vivi juga?
“Serius
lo pernah suka sama gue?” Vaji malah terlihat terkejut.
“Eng...
enggak kok.” Vivi menjawabnya dengan tergeragap.
Dia
jujur. Dulu dia sukanya sama Eros, bukan sama Vaji. Tapi kalau sekarang sih...
jangan tanya deh.
“Oh,
kirain lo pernah suka sama gue.” Vaji nyengir.
***
Ting...
Vi, besok terakhir
pengumpulan berkas ke kepolisian.
Seketika
kedua mata Vivi langsung melotot. Dia kaget bukan main. Semua yang
dipelajarinya untuk Ujian Nasional besok jadi hancur lebur seketika.
Pikirannya
jadi nggak fokus dan rasanya Vivi mau menangis saat itu juga.
Waktu
itu, Vivi ditelfon mamanya dan menyuruhnya untuk pulang segera. Jadilah Vivi
tidak mengirimkan berkas itu ke kepolisian. Dan jika besok adalah hari terakhir
pengumpulan berkas, Vivi harus pergi ke sana sepulang sekolah dan itu adalah
hal mustahil.
Kantor
kepolisian di Pemda tutup jam 3 sore. Sementara ia baru keluar dari ruangan
Ujian Nasional sekitar jam setengah dua siang. Perjalanan ke sana menghabiskan
waktu dua jam dan jika Vivi nekat, yang ada dia akan melihat pintu kepolisian
sudah tertutup rapat.
Ji, lo nggak serius
kan? Lo bercanda, kan?
Ting...
Ngapain gue bohong? Gue
jujur lho. Gue baik ngasih tau lo nih.
Vivi
mendesah panjang dan dia sudah tidak bernafsu untuk belajar apalagi makan. Cita-citanya
untuk menjadi seorang Polisi Wanita kandas sudah.
Trus lo udah ngirim
berkas emangnya?
Ting...
Belom sih. Hehehe...
Vivi
mengernyitkan keningnya.
Kok lo santai begitu
sih?
Oi!
Ji!
Bales dong!
Vaji!!!
Gue gorok lo besok kalo
sampe bohong!
VAJI!!!
Vaji! Sumpah ya kalo lo
ngerjain gue, gue doain lo nggak lulus ujian!
VAJI! Hiks :’(
Waktu
sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Vivi juga belum menyelesaikan pelajaran
yang dibacanya untuk besok Ujian Nasional. Ini menyakut hidup dan matinya. Dia
tidak akan bisa berkonsentrasi untuk Ujian Nasional.
“Mamaaaaaaa....”
Akhirnya Vivi menangis sekencang-kencangnya.
***
“Udahlah,
paling juga si Vaji bohong.” Bevla menenangkan. “Lagian gue kan juga mau daftar
kepolisian bareng elo. Gue malah nggak denger pemberitahuan kalo tutupnya hari
ini.”
Raut
wajah Vivi sudah suram sejak semalam. Ada lingkaran hitam di matanya dan dia
yakin seratus persen bahwa matanya bengkak gara-gara menangis.
“Vi,
gimana? Lo mau ngumpulin entar pulang sekolah?”
Tiba-tiba
Vaji sudah ada di depannya begitu saja.
“Nggak
tau.” Vivi menggeleng sedih. “Nggak bakalan sempet.”
“Sabar
ya.” Vaji tersenyum sambil menepuk bahu Vivi. “Tahun depan bisa daftar kok.”
Vivi
memanyunkan bibirnya. “Nggak bisa. Tahun ini nggak boleh nggak kuliah. Jadi
kalo gue nggak masuk kepolisian, gue bakalan masuk universitas.”
“Ya
udah. Jangan dipikirin dulu.” Bevla menenangkan. “Hari ini kita harus fokus
ujian.”
“Gue
nggak belajar semalem gara-gara ini, tau!” ketus Vivi kesal. “Gue kepikiran.
Mana bisa ujian dengan tenang. Hiks...”
***
“Gue
bohong.”
Kedua
mata Vivi melebar. Vaji memang sialan nyebelin banget. Bisa-bisanya dia bohong
di saat-saat seperti ini?
“Sori,
Vi.” Vaji menatapnya dengan raut wajah bersalah. “Nih gue kasih permen.” Vaji
mengulurkan lolipop berwarna-warni ke arah Vivi. “Sekali lagi sori banget ya.”
“Lo
kira gue mempan di kasih permen!?” desis Vivi kesal.
“Gue
tau lo bukan anak kecil. Tapi gue beneran minta maaf. Gue nggak nyangka sampe
bikin lo nggak konsentrasi belajar buat ujian.” Vaji menghembuskan nafas
beratnya. “Hari ini ujian terakhir, gue rasa besok-besok nggak bakalan bisa
ketemu lo lagi. Yaaah... kecuali perpisahan nanti.”
Rasa
kesalnya berubah menjadi rasa bingung. Mendengar Vaji mengatakan bahwa dia
tidak akan bertemu dengannya lagi itu rasanya aneh banget. Sepertinya ada rasa
ngilu di dadanya.
“Maafin
gue ya,” pintanya dengan nada memelas.
Vivi
terdiam dan akhirnya mengangguk pasrah.
“Makasih.”
Vaji tersenyum simpul. “Kalo nanti lo lulus ujian kepolisian, kasih tau gue ya.
Gue akan selalu menunggu kabar dari lo.”
“Emang
lo mau ke mana sih!?” tanya Vivi penasaran. “Lo ngomong udah kayak mau pergi
jauh banget gitu.”
Vaji
hanya menggeleng. “Nggak ke mana-mana kok. Gue tetep di sini.”
Vivi
mengernyitkan keningnya. Ia tambah bingung dengan arah pembicaraan Vaji.
“Eng...
kalo gitu gue pulang dulu ya...” Vivi berbalik badan meninggalkan Vaji di
lorong sekolah.
Namun
baru saja beberapa langkah, sebuah tangan menahannya untuk berjalan. Vivi
menoleh dan mendapati Vaji di belakangnya.
“Kenapa?”
tanyanya bingung.
Vaji
memberikan lolipop itu ke tangan Vivi. Cowok itu tersenyum seakan tak ada hari
esok. “Lolipopnya.... jangan lupa.”
***
Sudah
setengah jam Vivi berguling-guling di kasurnya. Pikirannya melayang ke
mana-mana memikirkan tentang pembicaraannya dengan Vaji yang agak aneh itu.
Lalu
ia berenti berguling. Matanya menatap sebuah lolipop yang ia letakkan di sebuah
gelas kaca di meja belajarnya.
Mau
makan permen itu, tapi kok rasanya sayang banget ya. Kalau dimakan nanti nggak
ada kenang-kenangan lagi dong dari Vaji.
“Duh...
tanya siapa ya? Apa tanya Bevla aja ya?” Vivi menggumam sendirian. “Duh! Tapi
Bevla kan... duh gimana ya? Jangan Bevla deh.” Vivi memutar otaknya. Lalu
terlintas sebuah ide. Tangannya meraih ponsel di kasur lalu mencari-cari nama
yang dicarinya. “Hubungin Mbak Rindang deh.”
***
5
Tahun kemudian...
Suasana
di sebuah gedung penuh dengan ingar-bingar. Di dalamnya ada ratusan murid SMA
yang bertemu kembali setelah sekian lama. Di depan gedung terdapat banner yang bertuliskan, “Reuni SMA
Angkasa Angkatan 2011-2014”.
Sebuah
mobil sport berwarna merah melintasi jalan di sana. Lalu berhenti di antara
mobil-mobil yang lain untuk parkir.
“Kamu
yakin nih masuk ke dalam?” tanya Rindang sambil melepaskan seatbelt.
Vivi
mengangguk ragu-ragu.
“Jangan
masuk kalau kamu ragu.”
“Tapi
kalau aku nggak masuk, aku nggak ketemu dia dong.” Vivi memanyunkan bibirnya.
Rindang
mendesah panjang. “Nanti kamu sakit lagi loh. Udah lima tahun nunggu dia dan
kalau ternyata dia berubah gimana?”
Mendnegar
itu, Vivi jadi ngeri juga. Bagaimana kalau ternyata Vaji berubah seperti yang
terjadi pada Eros? Bagaimana jika Vaji menjadi orang yang menyebalkan dan aneh?
Bagaimana kalau Vaji.... Vivi langsung menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha
untuk mengenyahkan pikiran itu.
“Ya
udah yuk masuk!” Rindang langsung turun dari mobil, diikuti Vivi dari sebelah
kiri.
Keduanya
melenggang masuk ke dalam dengan gaya anggun.
Sebuah
kerudung cantik berwarna hijau tua dipadukan dengan warna merah muda melilit di
kepala Vivi. Tubuhnya memakai gaun berwarna hijau tua yang sama dengan model
yang eye-catching dan kakina dihiasi high heels berwarna perak.
“Aku
ke sana dulu ya, Vi.” Rindang menunjuk ke arah teman-teman lamanya.
Vivi
hanya mengangguk.
Setelah
Rindang pergi, Vivi mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Mencari-cari
sosok itu atau setidaknya teman dekat yang dikenalnya saat SMA.
“Vivi?”
Vivi
menoleh dan mendapai Reno bersama Bevla berada di belakanganya.
“Hei,
apa kabar?”
“Baik
dong!” Bevla tersenyum senang. Lalu memeluk Vivi untuk melepaskan rasa rindu.
“Lo tambah cantik deh.”
“Makasih.
Lo juga.” Vivi tersenyum membalas.
“Waaaah!!!
Teman kita yang buruk rupa ini berubah jadi angsa yang cantik yaaaa?” Reno
nyengir dan langsung dapat sikutan dari Bevla.
“Sialan!
Lo dari dulu nggak pernah berubah ya?” Vivi mencibir kesal. Lalu kepalanya
menoleh ke kanan dan ke kiri. Mencari sosok itu di antara kedua temannya.
“Nyari
siapa sih?” tanya Bevla penasaran. “Eros?”
Vivi
mengernyitkan keningnya. “Enggak dong! Eros sih ke laut aja sana.”
Bevla
tertawa. “Trus nyari siapa dong?”
“Nyariin
siapa sih? Cowok ganteng udah di sini nih.” Reno malah menyombongkan diri.
Tapi
Reno memang nggak salah. Dia termasuk tampan hari ini. Karena tampilannya jauh
berbeda dari 5 tahun yang lalu. Reno terlihat lebih maskulin dan dewasa.
“Dia
nyariin gue...”
Vivi
menoleh dan mendapati sosok cowok yang dicarinya sejak tadi. Cowok itu
tersenyum semanis permen. Cowok itu menatapnya hangat seperti mentari pagi.
Cowok itu... cowok yang memberikannya lolipop yang masih disimpannya sampai
sekarang.
Sekian
tahun mencarinya, sekian tahun berusaha untuk bertemu dengannya, tapi ia tak
pernah bisa.
Apa
cowok itu masuk angkatan? Vivi tak pernah tahu. Cowok itu mungkin juga tak tahu
juga bahwa Vivi masuk universitas dan gagal masuk akademi kepolisian.
“Selamat
ya... gue denger sekarang lo kerja di bank swasta.”
Dia
tahu. Dia tahu. Dia tahu. DIA TAHU.
Vivi
menahan nafasnya sebentar saat cowok itu mendekat ke arahnya. Dia berharap
bahwa hari ini bukanlah mimpi. Karena cowok itu... yang membuat kehidupan
SMA-nya semanis permen.
Dedicated to Vivi, my
precious and lovely cousin. Happy birthday, October, 3rd 2014. Sorry I’m late, sengaja.
Mau nyiapain beragam kado, ciyeilah, baru deh ngucapin. Selamat ulang tahun yang
ke 18 ya, ciye udah tua aja.
More wise, more
beautifull, more diligent, be a good student, be a good people, don’t be lazy
and always study for your future. We should meet after 11 months, okay? If you
come back home, you should call me to meet J I hope all the things that you
want become true. Love you more than ever you know...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar