Gema Athaillah
Marah.
Tentu gue marah. Bisa-bisanya Zia punya pikiran sesempit itu dan juga seegois
itu? Bagaimana bisa dia menipu sahabatnya sendiri yang sangat menyayanginya?
Hanya karena keegoisannya semata?
Mungkin
sikap gue udah keterlaluan, tapi mau bagaimana lagi? Gue paling nggak suka kebohongan.
Bagaimana pun juga Sakura adalah teman gue. Gue juga nggak rela dong kalau
teman gue ditipu begitu aja.
Argh
masa bodo deh! Pusing mikirin begituan. Mending gue tidur aja.
***
Sialnya
dua minggu lagi adalah hari ulang tahun Zia. Itu berarti gue nggak bisa nemenin
Zia di hari ulang tahunnya. Bisa tambah kacau hubungan kita.
Dan
gue juga bersikeras agar Zia jujur dulu, baru deh gue maafin dia. Masalahnya,
kalau sampai sekarang Zia juga diemin gue, gue bisa apa?
“Atha?”
Gue
terkejut dan langsung menoleh ke samping. Di samping gue ada Amboi. Wajah
lugunya membuat gue tergelak. Sudah lama gue nggak ketemu dia dan sepertinya
dia nggak berubah banyak.
“Eh,
Amboi?”
Dia
tersenyum. “Eng... soal yang lalu...”
Ah...
Amboi selalu membahas soal yang lalu. Gue tahu Amboi pasti nggak punya pikiran
sepicik itu. Amboi sebenarnya baik kok. Hanya saja sepupunya yang terobsesi
sama Sakura itulah yang membuatnya jadi terjerumus pada hal yang tak benar.
“Jangan
dibahas lagi deh. Lagian itu kan udah lalu. Udah bertahun-tahun lalu malah. Elo
juga udah minta maaf sama yang lain, kan!?”
Amboi
menunduk. Lalu menatapku dengan senyum manisnya. Masih sama seperti dulu.
Senyum yang bisa meluluhkan hati seseorang.
“Kamu
mau ke mana?” tanyanya.
“Oh
gue?” Gue mencari-cari alasan. “Cuma mau menghirup udara segar aja.” Padahal
gue pingin melihat keadaan Zia yang tak ada kabarnya. “Kalo lo?”
Amboi
hanya tersenyum. “Aku mau ke toko buku. Kalau gitu aku dulu ya... daaaah
Atha...” Dia melambaikan tangannya pada gue sambil berlalu.
Baru
saja gue berniat untuk membalikkan badan, sosok cewek yang gue cari muncul
seketika di depan gue dengan tatapan marahnya. Oh-oh... apa tadi dia liat gue
sama Amboi ngobrol? Tapi kan gue cuma ngobrol aja.
Seulas
senyum sinis tercetak di wajahnya. Kedua tangannya terlipat di depan dada.
“Jadi... begini ya? Lo marah sama gue dengan alasan gue nggak jujur sama
Sakura. Lo memanfaatkan kondisi dengan bagus ya.”
Gue
mengernyit. Kebingungan. Zia sudah menggunakan panggilan ‘gue-elo’ dan itu
pasti dia sedang marah. Kenapa dia marah? Seharusnya kan gue yang marah sama
dia?
“Kalo
lo udah nggak tahan sama gue, tinggal bilang aja. Cara lo yang kayak gini tuh
pengecut banget, tau nggak!?”
“Kamu
kenapa sih?” Gue semakin bingung. “Kok marah?”
Dia
mendengus. “Jangan berlagak kayak malaikat. Gue juga udah nggak tahan kok sama
sifat lo itu. Mending kita udahan aja di sini.”
“Kamu
minta putus?” Gue membelalakan mata gue tak percaya.
“Dari
awal lo emang nggak bisa mutusin yang mana yang akan lo pilih. Saat lo dapat
ancaman dari masa lalu, lo malah berniat ninggalin gue. Kalo bukan karena
Sakura, lo nggak bakalan jadi pacar gue.”
“Zia...
kok kamu ngomongnya gitu sih? Zia?” Gue mendekat, tapi Zia malah menjauh.
“Zia...” Dia semakin memundurkan langkahnya dan tau-tau saja sebuah truk besar
melintas dan menghantam tubuh Zia yang berdiri di sana.
“ZIAAAA....”
Gue
terbangun dari mimpi buruk gue. Sialan banget itu mimpi.
***
“Lo
kacau banget. Ada apa sih?” Badai menyeruput jus jeruk di depannya sampai tiga
perempat gelas.
Gue
hanya bisa menatap kosong sejak dapat mimpi itu. Apa itu pertanda buruk?
sebelumnya gue nggak pernah mimpi seburuk itu. Apalagi yang berkaitan dengan
Zia.
“Keliatannya
lo lagi ada masalah dengan Zia. Kenapa? Berantem? Bukannya kalian selalu
berantem dan satu jam kemudian langsung baikan?”
