Gema Athaillah
Gue
terpisah. Gue tersesat. Dan gue sendirian. Itu namanya sial pake banget.
Gara-gara
ada rombongan ibu-ibu, bapak-bapak beserta anak-anaknya yang tiba-tiba aja
mengepung kami. Sialnya pegangan tangan gue pada Zia malah terlepas begitu aja.
Gue kehilangan dia di tengah jalan.
Bayangin
aja, gue harus keliling Ragunan sendirian. Emangnya gue ke sini mau nyamain
muka!? Sama badak loh ya bukan sama monyet. Soalnya spesies gue ya spesies
badak. Kalo spesies monyet macamnya kayak gue, cewek-cewek pasti
kelepek-kelepek setiap mampir ke Ragunan. Oke, gue mulai ngelantur.
Yang
jelas sekarang gue bete berat dan nggak berniat untuk pergi ke mana pun selain
duduk di kursi panjang yang disediain di sana.
"Atha?"
Gue
mendongak dan mendapati sosok yang gue kenal tersenyum ke arah gue.
"Ngapain
di sini sendirian?"
Gue
tersenyum membalas sapaannya. "Jalan-jalan dong, Am. Masa iya mau nyamain
muka."
Dia
tertawa geli. "Boleh aku duduk di sini?" tanyanya.
"Oh
boleh... boleh."
Amboi
duduk di sebelah gue dengan anggun. Dia memakai gaun berwarna kuning cerah
selutut dengan topi pikniknya yang unyu banget. Ah Amboi masih sama seperti
dulu. Masih anggun, feminin dan manis.
"Am,
kamu sendiri ke sini?"
"Tadi
sih bareng sama Prisil. Tapi dia ngilang di tengah jalan."
Prisil?
Di sini? Waduh! Gawat banget dong.
"Kenapa
nggak nyoba hubungin aja?"
"Udah.
Tapi nggak diangkat. Padahal udah aku telfon, sms, whatsApp, bahkan LINE, tetep
aja nggak dibales ataupun baca." Dia menyodorkan ponselnya pada gue.
"Liat deh."
Gue
mengangguk-angguk. Amboi jujur. Lagi pula, Amboi sebenarnya baik kok. Nggak
kayak saudara-saudaranya yang freak itu. Yang bikin gue bonyok-bonyok.
"Kamu
sendiri di sini?"
"Enggak.
Tadi sih bareng sama anak-anak. Tapi tadi aku kepisah gara-gara ada rombongan
gitu." Gue bercerita.
Ngomong-ngomong
gue dan Amboi masih bicara dengan aku-kamu karena kebiasaan. Dulu waktu kita
masih temenan juga ngomongnya aku-kamu. Jadi agak aneh aja kalau tiba-tiba gue
ngomong pake gue-elo.
“Zia
ada di sini juga?” tanyanya.
Gue
mengangguk untuk menjawabnya.
Dia
hanya ber-oh ria dan tiba-tiba bangkit dari kursi. “Eng... Atha, aku kayaknya
harus nyari Prisil lagi deh. Aku pergi dulu ya.”
Gue
jadi ikutan berdiri. “Kenapa nggak cari bareng aja?” tawar gue.
Bukannya
modus, tapi emang mending begitu kan? Yah, dari pada gue sendirian di sini
kayak kambing conge, mending gue nemenin dia nyari Prisil.
“Nggak
usah deh, Tha. Biar aku cari sendiri. Nggak enak kalau Zia liat dan salah
paham.”
Ya
ampun ni cewek bikin gue gemes. Masih aja mikirin perasaan orang lain? Amboi
emang cewek baik deh. Kalau bukan karena saudaranya yang rada sinting, mungkin
gue masih mempertimbangkan kembali untuk kembali sama Amboi. Eh, kok gue
ngomongnya gitu? Gue kan udah punya Zia.
“Am,
Zia nggak bakalan salah paham kok.” Gue menjelaskan. “Lagian aku kan bantuin
kamu nyari Prisil. Bukannya kencan sama kamu.”
Amboi
terdiam sejenak. “Mmm... iya deh.”
***
Ini
bener-bener gila! Ini bukan gue yang gila. Tapi apa yang gue lihat bikin gue
gila. Eh... sama aja ya?
“Dasar
cewek murahan!” Prisil menjambak rambut Sakura dengan sekali tarik. Sakura
meringis. Gue ikutan meringis. Pasti sakit banget tuh.
Sementara
itu, di sebelah gue, Amboi menatap dengan mulut menganga. Cewek itu pasti syok
banget terhadap perlakuan sepupunya yang kayak narapidana kelaperan. Eh, dia
sih emang mantan narapidana.
Badai
ke mana lagi? Kenapa cowok itu nggak ada? Ruth? Sial. Geu harus turun tangan.
Dengan
langkah panjang, gue berlari ke arah mereka. Mendorong paksa cewek gila bernama
Prisil itu dan langsung melindungi Sakura sebelum Prisil melukainya. Sakura
berdiri di belakang punggung gue dengan wajah pucatnya. Gue jadi kasihan.
“Apa-apaan
sih lo!? Nggak punya malu ya?” sentak gue marah.
“Elo
nggak usah ikut campur. Ini urusan gue sama dia!” teriaknya kesal.
Sekumpulan
orang mulai berbaris mengelilingi kami. Prisil emang jago banget nyari
perhatian orang. Sekarang kita jadi tontonan banyak orang yang lewat sana.
“Gue
perlu ikut campur. Dasar cewek gila!”
Masa
bodoh deh dengan kenyataan bahwa dia itu cewek dan gue ini cowok. Yang jelas
gue nggak bisa membiarkan tu cewek gila melukai Sakura seenak jidatnya.
Emangnya Sakura salah apa sama dia?
“Prisil,
udah dong. Malu diliatin orang...,” ucap Amboi dengan nada berbisik.
Prisil
menepis tangan Amboi yang berusaha memegangnya. Cewek itu menatap tajam
sepupunya, lalu menatap gue dengan tatapan yang sama.
“Tu
cewek milik gue! Siniin nggak!?” Dia berteriak kalap.
“Gila
ya lo!?” Gue mengernyit.
“Dia
udah ngambil Badai dari gue!!!” teriaknya. “Dia bikin gue dan kakak gue
dipenjara. Dia cewek murahan yang nggak tahu diri!!! Dia pantes mati!”
Tiba-tiba Prisil mengambil pisau dari saku jaketnya.
Gila.
Cewek ini kayaknya kesurupan jin apa gitu sampai-sampai bawa pisau ke tempat
rekreasi kayak gini. Pisau buat ngiris buah sih nggak masalah, lah kalau pisau
buat bunuh orang?
“Dia
pacar gue sekarang. Jangan pernah salahin dia karna lo putus sama Badai. Itu
bukan salah dia. Dia juga nggak ngerebut Badai dari lo. Badai yang nggak mau
deket-deket sama lo.”
Ngomong
apa gue tadi? Yah, dari pada Sakura kena jambak lagi.
“Dia
pacar lo?” desis Prisil.
Ia
maju mendekati gue. Otomatis gue mundur selangkah. Gila. Serem juga ya tu cewek.
“Tolong,
jagain pacar lo biar nggak keganjenan lagi sama cowok orang!”
“Prisil?”
Kami
menoleh bersamaan ke sumber suara. Badai. Akhirnya tu cowok muncul juga. Gue
hampir kena serangan jantung gara-gara muka psiko-nya Prisil sambil bawa-bawa
pisau begitu.
“Badai?”
Prisil tergeragap. Ia langsung menyembunyikan pisau itu di punggungnya.
“Badai...”
“Atha
benar. Ara pacarnya. Ara juga bukan alasan gue buat ninggalin lo.” Badai
menjelaskan tanpa diminta. Raut wajah cowok itu kelihatan murung. Ah... sejak
di mobil tadi wajahnya emang begitu.
“Badai....
tapi Sakura...”
“Ara
nggak salah apa-apa. Tolong jangan salahin dia.” Badai memotong ucapan Prisil.
“Gue sama dia... cuma temen.”
***
Gara-gara
ngaku jadi pacarnya Sakura, sekarang gue harus berakting di depan Prisil
sebagai pacarnya Sakura. Tu cewek gila nggak mau pergi sebelum bener-bener
yakin kalau gue ini pacarnya Sakura.
Gue
juga jadi nggak enak sama Badai. Mukanya yang udah murung tambah murung lagi.
Kayak ada badai di hatinya. Udah cocok banget tuh nama dia sama suasana
hatinya.
Dan
yang gue bisa lakukan sekarang adalah mengelus-ngelus puncak kepala Sakura
dengan pelan, supaya cewek itu segera tersadar dari syoknya. Mukanya masih
pucat banget dan dia nggak berani untuk mengangkat wajahnya.
Kalau
gue tanya, dia cuma bisa ngangguk sama menggelengkan kepalanya. Gue jadi
kasian. Ketemu sama Prisil aja kejadiannya udah begini, gimana nanti kalau dia
ketemu sama Fabi? Eh... gila. Mana Sakura nggak tahu keberadaan Fabi yang sudah
bebas, lagi. Gawat deh.
“Ra,
mau minum lagi?”
Sakura
menggeleng.
Tuh
kan. Trus sekarang gue harus akting apa lagi nih kalau Sakuranya aja kayak
begitu? Kalau begini, Prisil juga nggak akan pergi-pergi sebelum yakin gue sama
Sakura beneran pacaran.
“Athaaaaaa....”
Ah.
Suara Zia. Dan seketika sebuah tangan merangkul gue dengan mesra. Waduh,
waktunya nggak tepat banget sih.
“Eh,
Zia...” Gue menyapa balik dengan raut wajah kaku. Perlahan, tangan gue
menurunkan tangannya dari pundak gue.
Reaksi
Zia? Jelas dia terkejut. Dia bingung. Dan kayaknya dia bakalan marah besar sama
gue. Tapi ini taruhannya rambut Sakura bakalan dijambak lagi loh. Bahkan
mungkin tubuhnya Sakura bakalan ditusuk-tusuk. Zia juga nggak bakalan mau kalau
Sakura digituin, kan!?
“Sil,
sampe kapan mau di sini?” tanya Amboi dengan nada pelan.
Saat
itu juga Zia baru menyadari kehadiran Amboi dan Prisil di sana. Kedua matanya
terkejut.
“Prisil?”
Gue
mendengar Awan menyebutkan nama prisil dengan kaku. Di sebelahnya muncul Ruth
yang sedang minum es kelapa.
“Sampe
gue yakin.” Katanya tegas.
Badai
menunduk pasrah. Lalu dia melirik gue, memberikan tanda supaya gue
menyelesaikan ini semua dengan cepat. Lah kenapa gue? Gue kan niat bantuin
doang. Ini terjadi kan gara-gara si Badai juga.
“Ra,
balik yuk ke mobil. Kamu istirahat di sana biar enakan. Di sini kan panas,”
ucap gue sambil mengelus-elus rambut Sakura dengan sayang. Lalu setelah
melihatnya mengangguk, gue membantunya berjalan sampai parkiran.
Tuhan.
Sekarang Zia pasti cemburu banget. Meskipun Sakura adalah sahabatnya, Zia
paling nggak suka ngeliat gue deket sama cewek lain, apalagi sampai perhatian
kayak begini. Trus gue harus gimana dong?
***
Keadaan
di dalam mobil sunyi kayak di kuburan. Bahkan kayaknya kuburan lebih
menyenangkan dari pada suasana mobil ini. Badai diam. Zia diam. Sakura diam.
Awan diam. Dan gue juga diam. Satu-satunya manusia yang nggak kena masalah hari
ini ya cuma Ruth. Dia sih enak, nyanyi-nyanyi sambil makan keripik. Lah gue?
Gue
menghembuskan nafas aja kayaknya udah berisik banget. Apalagi ikut makan
keripik bareng sama Ruth? Lagian itu nggak mungkin sih. Kan gue nyetir nih.
Udah gitu keripiknya ada di Ruth yang duduk di belakang. Tangan gue mana nyampe
ke belakang buat ngambil keripik.
Mana
pake macet segala, lagi. Kan tambah lama nyampenya.
Awan
sibuk dengan lamunannya dan tangannya yang bergerak mengganti channel radio di
mobil. Gue menengok ke belakang. Ruth dan Zia juga ketiduran. Tapi yang di
belakang luar biasa sekali. Mata gue sampe membulat seperti bakso. Enak banget
itu Badai. Si Sakura tidur juga, tapi tidur di pundaknya Badai. Udah gitu
tangan si Badai pake ngelus-ngelus rambut Sakura, lagi.
Badai
sendiri nggak sadar gue liatin. Soalnya dia lagi ngeliat ke luar jendela dengan
pandangan kosong.
Di
luar memang rintik-rintik tanda mau hujan. Jadi posisi paling enak adalah
Badai. Dan posisi paling nggak enak adalah gue. Udah disuruh nyetir, dicuekin
Zia, kelaperan nggak dapet makan, dan malah duduk sebelahan sama monster
nyebelin kayak si Awan.
Duh...
nasib... nasib...
***
Setelah
sampai di rumah Ruth, semuanya turun. Kecuali gue, Zia dan Sakura. Tadinya
Badai niat nganterin Sakura pulang, tapi kondisi kayak begini, mana mungkin
Sakura mau. Awan rumahnya nggak searah sama Sakura. Jadi gue adalah
satu-satunya orang yang bisa nganterin Sakura pulang.
Setelah
Sakura turun dan mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya pada gue, suasana
mobil kayak di kuburan lagi.
Setiap
kali gue ajak ngobrol, Zia cuma bisa menggumam atau nggak ngangguk doang. Gue
yakin seratus persen kalau dia lagi marah sama gue. Mukanya udah bete berat dan
berada di dalam satu mobil yang sama dengan gue bikin dia tambah bete lagi.
“Zi...”
“Hmmm?”
“Kamu
marah?”
“Enggak.”
“Trus
kok diem aja sih?” tanya gue dengan kening mengerut.
“Hmmm...”
Gila.
Nggak niat banget jawabnya. Gini ya cewek, kalau ditanyain kenapa malah nggak
jawab. Kalau nggak ditanyain makin ngambek. Pingin bunuh diri rasanya kalau
begini.
“Zi...”
“Hmmm?”
“Kamu
nggak jawab pertanyaan aku. Kenapa kamu diem aja?”
“Nggak
kenapa-kenapa.”
“Beneran?
Muka kamu udah kusut banget kayak jemuran belom digosok.”
“Hmmm...”
Kampret.
Diem aja deh gue. Ngomong lagi juga salah.
Sampai
di depan rumah Zia, dia langsung turun begitu aja. Kalau masih baikan sih ya
cipika-cipiki dulu lah ya. Kalau sekarang? Jangankan cipika-cipiki, senyum aja
nggak dikasih. Mana pintunya dibanting, lagi.
Nasib
hari ini sial banget kayaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar