Hai JDS Lovers, Ari Lovers, Jivers dan -ers yang lain wkwkwk, saya datang membawakan part selanjutnya. Selamat membaca. Jangan lupa komentarnya. Don't be a sillent readers... :)
Esoknya, SMA Airlangga gempar lagi. Oke, dulu memang
karena Ari datang dengan saudara kembarnya untuk di perkenalkan. Tetapi kali
ini berbeda. Ari membawa Ata untuk bersekolah disini. Nggak tahu pakai rayuan
maut seperti apa, tapi Ayah Ari menyanggupi kemauan Ari yang ingin sekolah
dengan Ata bersama.
Satu hal yang berbeda dari Ata, hari ini dia
benar-benar mirip dengan Ari. Nggak ada kata kasual dalam dirinya sekarang.
Karena apa yang Ari pakai semua hampir mirip dengan apa yang Ata pakai.
Bahkan hari ini, Ari membawa mobil Everest-nya.
Nggak ada kata motor untuk sekolah sekarang. Satu hal ini di syukuri Ata,
karena apapun yang Ari lakukan adalah cara untuk mempermudahnya menyakiti Ari.
Segala hal yang Ata inginkan, di wujudkan Ari.
Semuanya! Dari yang membuat diri Ata menjadi satu sosok yang terkenal, Ari
wujudkan. dari semua pernak-pernik yang Ari pakai dan dia memintanya, Ari
kasih. Nggak pandang itu barang mahal atau enggak, yang jelas kalau Ata minta
pasti Ari kasih.
Ada satu orang yang paling bahagia dan juga ada satu
orang yang paling menderita. Ari’s lovers
like Ata too. So pasti, mereka kan kembar. Jadi bagaimanapun juga, mereka
tetap satu kesatuan yang sama. Vero langsung menyambut dengan senyuman yang
nggak kalah lebar dari senyuman Omas.
Sedangkan pihak yang menderita di sini adalah Tari. Gimana
enggak!? Orang yang bikin dia parno satu sekolah sama dia. Apalagi hubungan
Tari dan Ari lagi nggak baik. Jelaslah, Ari nggak akan peduli segala hal yang
akan di lakukan Ata terhadap Tari.
“Ri, ke kantin yuk!” ajak Ata.
“Tadi lo sama fans-fans lo deh,” Ari menoleh dengan
bingung.
“Arghh, males gue. Fans-nya gila semua! Apalagi tu
cewek lagi nunggu gue di pintu kelas,” Ata terlihat seperti frustasi.
“Cewek mana?” alis Ari bertaut.
“Itu, yang ada di ambang pintu,” Ata menunjuk kearah
pintu kelasnya.
Tawa Ari meledak ketika melihat siapa cewek yang
sedang berdiri menunggu Ata di luar kelas sana, “Si Vero!? Ya ampun, gue sih
udah biasa sama dia.”
“Itu kan elo, bukan gue.”
“Iya iya deh,” Ari akhirnya pasrah. Lalu ia beranjak
pergi dari kursinya, namun di cekal oleh Oji. Ari menoleh lagi.
“Lo tega ya, Bos!” seru Oji seperti mau menangis.
“Tega kenapa gue?” kontan Ari bingung. Dari tadi dia
kan nggak nagapa-ngapain Oji, tapi Oji malah bilang dia jahat.
“Kan homo-homoannya just with you, tapi lo malah cari pasangan lain,” jawab Ridho
mewakili perasaan Oji.
Ari menepuk keningnya kuat-kuat, “Ya ampun, sori
banget, Ji. Gue lupa sama janji gue, tapi tenang aja, dia kan sodara kembar gue
sendiri, mana mungkin sih gue homo-homoan sama dia.”
Ata jadi melongo. Sumpah deh, nggak ngerti. Kayaknya
dia terjebak diantara orang-orang yang mulai nggak waras deh. Mungkin dalam
jangka waktu yang nggak lama, dia akan tertular virus berbahaya ini, apalagi
dia dekat dengan Ari.
“Ya kan, Ta?” Ari menoleh kearah Ata. Ata hanya
dapat mengangguk ragu.
***
“Hai, Tar,” sapanya dengan seulas senyum yang
memancar.
Fio dan Tari sontak kaget. Pertama yang muncul di
pikiran Tari adalah seseorang yang dia dambakan, lalu ia berikan seulas senyum
manis pada cowok di depannya itu.
Ketika cowok itu menghampiri Tari, barulah Tari
sadar dia bukanlah orang itu, sama sekali bukan! Senyumnya langsung lenyap,
entah karena apa, tapi dia muali parno sendiri. Ata, cowok ini menghampiri Tari
dan Tari yakin dia pasti akan mengancam hal yang lebih mengerikan lagi daripada
kemarin-kemarin.
Baru hari ini, hari kedua setelah ia sekolah disini.
Ata menjemput Tari dengan sebuah kebebasan, karena kemarin dia memang harus
rela di ikut-ikutin Vero. Baru deh, setelah Ata bentak tu anak, Vero langsung
ciut.
“Kak A…”
“Gue kangen sama lo,” potongnya dengan seulas senyum
palsu yang sama sekali tak berasal dari hatinya.
Tari melongo, kangen!? Kangen mau nyiksa Tari,
maksudnya!? Duh, enggak deh, makasih banget, Tari nggak bersedia untuk di
sakitin sama cowok ini lagi. Dia udah cukup menderita sekarang. Ngagk perlu di
tambah-tambah lagi.
Ata menarik pergelangan Tari, lalu menoleh kearah
Fio sebentar. “Tari gue pinjem ya?” ijinnya. “Dia pulang sama gue kok,”
Dengan pasrah dia ikuti Ata pergi. Semua memandang
mereka, dari ujung kelas sampai ujung kelas lagi. Ini memang waktunya untuk
pulang, sehingga mereka bisa melihat jelas apa yang sedang terjadi. Dan yang
ada di dalam pikiran mereka adalah, Tari di gandeng sama Ari. padahal
kenyataannya berbeda banget.
Apalagi Ari belum memunculkan dirinya di luar kelas,
dia masih duduk di dalam kelas dengan Oji dan Ridho. Masih bersantai-santai
sebelum mereka benar-benar beranjak pulang. Lagi pula kalau mereka pulang
langsung, jam segini pasti rame banget. Karena lautan murid SMA Airlangga sedang
berebutan untuk pulang. Mereka paling males banget desek-desekkan, walaupun Ari
bisa ngusir mereka dengan cara yang sangat amat mudah.
“Kita kemana, Kak?” tanya Tari.
“Ke tempat yang romantis lah,” jawab Ata.
Kedua alis Tari bertaut, “Maksudnya? Nggak ngerti,”
cewek itu menggeleng pelan.
“Lo tau kan konsekuesinya jadi orang yang gue
incer?”
Tari semakin nggak mengerti maksud Ata, “Tambah
nggak ngerti,” ucapnya pelan.
“Nggak perlu,” cowok itu menggeleng. Di ajaknya
cewek yang ada di genggamannya ini pergi dari SMA Airlangga.
Ata membawa Tari pergi dengan mobil everest milik
Ari. Tadi, ia pinjam dan Ari langsung mewujudkannya. Sedangkan nanti, Ari
pulang bareng sama Ridho.
***
“Lo pilih mana? Berkorban atau mengorbankan?” mata
Ata lurus kearah Tari.
Tari jadi bingung. Dua pilihan itu menyulitkan
dirinya. Dan dia harus memilih salah satu dari pilihan itu. Tari nggak bisa
mengorbankan Ari, apalagi sampai tersakiti. Dia sudah terlalu bersalah pada
Ari. tak mungkin ia menyakitinya utnuk kesekian kali, apalagi hingga Ari
merasakan pedihnya sendiri lagi.
Kalau Tari pilih mengorbankan, berarti dia
mengorbankan kebahagiaan Ari. karena Ata mengancamnya akan membuat Ari jauh
dari sosok sang Mama dan saudara kembarnya sendiri. Dan Tari harus melihat
kesedihan yang akan Ari derita.
Sedangkan, jika ia memilih berkorban. Ia harus
merelakan perasaannya terluka hanya untuk Ari. Karena Ata memintanya untuk
menjadi pendamping Ata. Seseorang yang jelas-jelas bisa di sebut sebagai
kekasih.
“Berkorban,” ucap Tari lirih. Akhirnya ia harus
memilih sesuatu yang sebenarnya membuat hatinya sendiri terluka.
Dengan tangannya, ia rengkuh cewek yang ada di
hadapannya ini jatuh ke dalam pelukannya. Ia peluk erat, dengan rasa hampa.
Satu jalan menuju sebuah kesempatan yang tak kasat mata telah ia dapatkan.
Hanya tinggal memainkannya, karena scenario yang telah ia buat lama akan
menjadi pemimpin rencananya.
“Tar, gue yakin kok, pengorbanan lo ini nggak akan
sia-sia. Karena pengorbanan lo ini sangat berarti untuk Ari,” ucapnya
Hal yang di lakukan ini, membawa banyak keuntungan.
Jelas. Vero kan nggak akan seenak jidatnya ngejar-ngejar Ata. Karena yang akan
menderita kali ini tak hanya satu orang, tapi banyak orang yang terlibat dan
mungkin tersakiti juga.
“Besok, lo gue jemput,”
***
Tari menguap untuk kesekian kalinya. Masih ngatuk!
Tahu nggak hal gila apa yang di lakukan Ata itu juga menyebabkan Tari nggak
bisa tidur nyenyak. Apalagi Ata tadi malam ngajak telefonan sama Tari sampai
larut malam. Kan gila banget tuh!
Dengan pelan, ia ambil roti yang telah di olesi
selai cokelat. Di sebelahnya Gio duduk manis seraya memakan makanannya dengan
lahap. Adik Tari itu hari ini ceria banget, nggak tahu deh kenapa. Beda sama
Tari yang wajahnya muram, hari ini dia di jemput. Oke, semua oarng pasti bilang
enak karena nggak ngeluarin kocek untuk membayar kendaraan darat untuk pergi ke
sekolah. Tapi apa enaknya sih kalau yang jemput itu orang yang selama ini bikin
kamu jadi ketakutan sendiri karena ancaman-ancamannya yang gila.
Setelah semua rapi, Tari keluar rumah dan yang ia
dapati bukan motor hitam dengan Ata di atasnya, tetapi motor hitam dengan Angga
di atasnya. Matanya kontan melebar maksimal.
“Angga,” panggil Tari seraya mendekati Angga.
“Pagi, Tar,” sapanya ramah. Senyum manis menghiasi
wajahnya hari ini.
“Ada apa? Kok pagi-pagi dateng?”
“Nganter elo lah,” jawab Angga agak kesal.
Jelas-jelas dia relain pagi-pagi ke rumah Tari hanya untuk nganter Tari
sekolah, masa iya dia ke rumah Tari hanya untuk jengukin adiknya Tari, si Gio.
“Tapi gue…”
“Udah ada yang jemput?” potong Angga cepat. Dia
sudah sangat tahu situasi yang akan terjadi.
Tari mengangguk lemah.
“Lo sama gue,” Angga menarik pergelangan tangan Tari
dengan kasar. Tari meronta kesakitan, dia meringis.
“Jangan, Ga,” larang Tari.
“Lo nggak perlu takut!” Angga tetap berusaha membawa
Tari bersamanya dengan tarikan kasar tanpa kelembutan. Tarikannya itu menyeret
Tari pergi.
“STOP!”
Teriakan itu jelas membuat keduanya menoleh. Dan
saat Angga mengetahui siapa orangnya, dia berdecak. Rencanannya jelas akan
gagal jika orang ini datang.
“Lo!” cowok itu menunjuk Angga, “Lepasin Tari!” sentaknya.
Mata Angga menyipit, “Lo nggak bisa merintah gue!”
balas Angga galak.
Seketika terdengar bunyi suara pintu terbuka, adik
Tari yang membukanya. Menatap ketiga orang itu dengan pandangan aneh. Kali ini
Angga nggak bisa apa-apa, karena ada mata-mata yang jelas memerhatikan ini
semua dengan jelas. Bisa-bisa ia malah nggak bisa dekat dengan Tari gara-gara
laporan adiknya itu.
“Oke, jangan pikir lo menang!” desis Angga, “Lo
masih bersalah, Ri,”
Ketika Angga telah pergi, Tari menatap cowok itu
dengan pandangan datarnya. Ata. Ya, dia Ata dan bukan sama sekali Ari, tapi
Angga mengiranya dia adalah Ari. benar-benar sebuah sandiwara yang sangat
sempurna!
“Kenapa, Tar?” tanya cowok itu dengan mimik yang
seolah-olah lucu.
“Lo berbuat ini untuk apa sih?” tanya Tari balik.
Dia masih penasaran dengan pertanyaan yang selalu berkeleba dalm pikirannya
itu.
Ata tak menjawab, dia malah menyuruh Tari menaiki
motor hitam milik Ari yang sudah pasti Ari berikan pada Ata secara cuma-cuma.
***
SMA
Airlangga lagi-lagi gempar. Gimana enggak!? Secara Ata menggandeng Tari di
depan mata semua para fans-nya. Apalagi cewek-cewek yang seperti Vero, huh,
mereka langsung sakit mata melihatnya.
Sedangkan Ata malah menikmati semua keterkejutan dan
mata iri yang memandang lurus-lurus kearah Tari. Dengan bangga dan senyuman
yang lebar, Ata memperkenalkan Tari di hadapan semua orang, bahwa Tari adalah
kekasihnya.
Setelah mendengar langsung dari Ata, Ari –yang belum
masuk kelas pada jam pertama tadi– malah mendapatkan info itu dari Oji. Tentu
aja Oji nggak habis pikir, Tari dan Ari kan bertengkar belum lama hanya karena
Tari tak mengakui Ari dan tak menepati janjinya untuk menoleh kearah lain. Dan
sekarang, belum lama kejadian itu, Tari dan Ata yang notabenenya sebagai
saudara kembar Ari, di kabarkan jadian.
Apalagi Fio, secara gitu, Fio kan teman sebangkunya
Tari, masa iya dia nggak tahu apa-apa soal hubungan Ata dan Tari yang tiba-tiba
dan mengagetkan itu. Syok sih, tapi Fio nggak gampang percaya dengan gossip
sebelum Tari menceritakan yang sebenarnya terjadi pada Tari dan Ata.
Drama ini benar-benar di suguhkan dalam bentuk apik
yang unik. Membuat para penontonnya kadang-kadang tercengang sendiri ketika
menontonnya. Tetapi yang lebih tercengang lagi adalah orang yang menjalankan
perannya, Tari. Dia benar-benar tak tahu menahu soal rencana ke depannya, yang
ia tahu hanyalah berpura-pura untuk Ari.
Panas, itu yang di rasakan pentolan SMA Airlangga.
Mau marah, tapi apa harus? Secara Ata kan saudara kembarnya sendiri. Dan dia
juga tak mau mengusik Ata, jika memang benar Ata menyukai Tari gimana!? Dia kan
nggak bisa apa-apa, masa iya dia melarang keras hubungan mereka.
Sakit, ya sakit juga. Bahkan teramat sakit karena
bayangannya kini telah di rebut oleh saudara kembarnya sendiri. Takkan ada yang
bisa mengerti perasaannya, sama seperti dulu. Kini yang dapat ia lakukan adalah
hanya menahan rasa sakit yang tiap hari membara di dalam hatinya.
“Apa lo nggak marah?” tanya Oji sambil menatap Ari
lekat-lekat.
Ari menggeleng lemah, “Buat apa? Dia sodara gue,” ia
sunggingkan senyum palsu sejuta pesona itu pada Oji. dan Oji tahu jelas, senyum
itu benar-benar senyum palsu.
Dari belakang, Ridho memegang pundak Ari, mencoba
membuat Ari sabar. “Gue tau kok rasanya, Ri. Tapi tolong, jangan pernah lo pake
topeng itu lagi,” pintanya. “Kalo lo emang mau dia, ambil, Ri. Kejar dia,
walaupun lo tau ada Ata.”
Mata Ari menatap Ridho tajam, “Gue kan bilang, gue
udah nggak peduli sama dia!” sentak Ari kasar. “Jadi jangan coba lo pengaruhi
gue utnuk membenci sodara kembar gue sendiri,”
Dengan cepat, Ari langkahkan kakinya meninggalkan
kedua teman karibnya itu. Sementara Ridho hanya dapat geleng-geleng kepala
karena sikap Ari.
“Gue rasa ada yang nggak beres,” ucap Oji.
Ridho menoleh, lalu duduk di sebelah Oji. “Nggak
beres gimana?”
“Nggak mungkin deh seorang Tari pacaran sama Ata,”
jawabnya. “Nih ya, menurut gue, mereka tuh jadiannya kecepetan.”
“Kecepetan?” Ridho menautkan alisnya.
“Iya,” Oji mengangguk. “Lo pikir deh, si Tari itu
juga nggak deket sama Ata. Mana mungkin sih, si Tari bisa jatuh cintrong dalam
waktu sesingkat itu,”
Ridho mengangguk-angguk, menyetujui pendapat Oji.
lalu mengacak-acak rambut Oji, “Pinter juga lo, Ji. Gue kira yang ada di
pikiran lo cuma si Fio doang!”
Oji melotot, sedangkan Ridho langsung nyengir.
***
Dengan mata yang tertuju tajam, Vero harus menghela
nafas kesabarannya lagi. Kali ini dia nggak bisa berontak sembarangan, karena
Ata selalu ada di samping Tari. Dia juga nggak bisa sembarangan melabrak adik
kelas yang menurutnya sudah kelewatan itu.
Ari di ambil, Ata pun juga. Vero dapet yang mana
dong kalo gitu!? Nggak fair banget.
Secara gitu, yang dilihat kedua saudara kembar itu hanya sebatas ‘nama’, nothing else. Mereka tuh nggak melihat
dari segi beauty and richnya. Just name. Gimana dia nggak mencak-mencak
coba!?
Apalagi hari ini kedua pasangan itu bikin matanya
sakit! Serius deh. Gimana enggak!? Secara gitu, Ata suap-suapan sama Tari di
depan matanya.
“Kak, udah dong. Di liatin anak-anak tuh,” keluh
Tari.
“Oh, mau nambah? Sebentar ya, sayang.” Ata malah
pura-pura nggak denger.
Mata Tari melebar, siapa yang minta tambah!? Tambah
eneg sih iya. “Enggak,” Tari menggeleng, “Udah kenyang nih.”
Ata malah merangkul Tari dengan tangan kanannya,
“Oh, bilang dong, Sayang.” Ata memberi penekanan dalam kata ‘sayang’.
Semua mata memang tertuju pada mereka berdua, tapi
semua mata itu langsung cepat tertuju pada satu orang yang datang ke kantin
dengan wajah dinginnya.
Dengan langkah cepatnya, Ari berjalan kearah Ata.
Dan Ata menyambutnya dengan senyuman yang merekah di wajahnya. Karena saat
inilah yang tepat untuk menunjukan aktingnya yang terbaik.
“Sayang,” panggil Ata.
Kontan Tari menoleh dari tunduknya, dan ketika itu
juga wajahnya benar-benar memucat. Seorang Ari datang dengan sikap dinginnya,
matanya bertemu dengan mata Tari. “Kak Ari,” seperti tercekat, Tari tak dapat
berbuat apa-apa selain diam.
“Ari!” panggil Ata seraya melambaikan tangannya pada
Ari.
Dengan langkah panjang Ari menghampiri mereka,
dengan tatapan datar dan mata tajam seperti dinginnya es di kutub utara.
Matanya, sangat tajam dan tertuju hanya kearah Tari.
Sedangkan Tari hanya dapat menunduk, tak mampu menatap mata tajam itu. “Ada
apa, Ta?” ia alihkan pandangannya pada Ata.
“Lo udah denger kan? Kalo gue udah jadian sama
Jingga Matahari?”
Ari terdiam, lalu mengangguk. “Kenapa?”
“Lo bisa bantu gue?”
“Bantu apa?” alis Ari menyatu.
Ata memperlihatkan barisan giginya, “Cariin tempat
buat kita dinner,” ucapnya. Tanpa ada rasa bersalah atau semacamnyalah. Nggak
peduli saudara kembarnya sendiri ini sudah menelan semua rasa sakitnya sendiri.
Dalam diamnya, Tari merasa sangat bersalah pada Ari.
Nggak tahu harus berbuat apa. Tari hanya nggak mau, Ari berpisah lagi dengan
Mamanya. Kali ini prilaku Ata benar-benar keterlaluan, nggak mikirin perasaan
orang lain!
“Sori, dia pacar lo. Dan bukan siapa-siapa gue, jadi
lo bisa cari sendiri.”
Semua yang melihat Ari di lokasi tersebut tak
menyangka bahwa Ari bisa menguasai emosinya. Biasanya kalau sudah seperti ini,
Ari bisa kalap. Marah-marah, bahkan banting meja. Sepertinya saudara kembarnya
ini sangat berpengaruh untuk Ari. Selain bisa mengatur emosinya, Ari juga nggak
seperti dulu. Sang penyandang pelanggar sekolah terbaik.
“Lo jahat ya,”
Ata menoleh, di tatapnya Tari lekat-lekat. “Emangnya
dia nggak jahat?”
“Dia berbuat semua itu karena ada alasan,” kilah
Tari dengan tatapan tajam.
“Lo kira gue nggak punya alasan? Hmm?” kedua
tangannya terlipat di dada. Di tatapnya Tari dengan pandangan datar.
“Apa alasan lo? Hah!? Lo nggak pernah bilang kan
sama gue?”
“Emangnya dulu dia bilang? Dia menipu lo karena apa?
Hmm?” alisnya terangkat sebelah.
Telak! Tari tak dapat berbuat apa-apa. Semuanya
memang benar. Dia sendiri yang harus mencari jawaban atas apa yang Ata lakukan
sekarang. Sama seperti dulu, saat Ari berbohong padanya.
“Lo tau kan sekarang, siapa orang yang jadi lawan
lo!?”
Tari menengadah, menatap Ata tajam. Semuanya mungkin
akan tambah lebih buruk. Seharusnya ia biarkan masalah ini terpecah dengan
bantuan Ari, bukan keegoisannya sendiri.
***
Pelan, Oji hembuskan nafasnya. Lalu ia tatap kawan
karibnya ini dengan pandangan bingung. Tadi pergi marah-marah, sekarang balik
lagi, dengan wajah yang kusutnya kayak baju yang belum di setrika.
Yang lebih heran sih Ridho, kemana coba Ari pergi
tadi!? Sampai-sampai wajahnya tambah murung gitu. Dalam kilatan matanya itu,
tersimpan luka yang lebih banyak dari segenggam pasir. Kalau sudah seperti ini,
mereka berdua nggak bisa apa-apa, selain menunggu Ari bercerita sendiri tentang
apa yang terjadi pada dirinya.
“Lo kenapa sih?” tanya Oji nekat. Dia benar-benar
nggak tahan melihat Ari yang dari tadi masang tampang juteknya.
Ari menoleh, “Kenapa?”
“Lo tuh ya, gue tanya malah nanya balik.” Oji jadi
menggerutu sendiri.
“Emang gue kenapa?”
“Nah, lo malah tanya gue. Lo tuh ya, otaknya lagi
eror apa? Gue tanya malah lo nanya balik ke gue, ya mana gue tau.” Oji jadi
makin jengkel. Ari jadi aneh begini, jadi agak-agak telmi gitu deh.
“Sabar, Ji.” Ridho menepuk pundak Oji. “Dia lagi
depresi berat,” ucapnya seraya menunjuk Ari dengan dagunya.
Bagaimanapun caranya teman-temannya itu bicara,
takkan pernah ada satupun yang bisa mampir di telinga maupun otaknya. Karena
saat ini yang ia pikirkan hanyalah, Tari yang jadian sama saudara kembarnya
sendiri itu.
Pandangan Ridho mengarah pada Ari, “Ri, gue cuma mau
kasih tau lo. Kalo lo emang masih peduli sama dia, lo harus kejar dia. Lo nggak
segitu gampangnya kan percaya sama gossip itu?”
“Jadi lo pikir sodara gue bohong? Hmm?” Ari langsung
tersinggung. Di tatapnya Ridho tajam.
“Gue nggak maksud gitu, Ri.”
Oji mengangguk, “Iya, Bos. Kita curiga aja gitu.
Coba deh lo pikir. Tari itu nggak kenal banget sama Ata, ketemu aja jarang.
Masa tiba-tiba mereka jadian begitu aja? Fall in love at first sight gitu!?”
Dalam keterdiamannya, Ari memutar otaknya.
Memikirkan kata-kata Oji yang sebenarnya masuk akal itu. Mana mungkin sih,
seorang Tari yang nggak kenal deket sama Ata, bisa jadian secara tiba-tiba.
Apalagi Ata nggak pernah memunculkan rasa sukanya dari awal. Layaknya
cowok-cowok yang sedang jatuh cinta.
Seenggaknya Ata kayak Arilah, ngejar-ngejar tu
cewek, kalau enggak ngedeketin dia supaya dia bisa kelepek-kelepek sama
pesonanya, baru deh di ’tembak’. Nggak mungkin kan Tari langsung nerima
‘tembakan’ Ata itu tanpa pikir-pikir dulu.
“Kesempatan nggak akan pernah datang dua kali, Ri.”
Ridho mengingatkan Ari akan hal itu. “Kalaupun dia datang dua kali, seharusnya
lo manfaatin itu baik-baik. Dari pada lo nyesel nantinya,”
“Lo nggak perlu ungkapin rasa itu sekarang. Tapi lo
bisa bikin dia tenang dulu, bikin dia merasa lo nggak jauh dari dia. Bikin dia
merasa bahwa elo adalah pelindungnya, bukan musuhnya. Sekalipun dia nggak
nerima cinta lo, lo nggak boleh marah. Karena lo masih punya kesempatan yang
sebenarnya tak kasat mata. So, don’t give
up.”
Ari dan Ridho kontan menoleh, lalu di acak-acaknya
rambut temannya itu bersamaan. “Pinter juga lo, Ji,” puji Ari dengan senyuman
yang menghiasi wajahnya.
“Gue kira lo nggak pernah pinter, Ji.” Ridho malah
meledek.
Oji langsung melotot, apa-apaan coba? Di kira dia
anak yang paling blo’on sendiri apa ya!?
***
Langkah Tari terhenti saat Ari menghampirinya dengan
senyuman. Kontan Tari membalas senyuman manis itu dengan senyuman yang tak
kalah manisnya. Ia tatap Ari, walaupun heran, ia takkan mau membuat kesalahan
lagi.
“Tar,” panggilnya.
“Iya, Kak?” balasnya.
“Gue minta maaf sama lo,” ucapnya lirih seraya
memegang tangan Tari pelan.
Belum sempat ia menjawab, Ata datang! Dengan tatapan
sinisnya, ia tersenyum pada saudara kembarnya itu. “Mau ngomong sama Tari yah?”
tanyanya. “Jangan lama-lama, inget ya, dia milik gue.”
Ari menggertakkan gerahamnya, menahan amarah.
Sementara itu Ata mendekatkan wajahnya pada Tari, “Inget! Berkorban,” desisnya
tepat di telinga Tari. Lalu pergi dari hadapan Tari dan Ari.
Tari diam. Sementara Ari menatap Tari, menunggu
jawabannya. “Gue… maafin lo. Tapi gue mohon, jangan ganggu gue lagi.” Tari
menunduk.
Kontan mata Ari melebar. Ia tak menyangka itulah
yang akan di keluarkan dari bibir Tari. Membuat hatinya panas karena terbakar
untuk kesekian kalinya. Sedangkan Ata, tersenyum puas dari kejauhan, walaupun
hanya kalimat itu yang di ucapkan Tari. Itu semua mampu membuat Ari mengambil
kesimpulan dengan cepat. Bahwa Tari memintanya jauh-jauh dan tak mendekatinya
karena Tari adalah pacar Ata.
Tari tatap Ari yang sepertinya marah padanya. Tari
tahu apa yang di katakannya adalah sebuah kesalahan besar. Tapi Ata
mengancamnya tadi, bahkan sebelum Ari datang. Dia mengatakan akan mempersulit
semuanya jika Tari tak mengikuti scenario yang tlah ia buat.
Ari menatap Tari sebentar, “Oke, fine.” Lalu dengan
langkah cepat, ia balikan badannya dan pergi dari hadapan Tari. Ini semua sudah
cukup, Oji dan Ridho sama-sama membuat Ari merasakan rasa yang lebih sakit
daripada sebelumnya.
***
Bagi Ari, permintaan halus Tari tadi siang di
sekolah sudah cukup. Tak perlu di panjang lebarkan apalagi di tambah
embel-embel supaya kalimatnya jelas. Ari sudah mengambil kesimpulan bahwa Tari
memang tak mempunyai tempat di hatinya untuk Ari.
Bagaimanapun Ari berusaha, Ari takkan bisa
memilikinya karena disana, tepat di sebelahnya, ada Ata yang setiap kali
berdiri untuk Tari. Dan yang namanya perasaan, nggak akan pernah bisa di
paksakan, mau gimanapun caranya.
Ia pandang keluar jendela kamarnya. Kata-kata Tari
itu masih terngiang-ngiang di telinganya. Dalam hatinya, ia tekadkan
keputusannya. Ia akan pergi sejauh-jauhnya dari kehidupan Tari karena tak
mungkin baginya menyentuh sisi Tari yang kini, mungkin sudah di tutup Tari
rapat-rapat dan di buka hanya untuk saudaranya sendiri.
“Buat apa gue kuatir? Yang penting dia bahagia,”
gumamnya dalam keadaan tak sadar.
Seseorang itu kini hanya dapat ia lihat, bahkan dari
kejauhan. Seseorang itu hanya bisa menghiasi masa lalunya, bukan menemaninya.
Hanya menghiasi, itu kata yang tepat.
Lalu, ia hempaskan tubuhnya di kasur empuknya. Ia
rebahkan tubuhnya dalam bentuk terlentang. Ia tatap langit-langit kamarnya.
Bagaimanapun cara yang Ari lakukan, ia tetap saja tak dapat membuang semua
kata-kata Tari dalam otaknya dan dalam pikirannya.
Dan keesokan harinya, ia pastikan ia tak mengganggu
Tari lagi, bahkan mungkin sama sekali tak ada sapa. Ia takkan menganggap bahwa
ia telah mengenal Tari lama, bahkan Tari mengenalnya lebih dari siapapun. Dalam
keterdiamannya, ia coba hapus semua kenangan dan memori yang tersimpan hanya
untuk gadis itu.
“Semua ini, demi lo.” Ari taruh satu tangannya di
dada, masih menatap langit-langit kamarnya. Lalu ia tutup mata itu rapat-rapat.
Mencoba dan berusaha.
***
Keesokkannya,
Ari melakukan tekadnya itu, sesuai dengan perkatannya semalam. Meskipun Tari
sangat amat ingin mengatakan semuanya, tetap ia tak bisa. Ada Ata yang selalu
memerhatikannya dalam jarak yang dekat bahkan jauh sekalipun.
Saat inilah yang tepat untuk Vero beraksi, nggak ada
Ata, lantaran Ata sudah pulang duluan. Hanya ada Fio yang mendampingi Tari di
toilet cewek ini. Fio langsung kaget ketika melihat Vero sudah ada di
hadapannya. Dia berharap, Tari tak keluar dari toilet tersebut, agar Vero tak
melabraknya lagi.
Namun, harapan Fio itu sia-sia, tak ada lima menit,
cewek itu keluar dengan mata sembab. Saat Tari menengadah, Vero tengah
menatapnya tajam bersama anggota The Scissors lainnya.
“Hai, Tar,” sapanya dengan seulas senyum tajam yang
mengartikan dendam.
Tari diam, tak dapat berkutik. Matanya menatap
lurus-lurus, kakak kelas yang menjadi pentolan The Scissors itu. Lidahnya
begitu kelu untuk mengatakan sesuatu. Minimal pemberontakan, itu pun nggak
bisa.
“Gue heran sama lo,” ucapnya seraya
menggeleng-gelengkan kepalanya. “Nggak Ari, nggak Ata. Semuanya lo rebut!”
nadanya menajam.
Dengan kasar Vero menarik rambut Tari yang terkuncir
rapi, menarik rambutnya hingga terasa ingin lepas dari akarnya. Ia dongakkan
kepalanya agar menatap Vero. “Lo selalu main-main sama gue,”
Tari menggeleng, “Enggak, Kak,” ucapnya mencoba agar
Vero nggak marah-marah sama dia.
Fio jadi deg-degan, nggak bisa membantu temannya
ini. Dia hanya dapat menyaksikan penderitaan temannya ini, karena melawan
berarti cari mati sama Vero. “Kak, kasian Tari,” ucapnya pelan. Lama-lama ia
kasihan juga melihat Tari kesakitan seperti itu.
“Diem lo,” bentak Vero. Di tatapnya Fio dengan
tajam. Nyali Fio kontan langsung ciut melihat tatapan sangar itu.
“Lo bilang apa? Enggak?” Vero mengalihkan pandangannya
pada Tari. “Jadi ini di sebut apa nih? Melanggar perintah gue!? Nyari ribut
atau malah nyari… mati?”
Seketika itu juga Tari tersentak, tak tahu harus
berbuat apa. Kalau di jawab, nanti Vero malah tambah ngamuk sama dia. Kalau ia
memilih diam, kadang Vero malah tambah kesel sama Tari, nanti di bilang bisu
dan budeg lagi sama Vero dan anggota The Scissors lainnya.
Kaki Fio gemetar, takut Tari di apa-apain. Mau
nolong, nanti di bentak lagi sama Vero kan gawat. Nanti adanya, Fio ikut-ikutan
di tindas sama The Scissors lagi. Mau lari pun, dia nggak tega, masa iya sih,
teman sebangkunya ini di biarkan sendirian. Nggak mungkin banget dia biarin
Tari melawan Vero sendirian tanpa penolong.
Fio melirik ke kanan dan ke kiri, mencari seseorang
untuk di mintai bantuan. Tapi tak ada satupun orang di sekitar sana. Dia mulai
gelisah dan khawatir dengan nasib Tari yang ada di tangan Vero itu.
“Air,” seru Vero pada anggota yang lainnya.
Dengan sigap, salah satu dari mereka membawa
segayung air. Lalu di berikannya pada Vero. Mata Vero belum berpindah, masih
menatap Tari dengan tajam. “Lo masih nggak mau ngomong?”
“Tapi Kak, saya nggak main-main sama Kakak.” Tari
seakan ingin menangis. Air bening di kedua matanya itu hampir terjatuh, akibat
sakit yang ia rasakan. Nyeri yang berasal dari tarikan kuat Vero pada rambut
indahnya itu.
“Nggak main-main? Terus tindakan lo ini apa
namanya?” suara Vero semakin meninggi. Dia terlihat kesal dan semakin marah
dengan Tari.
Tari diam lagi. Bingung harus jawab apa. Mau jawab
yang sebenarnya, nanti dia di ancem lagi sama Ata. Bahkan mungkin bisa lebih
parah lagi ancamannya. Tapi dia nggak mungkin bisa diam seperti ini terus,
karena kemarahan Vero pasti sudah ada di ujung tanduk.
Dalam waktu yang tak dapat Tari cerna dan bahkan Fio
sadari, air yang berada di dalam gayung itu tertumpah membasahi setiap lekuk
kemeja Tari. Membuat kemeja putihnya itu basah, bahkan rambutnya pun ikut basah
akibat tumpahan air tersebut.
Tak sanggup Tari tahan air bening yang kini sedang
mengalir di wajahnya yang pucat. Rambutnya masih dalam genggaman kuat tangan
Vero.
Dalam tangisnya itu, Tari tlah di selamatkan. Entah
untuk keberapa kalinya. Dengan cepat tangan seseorang menggapai tangan Vero,
lalu menghempaskannya. Ia rengkuh Tari dalam dekapan hangat penuh sayang. Lalu
dengan cepat, ia berikan jaketnya untuk melapisi baju Tari yang basah.
Di serahkannya Tari pada Fio, lalu ia tatap Vero
dengan tajam. Membuat cewek itu jadi takut dan wajahnya berubah total menjadi
pucat. Bahkan lebih pucat daripada Tari tadi. Ini memang sebuah rencana yang
sudah di atur Vero dengan rapi, ia pikir semua tlah pulang dan nggak ada
satupun murid lain yang berada disini kecuali Fio dan Tari. Bahkan jelas-jelas,
tadi Vero melihatnya sudah pergi.
“Lo yang main-main sama gue,” desisnya tepat di
wajah Vero.
Vero beku di tempat. Ia tatap orang yang ada di
hadapannya ini. Ia masih tak percaya bahwa rencananya jelas gagal total.
Tari menengadah mencoba melihat siapa orang yang melindunginya
dari Vero. Ia hapus air matanya perlahan, mencoba membuat matanya tak buram
akibat air bening yang berada di kedua matanya itu.
Lalu dalam waktu yang singkat, ia dapat melihat
jelas siapa orang itu. Ia terpaku dalam kebisuan yang nyata, masih tetap
menatap orang itu. Tari tercengang! Diam seribu kata, baginya satu sosok ini
terlalu membuatnya masuk ke dalam persoalan yang sulit.
Orang itu berdiri tegak menatap Vero tajam, lalu
matanya bergerak kearah Tari. Menyiratkan sebuah ketenangan dan mencoba membuat
Tari merasa nyaman dan tak ketakutan.
Sosok itu kembali menatap Vero yang kini pucat pasi
dan tak dapat berbuat pa-apa lagi. Sosok ini terlalu nyata dan membuat angan
liarnya kembali berkelebat di dalam pikirannya.
“Gue udah bilang sama lo,” desisnya tepat di wajah
Vero. “Kalo lo nggak mau gue ikut campur urusan lo, lo jangan ikut campur
urusan gue.”
“Tapi, Ri. Gue cuma mau dia sadar aja akan
kesalahannya!” Vero membela dirinya.
Ari semakin mendekarkan wajahnya dengan wajah Vero,
“Kesalahan apa?” alisnya terangkat satu.
“Dia ngambil semuanya! Bahkan dia udah nyakitin lo!”
Vero jadi naik darah.
Ari mengerti, bahkan sangat mengerti. Ini memang
urusan cewek, tapi Ari nggak akan tinggal diam kalau Tarilah yang menjadi
korbannya. Meskipun dia sudah berjanji nggak akan mengganggu Tari lagi.
Dengan langkah cepat, Ari masuk ke dalam salah satu
bilik toilet. Dan dengan waktu yang tak dapat Vero kira, bahkan sadari. Air
telah mengalir deras di tubuhnya. Seragamnya basah. Ari menyiramnya!
“Kita impas!” desisnya, lalu menarik tangan Tari.
Sedangkan Fio mengkiutinya di belakang.
Kontan Vero langsung mencak-mencak dan kesal
setengah mampus. Niatnya ngelabrak, dia malah kena imbasnya juga. Ari emmang
nggak bisa di ajak main-main.
Sementara, di luar sekolah, Ari berdiri menyetop
taksi. Lalu menyuruh Fio menemani Tari untuk pulang. Setelah ia berikan selemar
uang cetak, ia tutup pintu taksi tanpa mengatakan apa-apa.
Bahkan, ia tak mengajak bicara sedikitpun pada Tari.
Ini hanyalah bentuk prilaku Ari untuk Tari, semata-mata hanya untuk melindungi.
Dan Ari nggak minta lebih lagi dari Tari. Ia hanya berperan sebagai Kakak kelas
yang menyelamatkan adik kelasnya dari ancaman The Scissors, nggak lebih. Karena
Ari memang tlah menjadi satu bagian yang –menurut Ari− nggak penting bagi Tari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar