Ari terpekur dalam sebuah kesalahan. Ia menunduk
dalam-dalam. Disampingnya, Tari tercengang. Mulutnya yang tak menutup rapat,
kontan ternganga lebar. Bisa ia rasakan sakit itu. Sakit yang selama ini Angga
pendam. Hampir dua tahun.
“So… ri,” lirih Ari dengan suara yang tercekat
ditenggorokan.
Angga menatap Ari. Kali ini bukan dengan tatapan
amarah, benci dan juga dendam. Namun, dengan satu rasa kecewa yang teramat
menyesakkan dada.
“Gue… nggak tau. Gue salah! Maafin gue,” kali ini
Ari meneteskan air matanya hingga jatuh di tanah. Kepalanya masih menunduk.
Matanya menatap tanah yang sebagiannya ditumbuhi rerumputan hijau.
Sudahlah. Semua ini sudah berakhir. Tak perlu lagi
disesalinya. Karena ia, masih bisa melihatnya. Meskipun hanya dalam sebuah
angan yang tak nyata.
“Gue… pergi sekarang!” Angga menegakkan tubuhnya.
Lalu berbalik badan, pergi menghilang. Pergi menjauh dari satu kenyataan bahwa
dirinya tak lagi harus menyimpan satu cerita itu sendiri.
Tak percaya. Mata Tari masih menatapnya dengan
tatapan tak percaya.
“Gue… nggak tau, Tar.”
Tari melihat ada nada rasa bersalah pada suara Ari
tadi. “Lo kemana? Sampe elo nggak tau itu semua?”
Dan perlahan, Ari ceritakan bahwa dirinya di rawat
di rumah sakit sebelum akhirnya ia sembuh dan melaksanakan ujian. Ia sempat ke
makam cewek yang telah menolongnya itu. Namun, yang tak ia sadari adalah cewek
itu adalah cewek yang memberikan segalanya untuk Ari, cewek yang pernah Ari
benatk-bentak, cewek yang memberikan seluruh hidupnya untuk Ari. bahkan, ia
sama sekali tak mengetahui bahwa cewek yang bernama Anggun itu adalah adik
kandung satu-satunya, Angga.
Teman-temannya tak ada yang mengetahui sosok cewek
itu karena cewek itu pindahan dari sekolah lain. Belum lama sekolah disana.
Dan… teman-teman Ari sama sekali tak mengenal Angga, lantaran mereka sama
sekali tak sekelas dengan cowok itu.
Ari sudah bersusah payah untuk mencari setiap
keterangan dan detail cewek itu. Namun, yang ia dapatkan adalah satu kelelahan.
Kosong. Tak dapat ia temukan secuilpun informasi menyangkut cewek itu. Yang ia
tahu adalah cewek itu bernama Anggun. Jelas, dia melihatnya di batu nisan yang
terbuat dari keramik mahal itu.
“Dia… pasti ngerti kalo dijelasin kayak gini,” ucap
Tari pelan dan hati-hati.
“Tapi… gue nggak sanggup, Tar. Gue udah bunuh adik
kandungnya sendiri,” ucapnya menutup wajahnya dengan kedua tangannya. “Pantes
kalo dia marah sama gue. Gue emang salah,”
Dengan kedua tangannya, ia rengkuh cowok ini dari
belakang. Ia tempelkan dagunya di pundak cowok ini. Lalu ia menatap keruas
jalan dengan tatapan nanar.
“Kakak… nggak salah. Lagipula, Anggun udah pesen
sama Angga untuk nggak nyakitin lo, Kak. Dan… itu tandanya, Anggun pasti
bahagia kalo lo juga bahagia,” ucap Tari lembut di telinga Ari.
Seketika Ari menengadah. Lalu ia menoleh ke belakang
dan terkejut saat wajahnya dengan wajah Tari begitu dekat. Dekat. Sangat dekat
sehingga jarak yang tersisa bisa terhitung oleh suatu ukuran. Terlalu dekat,
sehingga Tari bisa merasakan hangatnya hembusan nafas yang dihembuskan oleh
cowok yang ada di hadapnnya ini.
Mata mereka saling menatap. Terus tanpa kedipan. Keduanya
terdiam cukup lama. Yang terdengar hanyalah desiran angin yang mulai membuat
tubuh mereka kedinginan diantara pepohonan yang rimbun dan besar-besar
disekitarnya.
Diam. Sunyi. Hening. Hingga mereka tak menyadari,
bahwa mereka telah terdiam lama dalam satu keterpakuan yang membuat mereka lupa
diri. Membuat mereka seakan berada disebuah dunia yang tak nyata namun
menyenangkan. Membuat hati mereka hangat dalam satu sentuhan.
Tangan Ari memegang bagian belakang kepala Tari,
sementara Tari mengikuti gerakannya. Pelan. Lalu matanya terpejam dalam sebuah
imajinasi. Ari mengecup keningnya. Lama. Hingga cewek yang diciumnya itu
memunculkan rona merah. Hingga Tari merasa rasa bersalah yang besar dalam hati
Ari untuk seseorang yang tlah ia sakiti hampir dua tahun yang lalu.
“Terima kasih… untuk semua,” bisiknya pelan dan
lembut ditelinga kanan Tari.
***
BRAKKK… seketika barang-barang yang dibawa gadis itu
tertumpah semua. Mengeluarkan isinya yang terdiri dari baju-baju mahal. Gadis
itu hendak marah-marah dengan cowok yang berani-beraninya menabraknya tanpa
permisi itu. Namun, gadis itu mengurungkan niatnya saat ia menengadah, menatap
cowok itu.
“Elo!?” pekiknya tak percaya. Ditatapnya cowok itu
dengan tatapan tanya.
Namun, sesaat cewek itu menyadari bahwa sosok
dihadapannya itu takkan mengenalnya lewat tatapan mata. “Sori,” ucap cowok itu
seraya mengulurkan tangannya.
“Nggak pa-pa,” jawabnya dengan kening berkerut.
Sesaat, cowok itu hendak pergi meninggalkan cewek
yang membawa belajaannya itu. Lalu dengan sigap, cewek itu kembali menarik
lengan si cowok dengan cepat. Tak ingin cowok itu pergi begitu saja.
“Ada apa?” cowok itu terlihat sangat pucat dan
wajahnya terlihat letih sekali.
“Elo Angga kan!?” terka cewek itu. Sebenarnya ia
sudah tahu, namun ia hanya ingin memastikan saja. “Gue Vero,”
“Vero!?” pekiknya tak menyangka. “Elo The Scissors
itu, kan!? tukang gunting-gunting itu?”
Vero mengangguk ragu, “elo kenapa?”
Tiba-tiba raut wajah Angga menegang, di dekatinya cewek itu hingga Vero
tanpa sadar memundurkan langkahnya dengan cepat. Angga mendekatkan wajahnya
dengan wajah Vero, dan seketika itu pula wajah Vero ikut menengang.
“Elo ngapain Gita?” desisya dengan tatapan amarah.
“Gi… Gita mana ya?” suara Vero jadi terputus-putus.
“Gita anak kelas sepuluh!?” ucapnya sengit. “Jangan
pura-pura bego deh!”
Vero menggelengkan kepalanya kuat-kuat, “gue nggak
ngapa-ngapain dia… bahkan tau dia yang mana aja enggak.”
Kedua mata Angga menyorotkan tanda tak percaya
sepenuhnya dengan ucapan pentolan The Scissors itu. Lalu Vero mengajaknya untuk
berbicara pelan-pelan. Agar tak terjadi kesalah pahaman lagi.
“Sebelum gue cerita, gue mau tanya sama elo.
Penting! Kalo lo nggak jawab, gue juga nggak akan cerita apa yang udah gue
lakuin sama Gita.” Vero menatap Angga meminta kepastian. “Apa salah Ari!?”
Angga terdiam.
***
“Hai, Tar,”
Tari menoleh ketika mendengar sapaan itu. di
belakangnya sudah berdiri Ata dengan seulas senyum manisnya.
“Hai, Kak,” balasnya ragu.
Cowok itu langsung mendekati Tari yang sedang
memerhatikan teman-temannya yang bermain bola basket.
“Kok nggak main?” tanyanya dengan alis yang
terangkat satu.
Tari menggeleng, “nanti dapet giliran kok.”
Ata mengangguk-angguk, “Oh ya... katanya lo nggak
bisa main basket. Basket lo parah banget kan!?”
Mata Tari melebar, “kok Kakak tau sih kalo gue nggak
bisa main basket?” tanyanya takjub.
“Gue gitu lho... pasti tau lah tentang elo,” Ata
memunculkan seulas senyum tipisnya.
“Oh ya... kok elo nggak masuk, Kak? Lo kan nggak
lagi ada pelajaran olah raga,” Tari jadi bingung dengan kedatangan Ata.
Cowok itu tersenyum tipis lagi, “lagi males belajar.
Mendingan gue ngeliatin elo main basket. Gue juga mau tau, seberapa parahnya
elo main basket.”
“Ngeledek nih?” Tari jadi tersinggung.
Ata langsung tersenyum geli, diacak-acaknya rambut
Tari yang terikat dengan satu pita oranye. “Elo nggak pernah bisa ya ,
jauh-jauh dari yang namanya warna oranye?”
“Kan gue bangga punya nama Jingga Matahari... itu
berarti gue adalah satu pusat tata surya yang sangattt indahhh...” Tari
langsung senyum-senyum.
Ata tersenyum geli lagi, “berarti elo juga bangga
dong, punya nama yang kebalikannya nama gue!?”
Kali ini Tari langsung terdiam. Warna wajahnya
memerah. Kata-kata itu membuatnya tertegun dan sesaat menyadari bahwa dirinya
adalah satu cewek yang menyandang nama kebalikan cowok disampingnya ini. Bukan
saudara kembarnya. Apakah itu takdir!?
***
Fio mengeluh berat saat mendapati dirinya masih saja
digandeng sosok cowok yang punya tingakt kesarapan melebihi orang gila.
Dari bunyi bel istirahat sampai mau detik-detik bel
masuk kelas, cowok yang menggandengnya itu tak jua melepaskan pegangan
tangannya dari tangan Fio.
“Kak... elo bisa nggak lepasin gue!?”
“Enggak,” Oji menjawabnya dengan nada santainya.
“Kalo gue lepas... entar elo kabur, lagi!? Trus... ntar elo nggak mau gue
gandeng, lagi!”
“Nah... itu seharusnya elo nyadar. Kalo gue emang
nggak mau elo gandeng-gandeng kayak gini. Gue malu, tau! Semua orang pada
ngeliatin gue,”
Oji menghentikan langkahnya, lalu berbalik badan menghadap
Fio. “Kemaren gue kasih boneka elo terima kan!?” alisnya terangkat satu.
Seketika Fio langsung memundurkan tubuhnya satu
langkah, “i... iya...”
“Waktu gue kirimin mawar kerumah lo, lo terima
kan!?”
“He eh...”
“Nah... hadiah-hadiah yang gue kasih ke elo, elo
terima kan!?”
Kali ini Fio menjawabnya dengan anggukan.
“Ya udah,” Oji langsung balik badan lagi, lalu
melanjutkan jalannya, masih sambil menggandeng tangan Fio.
“Eittss... tunggu! Jadi elo berenti cuma buat nanya
gitu doang!?” Fio jadi mulai kesal. Sudah ketakutan, ternyata tanggapan Oji
hanyalah “ya udah”.
“Trus? Mau apa lagi? Jelas-jelas elo terima
semuanya! Berarti elo juag terima cinta gue dong! Kalo lo nolak, berarti elo
minta di...”
Oji menggantungkan kalimatnya sambil menyeringai
geli. Membuat Fio jadi was-was dan takut diapa-apain sama jongosnya Ari yang
satu ini.
“Di... apa?” Fio jadi nggak sabaran.
“Duuiiilee... kagak sabaran yahh pingin di...”
Lagi-lagi Oji menggantungakn kalimatnya, membuat Fio
tambah penasaran dengan kata selanjutnya.
“Di... apa sih?”
Oji menatap Fio lekat-lekat, lalu mulai mendekat
dengan Fio. Semakin dekat. Dekat. Dekat. Dan dekattt banget... sampai wajahnya
dengan wajah Fio sudah tak berjarak jauh lagi. Lalu ia tersenyum tipis,
kemudian... “Dicium,” ucapnya di depan kedua bola mata Fio.
Kontan Fio langsung merasakan rona merah diwajahnya
semakin menjadi-jadi, “ci... cium!?” pekiknya. Kemudian Fio menggeleng
kuat-kuat.
Gelengan itu memberi tanda, membuat Oji langsung
bersikap tegas. Diciumnya pipi kanan Fio. Membuat Fio menjadi beku ditempat dan
tak sanggup lagi berbicara sepatah katapun.
Tanpa sadar, Fio memegangi pipi kanannya, lalu
menatap Oji yang kini sudah melepas genggamannya. Ia tersenyum sendiri saat Oji
sudah menghilang diujung koridor. Tak hanya di bibir, namun juga hatinya ikut
tersenyum.
***
Seberapapun usaha Angga untuk melenyapkan segalanya.
Seperti dengan apa yang di katakan Vero saat merek bertemu. Angga tetap saja
tak dapat melupakan segalanya. Amarahnya itu masih membara dihatinya,
menciptakan berjuta luka yang berada di hatinya.
Dengan susah payah, ia telah segala amarahnya dan
mencoba lupakan yang lalu. Dendamnya sudah surut semenjak Ari terjatuh
dihadapannya dan Ari mengetahui segalanya! Mengetahui betapa kerasnya usaha
Angga untuk tak membencinya. Betapa sayangnya Anggun pada dirinya, hingga
Anggun merelakan segalanya! Segalanya untuk Ari!
Di kamarnya yang hanya terekena cahaya lampu remang
dari taman dirumahnya, Angga tertunduk lesu. Menatap foto adiknya yang sudah
tiada itu dengan nanar. Air matanya tertumpah lagi. Menciptakan genangan di
kaca bingaki foto itu.
Ia senderkan tubuhnya ke tembok, lalu ia tempelkan bingkai itu didadanya. Matanya
terpejam, mengingat masa lalu yang yak sepenuhnya kelam.
Disetiap kenangannya, Anggun terasa nyata. Terasa
hidup di dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Membuat Angga semakin
kehilangan sosok Anggun yang begitu berarti untuk dirinya. Dunianya runtuh
karena kepergian sang adik tercinta.
“Maaf... maafin Kakak... Kakak nggak nepatin janji
Kakak untuk nggak marah dan dendam sama Ari. Kakak nggak bisa kehilangan
kamu... Kakak kangen kamu... Kakak cuma mau kamu bahagia. Tapi ternyata,
menyakiti Ari sama aja nyakitin kamu ya? Kakak minta maaf... “
Kalimatnya itu terpenggal-penggal. Diringi isakan
hebat yang berasal dalam hati. Matanya masih terpejam, namun air matanya tak
sanggup lagi ia bendung. Ia tumpahkan air matanya besama luka itu.
Mata Angga terbuka, lalu ia tegakkan tubuhnya.
Tangannya mengembalikkan bingkai foto itu keatas meja. Di foto itu, Angga
sedang tersenyum sambil meranggkul adiknya, Anggun. Cewek itu tersenyum manis.
Sangat manis. Sehingga mmebuat orang yang melihatnya mampu menangis saat
menyadari cewek semanis itu telah tiada.
Kakinya melangkah kearah kasurnya, lalu ia hempaskan
tubuhnya dengan tangan yang terbuka lebar ke kasur yang empuknya.
“Kakak janji, kali ini Kakak akan tepatin. Karena...
Kakak nggak mau melihat kamu menangis lagi. Kakak nggak mungkin bisa hapus air
mata kamu kayak dulu. Jadi, Kakak akan biarkan Ari bahagia. Sesuai dengan keinginan
kamu.”
Senyum itu langsung terlihat di wajah Angga.
Meskipun itu senyum perih. Tapi itu membuat Angga menjadi lega. Berjanji dengan
adiknya yang berada di atas sana, membuat hatinya sekan terlepas dari satu hal
yang menyesakkan dadanya setiap hari.
“Kakak lega sekarang. Kamu baik-baik disana ya,
Anggun.”
Lalu mata Angga tertutup lagi. Sedangkan jendelanya
yang terbuka lebar, langsung mengijinkan angin malam itu masuk memasuki kamar
Angga yang gelap. Memberikan sensasi segar di dalam tidur Angga. Membuat
mimpinya seakan menjadi kenyataan.
***
Hampir satu minggu Ari nggak masuk sekolah. Membuat
Tari jadi kelimpungan mencari sosok itu kemana-mana. Sementara bertanya pada
Ata, Ata pasti akan menjawabnya dengan gelengan.
Sosok yang selama ini mengisi hati Tari, hilang!
Seperti ditelan bumi. Menghilang tanpa jejak sedikitpun. Bertanya pada dua
kawan karibnya juga percuma, mereka hanya kan menggeleng dengan pasrah dan
meminta maaf karena mereka juga nggak tahu dimana Ari sekarang.
“Kenapa, Tar?” alis Fio terangkat sebelah.
“Capek gue, Fi!” keluh Tari dengan wajahnya yang
memang terlihat sangat letih. “Dia ngilang! Blas! Nggak ada jejaknya sama
sekali,”
“Udah nelfon dia?”
Tari mengangguk, “berkali-kali malah. Gue juga
ngirimin SMS buat dia. Berkali-kali yang kalimatnya panjang lebar pula!
Sampe-sampe jari-jari gue keriting semua!”
“Mungkin dia butuh ketenangan kali, Tar. Kasian juga
gue ngeliat Kak Ari. Wajah terakhir yang gue liat, pucat pasi, berantakan dan
cara ngomongnya juga berantakan banget!”
Akhirnya Tari menunduk dengan lemah. Berpasrah diri
hingga cowok itu menghubunginya atau kembali lagi sekolah.
“Oh ya... ngomong-ngomong, lo udah jadian sama Kak
Oji?”
Kontan Fio langsung tertegun, wajahnya sontak
memerah. “Apaan sih!?”
“Ih... gue itu nanya. Kenapa elo malah sewot!
Jangan-jangan bener yak!? Kok elo nggak ngomong-ngomong sih, Fi. Gue kan temen
elo,” Tari nyerocos terus, membuat Fio akhirnya pasrah menceritakan semuanya.
Namun, minus cerita dirinya di cium sama Oji.
“Kak Oji kok nembaknya kayak si Kak Ari ya!? Nembak
tapi buntutnya ngacem!” gumam Tari sambil memegangi dagunya dengan tangan
kanannya. “Wah... kagak kreatip tuh pacar elo... masa nyontek cara “nembak”-nya
Kak Ari!”
“Jangan salahin gue dong! Salahin tuh jongosnya Kak
Ari. Gue sih nggak bisa ngapa-ngapain!”
Tari terdiam, dipandanginya teman sebangkunya itu
dengan lekat-lekat. “Elo suka sama Kak Oji ya!?” terkanya.
Kontan Fio terdiam. Bisu. Membeku. Otaknya lalu
berputar memikirkan hal itu. Wajahnya menimbulkan rona-rona merah merona.
***
Kalau dulu Ari yang suka nyari-nyari Tari, sekarang
Tari yang nyari-nyari Ari. Kejadian ini terbalik lagi. Kehadiran Ata pun
menurutnya sama sekali tak membantu menghilangkan rasa khawatirnya pada kondisi
Ari yang pasti sangat kacau itu. Ata itu beda. Meskipun memiliki raut wajah
yang sama persis, mereka tetap berbeda.
Hampir dua minggu, Tari mencari kemana-mana. Dari
mencoba mengunjungi rumahnya di perumahan SISTINE itu. disekolah. Di danau. Di
taman yang hampir mirip dengan hutan. Berkali-kali ia telusuri jalan itu dengan
susah payah dan hasilnya tetap sama. Nihil. Nol. Zero. Nggak ada sama sekali.
Dan... hampir dua minggu itu pula Ata selalu
membantunya mencari Ari. Tapi tetap saja, sosok itu hilang. Tak kembali hingga
sekarang. Menimbulkan beribu tanya dan juga beribu harap tentang keadaannya
sekarang.
Langkah kaki Angga berjalan menuju gerbang SMA
Airlangga yang terbuka lebar. Disana ia berdiri dan menunggu satu orang yang
berkaitan dengan Ari. Karena dia tahu Ari memang benar-benar hilang! Berita
yang didapatkannya dari Gita itu mencengangkannya. Membuatnya menjadi sempat
merasa bersalah akibat perlakuannya pada Ari.
Saat sosok itu sudah ada di ambang gerbang sekolah,
Angga cepat-ceat menghentikannya dengan menyetop jalan cewek itu. kedua
tangannya terbuka lebar, menghalangi jalan. Dan saat gadis itu mendongak, di
dapatinya Angga. Kontan cewek itu langsung limbung dan hampir jatuh sangking
kagetnya. Namun, dibelakangnya sudah ada sosok bodyguard yang menyelamatkannya.
“A... ada apa, Ga?”
“Bisa kita ngomong?” tanyanya pelan.
Kemudian Tari menoleh kearah Ata yang sudah berdiri
sejak tadi dibelakangnya.
“Cuma berdua...,” ucapnya pada Tari. Lalu
pandangannya mengalih pada Ata, “bisa? Gue nggak mungkin nyakitin dia. Gue cuma
butuh ngomong sama dia. Nanti urusan dia pulang, biar gue yang anter dia
pulang.”
Cowok itu tetap bergeming ditempatnya. Tetap diam.
Matanya masih menatap lurus kearah Angga yang kini membalas tatapannya dengan
tatapan sarat permintaan pengertian dari Ata.
Setelah terdiam lama, cowok itu mengangguk. Di
dekatinya Angga, “jaga dia! Elo bukan Ari! Jadi, sampe dia lecet. Gue nggak
akan segan-segan bikin lo lebih lecet!” ditepuknya pundak Angga dua kali. Lalu
tatapannya mengalih pada Tari, “hati-hati ya, Tar. Kalo kenapa-kenapa calling gue aja,” ucapnya, kemudian
berlalu begitu saja.
Lalu mata Tari pindah kearah Angga.
“Ari bener-bener ilang?”
Tak menyangka Angga malah akan bertanya seperti itu,
sontak Tari terdiam. Cukup lama, hingga Angga mengibas-ngibaskan tangan
kanannya dihadaoan wajahnya berulang kali. Ia tersadar. “Iya,” Tari mengangguk.
“Kok elo...?”
“Gue udah maafin dia,” ucapnya pelan. Lalu menarik
nafas, kemudian dihembuskannya dengan berat. “Jadi, elo udah cari ke mana aja?
“Ke mana-mana. Tapi tetep aja, Ga. Hasilnya nihil,”
ucap Tari. Nadanya sangat amat menyiratkan kekhawatiran. “Apa dia udah tau kalo
lo maafin dia?”
Angga menggeleng lemah, “masalahnya gue belom sempet
ketemu dia. Dan pas kemaren gue tanya sama Gita, Gita bilang di ilang! Gue
langsung panik dan cepet-cepet hubungin elo,” ucapnya sama khawatirnya dengan
Tari. “Jangan ngomong disini, Tar. Nggak enak. Ikut gue yuk!” Angga menarik
tangan Tari.
Tak ada se-jam, motor Angga sudah melaju kencang
kearah tempat yang ditujunya. Sebuah warung makan, membuat Tari heran kenapa
Angga memilih tempat ini.
“Kenapa di...?”
“Gue belom makan dari pagi, Tar. Gue laper banget!
Sumpah deh! Gara-gara gue mikirin si Ari nih,” ucapnya sambil menghempaskan
tubuhnya disalah satu kursi.
Lalu cowok itu memesan makanannya. Sementara Tari
hanya meminta satu gelas teh hangat untuk dirinya.
“Jadi... tu sodara kembar Ari juga nggak tau dia
dimana?”
“Kak Ata juga nggak tau,” Tari menggeleng.
Terdengar hembusan nafas panjang Angga, lalu cowok
itu menghadapkan tubuhnya kearah Tari. “Serius dia nggak tau?” alisnya terangkat
satu.
Tari mengangguk, “dia bilangnya begitu.”
“Dia? Berarti belom tentu dia jujur dong!
Jangan-jangan dia tau dimana tapi nggak mau ngasih tau,”
“Dia nggak mungkin bohong, Ga. Masalahnya hampir dua
minggu ini, dia malah nemenin gue nyari Kak Ari. Kalo dia tau, dia pasti mikir,
ngapain susah-susah bantu gue kalo dia emang udah tau. Dia pasti biarin gue
nyari sendiri,”
Kali ini Angga menatap wajah Tari lekat-lekat.
Bingung dengan jalan pikir cewek ini.
“Tar, yang namanya bohong itu nggak harus ditunjukin
kan? Dia pasti ikut nyariin Ari sama lo, seakan-akan dia juga nggak tau.
Padahal, dia tau! Di mana Ari, ada apa sama Ari. Lo mikir dong! Jangan lo liat
dari cover-nya aja!”
Tari terdiam. Ditatapnya Angga dengan tatapan tanya.
“Jadi gini lho, Tar. Mungkin dia tau dimana Ari.
Tapi dia nggak boleh ngasih tau, atau... malah dia nggak mau nagsih tau. Banyak
alasan, Tar.” Angga menuturkannya dengan nada pelan dan hati-hati.
“Jadi... kalo Kak Ata emang nggak mau ngasih tau...
dia berarti ada di lain kubu, gitu?”
Angga terdiam sebentar, lalu mengangguk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar