Holaaa balik lagi nih dengan JUM 15, jangan lupa komentarnya ya :D dan jangan bosen-bosen nunggu JUM yang asli keluar hehehe
Fio menatap Tari yang sedari tadi melamun. Cewek itu
tampak berantakan. Matanya selalu sembab. Dan Tari nggak pernah mau cerita lagi
semuanya. Tari menutup dirinya rapa-rapat, hingga Fio nggak tau harus berbuat
apa, jika tiba-tiba cewek itu menangis sendiri.
“Tar,” tegurnya pelan. Disenggolnya lengan Tari.
Tari menoleh, “ya, apa?”
“Elo kalo bengong ngajak-ngajak napa! Gue kan juga
bete nggak ngapa-ngapain!”
Kening Tari berlipat rapat, di pandanginya teman
sebangkunya itu dengan heran. Lalu telapak tangannya menempel pada kening Fio.
“Nggak panas,” ucapnya. “Tapi kok lo kayak orang depresi ya!”
“Bukan gue yang kayak orang depresi! Tapi elo!”
kilah Fio. “Liat tuh wajah elo. Kayak ditinggal sama pacar ke Amerika buat
selamanya aja!”
“Tapi, Fi, dia bener-bener... ngilang!”
Dirangkulnya Tari dengan tangan kirinya, “elo masih mikirin itu?” Tari
mengangguk. “Udah dong! Persediaan cowok masih banyak! Lagi pula, gue yakin,
Kak Ari bakal balik sendiri kalo emang dirinya udah tenang.”
Senyum tipis tampak diwajah Tari, lalu Tari memeluk
teman sebangkunya ini dengan erat. “Thanks,
Fi. Gue doain deh, langgeng sama Kak Oji.”
Fio mengurai pelukannya lalu menatap Tari garang,
“elo tuh ya, mulai lagi deh! Kalo gue ajak ngomong, ujung-ujungnya jongos si
Kak Ari lagi yang di omongin!”
Tari nyengir kuda. “Tapi, Fi, elo jadian kok nggak
nraktir gue sih!? Gue kan temen elo! Lagi pula, Kak Oji kan juga kaya, Fi!”
Tangan Fio mengambil buku tulis yang terletak di
meja, lalu dipukulnya kepala Tari dengan buku itu pelan. “Nraktir-nraktir!
Katanya mikirin Kak Ari, tapi masih sempet juga mikirin makan!” gerutunya.
“Gue jadi penasaran... Kak Oji nembak elo kayak
gimana ya? Masa iya sih, yang ngancem itu! gue nggak percaya ah!”
“Iih... apaan sih!?”
***
“Udah makan?” tanya Ata saat Tari menunggu di halte.
Cewek itu menggelengkan kepalanya, lalu nyengir kuda.
“Belom... tadi nggak nafsu banget!”
Tangan Ata menarik tangan Tari masuk kedalam bus yang
baru saja datang. Mereka pergi ketempat danau yang terdapat banyak orang yang
berjualan makanan disana.
“Kenapa kesini?” kening Tari berlipat rapat.
“Elo kan belom makan, Tar. Nanti kalo sakit gimana!? Gue
yang repot entar!”
Ata menarik Tari kearah tukang soto. Disana, mereka
memesan dua mangkok soto. Setelahnya, Ata mengajak Tari duduk di dekat pohon
yang rimbun didekat danau.
“Makannya disini?”
Ata mengangguk, “mau dimana? Di atas pohon gitu? Kalo mau
sih nggak apa-apa. Gue sih bisa aja nangkring disana. Tapi... emang elo bisa!?”
“Ih... ya enggaklah! Gue mana mau makan diatas pohon
gitu. Mana gue pake rok, lagi!”
Cowok itu tersenyum geli, lalu mengacak-acak rambut Tari.
Dipandanginya cewek pencinta warna oranye itu dalam. Cewek yang kini mencoba
mengoyak pertahanannya dan juga pertahanan saudara kembarnya yang lama
menghilang dan tak kunjung kembali.
“Kenapa? Kok ngeliatinnya gitu amat?”
Tari yang sedari tadi melihat keindahan danau sambil
menunggu pesanannya baru tersadar bahwa cowok disebelahnya menatapnya sedari
tadi.
“Nggak pa-pa,” Ata menggeleng. “Emang nggak boleh ya?”
Ini nih yang membuat kening Tari jadi keriting, heran
banget sama pertanyaan cowok ini.
“Enggak. Nggak pa-pa,” Tari langsung menggeleng
ragu-ragu. “Tapi kalo udah se-menit, elo wajib bayar sepuluh juta sama gue
ya!?”
Tawa gelinya tertahan, “ya ampun!!! Mahal banget ya!” Ata
geleng-geleng kepala. “Ngeliat aja bayar. Kalo dijadiin istri gimana ya!?”
Semburat merah langsung muncul disetiap lekuk wajah Tari,
cewek itu menunduk dalam-dalam sebentar. Lalu mendongak lagi, ditatapnya Ata
dengan mimik kesal.
“Apaan sih!? Siapa lagi yang mau jadi istri lo!” Tari
menyenggol siku Ata pelan.
Cowok itu tertawa geli lagi, “pesenan kita udah dateng
tuh!” Ata menunjuk tukang soto yang menghampiri mereka dengan dagunya.
***
Dengan langkah yang terburu-buru, Tari memasuki koridor
sekolahnya yang lenggang akibat jam pelajaran sebentar lagi akan dimulai. Ia
berlari sekuat tenaga agar tak telat sampai kelasnya. Namun, seberapa besar
usahanya itu, terhenti juga saat ia melewati lapangan. Disana. Dilapangan itu.
Ada sosok yang dicarinya sejak dua minggu yang lalu, dengan susah payah dan
hampir saja memutuskan semagat. Ari!
Tanpa ragu, didekatinya cowok yang sedang bermain basket
dengan Ridho, Oji, Eki dan teman-temannya yang lain. Inilah waktunya, ia sudah
menanti cowok itu. Lama. Hingga ia harus merelakan setiap kesabarannya terkuras
habis.
Namun, langkah terhenti sesaat menjelang lapangan besar
itu. Dia jadi ragu, jangan-jangan itu malah Ata! Bukan Ari! Diperhatikannya
lewat jarak jauh yang masih mampu memberikan tanda bahwa itu Ari atau Ata.
Cowok itu tampak akrab dengan teman-temannya. Wajahnya menunjukkan kelelahan,
namun ditutupinya dengan seringai lebar. Dan... ia sadari itu adalah Ari!
Benar-benar Ari! Bukan Ata! Bukan cowok yang sudah dua minggu ini menemani
hari-harinya dan menggantikan posisinya menjadi Ari.
Cepat, ia hampiri cowok yang sekarang sedang duduk
dipinggir lapangan sambil mengusap keringatnya.
“KAK ARIII!!!” serunya tertahan.
Cowok itu menoleh dan tampak kaget saat menyadari Tari
tlah berdiri dibelakangnya dengan raut wajah yang, sumpah!, gembira banget.
“Lo kemana aja sih!?” Tari mengambil tempat di sebelah
kanan Ari. Ada nada khawatir di pertanyaannya. Ada nada kecewa juga. Ada nada
kesal juga jengkel. Namun, ada nada senang yang melebihi segalanya.
“Sori, Tar.” Matanya menatap Tari lekat-lekat. “Gue
merasa bersalah banget,” ucapnya lirih.
Tari terdiam. Matanya masih menatap Ari lekat. Dia masih
nggak sanggup menyembunyikan rasa bahagia yang kini tengah meluap didalam
rongga dadanya.
“Ri, kita balik ke kelas ya!” seru Ical dari kejauhan.
Sementara yang lain melambaikan tangannya, Ari mengangguk
lalu tersenyum tipis kearah teman-temannya itu. Setelah rombongan kelas XII IPA
3 pergi jauh dan kembali ke kelasnya, tatapan Ari kembali mengarah pada wajah
Tari.
“Gue udah berusaha semampu gue, tapi tetap aja gue nggak
bisa. Gue nggak punya satu tangan yang mampu menopang rasa bersalah gue ini.
Tangan itu pergi, Tar. Dia jauh dan lagi-lagi nggak tersentuh. Gue capek harus
pake topeng kemanapun gue pergi. Tapi gue juga nggak akan bisa bertahan kalo
gue ngelepas topeng itu.”
Tangan Ari menyentuh lembut tangan Tari, menariknya lalu
mengarahkannya ke dada cowok itu. Tari tertegun. Cowok ini merasakan kehampaan,
merasakannya kesulitan, sendirian dan harus jatuh bangun untuk menghadapi
realita kehidupan ini. Ini membuat Tari menyadari akan satu hal, ada yang
berbeda. Ada satu hal yang tak Ari ceritakan padanya yang mungkin akan
melibatkan dirinya lagi.
“Kak... ada apa?” tanya Tari pelan.
Namun, cowok itu tetap terdiam dan tak mengeluarkan
suaranya untuk menjawab pertanyaan yang kini sedang menghantui pikiran dan juga
hati Tari. Cowok itu bisu.
“Kak... tolong, jawab!” Tari menggenggam erat kedua
tangan Ari. Memintanya untuk menjawab satu pertanyaan itu.
“Ada... Ata!” itulah yang dikeluarkan dari mulut Ari.
Kemudian cowok itu berdiri. Ia menatap ke satu arah yang tak pasti, kemudian
membalikkan badannya, pergi.
Tari menoleh dan mendapati Ata sedang berdiri di
kejauhan. Cowok itu terlihat sedang menyipitkan matanya, kemudian menghampiri
Tari yang masih saja duduk di pinggir lapangan.
“Hai, Tar. Lagi ngapain disini? Sendirian aja? Udah
ketemu Ari?”
Tatapannya melembut, suaranya juga. Lalu cowok itu
menghempaskan tubuhnya disebelah Tari. Tepat dimana Ari duduk tadi. Lalu dengan
cowok itu memandangi Tari.
“Iya. Gue udah ketemu...,” ucapnya pelan.
“Elo nggak masuk? Emangnya gurunya nggak ada yah?” kening
Ata mengerut.
Tari menepuk keningnya kuat-kuat, “Oh ya! Gue lupa! Gue
pergi ya, Ta!”
Tanpa persetujuan Ata, Tari langsung ngeloyor pergi dan
meninggalkan cowok itu. Ata tersenyum. Tipis. Dan sangat amat tak terartikan.
Cowok itu kemudian melihat ke arah satu tempat, dimana satu orang itu
memerhatikannya dari kejauhan dengan tatapan menyipit, tajam namun tak dapat
berbuat apa-apa.
***
Jika ia harus mengalah, maka akan dilakukannya demi satu
kebahagiaan yang tak terkira. Jika memang harus ini yang terjadi, maka akan ia
pasrahkan. Masa lalu dulu yang kelam, membuatnya tak sanggup lagi melawan. Masa
lalu itu terus membayanginya hingga ia tak sanggup lagi menepis semua rasa
bersalah yang kian membara.
Ia hanya tak ingin, orang yang disayanginya itu akan
merasakan sakit yang sama dengan sakit yang Anggun rasakan dulu karenanya.
Hatinya akan menolak dengan tegas, saat cewek itu memintanya untuk menemani
kehidupan kedepannya. Karena, masa lalu itu seakan mengganjal pikirannya.
Hingga ia tak mampu lagi bertahan untuk gadis yang selama ini ia kejar.
Bukan kemauannya untuk menjauh dari Tari, tapi takdir itu
mengatakannya seperti itu. Tari sudah pasti akan mendapatkan satu kebahagiaan
yang sempurna dengan satu orang yang berbeda. Berbeda dengan dirinya. Karena
orang itulah yang mampu membuat Tari masih bisa tersenyujm meskipun ada badai
yang sedang menerjang gadis itu.
Ari adalah seseorang yang sudah berkali-kali jauh dan
juga terbangun. Seseorang yang selama ini membangun satu benteng yang penuh
dengan harapan. Namun, ia terpaksa menghancurkannya di depan Tari. Di depan
seseorang yang telah mengetahui sosok dirinya yang sebenarnya. Karena percuma
saja ia terus berpura-pura, karena gadis itu tahu. Sangat tahu.
“Akhir...,”
Ari langsung melompat dari kasurnya dan turun menuju
garasi. Ia taiki motor hitam legamnya itu dengan kecepatan tinggi. Membelah
hiruk pikuk yang sedang terjadi di kota Jakarta. Memasuki setiap keramaian kota
saat malam hari. Ia kemudikan motornya menuju satu tujuannya. Yang terakhir
kali ia akan kunjungi.
Lampu remang dari halaman depan rumahnya membuatnya
semakin tak dapat memejamkan matanya. Sudah berulang kali Tari coba dan
usahanya benar-benar sia-sia. Hatinya gundah. Merasa sesuatu akan terjadi
dengan dirinya dan hatinya.
Apalagi ia masih bingung dengan sikap Ari. Sementara itu,
Angga sudah berulang kali menhubungi cowok itu. namun, tak ada jawaban. Membuat
Tari seakan semakin sesak nafas memikirkan keadaan Ari. Karena cowok itu di
sekolah tak terlihat baik-baik saja.
Ia melompat turun dari kasurnya, lalu memandang keluar
jendela. Tiba-tiba suara deru motor yang sangat amat ia kenal. Dengan cepat,
Tari langsung keluar rumah.
Mata Tari menyipit, mencari-cari sosok yang datang dengan
suara motor khasnya itu. namun, tak kunjung ia temukan. Motornya ada di
kejauhan sana. Namun, sang pemilik entah berada dimana. Membuat Tari menjadi
sangsi dengan kedatangan orang yang ia tunggu itu.
Tubuhnya berbalik, menuju pintu rumah. Sepertinya tadi
hanyalah halusinasi sematanya saja. Tak benar nyata.
“TARI!”
Kontan Tari menoleh, dan ternganga saat melihat orang itu
benar-benar datang! Benar-benar berasa di depan rumahnya dengan satu senyuman!
Ari!!!
Tangan Ari menarik Tari. Merengkuhnya dalam satu pelukan
hangat nan memilukan. Kepala Tari terbenam di dada Ari. Tangan kanan Ari
memegangi kepala Tari, sedangkan yang satunya memegangi pinggangnya.
Tari, yang tak menyangka hal itu akan terjadi, sontak
menimbulkan rona-rona merah disekiat wajahnya. Untung saja wajahnya kini tengah
terbenam di dalam pelukan Ari, sehingga Ari tak dapat melihat warna merah
merona itu.
“Gue... sayang banget sama lo,” bisiknya ditelinga Tari.
“Udah lama gue pingin banget meluk lo lagi kayak gini. Tapi, gue nggak bisa
trus begini selamanya. Karena besok-besok elo bukan sepenuhnya milik gue.”
Yang berada didalam pelukannya itu kontan mengerutkan
keningnya. Lalu merenggangkan pelukannya. Namun, Ari malah tambah memeluknya
erat. Semakin erat sehingga Tari tak dapat pergi lagi. Tak dapat jauh dari Ari.
Dan tak dapat melepaskan pelukan yang membingungkan itu.
“Tar, gue berharap banget. Matahari itu tetap tersenyum
secerah yang dulu. Tetap tertawa seperti yang dulu. Dan tetap menjadi matahari
yang sama. Nggak berubah.”
Tari tertegun. Matahari? Apakah itu dirinya?
“Biarin gue peluk elo. Sekaliii iniii ajaaa...,” ucapnya
lirih. “Gue pingin meluk elo lama. Pingin ngerasain detak jantung yang mungkin
nggak akan gue denger langsung kayak gini.”
Meskipun bingung, Tari mengikuti apa mau cowok yang
memeluknya ini. Membiarkan cowok itu mengetahui bahwa detak jantungnya kini
berdetak lebih cepat dari biasanya. Lebih kencang daripada yang baiasanya dan
lebih istimewa.
Hangat. Dan tiba-tiba pelukan itu mendingin. Mendingin
sedingin es yang berada di kutub utara.
Membuat Tari menjadi merasa aneh. Membuat Tari menimbulkan berbagai macam
prasangka yang akan terjadi setelah ini. Pelukan yang erat dan menciptakan keindahan
itu, tiba-tiba menguat. Semakin menguat sehingga lama-lama Tari tak dapat
bernafas. Sesak. Paru-parunya seakan meminta oksigen.
“Sa... kit, Kak.”
Ari yang mendengar pekikkan itu kontan melepaskan
pelukannya. Lalu menatap Tari dalam. Dipegangnya dua lengan Tari dengan kedua
tangannya. Di tatapnya cewek dihadapannya ini dengan seksama.
“Mana yang sakit?”
“Udah enggak kok. Tadi elo meluknya kenceng banget, Kak.”
“Sori,” lirihnya “Nggak lagi.” Lalu dilepaskannya kedua tangannya dari lengan Tari. “Selamat
tinggal, Tar.”
Cowok itu tiba-tiba memundurkan langkahnya. Satu langkah.
Dua langkah. Hingga ada jarak yang terhitung antara dirinya dan juga Tari.
“Kak... mau ke mana?” tanyanya heran.
Tapi cowok itu malah tetap memundurkan langkahnya. Tak
menjawab pertanyaan Tari. Mata cowok itu menatap nanar. Lalu tubuhnya berbalik
badan dan pergi menjauh dengan motor hitamnya. Membuat Tari menjadi cemas.
“Selamat tinggal?” Tari mengerutkan keningnya. “Apa sih
maksud tu cowok!?” desisnya kesal.
***
Pagi ini pasti akan terlihat cerah bagi semua orang,
jika hari ini mereka mendapatkan surprise
yang sama seperti yang Tari dapatkan. Cewek itu benar-benar kaget saat
didapatinya sebuket bunga mawar putih sedang bertengger manis di mejanya. Lalu
ada satu kotak imut berpita oranye disebelahnya.
Fio, yang sudah datang terlebih dahulu memasang
wajahnya yang aneh. Keningnya berlipat rapat. Dan jari telunjuknya terus
mengetuk meja perlahan. Tari langsung mendekati Fio yang sedang melamun itu. Ia
hempaskan tubuhnya di kursi sebelah Fio.
“Ada apaan, Fi?” tanyanya heran.
Cewek itu tersentak dari lamunannya, lalu ia menoleh
ke arah Tari. “Lo jadi deket sama Ata sih?” tanyanya masih dengan kening yang
berlipat rapat.
“Hah!? Maksud lo apaam sih? Gue sama dia kan emang
deket. Secara dia itu kembarannya Kak Ari,” Tari jadi bingung.
“Trus ngapain Ata sampe ngasih kayak beginian sama
lo, Tar? Bahkan satu kelas di kasih cokelat semua!!!” Fio hampir menjerit
sangking tak menyangkanya.
HAH!??? Tari langsung terlonjak kaget, ia sampai berdiri dari
kursinya. Matanya terbelalak lebar. “APA??? SERIUSS??” jerit Tari tak dapat
menahan rasa kaget dan herannya itu.
Fio langsung menjawabnya dengan anggukkan. Lalu
ditatapnya Tari, “Ata dateng ke kelas. Tadinya mau nemuin lo. Tapi karena elo
belom dateng, dia nitip hadiah-hadiah ini sama gue buat elo. Truss... satu
kelas dia kasih cokelat!”
Tari kembali ke tempat duduknya, lalu tangannya meraih
sebuah kotak berpita oranye itu dengan tergesa-gesa. Matanya berbinar saat di
lihatnya isi kotak tersebut. Benar-benar hadiah yang manis dan juga membuat
Tari jadi terenyuh sejenak.
Di kotak itu terdapat kalung berbentuk matahari. Tapi
kalung ini jelas berbeda dengan kalung yang diberikan Ari pada Tari waktu itu.
Kalung ini memang berbentuk matahari, dengan berlian-berlian kecil berwarna
oranye disekitarnya. Dan terdapat nama di kalung itu. “Jingga Matahari”. Tak
hanya itu yang mampu membuat Tari terenyuh seketika, namun ada setangkai bunga
matahari disampingnya dengan secari kertas berwarna oranye.
Dibukanya kertas itu perlahan, lalu matanya terbelalak
saat membaca isi kertas itu.
Jingga
Matahari.
Kita
adalah satu nama yang tak terpisahkan, meskipun kita berbeda tata surya.
“Apa isinya?”
“Gue... nggak nyangka.
Isinya singkat, tapi bisa bikin gue jadi mikir sendiri, Fi.”
Fio langsun menarik secarik kertas dari tangan Tari
itu, kemudian membacanya. Matanya menyipit dengan satu keheranan. Disampingnya,
Tari melamun dengan senyum merekah di bibirnya.
“Tar,” Fio menyikut siku Tari, membuat Tari
tersadar. “Lo nggak suka sama Ata kan?” selidiknya dengan mata yang masih
menyipit.
“Eng… ya nggak lha. Gue kan udah tau siapa orang
yang gue suka!” kilahnya.
“Yakin? Kok gue nagkepnya nggak gitu. Meskipun
mereka kembar, mereka beda lho, Tar. Hati, fikiran, juga sifat mereka berdua itu
beda jauh! Jadi, jangan samain Kak Ari sama si Ata.”
“Iya, iya. Gue tau kok! Elo nggak perlu repot-repot
ceramah, lagi!”
***
“Gue udah kasih dia buat lo! Tapi, inget! Jangan
sekali-kali lo bikin dia nangis. Karena dia adalah benda dan bayangan gue. Gue
kasih dia bukan karena gue nyerah. Tapi karena gue liat dia lebih bahagia sama
lo!”
Ata tersenyum sinis, “tentu! Lo emang harus serahin
dia ke gue. Karena elo nggak pernah bikin dia dalam keadaan yang baik-baik aja!
Gue saranin, elo pergi jauh-jauh. Karena meskipun elo adalah sodara kembar gue,
ini adalah pertarungan terbuka antara elo dan gue! Ini masalah hati, bukan
masalah hubungan kita.”
Mata Ari mengobarkan kilat kemarahan yang tampak
luar biasa, dicengkramnya kerah Ata dengan geraham yang mengatup kuat. “Gue
pastiin, lo bakal kenapa-kenapa kalo dia sampe nangis!” tegasnya lalu
membalikkan tubuhnya, pergi dengan motor hitam legamnya.
Kepergian Ari membuat senyum sinis di bibir Ata
semakin merekah. Kubu lain, jelas kalah! Meskipun mereka berdua adalah saudara kembar yang
seharusnya saling mengerti, bagi Ata kali ini menyangkut urusan hati. Dia nggak
akan biarkan hatinya sendiri terluka hanya karena sosok Ari yang sebenarnya
telah merenggut semua kebahagiaan yang seharusnya ia dapatkan bertahun-tahun yang
lalu.
“Sori, Ri. Tapi, gue cinta Jingga Matahari!”
Dengan segala bukti yang ada. Disaat Ari menghilang,
disaat kado-kado yang diberikannya untuk Tari, dengan senyum dan rona merah
diwajahnya tlah meyakinkan Ari bahwa Tari memang lebih pantas dengan saudara
kembarnya, bukan dengan dirinya.
Meskipun hadiah-hadiah itu berasal dari Ari, Ari mengatas
namakannya dengan nama Ata. Ia hanya ingin melihat reaksi Tari. Benar-benar
jauh berbeda ketika ia memberikan kalung mataharinya untuk Tari. Karena saat
itu, Tari tak tanpak dengan rona merah dan langsung melamun seperti saat Ari
memberikan hadiah itu dengan nama Ata.
Ari yakin, dengan kepergiannya ini, akan membuat semuanya
jauh lebih baik. Dan ia tak harus merasa takut akan menyakiti Tari seperti apa
yang tlah dilakukannya dimasa lalu. Karena dia, masih tak sanggup menahan
bendungan dosa.
Ayooo,, going to part 16.. Posting besok yaaa :-D
BalasHapusNumpang promosi, kunjungi juga
http://catatansupergado.blogspot.com/2014/09/jingga-untuk-matahari-fanfiction-1.html
iya nih :D makasih udah mau baca :)
BalasHapuspasti mampir dong ke blog kamu...