Yes. Gue
dan Zia emang nggak tahan marahan. Jadi kalau sekarang kami marahan sampai
sehari penuh itu adalah hal luar biasa.
Sepertinya
Zia juga enggan untuk mengaku pada Sakura soal Fabi. Makanya dia juga nggak mau
menghubungi gue, karena dia tahu gue nggak akan maafin dia sebelum dia ngasih
tau semuanya sama Sakura.
Kenapa
jadi begini sih?
“Dai,
lo kasih tau Sakura soal Fabi?” Tiba-tiba mulut gue sudah mengeluarkan
pertanyaan aneh itu.
“Bukannya
dia udah tau?” Badai mengernyit. Lalu kedua bola matanya melebar kaget. “Zia
nggak ngasih tau dia?”
Ah
sial. Gue hanya menggeleng untuk menjawab pertanyaannya.
“Gila!
Lo kira Sakura akan diem aja kalau nanti dia tau Fabi udah bebas dengan
jaminan!?” sentak Badai kesal. Badai selalu terlihat emosi jika mengungkit soal
Fabi dan Sakura.
“Lo
yang kasih tau dia deh. Gue nggak berani.” Gue hanya bisa mendesah panjang.
“Gue nggak ikut campur urusan ini. Gue tau watak Sakura. Dia nggak bakalan sudi
balik ke Indonesia kalau tau Fabi bebas begitu aja.”
“Gue?”
Badai menunjuk dirinya sendiri. “Lo mau ngumpanin gue?”
“Mau
gimana lagi? Zia nggak mau ngomong. Dia nggak mau Sakura balik begitu aja ke
Jepang dan membatalkan liburan dalam sebulannya di sini.”
“Giliran
ada masalah kayak gini, yang lo umpanin selalu gue,” cibir Badai. “Gue sih
nggak masalah, tapi kalo berhubungan dengan...”
“Sakura?”
terka gue tepat sasaran. Raut wajahnya berubah total. Selama ini gue udah
curiga dengan gelagatnya yang aneh. Apa lagi semenjak ditinggal Sakura.
“Kenapa? Lo nggak mau berhubungan dengan Sakura karena takut nyakitin dia?”
Sepertinya
gue udah berhasil memojokkan dia. Buktinya Badai hanya bisa terdiam dengan
mulut terkatup rapat.
“Dari
awal lo udah nyakitin dia. Kenapa sekarang lo malah pura-pura peduli sama dia?”
Sial.
Kelepasan deh gue.
Hening
sejenak. Lalu Badai tersenyum miring. “Ya. Dari awal gue udah nyakitin dia.
Jadi buat apa juga gue peduli sama dia!?”
Setelah
berkata seperti itu, Badai berdiri dan pergi begitu saja meninggalkan gue
sendiri.
Ah.
Bego juga sih gue. Kenapa malah mancing-mancing kemarahan Badai?
Mancing-mancing kesalahannya yang dulu, lagi! Kalau udah begini, siapa dong
yang mau ngasih tau Sakura soal Fabi? Trus bagaimana hubungan gue dengan Zia
kalau begini terus?
***
Gue
mengeluh kesal untuk kesekian kalinya. Zia kayaknya ikutan marah. Buktinya, gue
telfon dan sms, nggak ada satupun yang diangkat juga dibales. Gue kirim
WhatsApp, cuma dibaca doang! Sakitnya tuh ya... di sini nih...
Dengan
sabar dan juga gaya keren, gue berniat untuk mengunjungi rumahnya. Dia pasti di
rumah.
Sampai
di depan gerbang rumahnya, gue menghentikan laju mobil gue. Gue memilih posisi
di kanan rumahnya, jadi orang lain bisa ngira gue tamu tetangganya, bukanya
tamunya.
Gue
turun dari mobil gue. Lalu berjalan dengan santai ke arah rumahnya. Tapi sesaat
gue menyadari sesuatu yang aneh. Mata gue menangkap sebuah mobil berwarna
hitam... tunggu dulu! Ini bukannya mobil.... Awan? Ngapain Awan ke rumah Zia
segala?
“Iya,
Ma, aku berangkat dulu ya.”
“Hati-hati.
Awan, pulangnya jangan malam-malam ya.”
Saat
mendengar itu, tubuh gue refleks langsung menyingkir kembali ke arah mobil gue.
Bersembunyi di antara tiang dan belakang mobil gue. Dan di saat itu juga gue
melihat Zia keluar bersama dengan Awan.
Gue
nggak pernah melihat Zia senyum secerah ini untuk cowok lain. Di depan mata
gue, lagi!
Eits...
eits... itu si kampret kenapa pake gandeng-gandeng tangan Zia? Minta dihajar
ya?
Hati
gue langsung membara karena marah. Mata gue membelalak maksimal dan gue yakin,
tangan gue siap banget buat mukul orang. Tapi... dibalik semua itu, hanya satu
pertanyaan gue.
Jadi
Zia lebih milih jalan bareng Awan dari pada ngangkat telfon gue?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar