Ardiyanti
Zia
Sudah
bertahun-tahun lamanya aku melewatkan masa SMA tanpa Sakura. Dia memang selalu
mengirimi kabar melalui e-mail. Tapi siapa sih yang nggak kangen sama cewek
ganteng itu? Apalagi dia satu-satunya tempat yang bersedia untuk menjadi tempat
sampahku.
Hubunganku
dengan si Manusia Badak juga berjalan baik. Berkat Sakura yang menyadarkannya
bahwa masa lalu tetaplah masa lalu. Dan seharusnya Atha sadar bahwa akulah yang
menjadi masa depannya.
Kedengarannya
agak aneh ya? Aku terlalu agresif. Tapi begitulah aku sekarang. Aku cemburu
jika ada cewek yang berani mendekati bahkan menggoda Atha. Awas saja... akan
kugebok cewek-cewek ganjen itu.
Aku
tidak masuk universitas yang sama dengan Atha. Padahal aku berharap dia
bersedia satu universitas denganku.
Atha
memilih untuk masuk akademi kepolisian sementara aku harus masuk universitas
ekonomi terkemuka karena ayahku ngotot aku harus masuk sana. Katanya sih aku
nggak pantas jadi polisi wanita, padahal aku pingin banget jadi polisi wanita.
Kata
orang-orang, hubungan kami ini LDR, Long Distance Relationship. Tapi kami nggak
semenderita orang-orang yang LDR lainnya kok. Kami tetap bertemu diam-diam saat
aku libur. Ngomong-ngomong universitasku itu mewajibkan aku untuk berada di
asrama selama satu tahun. Makanya aku agak menderita selama dua semester waktu
itu. Tapi sekarang aku sudah berada di semester ke enam dan aku cukup berhasil
menjalankan LDR.
"Sakura
udah take off?"
Aku
tersentak dari lamunanku. Aku menoleh dan menggeleng. "Belum sih. Tapi
setengah jam lagi dia take off
kok."
Atha
mendesah panjang sambil melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah dua jam
kami berada di sini. Aku yang ngotot supaya datang lebih awal agar bisa
menyambut Sakura. Aku nggak begitu yakin kalau nanti aku dan Sakura masih bisa
seakrab dulu.
Meskipun
selalu mengirim kabarnya lewat e-mail, dia tidak pernah mengungkit-ungkit
tentang Badai lagi. Aku tidak tahu kenapa, mungkin dia sudah melupakan Badai.
Dia juga jarang mengungkit tentang Davi, cowok yang pergi bersamanya ke Jepang.
Hal yang tak pernah dilakukan Sakura sebelumnya.
"Masih
lama ya?" desah Atha tak sabaran.
Aku
menyikut lengannya pelan. "Jangan gitu dong! Sakura pulang demi kita nih.
Sebenernya dia kan nggak mau pulang." Oh tidak! Aku langsung menutup
mulutku rapat-rapat. Aku keceplosan.
"Dia
nggak mau pulang?" tanya Atha bingung.
"Eng.."
Aku tergeragap. "Ya gitu deh..."
"Kenapa?"
Kedua alisnya bertaut.
Sial
banget. Aku nggak tahu harus menjelaskan seperti apa. Yang jelas Sakura selalu
menolak saat kuminta untuk kembali ke Indonesia. Padahal dulu dia bilang akan pulang
satu tahun sekali ke Indonesia, tapi karena orang tuanya menyusul ke sana, ia
tak punya alasan kuat untuk kembali ke Indonesia.
"Mungkin...
Dia belum bisa ngelupain kejadian lalu."
"Fabi!?"
desis Atha. "Cowok itu bebas begitu aja. Aku kalo jadi Sakura juga nggak
bakalan sudi balik ke Indonesia. Dia udah ngebunuh dua orang dan masih aja bisa
berkeliaran bebas."
Aku
mendesah panjang.
Entah
kenapa Fabi bisa berkeliaran di mana-mana sekarang. Kadang-kadang aku parno
sendiri setelah mendengar Fabi sudah bebas berkeliaran ke mana-mana. Sakura
tidak tahu sama sekali tentang Fabi karena Fabi baru saja dibebaskan minggu
kemarin. Aku tidak memberitahunya karena aku benar-benar ingin bertemu dengan
Sakura. Aku nggak rela Sakura membatalkan kepulangannya hanya karena si Fabi
kurang asem itu.
“Soal
Fabi... kamu... jangan kasih tau Sakura ya?”
Kedua
bola mata Atha melebar. “Kamu nggak ngasih tau Sakura kalo Fabi bebas?”
Aku
menggeleng pasrah. Mau bagaimana lagi? Aku kan kangen berat dengan Sakura. Aku
juga nggak mau acara kangen-kangenanku diganggu hanya karena si Fabi nyebelin
itu.
“Kamu
egois banget, tau nggak!?”
Sejenak
aku merasa jantungku tertohok. Aku tahu aku salah, tapi kenapa Atha malah
mengataiku egois? Rasanya sakit banget mendengar dia menyebutkan salah satu
kekuranganku. Dari dulu Atha selalu berprilaku baik padaku, nggak pernah
marah-marah apalagi sampai mengataiku egois. Makanya aku syok banget saat
mendengarnya berkata seperti itu.
“Kok
kamu marah sih?”
“Jelas
dong!” Suaranya meninggi. “Aku tau kamu kangen sama Sakura. Tapi kalau kamu
nipu Sakura dengan cara ini supaya bisa ketemu Sakura, kamu salah!”
Aku
rasa sekarang kami berdua menjadi pusat perhatian orang-orang. Ini bandara dan
kami berdua bertengkar hanya karena masalah kecil. Tapi aku tetap tidak terima!
“Iya,
aku tau aku salah! Aku mau ketemu Ara, tapi nggak ada cara lain! Aku emang
egois. PUAS!?” Nafasku terengah-engah akibat emosi yang baru saja kukeluarkan.
Aku
tidak peduli dengan puluhan tatapan orang yang memerhatikanku dan Atha
bertengkar. Aku sakit hati jika Atha malah menyalahkanku. Atha tidak pernah
begitu.
Dan...
lima belas menit berlalu dengan keheningan antara aku dan Atha. Kami sama-sama
diam dan menolak untuk berbicara. Untungnya Sakura datang saat aku mulai merasa
gerah dan ingin berbicara.
“Maaf
nunggu lama.” Sakura tersenyum dan aku langsung menghambur ke dalam pelukannya.
Aku kangen dia banget.
“Nggak
apa-apa.” Aku tersenyum. “Yuk langsung cabut!” Aku menggandeng tangan Sakura
dan tak sengaja bertemu tatap dengan Atha. Cowok itu menatapku dengan tatapan
datarnya. Sepertinya dia juga masih merasa marah.
***
Selama
perjalanan aku dan Atha diam. Dan sepertinya Sakura mengetahui bahwa ada yang
aneh antara aku dan Atha karena sedari tadi dia menanyakan hubungan kami tapi
kami berdua selalu mengalihkan topik pembicaraan.
Jangan
salahkan aku soal ini, ini semua salah si Manusia Badak itu. Salahnya
memarahiku dan mengataiku egois. Aku kan tidak suka. Apa-apaan dia.
"Eng...
Kalian kenapa sih?"
Sakura
membuka pembicaraan lagi. Sepertinya dia gerah melihat atmosfir yabg tercipta
antara aku dan Atha.
"Kalian
lagi berantem?"
"Enggak
kok!" jawab kami bersamaan. Aku dan dia langsung sama-sama melirik.
Tatapan kami sama-sama tajam. Seakan kami adalah musuh bebuyutan yang sialnya
duduk satu mobil.
Sakura
kembali terdiam. Sepertinya dia enggan untuk menanyakan lebih lanjut. Padahal
dulu Sakura sering ikut campur urusanku. Bukannya aku nggak suka, aku malah
suka banget sama Sakura yang suka ikut campur urusanku. Itu berarti dia peduli
padaku. Tapi kali ini Sakura benar-benar berbeda.
***
Setelah
mengantar Sakura ke rumah lamanya, aku dan Atha pamit ijin pulang. Sebenarnya
sih aku tidak mau pulang bareng sama Atha. Aku kan lagi bete-betean sama dia.
Mana mungkin aku tahan duduk sebelahan sama Manusia Badak itu?
Mana
gayanya sok keren gitu, lagi. Nggak biasanya Atha jadi pendiam. Biasanya dia
cerewet dan juga nggak tahu malu. Apa mungkin pendidikannya di Akademi Polisi
membuat kepribadiannya berubah ya?
“Seminggu
lagi aku balik.” Atha berkata dengan nada datar.
Aku
meliriknya. Wajahnya sama sekali nggak berekspresi dan aku tahu dia juga marah
sama sepertiku. Tapi aku lebih marah lagi. Apa-apaan sih dia ngatain aku egois?
Ngomong-ngomong
kami sedang liburan akhir tahun. Jadi Atha bisa pulang dan juga bisa bertemu
aku.
“Masih
marah?” tanyanya kali ini dengan nada lembut.
Aku
langsung memasang wajah bete terbaikku. Biarin aja. Biar dia tau rasa karena
sudah mengataiku egois. Memangnya aku nggak punya hati?
“Iya
deh, aku minta maaf. Tapi kamu tau kan kalau kamu salah. Aku marah supaya kamu
tuh nggak bertindak bodoh. Apalagi sampai nipu Sakura.”
“Aku
kan udah bilang, aku itu kangen Sakura dan dari dulu, setiap kali aku minta
Sakura balik ke Indonesia, Sakura nggak pernah mau. Kalau sampai Sakura tau
Fabi bebas begitu aja, dia pasti nggak mau pulang.”
Atha
tersenyum. “Iya, aku ngerti. Tapi lebih baik kamu jujur sama Sakura dari pada
nanti Sakura marah sama kamu.”
Baiklah.
Semua memang salahku. Seharusnya aku jujur dan berujung pada Sakura yang tidak
sudi kembali ke Indonesia gara-gara Fabi yang nyebelin itu. Seandainya Fabi
bisa lenyap dari dunia ini, mungkin aku lebih senang. Bahkan akan sangat sangat
bahagia.
“Besok,
kamu bilang sama Sakura yang sebenarnya.”
“Tapi...”
Atha
menoleh. “Nggak ada tapi-tapian, atau aku marah sama kamu.”
Uh
dasar Manusia Badak. Nyebelin banget sih.
***
“Lepasin!”
Aku menjerit tak keruan saat seseorang berjubah hitam mengikatku dengan tali.
Sementara ekor mataku mendapati Sakura yang berlumuran darah di kursinya.
Matanya tertutup rapat dan bajunya compang-camping.
Rasanya
aku ingin menangis sekencang-kencangnya dan menonjoki semua orang yang ada di
sana.
Meskipun
mereka semua memakai topeng, aku tahu itu mereka. Aku tahu mereka adalah
Prisil, Fabi, Rado, Amboi, dan Cessa. Aku tahu itu pasti mereka. Gelang milik
Prisil dan Amboi yang kukenali dipakai di pergelangan tangan kedua orang di
antara mereka.
Tidak
salah lagi. Itu memang mereka.
“Lo
apain Sakura!? lo apain!?”
“Salah
lo. Kenapa dulu lo bikin Atha nggak kembali pada gue?” Aku mendengar suara
Amboi tertawa licik. “Lo kira saat kami masuk penjara, kami nggak bisa keluar?”
“Sialan!”
desisku kesal. “Gue nggak pernah bikin Atha nggak kembali sama lo! Dia emang
udah nggak suka sama lo!”
“Lagi
pula Sakura pantas mendapatkannya.” Kali ini terdengar suara Prisil yang tajam.
“Dia memang pantas mati. Dia merebut segalanya yang ada di kehidupan gue. Dia
pantas mati!!!”
“ENGGAK!
LO YANG PANTAS MATI!!!” Aku berteriak kalap.
Tiba-tiba
saja terdengar suara gesekan antara kursi dan lantai. Aku menoleh. Sakura sudah
membuka matanya. Dia menatapku tepat di manik mata. Raut wajahnya tak seperti
biasanya.
“Zia,
tega-teganya lo bohongin gue. Tega-teganya lo bikin gue masuk ke perangkap yang
sama. Lo benci gue, hmmm?”
Aku
menggeleng-gelengkan kepalaku. Aku menangis sekencang-kencangnya. Aku tidak
pernah berniat membohonginya. Aku tidak pernah berniat untuk membuat Sakura
diculik lagi. Tidak...
“Enggak.
Gue nggak begitu. Gue nggak berniat buat lo masuk ke perangkap yang sama.”
“Lo
jahat, Zi. Lo jahat. Lo jahat sama gue.” Sakura tersenyum sinis. “Lebih baik
gue mati aja dari pada gue harus berteman dengan lo lagi.”
Entah
dari mana, Sakura memegang erat pisau tajam di tangan kanannya. Dia mengangkat
tinggi-tinggi pisau itu. Aku membelalakkan mataku dan menangis sejadi-jadinya.
“Jangan....”
isakku. “Jangan, Ara. Ara jangan, plis... maafin gue...”
“Selamat
tinggal, Zia...” Sakura mengarahkan pisaunya ke jantung dan aku mendapati
bajunya yang putih lusuh mulai memunculkan noda merah.
Kedua
mata Sakura terpejam. Darahnya mengalir terus dan aku merasa bahwa aku akan
mati saat itu juga. Karena yang dapat kulakukan hanyalah menatap tubuh Sakura
yang melemah di kursi dengan kedua mata membelalak lebar. Aku terkejut bukan
main.
“SAKURAAAAAAAA....”
Aku berteriak sejadi-jadinya dan menangis sampai dadaku sesak.
Tidak.
Ini tidak boleh terjadi. Sakura tidak boleh mati. Sakura tidak boleh mati.
SAKURA TIDAK BOLEH MATI.
“Zia?”
Aku
membuka kedua mataku yang terpejam rapat. Peluh mengalir di keningku dan aku
merasakan hawa dingin di sekitar tubuhku.
Tadi
itu mimpi. Iya, kan?
Mataku
mengerjap-ngerjap melihat Sakura menatapku bingung. Tanpa sadar, aku langsung
merengkuhnya ke dalam pelukanku. Aku takut kehilangannya. Aku takut.
Benar-benar takut.
“Hei,
elo kenapa?” Sakura melepas rengkuhanku. Dia masih menatapku bingung. “Lo sakit
ya? Wajah lo pucet banget.”
“Ra,
jangan tinggalin gue ya. Plis, jangan mati.”
Sakura
melongo. “Mati?” Ia langsung tertawa terbahak-bahak. “Gue mati? Kenapa gue
mati?”
“Gue
serius. Lo nggak boleh mati.”
Sakura
langsung berhenti tertawa. Tatapannya sendu dan kedua bola mata coklatnya
menatapku dengan aneh.
“Kenapa?”
tanyanya.
Aku
hanya menggelengkan kepalaku. “Pokoknya, apapun yang terjadi, lo nggak boleh
mati. Lo nggak boleh mati. Titik!”
Dan
akhirnya, aku tetap tak berani menceritakan perihal Fabi sudah bebas dari
penjara.
***
Untuk
sejenak, aku berusaha melupakan mimpi buruk itu. Hari ini aku harus kelihatan
ceria karena hari ini kami akhirnya berkumpul lagi. Setelah sekian tahun
lamanya.
Biasanya
kami sih suka ngumpul, tapi pasti nggak lengkap. Tidak ada Sakura karena dia di
Jepang, tidak ada Atha karena harus mengikuti sekolah di akademi kepolisian dan
Badai selalu saja menolak untuk ngumpul. Dia selalu memiliki alasan. Tapi dua
tiga kali, dia pernah datang di acara ngumpul bareng sih.
“Akhirnya,
sekian tahun lamanya kita bisa kumpul lagi.” Ruth tersenyum lebar.
Meskipun
kami sangat berisik, suasana tegang antara Badai dan Sakura sangat terasa.
Badai sedari tadi memerhatikan Sakura sementara Sakura malah melengos ke arah
lain. Aku jadi aneh sendiri.
"Jangan
urusin urusan orang deh." Atha berbisik di telingaku. "Biarin aja
mereka begitu."
Aku
mendengus. Aku ikut campur kan karena aku peduli. Aku juga peduli terhadap
perasaan Sakura.
"Kamu
udah bilang soal Fabi sama Sakura?"
Aku
tergeragap. Aduh! Kenapa sih Atha ingat saja soal itu?
"Kok
diem? Kenapa?" tanyanya pelan agar tak seorangpun mendengar percakapan
kami. "Kamu belum bilang ya?" Kedua matanya melotot dan nadanya
mengeras.
Otomatis
yang lain langsung menoleh ke arah kami. Uh! Sial banget deh.
"Ada
apaan sih? Kok kalian bisik-bisik gitu!?" tanya Ruth penasaran.
"Udahlah.
Orang pacaran sih beda. Ngomongnya bisik-bisik gitu kan sebenernya modusnya si
Atha aja biar deket-deket Zia." Awan seperti biasa bersikap angkuh dan
sok.
Atha
melotot. "Modus! Modus! Elo tuh modus sama Zia."
"Gue?
Kenapa? Nggak suka gue modusin Zia?"
Atha
makin naik darah. "Kampret! Tuan Putri tuh milik gue. Selamanya milik
gue."
Duh!
Aku jadi terharu begini diperebutkan oleh dua cowok.
Sebenarnya
gara-gara perkumpulan dulu kami memainkan Truth or Dare dan sialnya rahasia
tentang perasaanku pada Awan terkuak begitu saja.
Semenjak
itulah Awan jadi care sama aku.
Hahahaha karma. Tapi tetap dong hatiku hanya untuk Atha bukan untuk Awan lagi.
"Awan
kenapa?" tanya Sakura padaku.
Aku
hanya nyengir saja untuk menjawabnya
***
Aku
menegakkan tubuhku saat Atha mendekat dan memasangkan seatbeltku. Sesaat aku
menahan nafas karena tindakannya itu. Jujur, aku masih deg-degan setiap Atha
berada sedekat ini denganku.
Atha
menegakkan badannya. Matanya menatap lurus ke depan dan tangannya mulai
memasukkan gigi mobil. Tak seperti biasanya.
Dia
tidak bicara apa-apa dan tidak berbuat apa-apa selain mengendarai mobil. Aku
menatapnya terus dari samping dan dia pasti sadar sudah kuperhatikan sejak
tadi. Tapi kenapa dia masih diam saja?
"Kamu
kenapa?" tanyaku hati-hati.
"Kamu
tau aku kenapa." Dia menjawabnya dengan ketus.
Oh
tidak! Dia marah padaku. Apa salahku? Perasaan tadi dia masih baik-baik saja
tuh. Masih ceria malah. Tapi kenapa tiba-tiba dia marah padaku? Memangnya apa
salahku?
"Kamu
marah? Kenapa?" tanyaku masih dengan nada bingung.
"Kamu
tau alasannya."
Uh
rasanya aku pingin gantung dia di pohon toge deh. Sikapnya tuh nyebelin banget,
jawabannya juga nyebelin banget tapi sayangnya dia ngangenin banget.
"Aku
nggak ngerti kenapa kamu marah sama aku."
"Aku
nggak minta kamu ngerti, cuma kamu tau aja."
Tuh
kan nyebelin banget. Kalau aku nggak sayang dia dan kalau aja mukanya Atha itu
jelek banget kayak pantat panci, aku pasti langsung marah dan ngamuk-ngamuk.
Abis dia songong banget sih.
Setelah
itu kami sama-sama terdiam. Dia nggak mau kasih tau alasannya marah padaku dan
aku juga malas bertanya lagi. Karena dia pasti nggak akan menjawabnya.
Dasar
cowok! Bisanya bikin orang sebel aja.
Sampai
di depan gerbang rumahku, Atha menghentikan mobilnya. Dia membiarkanku keluar
sendiri dan dia tetap di dalam mobil. Tidak seperti biasanya.
Biasanya
dia mengantarku sampai depan rumah. Menyapa mama dan ayahku jika mereka ada di rumah.
Atau mengulur-ngulur waktu agar bisa lebih lama denganku.
Aku
membanting pintu mobilnya dengan kesal dan setelah mengetahui pintu mobilnya
tertutup, dia langsung pergi begitu saja.
Dasar
Manusia Badak!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar