Ardiyanti Zia
Jalan
sama Awan? Ya. Sekarang aku jalan sama Awan. Sadar nggak sih aku??? Ini Awan
loh. Cowok yang pernah kutaksir dan bikin aku nangis kejer gara-gara tau dia
sukanya sama Prisil.
Bukannya
nggak mungkin aku jalan sama Awan, tapi yah... You know, aku udah punya Atha. Bisa mencak-mencak kalau dia tahu
aku jalan sama cowok yang pernah kutaksir.
Tapi
masa bodolah. Toh kita emang lagi berantem. Dia duluan sih yang nyulut api. Eh
enggak deng.. Aku duluan. Gara-gara aku berpikiran sempit. Tapi serius deh...
ini kan nggak semuanya salahku. Ini juga salah pak polisi dan Fabi. Yaaah you know what...
“Zia?”
“Hmmm?”
Aku menoleh.
“Lo
kenapa?”
“Gue?”
Aku mengernyit. “Gue nggak kenapa-kenapa. Emangnya kenapa?”
Awan
tersenyum simpul. “Dari tadi lo diem aja. Ada masalah?”
Ada
sih. Masalahku sama Atha. Tapi nggak mungkin kan aku cerita-cerita sama Awan
soal Atha? Mau ditaruh mana mukaku?
“Nggak
ada kok.” Aku ikut tersenyum.
Drrttt....
drrtt...
Sial.
Ponselku bunyi lagi. Ini pasti dari Atha.
Dengan
malas, kurogoh tas kecil berwarna hijau di pangkuanku dan mengambil ponsel.
Kulihat layar di ponselku. Tuh kan benar... dari Atha.
Aku
lagi bete berat sama Atha gara-gara waktu terkahir kali dia mengantarkanku
pulang, dia malah nyuekin aku. Aku tahu aku salah, makanya sehabis diantar
Atha, aku langsung mengiriminya sms dan mengatakan bahwa aku menyesal, tapi
tetap tidak bisa memberitahu Sakura soal Fabi. Bukannya dibalas, dia malah
nyuekin aku. Makanya aku bete sekarang.
Sekali
tekan, ponselku langsung begetar dan muncul gambar robot android berwarna hijau
yang unyu banget. Lalu memasukkannya ke dalam tas lagi.
“Kenapa
ponselnya dimatiin?”
Ups.
Aku ketahuan. Aku nyengir dan melirik Awan dengan perasaan malu. “Eng... lagi
nggak mau dihubungin orang aja.”
Awan
langsung tertawa geli. “Ooooh.... ceritanya ini beneran kencan ya?” Awan
menyeringai. “Akhirnya, kencan dari gue diterima juga.”
Mendengar
itu, aku langsung menghela nafas panjang. Salah ngomong deh. Aku juga nggak
bisa jujur soal Atha. Yah, biarin aja deh Awan menganggap bahwa ini kencan.
Toh, nggak ada salahnya.
***
Setelah
nonton film romantis-humor di bioskop, Awan malah menggiringku mengelilingi
mall. Aku sih ikut saja, cewek mana yang nggak bersedia diajak mengelilingi
mall untuk cuci mata?
Kami
berhenti di sebuah toko pernak-pernik aksesoris. Awan menarikku ke deretan
gelang. Lalu memilih-milih gelang dengan kening berkerut. Satu menit kemudian
dia mengangkat tangannya dan menghela nafas panjang.
“Gue
nyerah deh buat milihin gelang cewek. Semuanya bagus.” Awan menatapku. “Lo yang
pilih, gue yang bayar.”
“Hah...?”
Sesaat aku hanya bisa bengong.
Tapi
tangan Awan langsung terulur padaku dan menyuruhku memilih ratusan gelang di
depanku.
“Tapi...”
“Kenapa?”
Awan menatapku bingung. “Nggak mau gelang? Apa mau kalung?”
“Nggak
usah, Wan. Nggak usah dibeliin. Gue lagi nggak pingin beli aksesori kok.”
Raut
wajahnya berubah menjadi masam. “Ayo dong!” rajuknya. “Satuuuu aja. Hadiah dari
gue.”
“Hadiah?”
Alisku menyatu.
“Lo
lupa ya kalo sebentar lagi lo ulang tahun?” Awan menatapku lekat.
Sedetik
kemudian aku langsung terdiam. Aku benar-benar lupa. Lagian ulang tahunku nanti
nggak bakalan spesial gara-gara Atha nggak ada. Mana sekarang kita lagi
berantem, mana sempet dia ingat hari ulang tahunku?
“Lo
beneran lupa?” Awan menatapku tak percaya, sementara aku hanya bisa nyengir
saja.
“Lagian
nggak penting-penting amat kok.” Aku berusaha menanggapinya dengan santai.
Meskipun di dalam hatiku, aku merasa sakit.
Awan
hanya bisa menghembuskan nafas beratnya sambil menggandeng tanganku. Dia
mengambil salah satu gelang di sana yang memiliki liontin huruf Z dan ada liontin
bintang di sana.
Setelah
itu, kami menuju kasir. Awan meminta dibungkus dengan kotak berwarna hijau
dengan pita manis di atasnya.
“Jangan
anggap ulang tahun lo nggak penting.” Awan berkata dengan nada beratnya. “Lo
tau, hari itu adalah hari spesial buat lo. Jadi nggak mungkin hari itu bukanlah
hari penting buat lo.”
Aku
tertegun. Sorot mata Awan yang pernah kulihat dulu kini kembali lagi. Sorot
mata yang kusukai sebelum sorot itu berubah saat mengenal Prisil.
Ya
Tuhan... ada apa denganku? Ini tidak benar. Kenapa rasanya Awan begitu sangat
baik denganku?
“Ini
buat lo. Kado pertama dari gue.” Awan memberikkan kotak yang dibawanya pada
gue. Dia tersenyum.
“Kado
pertama?” Aku mengernyit.
Jangan
bilang kalau Awan berniat untuk memberikan kado berikutnya? Ya ampun! Ini Awan
loh. Awan kan temen kamu sekarang, Zi. Jangan macam-macam deh! Kalau Atha
tahu...
Kalau
Atha tahu? Aku langsung bete berat. Bodo amat deh kalau dia tahu. Salah siapa
marah-marah sama aku!
“Kado
selanjutnya, tunggu ya...” Awan tersenyum misterius. “Makan yuk! Laper nih.”
Lalu tangannya menggenggam tanganku dan menggiringku menuju tempat makan.
Kenapa
rasanya aneh ya? Ini rasa... apa bersalah? Atau... yang lainnya?
***
Mataku
menangkap sosok yang sedang bersedekap dan menatapku dengan tatapan tajamnya.
Tidak diragukan lagi kalau orang itu pasti kesal bahkan marah padaku. Tentu
saja.
Dengan
malas, aku berjalan menuju gerbang rumahku dan mengabaikan keberadaannya. Masa
bodo banget deh. Yang penting sekarang aku mau tidur, karena mataku rasanya
berat banget.
Tapi
aku merasakan tanganku ditarik olehnya, membuatku terpaksa untuk mengurungkan
niatku untuk masuk ke dalam rumah.
“Dari
mana?”
Aku
mendesah panjang. “Kamu tau aku dari mana. Jadi nggak usah nanya.”
Genggaman
tangannya di tangaku menguat. Dia pasti marah besar karena aku bersikap seperti
itu.
“Kenapa
kamu nggak angkat telfonku?” Suaranya mengeras. “Pake dimatiin segala, lagi!”
desisnya kesal. “Seneng jalan sama Awan?”
Mataku
menatapnya lekat. Seakan menantangnya. “Kalo aku seneng jalan sama Awan
gimana!?” sentakku kesal.
Gerahamnya
mengeras. Ia melepas genggamannya padaku dan menatapku dalam. “Kalo kamu lebih
seneng sama Awan, kita putus aja.”
DEG.
Pu-putus?
Apa dia bilang? Putus? Dia kira segampang itu mengatakan putus?
Aku
yakin mataku sudah memerah. Rasanya aku pingin nangis sekarang juga. Tapi aku
malu harus nangis di depan Atha. Apalagi gara-gara Atha bilang putus.
“Putus?
Kamu kira ini salah siapa?” Aku memiringkan kepalaku.
“Kamu
tau kamu salah.” Atha berkata datar.
“Iya,
aku emang salah. Tapi kenapa kamu marah? Aku bohong sama Sakura, bukan sama
kamu!” ucapku dengan nada gemetar. “Kamu suka sama Sakura?”
Itu
adalah pertanyaan sebenarnya dari dalam lubuk hatiku. Aku terus bertanya-tanya
perihal kemarahan Atha padaku. Aku memang salah, tapi dia sangat berlebihan.
Jadi entah bagaimana, pikiranku langsung tertuju pada pemikiran bahwa Atha
sebenarnya menyukai Sakura.
Itu
tidak salah. Bahkan tidak mengherankan. Apalagi Sakura adalah teman sekelas
Atha dulu. Sedekat apa mereka dulu, mungkin aku nggak tahu. Karena Sakura juga
nggak pernah cerita soal Atha.
“Kamu
ngomong apa sih!?” Atha mengernyit. “Aku suka Sakura? kamu gila ya?”
“Kalo
emang kamu nggak suka sama Sakura, kenapa sih kamu selalu lebih mentingin
perasaan dia dari pada perasaanku!?” cecarku frustasi.
“Aku
nggak pernah mentingin perasaan siapa pun! Yang aku mau, kamu jujur!”
Sial.
Aku malah menangis. Aku benar-benar tak bisa mengendalikan emosiku sekarang.
Kuhapus
setiap air yang berlinang di pipiku sambil sesenggukan. Kurasakan sebuah tangan
terulur dan mendekapku ke dalam pelukan. Aku kembali menangis.
Aku
nggak mau putus. Aku nggak mau putus sama Atha. Aku sayang banget sama Atha.
Sayang banget....
“Maafin
aku kalau aku terlalu keras sama kamu,” bisiknya di telingaku. “Tapi cukup nyuekin
aku aja, tolong jangan kamu kasih perhatianmu itu ke Awan. Aku benci.”
Kedua
tanganku langsung melingkari pinggangnya. Aku yakin sekarang kemejanya basah
karena air mataku.
“Tapi
aku belum siap bilang sama Sakura.”
“Aku
tunggu...”
***
Tin...
tin...
Ah!
Itu klakson mobil Atha.
Hari
ini kami dan yang lainnya janjian untuk jalan bareng ke ragunan. Entah mau apa.
Yang jelas kami rasa kami perlu menghabiskan sedikit waktu yang kami punya
untuk bersama.
Sambil
berlari kecil, aku memakai jaket warna hijau lumutku dan tas kecil dari kulit
kesukaanku.
Sampai
di depan gerbang, kulihat Atha sudah siap dengan kemeja hitam rapinya.
Rambutnya yang agak ikal disisir dengan rapi dan sebuah senyum tercetak di
wajah manisnya. Uh! Atha ganteng banget sih.
“Hai.”
Aku melambaikan tangan.
Atha
langsung mencium pipiku seenak jidatnya. Menciptakan semburat merah di kedua
pipiku.
“Ih,
pake cium-cium, lagi!” desisku keki.
“Tapi
suka, kan!?” gerlingnya nakal. “Yuk, pergi. Anak-anak udah kumpul di rumahnya
Ruth.”
Aku
mengangguk sambil menyambut Atha yang membukakan pintu untukku. Romantis banget
sih dia pagi-pagi gini. Jadi pingin mukul, eh pingin meluk maksudnya.
“Sakura?”
Kedua alisku menyatu.
“Sakura
udah di rumah Ruth.” Atha menjawabnya dengan senyuman.
Baiklah.
Rasanya kemarin aku berlebihan. Sampai membawa Sakura ke dalam permasalahanku.
Padahal Sakura tak tahu apa-apa. Aku memang sahabat yang kurang baik.
Kami
berenam memutuskan untuk memakai mobil Atha untuk pergi jalan-jalan. Entah ide
siapa, yang jelas jadinya sih begitu. Meskipun Badai dan yang lainnya juga
membawa mobil, tapi mobil mereka terpaksa diparkir di garasi Ruth yang lebar
banget.
***
“Gue
duduk di tengah bareng Sakura!” ucap Ruth saat kami sedang mendiskusikan
tentang tempat duduk. “Anak cowok di belakang aja sana.”
Awan
mendengus. “Nggak mau. Di belakang panas!”
“Lo
kira mobil gue ini angkot!?” Atha mengomel. “Enak aja bilang mobil gue panas.”
“Maksud
gue, kalo di belakang, gue nggak kebagian AC.” Awan menjelaskan dengan bibir
mengerucut. “Elo sih enak. Duduk di depan. Bareng Zia, lagi.”
Waduh.
Kenapa aku dibawa-bawa? Padahal kan dari tadi aku diam saja. Aku tak berniat
mengganggu mereka mendiskusikan tempat duduk. Pokoknya hal yang sudah tertera
jelas adalah aku duduk di depan bareng Atha. Titik.
Sakura
menguap. “Lama-lama gue duduk di spion juga nih!” gerutunya.
“Ide
bagus, Ra!” Aku langsung menjentikkan jari. “Sana gih duduk di spion. Biar Awan
sama Ruth di tengah. Badai di belakang sendiri.”
“Duduk
di belakang aja, Wan. Nggak usah permasalahin AC deh. Kayak lo bakalan mati aja
kalo nggak dapet AC.” Badai berkata santai. Dia malah langsung nyelonong masuk
ke dalam mobil dan duduk di kursi paling belakang.
Dari
tadi tingkah Badai memang aneh. Seakan pura-pura nggak peduli dengan yang ada
di sekitarnya. Padahal dia jelas-jelas peduli.
“Nggak.
Enak aja gue duduk di belakang!” Awan protes.
“Tapi
gue nggak mau duduk bareng lo! Gue maunya duduk bareng Sakura!” Gantian Ruth
yang protes.
Ruth
memang rada-rada sebal dengan Awan saat kejadian lalu. Awan memang sinis banget
sih waktu itu. Mana pake belain Prisil segala. Padahal Prisil kan pelaku
kejahatan yang sebenarnya.
Setelah
berdebat cukup lama dan panjang, akhirnya sebuah keputusan dipilih oleh kami
serempak. Meskipun agak-agak aneh, tapi kami harus menerimanya dengan lapang
dada.
Awan
duduk bersama Atha di bagian depan. Aku dan Ruth di tengah. Tentu saja, Sakura
dan Badai akhirnya di belakang.
Bukan
apa-apa, sebenarnya tadi aku mau duduk bareng Badai di belakang, tapi si
Manusia Badak malah ngomel-ngomel dan berkata aku tidak boleh duduk dengan
cowok lain selain dirinya. Otomatis aku hanya punya dua pilihan, duduk bareng
Sakura atau bareng Ruth.
Sementara
itu, Ruth nggak mau duduk di belakang. Alasannya sama kayak Awan. Yah, meskipun
mereka berantem terus, ternyata mereka tipikal yang sama. Takut nggak dapat AC.
Kalau
Awan, udah tau sendiri dia nggak mau duduk di belakang dan nggak dapat AC. Ruth
juga nggak bersedia duduk bareng dia. Otomatis Atha harus mengalah dengan
membiarkan Awan duduk di sampingnya. Meskipun rada lucu, Atha tetap menjaga
emosinya agar tidak terlihat cemburu-cemburu banget sama Awan.
Aku
melirik ke belakang dengan ujung mataku. Sakura dan Badai sama-sama terdiam.
Mereka terlihat canggung. Duh... aku jadi kasian sama Sakura.
"Badai?"
"Ya...?"
"Bisa
geser sedikit?"
Lalu
kudengar suara Badai menggeser posisinya.
"Badai...?"
"Ya...?"
"Maaf
tapi sepatu lo nginjek sepatu gue."
"Ups.
Sori."
Hening
sebentar sampai aku tak mendengar suara dari belakang. Kufokuskan untuk melihat
ke depan. Tapi fokusku hancur seketika saat Sakura mulai berbicara lagi.
"Badai...?"
Aku
mendesah panjang. Gerah juga sama kecanggungan yang ada.
"Ra,
coba nggak usah panggil-panggil nama Badai seolah lo baru kenal dia...,"
gerutuku kesal. "Kalo kenapa-kenapa, lo langsung jitak aja
kepalanya."
"Hah?"
Sakura malah melongo.
"Kamu
tuh ya... feminin dikit kek kayak Sakura. Apa-apa langsung nyiksa orang."
Huh..
lagi-lagi si Manusia Badak membahas soal feminin. Baiklah, aku emang petakilan
atau pecicilan, nggak ada femininya. Tapi Sakura nggak jauh beda kok sama aku.
Emang
sih sifat dan sikap Sakura belakangan ini aneh banget. Yaaah... Sakura agak
pendiam dan nggak bawel seperti dulu. Dia malah lebih suka diam di tempat
padahal dulu dia nggak bisa berhenti bergerak bahkan dalam tidur.
"Iya
deh. Kenapa kamu nggak pacarin Sakura aja?"
Hening
seketika.
Aku
keceplosan lagi deh. Abis kalau dibanding-bandingin kayak gitu siapa yang nggak
risih dan kesel? Aku juga kan punya hati.
"Kalo
gitu boleh dong gue pedekate sama lo?" Awan nyeletuk.
Atha
langsung menggeram. "Lo berani pedekate sama cewek gue, gue bikin perkedel
lo!" ancamnya.
"Kalian
ini... udah tau ada cewek cantik nganggur di sini, malah godain yang udah punya
pacar." Ruth mengerucutkan bibirnya. Kami menyambutnya dengan ekspresi mau
muntah.
"Lagian
Ara kan sukanya sama gue."
"Idih
pede gila lo!" sembur Ruth pada Badai.
"Bener
kok, Ruth." Sakura malah membela Badai. "Tapi dulu."
Lalu
kami tertawa terbahak-bahak.
Badai
malah terdiam. "Serius?" tanyanya dengan ekspresi serius.
Kami
jadi terdiam karena reaksi Badai.
"Serius
cuma dulu? Sekarang udah enggak?"
"Hmmm..."
Sakura menggumam.
Aku
tahu meskipun gumamman itu terdengar sederhana tapi luka yang durasakan Badai
pasti besar kan? Ah aku ini ngomong apa. Badai kan sukanya sama Prisil. Tapi...
belakangan ini Badai memang lebij perhatian sama Sakura. Apalagi sebelum
perpisahan waktu itu. Apa itu cuma perasaanku saja ya?
***
Lucu.
Aku
terjebak di keramaian dan terpisah dengan rombongan lain. Sekarang aku malah
berduaan dengan Awan.
Sedari
tadi Awan menggenggam tanganku. Katanya sih takut aku hilang juga. Padahal
kalau aku hilang aku tinggal menghubungi yang lainnya. Nggak mungkin banget deh
aku hilang di tengah-tengah perjalanan asik begini.
"Haus
nggak?"
Aku
hanya mengangguk lemah saat ditanya begitu. Sudah pasti aku haus, pake banget
malah. Bayangin aja aku dari tadi mencari rombongan yang lain tapi nggak ketemu
juga. Mana matahari sedang terik-teriknya, lagi.
"Eh
di situ ada tukang es. Mau?"
"Mau!"
jawabku dengan lantang.
Awan
tertawa dan menggiringku ke tempat si tukang jualan es berada.
Uh...
melihat warna merah dengab tetesan air di sekelilingnya membuatku jadi tambah
haus bukan main. Rasanya aku ingin menyomotnya dari tukang es itu. Sayangnya
itu punya orang lain. Anak kecil pula. Nggak mungkin kan aku berantem merebutin
es itu sama anak kecil???
"Ini
Neng esnya."
Saat
tukang es itu menyodorkan segelas es aku langsung mengamitnya. Lalu menyedotnya
hingga setengah gelas.
Lagi-lagi
kudengar Awan tertawa geli melihat kelakuanku.
"Lucu
banget sih."
Aku
tersipu.
"Lo
mau nambah minum lagi?"
Kontan
aku menggeleng. Gila aja kalau aku nambah lagi. Bisa-bisa perutku kembung!
"Ya
udah kalo gitu. Cari makan yuk!" ajaknya. "Kayaknya kita nggak
bakalan ketemu sama anak-anak deh."
Duh...
makan berdua sama Awan? Aku sih nggak menolak. Soalnya perutku emang lapar
banget. Tapi kalo ketahuan Atha, gimana jadinya?
"Enggak
ah. Kita nunggu anak-anak aja dulu."
Kriuk...
Sialan!
Perut kurang ajar dan nggak tau diri! Bisa-bisanya di saat kayak gini malah
membunyikan diri!? Malu, tau!
"Yakin?"
gerling Awan menggodaku. "Kayaknya cacing di perut lo bentar lagi demo
tuh."
"Tapi..."
Aku menunduk pasrah.
"Elo
takut sama Atha?" Awan terkejut. Sepertinya dia bisa membaca isi
pikiranku.
"Dia
bisa marah kalo..."
"Trus
kalo lo nggak makan nanti lo pingsan, gimana!? Trus pingsannya lama banget dan
otomatis tubuh lo nggak dapet asupan gizi yang cukup, trus organ tubuh lo
berhenti kerja. Trus elo..."
"Awan!"
Aku melotot. "Bisa nggak sih nggak bikin statement menakutkan kayak tadi!?
Gue juga masih pingin hidup!"
"Makanya
makan..."
"Tapi..."
"Aduh.
Cium juga nih." Dia berkata keki lalu menarikku ke deretan tukang yang
menjual makanan.
"Ketoprak
atau gado-gado?" gumam Awan.
Aku
melirik deretan tukang jualan di depan mataku. Gila! Ini sih dijamin enak
banget deh.
"Gado-gado!"
seru kami bersamaan. Kami saling memandang dan tertawa.
"Yuk
masuk!" ajaknya. "Atha biar gue yang urusin."
Nggak
pernah aku melihat Awan perhatian begini. Iya sih dulu kan perhatiannya cuma
buat Prisil, tapi sekarang setelah mengetahui Prisil begitu kejam, pasti dong
Awan nggak suka lagi sama Prisil. Lagian kan aku teman dekatnya, Awan harus
baik-baik dong denganku.
"Bu
es jeruknya dua ya!" seru Awan setelah kami memutuskan apa yang akan kami
minum.
Lalu
seorang bapak-bapak setengah baya, yang merupakan suami ibu tadi, datang
menghampiri kami.
"Duh
maaf Mbak, Mas, gado-gadonya tinggal buat satu orang."
Duh...
ada aja ya cobaan kayak begini!?
Aku
memandang Awan dengan raut wajah bingung. Lalu cowok itu tersenyum padaku.
"Ya
udah, nggak apa-apa, Pak. Satu buat Mbak ini..."
"Wan?"
Aku menatapnya dengab perasaan tak enak. "Masa kamu nggak makan
sih!?"
Dia
hanya mengangkat bahunya. "Perempuan itu harus diutamakan. Lagian lo kan
lagi laper banget."
Lagi-lagi
aku harus tersipu gara-gara perlakuan Awan yang kelewat lembut. Jadi inget sama
Atha. Di mana dia sekarang? Kalau dia tau soal ini, marah nggak ya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar