Sakura Fujiwara
“Senang
bertemu denganmu, Sayang.”
Eh?
Suara ini... sepertinya aku mengenalnya.
“Zia
pasti sudah aman bersama teman-temanmu.”
“Bagaimana
dengan Prisil?”
“Prisil?
Siapa Prisil?”
Apa-apaan
ini? Mengapa dia berlagak tidak mengetahui siapa Prisil? Bukankah dia yang
menculik Prisil!?
“Ah...”
Dia membalikkan kursi yang membuatku tak bisa menebak siapa dia. Dan saat ia
berbalik, aku kaget bukan main. “Dia pacar Badai.”
Aku
berharap lebih baik aku dibunuhnya sekarang juga atau lebih baik aku lupa
ingatan saja. Mataku rasanya akan keluar dari tempatnya. Bagaimana kenyataan
ini begitu saja mengejutkan? Kenyataan yang paling membuatku merasa bersalah.
“Ada
apa?” tanyanya dengan nada bingung. “Kamu kaget?” Lalu dia tertawa seakan-akan
melihatku kaget adalah hal yang paling ia inginkan. “Kamu tahu, rasanya sakit
melihatmu masih saja menyukai orang yang telah mencampakkanmu.”
“Di
mana Prisil?” Gigiku gemeretak menahan emosi juga air mata yang mungkin bisa
terjatuh kapan saja.
“Bukan
aku yang menculiknya.” Dia berkata dengan enteng, lalu berdiri dari kursinya.
Kakinya berjalan ke arahku dan berhenti tepat di ujung kakiku. “Penculikkanmu
juga bukan aku yang melakukannya.”
Aku
menatapnya tak percaya. Dia benar-benar bisa menyembunyikan semuanya selama
ini? Bagaimana bisa penculikkanku tidak terdeteksi oleh kepala sekolah dan juga
kepolisian? Bagaimana dia bisa sepintar itu?
“Tentu
saja. Aku tidak akan melukai orang yang kucintai.”
Cuih!
Rasanya aku ingin menggeboknya sekarang juga. Tapi aku tahu, aku takkan bisa
melawannya. Anak buahnya banyak dan aku tidak tahu harus melawan dengan cara
apa.
Di
depan pintu gedung tua memang tidak ada penjaganya. Itu karena akan mencolok
warga setempat. Tapi saat aku masuk ke dalam gedung tua itu, aku menemukan
banyak mata yang menatapku seakan-akan aku ini penjahat.
Tapi
setelah orang di hadapanku ini mengumumkan bahwa dia yang menyuruhku datang,
mereka semua mundur perlahan dan membiarkanku masuk ke ruangan yang
penjagaannya lebih ketat lagi. Ruangan ini.
“Ini
semua salah anak buahku. Aku minta maaf.” Dia mengucapkannya dengan raut wajah
yang dibuat-buat seakan dia menyesal.
“Jadi...”
Aku merasakan teggorokanku mengering. Kenyataan pahit yang harus kuhadapi saat
ini adalah orang yang ada di depanku. “Mas itu... kamu?”
Dia
hanya mengangguk dan tersenyum. “Aku punya segalanya. Seharusnya kamu sadar
itu.” Dia melipat kedua tangannya di depan dada dan menatapku seolah ingin
menerkamku. “Bagaimana jika malam ini kamu ke apartemenku? Besok pagi kita
pergi ke Jepang bersama.”
“Psycho!”
desisku di depan wajahnya. “Kamu melukai orang-orang hanya karena ingin
bersamaku!?”
Orang
itu menggeleng. “Aku tidak melukainya. Aku juga tidak akan pernah melukaimu.
Aku sudah mengatakannya padamu.”
“LALU
DI MANA PRISIL SEKARANG!!!!!?”
“Di
tangan anak buahku, tentu saja.” Dia berbalik badan dan kembali duduk di
kursinya. Matanya masih menatapku dengan lekat. “Aku akan membereskannya jika
kamu mau.”
“Apa
maksudmu?” Aku kehilangan kesabaranku. Orang ini benar-benar membuatku tak bisa
berkutik.
“Penculikanmu,
bukan aku yang melakukannya. Aku juga tidak mengirimimu surat ancaman. Itu
semua karena obsesi anak buahku yang tolol.” Dia mulai bercerita. Tangannya
mengetuk-ngetuk meja dengan pulpen.
“Tentu
saja aku menginginkan kamu jauh-jauh dari Badai. Tapi rencanaku adalah
mengancam Badai, bukan mengancammu.” Dia menghela nafas panjangnya. “Tapi
karena Cessa sangat tergila-gila oleh Badai, dia menentang perintahku
diam-diam.”
“Cessa?”
Aku mengernyitkan keningku.
Dia
hanya mengangguk. “Anak 10-IPS 2, kini dia sudah menjadi anak 11-IPA 4. Satu
kelas dengan Badai.” Dia berhenti mengetuk meja dan melemparkan pulpennya ke
sembarang arah. “Kepalamu dipukulnya, tentu saja aku marah besar. Aku sempat
memberinya ultimatum karena melanggar perintahku dan membuatmu terluka.”
Oh
tidak. Secara tidak langsung Prisil berada di tangan Cessa sekarang. Prisil
diculik karena berpacaran dengan Badai. Malang sekali nasibnya.
Kini
aku tidak tahu harus berbuat apa. Nyawa Zia sudah diselamatkan, tapi Prisil?
Surat itu mengatakan bahwa hanya aku yang bisa menyelamatkan Prisil.
“Sebenarnya
aku tidak berniat untuk mengetesmu, apakah kamu masih peduli atau tidak dengan
Badai.” Matanya menatapku seolah-olah ia terluka. “Tapi kamu malah keluar dari
bandara demi Badai. Aku tahu, bukan demi menyelamatkan Prisil. Perasaanmu pada
Badai masih sama.”
Intinya
adalah Cessa psikopat juga. Dia tidak
menginginkan orang yang berkaitan dengan Badai dilepas begitu saja.
“Ah...”
Dia mendesah. “Aku harus memberitahumu, bilang pada Zia agar berhati-hati.
Salah satu anak buahku menyukai Atha. Bisa jadi Zia berada dalam bahaya.”
Ah.
Rasanya sangat pusing memikirkan semua ini. Apa yang harus kulakukan agar
smeuanya terselamatkan? Apakah hanya dia yang bisa menyelamatkanku?
“Lepakan
semuanya.” Aku berkata pelan. “Lepaskan mereka. Aku akan melakukan apapun yang
kamu mau.”
Dia tertawa senang. ia berdiri dan
langsung menghampiriku. Tangannya memegang daguku agar aku menatapnya.
Raut
wajahnya masih sama seperti dulu. Matanya yang besar dan hidungnya yang
mancung. Aku tidak tahu apa yang membuatnya berubah dan menjadi psikopat
seperti sekarang. Tapi kedua matanya berbinar menatapku.
“Kamu
akan tinggal di Jepang bersamaku.” Dia berkata dengan kedua mata yang mulai
mengelam. “Lupakan semua orang yang kamu kenal di Indonesia. Lupakan mereka dan
Sakura yang sekarang harus mati.”
Aku
menatapnya dengan bingung. Apa maksudnya dengan ‘Sakura yang sekarang harus
mati’? apa dia berniat membunuhku?
“Semua
orang harus tahu bahwa kamu sudah mati. Kamu akan mengganti namamu menjadi
Makita Nami.” Tangannya mengelus pipiku. “Jangan membatah. Satu batahanmu akan
menjadi bukti bahwa kamu menginginkan teman-temanmu mati.” Dia menarikku
berjalan menuju kursinya dan mendudukkanku di sana. “Dan jika kamu berani
meninggalkanku, maka tidak ada satupun yang boleh memilikimu. Jadi kamu... akan
mati.”
DEG.
Perangkap
macam apa ini?
Dia
masih menatapku dengan tatapan yang sama. Tatapan seakan ingin menerkamku, tapi
kali ini tatapannya mengelam. Benar-benar menunjukkan sisi gelapnya.
Aku
merasakan peluh di keningku mulai mengalir. Aku sama sekali tidak merasakan
panas, tapi malah merasakan dingin menyergap tubuhku.
Tidak
ada jalan lain. Bagaimanapun juga ini semua karenaku. Aku menyebabkannya
terobsesi padaku. Jadi, aku harus bertanggung jawab atas semuanya.
“Bagaimana?”
tanyanya. “Sekarang kamu mau ikut aku ke apartemenku?”
Aku
mengangguk ragu-ragu dan dia langsung manarikku ke dalam pelukannya. Baiklah.
Memang tidak ada jalan lain. Penyerahan seutuhnya akan kulakukan agar mereka
semua bebas dari genggaman orang ini.
***
Sepuluh
menit lagi aku akan berangkat ke apartemennya. Jadi aku meminta ijin untuk
pergi ke kamar mandi yang masih bisa dipakai di gedung tua itu. Dia
menyetujuinya.
Baiklah.
Aku memang tidak punya cara lain untuk menyelamatkan Prisil dan yang lainnya.
Aku juga tidak bisa membuat Zia dalam keadaan bahaya. Zia adalah sahabat yang
paling kusayangi. Jadi, ini memang yang terbaik.
“Sakura?”
Aku
terkejut dan langsung membalikkan badanku, namun tiba-tiba saja orang itu
menutup mataku dan menarikku ke salah satu bilik kamar mandi.
Orang
itu melepaskan tangannya yang menutupi mataku. Sekarang aku tidak bisa lihat
apa-apa. Dia membawaku ke bilik yang tak memiliki lampu. Bilik ini terlalu
gelap dan aku berharap orang ini bukan orang jahat.
“Kamu
nggak apa-apa?”
Eh?
“Badai?”
Di
dalam kegelapan aku dapat melihat senyumnya. Tunggu! Ini benar-benar Badai.
“Kita
harus kabur dari sini.” Dia memegang kedua tanganku, tapi aku langsung
menariknya dengan kasar.
Aku
menggeleng. “Aku nggak mau pergi dari sini.”
“Kenapa?”
Badai menatapku bingung.
“Nggak
apa-apa.” Aku berbohong lagi. “Aku merasa tenang di sini. Aku nggak akan dalam
bahaya jika bersama M.”
Badai
terdiam. Aku tahu dia pasti terkejut dengan apa yang kuucapkan. Semoga saja dia
percaya dengan mudah.
“Bodoh!”
desisnya tepat di depan mukaku. “Lo kira gue nggak tau apa yang lo lakuin
sekarang!?”
Jantungku
serasa berhenti berdetak. Kenapa Badai jadi kasar lagi? Ah tidak. Badai memang
menganggapku teman, jadi dia tidak menggunakan kata aku-kamu lagi. Ya, ya, ya.
Terlalu banyak berharap ternyata menyakitkan.
“Jangan
main-main! Dia itu psiko yang
ingin
memiliki lo.” Dia mengangkat wajahku agar mataku menatap matanya. “Lo mau semua
orang berpikir kalo elo mati!? Lo nggak mikirin bagaimana perasaan kedua orang
tua lo!?” Badai menyentil keningku dengan jarinya.
Aku
meringis.
Kuberanikan
diriku untuk menatap Badai dengan tatapan sinis. “Trus lo mau apa? Lo bisa apa
supaya kita semua selamat!? HAH!? LO BISA APAAAA!?”
Badai
malah menggapai tanganku, menarikku keluar dari bilik dan menatapku tajam
setajam elang.
“Jangan
pernah lo lepas pegangan ini.”
Setelah
berkata itu, Badai menerobos keluar kamar mandi. Apa yang sekarang dia lakukan?
Apa dia sudah gila? Melawan berpuluh-puluh anak buah M sama saja cari mati.
Tapi
aku tidak bisa berkutik selain berlindung dan mengeratkan peganganku di tangannya.
Malam
ini. Aku menyaksikan Badai melawan semua anak buah M yang melintas di depan
kami dan berusaha mengambilku kembali.
Kadang
aku menutup kedua mataku saat tangan-tangan itu menyentuh wajah Badai dan
meninggalkan luka-luka di wajahnya. Malam ini aku menyadari satu hal. Badai
jago berantem.
Oh
tidak. Tanganku terlepas saat Badai mencoba melawan anak buah M yang
menggunakan balok kayu. Sekarang aku menjauh darinya dan kurasakan
tangan-tangan yang menarikku untuk pergi dari sana.
“LEPASIN
DIA!!!” Badai berteriak saat melihatku digeret menjauh darinya.
Aaaa....
jangan mendekatiku. Tidak. Badai tidak boleh mendekatiku. Di belakangnya ada
anak buah M yang bersiap memukulnya dengan tongkat besi. Tidak....
“BADAI
AWAS!!!” Aku berteriak dengan kedua bola mata melebar.
BRAK.
Anak
buah M terjatuh ke lantai. Badai membalikkan badan dan mendapati Awan berada di
belakangnya untuk melawan anak buah M yang datang.
Aku
bernafas lega. Sialan. Aku benar-benar takut kalau kepala Badai dipukul tongkat
besi. Sekarang Badai malah menghampiriku dengan langkah panjang sambil sesekali
menendang-nendang orang yang menghalanginya.
Saat
di depanku, Badai menendang kedua orang yang menarikku dengan kuat. Badai
menarik tanganku menjauh dari sana dan menuju pintu keluar yang ada di belakang
gedung tua.
Tak
lama kemudian, Awan menyusul dengan terburu-buru. Sepertinya anak-anak buah M
mengikuti kami.
***
“SAKURA!?”
Zia
hendak berdiri, tapi kulihat kakinya diperban. Jadi aku menghampiri Zia yang
sedang berbaring di atas ranjang.
“Sakitkah?”
Aku memerhatikan beberapa luka Zia yang sudah diobati.
Zia
hanya tersenyum dan menggeleng. “Lo nggak apa-apa?” tanyanya khawatir.
“Nggak
apa-apa.” Aku tersenyum
“Lo
udah ketemu M?” Senyumku lenyap. Aku menatap Zia sebentar, lalu mengangguk. “Siapa
dia?”
Siapa dia? Aku
tidak bisa menjawabnya. Aku takkan bisa menjawabnya. Rasanya aku akan menangis
sekarang juga. Jadi, aku membuang muka ke arah lain.
“Apa
lagi yang dia minta?” tanya Zia penasaran. “Ara, lo nggak pernah menyembunyikan
sesuatu dari gue. Inget itu!”
“Apa
yang terjadi?” Atha bertanya pada Badai dan Awan.
Awan
mengangkat bahunya sementara Badai mendekatiku. Menunjuk keningku dengan raut
wajah kesal.
“Bodoh!
Jangan diulangi lagi!” desisnya.
Aku
menatap Badai dengan jengkel. “Sekarang lo mau apa?” Badai terdiam. “Gue tanya,
sekarang lo mau apa!?” Aku membentaknya. “SEKARANG APA LO TAU BAGAIMANA CARANYA
MENYELAMATKAN PRISIL!?”
“GUE
EMANG NGGAK TAU!” Badai membalas membentakku. “TAPI BUKAN BEGITU CARANYA LO
MENYELAMATKAN PRISIL!!!”
“NGGAK
ADA CARA LAIN! LO PIKIR ADA CARA LAIN?” Aku menumpahkan tangisanku.
Aku
sadar sepenuhnya bahwa semua yang ada di ruangan ini pasti kaget melihat aku
dan Badai bertengkar sehebat ini. Masa bodo. Lagi pula siapa suruh membuat
keadaan semakin kacau?
“Nggak
akan ada cara lain...” Suaraku melemah. Aku tertunduk dan menangis
sekeras-kerasnya.
Kurasakan
tangan Zia menepuk-nepuk punggungku. Jadi kutenggelamkan saja kepalaku di dalam
pelukan Zia dan membiarkan baju Zia basah karena tangisanku.
“Sekarang,
bisa lo kasih tau gue siapa M itu?” tanya Zia lembut.
“Dia...”
Aku menelan ludahku susah payah. Menyebut namanya membuatku akan merasa
benar-benar bersalah.
Hayo tebak siapa sih orang itu? Baca kelanjutannya di Moments 12 ya :) Jangan lupa komentarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar